- Beranda
- Stories from the Heart
Diamante
...
TS
robotpintar
Diamante

Quote:
Disclaimer
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Diubah oleh robotpintar 24-03-2025 14:55
ChocoChips098 dan 144 lainnya memberi reputasi
145
203.5K
Kutip
1.9K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#270
003-I Silent Confession (Cont)
Spoiler for 003-I Silent Confession (Cont):
Begitu turun dari mobil, gua langsung berlari, menyusuri trotoar sempit kembali ke arah gang sekolah. Dari kejauhan terlihat Lian sibuk berbincang dengan para siswa sekolah gua di warung rokok tempat yang biasa digunakan nongkrong. Ia yang menyadari kehadiran gua, lantas berdiri dan berjalan mendekat.
“Aku mau ngomong…” Ucap gua pelan.
“Aku juga. Tunggu di sini…” Jawabnya lalu berbalik.
Nggak lama kemudian, sedan biru dengan suara mesin yang menggelegar berhenti di sisi jalan tepat di depan gua. Gua mendekat, membuka pintunya dan masuk.
Gua dikejutkan dengan suara-suara aneh di belakang. Suara yang berasal dari kardus yang tergeletak di kursi belakang mobil. Kardus yang setiap sisinya seperti sengaja dilubangi.
“Apa itu?” Tanya gua ke Lian, sambil menunjuk kardus di kursi belakang.
Lian tersenyum sebentar lalu menjawab; “Burung…”
“Burung? dari mana? ” Tanya gua pelan.
“Beli…”
“Beli? Beli di mana?”
“Di tukang burung” Jawabnya santai.
Lian berkendara dengan kecepatan rendah, menyusuri jalan sempit mejauh dari sekolah, lalu berbelok ke kiri di perempatan nggak simetris yang padat. Nggak jauh dari sana, ia kembali memutar kemudi, ke kanan. Melewati sebuah gapura yang bertuliskan hutan kota.
Ia mematikan mesin, mengambil kardus di kursi belakang dan keluar. Gua mengikutinya, mengikuti langkahnya yang santai, menyusuri jalan konblok teduh nan rindang dengan deretan pohon-pohon besar di kedua sisinya. Gua menatap sekeliling, bingung campur heran; nggak menyangka ada tempat seperti ini di Jakarta, di tempat yang bahkan nggak begitu jauh dari sekolah.
Gua berjalan cepat menyusulnya.
“Aku nggak nyangka ada tempat kayak gini di sini, di Jakarta…”
“…”
“… dan deket banget dari Sekolah” Gua menambahkan.
“Masa? belum pernah ke sini?” Tanyanya.
Gua menggeleng; “Belum”
Gua terus mengikutinya, menyusuri jalan yang semakin sempit, masuk lebih jauh ke dalam hutan kota dengan pohon-pohon yang semakin besar menjulang. Pohon yang dahan-dahannya membuat teduh. Sementara, bunyi gemerisik daun yang bersinggungan juga cuitan burung-burung kecil membuat rasanya seperti berada di tempat lain, bukan di Jakarta.
Pantulan sinar matahari dari permukaan air danau menerpa, menyilaukan mata. Gua menghalau cahaya dengan telapak tangan, lalu bertanya; “Itu apa?”
“Danau” Lian menjawab singkat.
“Hah? ada danau-nya juga?” Respon gua sambil menurunkan tangan dan memicingkan kedua mata, mencoba menatap ke arah danau.
Danau kecil terbentang di hadapan kami. Beberapa orang terlihat tengah duduk beralas tikar, berbincang sambil bercengkrama. Sementara di sudut yang jauh beberapa pemancing duduk berjauhan, seakan menghindar dari keramaian.
Sama seperti pasangan-pasangan lain yang berada di sini, ia mengajak gua duduk di pembatas beton yang memisahkan jalan setapak dengan tepian danau. Kemudian meletakkan kardus di antara kami berdua, membuka penutupnya. Terlihat, puluhan burung-burung kecil yang cantik dan lucu, burung-burung yang langsung berterbangan begitu penutup kardus di buka. Lian, meraih salah satu burung yang kesulitan keluar, meletakkannya di telapak tangannya dan mengangkatnya ke udara.
