- Beranda
- Stories from the Heart
Diamante
...
TS
robotpintar
Diamante

Quote:
Disclaimer
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Diubah oleh robotpintar 24-03-2025 14:55
ChocoChips098 dan 144 lainnya memberi reputasi
145
203.3K
Kutip
1.9K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#173
003-D Falling Out of Bounds
Spoiler for 003-D Falling Out of Bounds:
Ia tersenyum.
Senyum yang masih terasa janggal.
Gua masih berbaring. Mencoba memisahkan garis samar antara mimpi dan kenyataan. Gua lalu bangkit dengan perlahan, berpindah, duduk bersandar pada dinding tepat di sebelahnya. Entah dorongan dari mana, gua berani-beraninya merebahkan kepala di bahunya.
Lian nggak merespon, ia hanya diam. Begitu pula dengan gua, yang mulai terbius dengan bau parfum-nya yang khas. Dengan irama tarikan napasnya yang tenang dan teratur. Kami sama-sama menatap tembok kontrakan yang putih polos, nggak ada kata-kata yang terucap.
Cukup lama kami tenggelam dalam keheningan, hingga terdengar suara dering ponselnya yang mengganggu. Dengan hati-hati ia mengeluarkan ponsel dari saku celana, menekan tombol di sisi ponsel; membuatnya langsung senyap.
Gua beranjak dari sandaran bahunya, menegakkan duduk sambil merapikan ikatan rambut yang berantakan. Lian bangkit, meraih buku berbahasa Jerman yang tergeletak di lantai, mengembalikannya ke kardus; ke tempatnya semula. Kemudian berdiri dan keluar dari rumah.
Normalnya, gua bakal langsung pergi. Tapi kali ini, gua tetap diam. Hanya duduk mematung dan nggak melakukan apa-apa.
Selang beberapa lama, ia kembali. Kali ini dengan dua botol air mineral dalam genggamannya. Ia kembali duduk, membuka tutup salah satu botol dan menyodorkannya. Tanpa berani menatap wajah, gua meraih botol tersebut dan meminumnya. Mengabaikan ucapan gua dulu; ‘Nggak menerima makanan atau minuman dari orang asing’
Sementara, ia hanya duduk dan menatap gua. Masih dengan senyum yang terasa janggal.
Ia kembali berdiri dan melangkah keluar. Terdengar suara pemantik api berbunyi, disusul aroma asap rokok yang mulai tercium. Gua menghabiskan sisa air mineral di dalam botol lalu beringsut, memakai sepatu; bersiap untuk pulang.
Gua menatapnya sebentar, memperhatikan setiap guratan di wajahnya, lalu melangkah pergi. Pikiran liar berseliweran di kepala, mengaburkan konsentrasi, sampai gua malah terjebak di gang kecil dengan gerombolan soang yang siap memangsa.
“Ck…” Gua berbalik, bersiap untuk kembali untuk memutar jalan.
Namun, Lian sudah berdiri di sana, di ujung gang di belakang gua. Tanpa aba-aba, ia meraih tangan gua dan menggenggamnya. Kemudian mulai menuntun gua melewati jalan dengan gerombolan soang yang terlihat jahat.
Tangan gua semakin erat menggenggam saat seekor soang mulai mendekat, mengeluarkan bunyi-bunyian yang meneror. Namun, Lian malah melambatkan langkah dan mendekatkan tubuhnya ke gua.
Nggak terasa, kami berhasil melewati jalan itu dengan aman, tanpa gangguan.
Ia melonggarkan genggaman, lalu melepasnya. Sementara, gua malah mendongak, menatap wajahnya, seakan mengajukan protes dengan sikapnya barusan.
Saat mulai memasuki komplek perumahan, ia melambatkan langkahnya, mulai memberi jarak di antara kami berdua.
Satu meter,
Dua meter,
Tiga meter,
Kini ia berada tiga meter di belakang gua, tetap berjalan dengan tangan kiri di saku celananya. Sesekali gua menoleh ke belakang, hanya sekedar ingin memastikan kalau ia masih di sana. Gua menoleh semakin sering, begitu sudah dekat dengan rumah.
Gua berhenti tepat di depan pintu pagar, sementara ia diam di bawah tiang lampu tempat biasanya dulu ia berdiri; memandangi jendela kamar. Kami berdua saling menatap dalam diam, sebelum akhirnya gua membuka pagar dan masuk ke dalam.