“Eh, kenapa dilepas?” Sontak gua bertanya.
“…” Lian nggak menjawab. Ia hanya duduk dan terus menatap burung-burung yang beterbangan, burung-burung yang baru dilepasnya.
Ia lalu melipat kardus bekas dan meletakkannya di atas beton pembatas. Memberi alas, agar gua gua duduk di sana.
Gua duduk di sebelahnya, kemudian mengikuti arah matanya yang menatap kosong ke arah permukaan danau yang tenang.
“Kalau luas danau ini 1.000 meter persegi, dalamnya 5 meter. Dalam kondisi kering, berapa waktu yang dibutuhkan untuk mengisi penuh danau, jika air dialirkan 100 m³ per detik?” Tiba-tiba ia bertanya, mengajukan soal cerita.
Gua mengernyitkan dahi dan menatapnya; “Serius nih? ngasih soal cerita?” Gua mengernyitkan dahi dan menatapnya; “Serius nih? ngasih soal cerita?” Gua menghela napas, tahu bahwa ini bukan sekadar soal matematika biasa. Mungkin ini caranya mengalihkan pembicaraan. Mungkin juga, ini caranya mengucapkan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Ia mengangguk pelan.
Gua memejamkan mata, mencoba menghitung. Tapi, jangankan menghitung, menggunakan rumus yang tepat aja gua nggak tau.
“Nggak tau ah, males mikir. Lagian siapa sih yang mau cepek-capek nguras danau terus diisi lagi?” Gua mengajukan protes.
“Hahahaha…”
“Emang gimana caranya?” Tanya gua, penasaran.
Lian meraih patahan ranting, lalu mulai menulis diatas permukaan tanah, memberikan perhitungan yang benar. Sambil terus menulis, ia bicara; mencoba menjelaskan; “Pertama, cari volume danaunya dulu; berarti 1.000 m² × 5 m hasilnya; 5.000 m³. Terus, pahami laju alirannya; 100 m³ per detik berati setiap detik ada 100m³ air yang mengalir. Udah deh, abis itu tinggal diitung aja pake rumus waktu=volume/laju aliran, hasilnya 50 detik”
Jujur, gua nggak peduli dengan jawabannya. Saat ini gua hanya duduk berpangku tangan sambil menatap ke arahnya.
“Bisa nggak kita udahin aja soal cerita ini?” Tanya gua.
Lian terdiam, ia menghela napas dalam-dalam lalu menghembuskannya.
“… Bisa aku cerita?” Gua menambahkan.
Lian mengangguk, sementara gua mulai bercerita tentang kejadian semalam. Kejadian selepas ia mengantar gua pulang.
Selesai gua bercerita, kini gantian ia yang buka suara.
“Iya, semalam Mamah juga telepon aku…” Ucapnya lirih.
“Hah, terus? Dia bilang apa?” Tanya gua.
Lian kembali terdiam, sepertinya ragu ingin menjawab.
“Dia bilang apa?” Tanya gua lagi, sedikit memaksa.
“Ya intinya, menurutnya aku nggak baik buat kamu. Dan mohon-mohon agar aku menjauhi kamu…” Ucapnya
“Tapi, Itu menurutnya kan?”
“Ya mungkin begitu juga menurut orang-orang. Mamah juga bilang agar aku nggak egois. Agar aku juga mikirin masa depan kamu yang kayaknya nggak ada kalau sama aku…” Jawabnya.
“Emang siapa sih yang tau yang baik buat aku selain aku sendiri?” Gua merespon.
Lian mengangkat kedua bahunya. Lalu, menoleh dan menatap gua. Senyumnya yang khas terlihat sendu.
“Tapi, Fir… Kalau di pikir-pikir Mamah emang ada benernya, kayaknya aku emang egois. Aku cuma mikirin diri sendiri, nggak pernah mikirin masa depan kamu… Mungkin masa depan kamu bakal lebih baik tanpa aku…”
“Mungkin, kan? Masih kemungkinan kan?” Tanya gua, mulai sedikit tersulut emosi karena tau Lian malah berpihak ke Nyokap. Padahal gua sudah siap jika ingin memberi perlawanan.
“…”
“… Terus kamu bilang apa ke Mamah?” Tanya gua.
Lian nggak menjawab.
“… Kamu bilang apa ke Mamah?” Gua kembali bertanya, kini sambil berteriak.
Lian menatap gua, lalu menjawab pelan; “Aku setuju sama Mamah…”
“Apaan sih kamu!!” Seru gua sambil memukul bahunya berkali-kali.
“…”
“… Terus kita harus gimana? Tanya gua.
“Kita? Bukan kita Fir. Tapi aku… Aku harus pergi. Sedangkan kamu bisa terus menjalani hidup kayak sebelumnya…”
“Nggak mau!” Gua menjawab cepat dan tegas.
Lian terdiam dan nggak memberi respon apapun. Saat ini, gua merasa ia adalah sosok paling menyebalkan. Sosok yang nggak mau berjuang demi hubungan ini.
“Kamu tuh, gimana sih? Emang nggak mau nyoba dulu? Nggak mau berjuang dulu demi cinta?” Tanya gua.
Lian meringis, ia berpaling dan menatap ke arah danau lalu bicara; “Anak seusia kamu tau apa tentang cinta, Fir?”
“Hah!?”
"Kamu tahu, Fir, kadang ada hal-hal yang lebih baik dibiarkan mengalir. Sama seperti danau ini. Kalau dipaksakan penuh terlalu cepat, airnya malah meluap, merusak semuanya"
Kata-katanya membuatku terdiam. Aku menatapnya, berusaha mencari arti di balik kalimatnya. Tapi Lian hanya tersenyum samar, seolah tahu sesuatu yang aku tidak tahu.
Gua berdiri sambil terus menatapnya. Lalu berbalik dan bergegas pergi.
Saat itu, gua seharusnya kembali untuk sekali lagi memastikan. Tapi, nggak gua lakukan. Gua hanya terus berjalan menyusuri jalan setapak menjauh dari tepian danau, menjauh darinya.
Itu adalah kali terakhir gua melihat wajahnya. Setelahnya, sejauh yang bisa gua ingat Lian nggak pernah lagi muncul dalam kehidupan.
--
“Aku mau ngomong…” Ucap gua pelan.
“Aku juga. Tunggu di sini…” Jawabnya lalu berbalik.
Nggak lama kemudian, sedan biru dengan suara mesin yang menggelegar berhenti di sisi jalan tepat di depan gua. Gua mendekat, membuka pintunya dan masuk.
Gua dikejutkan dengan suara-suara aneh di belakang. Suara yang berasal dari kardus yang tergeletak di kursi belakang mobil. Kardus yang setiap sisinya seperti sengaja dilubangi.
“Apa itu?” Tanya gua ke Lian, sambil menunjuk kardus di kursi belakang.
Lian tersenyum sebentar lalu menjawab; “Burung…”
“Burung? dari mana? ” Tanya gua pelan.
“Beli…”
“Beli? Beli di mana?”
“Di tukang burung” Jawabnya santai.
Lian berkendara dengan kecepatan rendah, menyusuri jalan sempit mejauh dari sekolah, lalu berbelok ke kiri di perempatan nggak simetris yang padat. Nggak jauh dari sana, ia kembali memutar kemudi, ke kanan. Melewati sebuah gapura yang bertuliskan hutan kota.
Ia mematikan mesin, mengambil kardus di kursi belakang dan keluar. Gua mengikutinya, mengikuti langkahnya yang santai, menyusuri jalan konblok teduh nan rindang dengan deretan pohon-pohon besar di kedua sisinya. Gua menatap sekeliling, bingung campur heran; nggak menyangka ada tempat seperti ini di Jakarta, di tempat yang bahkan nggak begitu jauh dari sekolah.
Gua berjalan cepat menyusulnya.
“Aku nggak nyangka ada tempat kayak gini di sini, di Jakarta…”
“…”
“… dan deket banget dari Sekolah” Gua menambahkan.
“Masa? belum pernah ke sini?” Tanyanya.
Gua menggeleng; “Belum”
Gua terus mengikutinya, menyusuri jalan yang semakin sempit, masuk lebih jauh ke dalam hutan kota dengan pohon-pohon yang semakin besar menjulang. Pohon yang dahan-dahannya membuat teduh. Sementara, bunyi gemerisik daun yang bersinggungan juga cuitan burung-burung kecil membuat rasanya seperti berada di tempat lain, bukan di Jakarta.