Begitu berhasil membuka pintu rumah, gua dengan cepat berlari, menaiki tangga, lalu masuk ke dalam kamar. Gua menyibak tirai jendela, kemudian menatap ke luar. Terlihat, Lian masih berdiri di tempatnya, mendongak, menatap ke arah jendela, ke arah gua.
Sekali lagi ia tersenyum, kemudian berbalik pergi. Gua masih berdiri, menggenggam teralis jendela sambil menatapnya menjauh. Senyum ini mulai terkembang, lalu sadar kalau selama ini gua merindukannya.
Perasaan aneh apa ini?
Dan sore itu, gua hanya menghabiskan waktu dengan duduk di lantai kamar, bersandar pada tepian ranjang sambil termenung memikirkan dirinya.
—
“Ih, kok lo bego sih, Fir?”Seru Gaby saat gua bercerita tentang kejadian kemarin, tentang pertemuan kembali gua dengan Lian.
“Iya! Coba kalo lo di apa-apain? Gimana?” Liv ikut nimbrung.
“Nggak, tenang aja…” Jawab gua santai.
“Tenang? Enak aja… ntar kalo lo kenapa-kenapa, kalo lo di apa-apain sama dia, gimana?” Balas Gaby.
“Buktinya? Enggak kan?” Jawab gua.
“Heh, kepala batu… Ngeyel banget lo kalo dibilangin…” Balasnya lagi.
Gua menoleh ke arah Fidel, seakan mencari ‘perlindungan’. Fidel tersenyum sebentar, lalu menggenggam tangan gua dan bicara; “Kalo lo tetep mau ketemu sama dia, paling nggak jangan di kontrakannya Fir…” Ucap Fidel.
“…”
“… Gue sih bukan khawatir lo di apa-apain di kontrakannya. Tapi, gue lebih khawatir sama pandangan orang-orang atau tetangga sekitar. Apa kata mereka kalo ngeliat gadis SMA main ke kontrakan bujangan…” Fidel menambahkan, seperti biasa sarannya selalu terdengar bijak.
“Paling digrebek warga. Mau lo di grebek?” Gaby kembali bicara.
“Lagian, emang lo yakin Del, dia bujangan? kan bisa aja sebenernya di udah beristri, udah punya anak…” Liv menambahkan.
Sementara, gua hanya terdiam mendengar ucapan dari para penasihat-penasihat kehidupan ini. Nasihat yang tentu saja nggak begitu gua gubris.
“Iya, iya, Guys… Tenang aja, gua juga nggak berencana datengin dia lagi kok…” Balas gua.
“…”
“… Kemaren tuh cuma kebetulan aja, kebetulan pas gua ke sana, ke kontrakan, eh dia dateng…” Gua memang nggak berniat menjalin hubungan apapun dengannya. Kami hanya kembali bertemu setelah nggak berjumpa sekian lama.
“…”
“… Lagian, Kalian kan tau gue. Mana mungkin gue suka sama dia…” Gua menambahkan. Yakin kalau mereka bertiga paham kalau gua nggak percaya sama cinta. Mereka juga tau tentang pengalaman gua dengan cowok selama ini, di mana gua selalu menghindar, nggak mau terlibat terlalu jauh dengan yang namanya cinta.
“Iya kita ngerti. Kita tuh cuma nggak mau lo kenapa-kenapa, Fir. Kita tuh cuma khawatir…” Liv buka suara, menjelaskan maksud ucapannya tadi.
“Ya bagus deh, kalo lo nggak berencana ketemu lagi sama dia…” Gaby menambahkan.
“…”
“… Tapi, seandainya dia melakukan hal yang sama kayak waktu itu, gimana?” Tanya Gaby.
“…”
“… Lo bakal lapor ke Nyokap lagi?” Tambahnya.
“Pasti!!” Gua menjawab yakin.
Pertemuan kembali gua dengan Lian kemarin tentu hanya gua ceritakan ke The Lontongers. Nggak punya keberanian dan nyali untuk memberitahu Nyokap. Takut, ia akan marah dan malah merealisasikan ancamannya waktu itu; melaporkan Lian ke polisi.
Nah, ini yang menjadi misteri. Kenapa gua harus takut?
—
Beberapa hari berselang,
Sore itu, Gua yang tengah asyik berlatih gerakan-gerakan tari tanpa musik dikejutkan dengan suara benturan benda kecil di kaca jendela kamar. Gua mendekat, dan melihat ke luar, ke bawah. Lian nampak menatap gua sambil melambaikan tangannya, memberi kode agar gua keluar.