Pantulan sinar matahari dari permukaan air danau menerpa, menyilaukan mata. Gua menghalau cahaya dengan telapak tangan, lalu bertanya; “Itu apa?”
“Danau” Lian menjawab singkat.
“Hah? ada danau-nya juga?” Respon gua sambil menurunkan tangan dan memicingkan kedua mata, mencoba menatap ke arah danau.
Danau kecil terbentang di hadapan kami. Beberapa orang terlihat tengah duduk beralas tikar, berbincang sambil bercengkrama. Sementara di sudut yang jauh beberapa pemancing duduk berjauhan, seakan menghindar dari keramaian.
Sama seperti pasangan-pasangan lain yang berada di sini, ia mengajak gua duduk di pembatas beton yang memisahkan jalan setapak dengan tepian danau. Kemudian meletakkan kardus di antara kami berdua, membuka penutupnya. Terlihat, puluhan burung-burung kecil yang cantik dan lucu, burung-burung yang langsung berterbangan begitu penutup kardus di buka. Lian, meraih salah satu burung yang kesulitan keluar, meletakkannya di telapak tangannya dan mengangkatnya ke udara.
“Eh, kenapa dilepas?” Sontak gua bertanya.
“…” Lian nggak menjawab. Ia hanya duduk dan terus menatap burung-burung yang beterbangan, burung-burung yang baru dilepasnya.
Ia lalu melipat kardus bekas dan meletakkannya di atas beton pembatas. Memberi alas, agar gua gua duduk di sana.
Gua duduk di sebelahnya, kemudian mengikuti arah matanya yang menatap kosong ke arah permukaan danau yang tenang.
“Kalau luas danau ini 1.000 meter persegi, dalamnya 5 meter. Dalam kondisi kering, berapa waktu yang dibutuhkan untuk mengisi penuh danau, jika air dialirkan 100 m³ per detik?” Tiba-tiba ia bertanya, mengajukan soal cerita.
Gua mengernyitkan dahi dan menatapnya; “Serius nih? ngasih soal cerita?” Gua mengernyitkan dahi dan menatapnya; “Serius nih? ngasih soal cerita?” Gua menghela napas, tahu bahwa ini bukan sekadar soal matematika biasa. Mungkin ini caranya mengalihkan pembicaraan. Mungkin juga, ini caranya mengucapkan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Ia mengangguk pelan.
Gua memejamkan mata, mencoba menghitung. Tapi, jangankan menghitung, menggunakan rumus yang tepat aja gua nggak tau.
“Nggak tau ah, males mikir. Lagian siapa sih yang mau cepek-capek nguras danau terus diisi lagi?” Gua mengajukan protes.
“Hahahaha…”
“Emang gimana caranya?” Tanya gua, penasaran.
Lian meraih patahan ranting, lalu mulai menulis diatas permukaan tanah, memberikan perhitungan yang benar. Sambil terus menulis, ia bicara; mencoba menjelaskan; “Pertama, cari volume danaunya dulu; berarti 1.000 m² × 5 m hasilnya; 5.000 m³. Terus, pahami laju alirannya; 100 m³ per detik berati setiap detik ada 100m³ air yang mengalir. Udah deh, abis itu tinggal diitung aja pake rumus waktu=volume/laju aliran, hasilnya 50 detik”
Jujur, gua nggak peduli dengan jawabannya. Saat ini gua hanya duduk berpangku tangan sambil menatap ke arahnya.
“Bisa nggak kita udahin aja soal cerita ini?” Tanya gua.
Lian terdiam, ia menghela napas dalam-dalam lalu menghembuskannya.
“… Bisa aku cerita?” Gua menambahkan.
Lian mengangguk, sementara gua mulai bercerita tentang kejadian semalam. Kejadian selepas ia mengantar gua pulang.
Selesai gua bercerita, kini gantian ia yang buka suara.
“Iya, semalam Mamah juga telepon aku…” Ucapnya lirih.
“Hah, terus? Dia bilang apa?” Tanya gua.
Lian kembali terdiam, sepertinya ragu ingin menjawab.
“Dia bilang apa?” Tanya gua lagi, sedikit memaksa.
“Ya intinya, menurutnya aku nggak baik buat kamu. Dan mohon-mohon agar aku menjauhi kamu…” Ucapnya
“Tapi, Itu menurutnya kan?”
“Ya mungkin begitu juga menurut orang-orang. Mamah juga bilang agar aku nggak egois. Agar aku juga mikirin masa depan kamu yang kayaknya nggak ada kalau sama aku…” Jawabnya.
“Emang siapa sih yang tau yang baik buat aku selain aku sendiri?” Gua merespon.
Lian mengangkat kedua bahunya. Lalu, menoleh dan menatap gua. Senyumnya yang khas terlihat sendu.
“Tapi, Fir… Kalau di pikir-pikir Mamah emang ada benernya, kayaknya aku emang egois. Aku cuma mikirin diri sendiri, nggak pernah mikirin masa depan kamu… Mungkin masa depan kamu bakal lebih baik tanpa aku…”
“Mungkin, kan? Masih kemungkinan kan?” Tanya gua, mulai sedikit tersulut emosi karena tau Lian malah berpihak ke Nyokap. Padahal gua sudah siap jika ingin memberi perlawanan.
“…”
“… Terus kamu bilang apa ke Mamah?” Tanya gua.
Lian nggak menjawab.
“… Kamu bilang apa ke Mamah?” Gua kembali bertanya, kini sambil berteriak.
Lian menatap gua, lalu menjawab pelan; “Aku setuju sama Mamah…”
“Apaan sih kamu!!” Seru gua sambil memukul bahunya berkali-kali.
“…”
“… Terus kita harus gimana? Tanya gua.
“Kita? Bukan kita Fir. Tapi aku… Aku harus pergi. Sedangkan kamu bisa terus menjalani hidup kayak sebelumnya…”
“Nggak mau!” Gua menjawab cepat dan tegas.
Lian terdiam dan nggak memberi respon apapun. Saat ini, gua merasa ia adalah sosok paling menyebalkan. Sosok yang nggak mau berjuang demi hubungan ini.
“Kamu tuh, gimana sih? Emang nggak mau nyoba dulu? Nggak mau berjuang dulu demi cinta?” Tanya gua.
Lian meringis, ia berpaling dan menatap ke arah danau lalu bicara; “Anak seusia kamu tau apa tentang cinta, Fir?”
“Hah!?”
"Kamu tahu, Fir, kadang ada hal-hal yang lebih baik dibiarkan mengalir. Sama seperti danau ini. Kalau dipaksakan penuh terlalu cepat, airnya malah meluap, merusak semuanya"
Kata-katanya membuatku terdiam. Aku menatapnya, berusaha mencari arti di balik kalimatnya. Tapi Lian hanya tersenyum samar, seolah tahu sesuatu yang aku tidak tahu.
Gua berdiri sambil terus menatapnya. Lalu berbalik dan bergegas pergi.
Saat itu, gua seharusnya kembali untuk sekali lagi memastikan. Tapi, nggak gua lakukan. Gua hanya terus berjalan menyusuri jalan setapak menjauh dari tepian danau, menjauh darinya.
Itu adalah kali terakhir gua melihat wajahnya. Setelahnya, sejauh yang bisa gua ingat Lian nggak pernah lagi muncul dalam kehidupan.
--
Kunto Aji - Rehat
Serat-serat harapan
Masih terjalin
Suaramu terdengar
Masihlah nyaring dan bergema
Di ruang-ruang hatimu
Tenangkan hati
Semua ini bukan salahmu
Jangan berhenti
Yang kau takutkan
Takkan terjadi
Yang dicari hilang
Yang dikejar lari
Yang ditunggu
Yang diharap
Biarkanlah semesta bekerja
Untukmu
Tenangkan hati
Semua ini bukan salahmu
Jangan berhenti
Yang kau takutkan
Takkan terjadi
Kita coba lagi
Untuk lain hari
Kita coba lagi
Yang ditunggu
Yang diharap
Biarkanlah semesta bekerja
Untukmu
Tenangkan hati
Semua ini bukan salahmu
Terus berlari
Yang kau takutkan
Takkan terjadi
vizardan dan 42 lainnya memberi reputasi
41
Kutip
Balas
Tutup