Gua terdiam, lalu entah apa yang merasuki pikiran; gua mengangguk.
Tau kalau ia nggak bisa mendengar, tapi gua tetap mencoba berbicara seraya menggerakan tangan; memberi kode; “Aku mau mandi dulu…”
Di sana, di bawah sana, Lian mengangguk sambil mengacungkan ibu jarinya ke atas, seakan paham dengan ucapan gua barusan. Gua berbalik, meraih handuk dan bergegas menuju ke kamar mandi, kali ini sambil bersenandung; girang.
Saat kaki gua melangkah keluar, di saat yang sama gua merasa mengkhianati Gaby, Liv dan Fidel; membohongi mereka. Namun nggak ada penyesalan, nggak ada kesedihan, gua dengan kesadaran penuh keluar dari rumah, melintasi gerbang dan melangkah mendekat ke arahnya. Kali ini ia terlihat berbeda. Dengan kaos berlengan panjang dan celana kargo berwarna hijau selutut; ia nampak keren.
Sama seperti kemarin, kami nggak saling bicara dan berjalan dengan menjaga jarak. Ia berada di depan, sementara gua beberapa meter di belakang. Gua menatapnya yang berjalan di depan. Jarak di antara kami tetap ada, tapi nggak lagi terasa jauh. Gua udah nggak bisa bohong ke diri sendiri, gua mulai merasa nyaman.
Kami terus berjalan, menyusuri jalan komplek yang sepi hingga keluar ke jalan utama. Ia membawa gua ke arah yang sama dengan tempat sebelumnya kami membeli obeng di toko listrik. Bedanya, kali ini kami berjalan lebih jauh hingga ke ujung ruko, lalu berhenti tepat di depan kios yang menjual mie ayam.
Untuk pertama kalinya sejak pertemuan kedua kami; ia bicara.
“Mie ayam gapapa kan?” Tanyanya.
“Gapapa…” Gua menjawab sambil menundukkan kepala.
Suasana kios sangat ramai, saking ramainya hampir nggak ada tempat duduk yang tersisa untuk kami berdua. Lian berbalik, bersiap keluar dari kios; seakan nggak mau memasuki kios yang ramai. Namun, gua dengan cepat menahannya dengan meraih tangan.
“Mau kemana?” Tanya gua.
“Di tempat lain aja” Jawabnya.
“Kenapa?”
“Kamu gapapa rame begini?”
“Gapapa…” Jawab gua singkat.
“Oh…” Ia lantas bicara kesalah seorang pelayan yang berada di sana. Lalu kembali ke gua sambil membawa bungkusan rempeyek udang yang diambilnya dari dalam kedai. Membuka bungkusan dan menyerahkannya ke gua; “Makan ini dulu kalo laper…”
“Kamu?”
“Aku nggak begitu laper” Jawabnya.
“Lho terus ngapain ngajak kesini?”
“Mau ngetes aja, kamu udah mau belum kalo aku ajak makan”
“Serius? Ini cuma ngetes doang?” Tanya gua.
“Ya sekalian nyobain, kata orang mie ayam di sini enak..”
“….” Gua nggak bisa berkata-kata, cukup shock dengan alasannya yang pertama tadi.
Salah satu pelayan kedai keluar sambil membawa tumpukan kursi plastik
“Nunggu sebentar gapapa kan kak?” Tanya si pelayan.
“Gapapa…” Lian menjawab.
Nggak cuma kami berdua, nggak lama berselang mulai bermunculan pelanggan-pelanggan lain yang bernasib sama; kehabisan tempat dan harus menunggu. Maklum, ini memang salah satu mie ayam terbaik yang ada di sekitar sini. Mie ayam asli Bangka yang rasanya otentik.
Kami duduk di atas kursi plastik, bersisian, sambil menatap ke halaman ruko yang dipenuhi sepeda motor milik para pelanggan. Ia mengeluarkan sebatang rokok dan pemantik api. Namun, nggak kunjung disulutnya. Batang rokok yang hanya dimainkan, diputarnya di sela-sela jari tangan.
“Ngerokok aja, gapapa…” Ucap gua sambil menunjuk ke arah batang rokok di tangannya,
“Nanti aja…” Jawabnya.
Setelah menunggu sekitar 10 menit, kami akhirnya mendapat kesempatan masuk ke dalam kedai. Walaupun kenyataannya, kami masih harus menunggu lagi untuk mendapat porsi mie ayam bangka yang kami pesan. Tapi, semua terbayar lunas dengan rasa mie ayam yang nggak ada duanya.
Sementara gua hampir menghabiskan setengah porsi, Lian belum menyentuh porsinya sama sekali. Ia hanya diam dan menatap ke arah mie di hadapannya.
“Kenapa? nggak laper?” Tanya gua.
“Masih panas” Jawabnya.
“Kan bisa ditiup”
Ia menyeringai sebentar lalu menjawab; “Ditiup? Cuma orang bar-bar yang niup makanan karena nggak punya kesabaran…’
Mendengar jawabannya, gua lantas berhenti meniup dan mulai makan dengan perlahan.
“Kenapa kamu mau?” Tiba-tiba ia bertanya.
“Mau apa?” Gua balik bertanya.
“Mau aku ajak keluar”
“Oh… Rahasia” Jawab gua. Bukan gua nggak mau menjawab, tapi sampai saat ini gua memang nggak punya jawabannya.
“Bukan karena rindu kan?” Tanyanya sambil cengegesan.
“Anjir, nggak lah…” Jawab gua seraya mencoba menutupi wajah yang mulai memerah.
“Hahaha…”
“Kalo kamu, kenapa kamu tiba-tiba ilang?” Tanya gua.
“Oh… Rahasia. Hehehehe….” Ia menjawab dengan gaya yang sama dengan gua, seakan ingin membalas dendam.
Setelah selesai makan, Lian mengantarkan gua pulang ke rumah. Lewat jalan yang sama dengan metode yang mirip, dimana gua berjalan lebih dulu, sementara ia mengikuti di belakang.
Hari-hari berikutnya, walau tanpa membuat janji, tanpa bertukar pesan, kami kerap bertemu. Pagi hari, ia sudah menunggu di depan rumah, mengantar gua hingga ke gerbang komplek depan. Dimana, gua akan naik ojek langganan hingga ke sekolah. Begitu juga saat pulang sekolah, ia sudah berdiri menunggu gua di tikungan dekat rumah Gaby. Hal ini berlangsung cukup lama. Tanpa sepengetahuan The Lontongers dan tentu saja Nyokap.
Sampai di momen itu, gua sudah banyak bercerita tentangnya; tentang hidup gua, tentang The Lontongers, tentang hobi menari gua dan banyak hal lainnya. Hanya saja gua belum punya keberanian untuk memberitahunya tentang epilepsi yang gua idap. Sementara, gua justru nggak tau banyak tentang dirinya, sepertinya ia sengaja menutup rapat-rapat masa lalunya, bersembunyi dan hidup dalam bayang-bayang masa sekarang.
Sore itu, seperti biasa ia sudah menunggu gua dekat tikungan rumah Gaby. Gua tersenyum dan mempercepat langkah ke arahnya.
“Sore…” Sapanya sambil membalas senyum.
“Sore….” Balas gua.
“Kok lama banget pulangnya?”
“Iya, tadi ada rapat osis dulu…” Jawab gua.
“Oh…”
Gua menghentikan langkah dan menatapnya. “Jangan bilang kamu nunggu dari tadi?”
“…” Lian nggak menjawab, ia hanya terus tersenyum.
“… Dari jam berapa?” Tanya gua.
“Jam 3…” Jawabnya santai, gua mengeluarkan ponsel dan menatap layarnya yang menampilkan jam digital; 04:00 WIB.
“Tuh kan, emang nggak capek nunggu sejam?”
“Aku udah biasa nunggu," katanya santai. Tapi gua bisa lihat tangannya sibuk mengacak-acak rambutnya sendiri; mungkin sejatinya dia nggak begitu suka menunggu.
“Udah sini mana nomor kamu, besok-besok aku kabarin lewat chat aja…” Ucap gua.
“Yakin? Waktu itu kamu nggak mau, takut ketahuan Mamah?” Tanyanya, memastikan.
Iya, gua memang sengaja nggak mau bertukar nomor ponsel, takut Nyokap yang sering memeriksa ponsel tau akan ‘hubungan’ kami berdua. Tapi, di sisi lain, gua juga nggak mau dia seperti ini, menunggu terlalu lama tanpa mendapat kabar dari gua. Dan, gua kayaknya juga mulai butuh tau kabar darinya.
“Sekarang beda..” Jawab gua, sambil mengadahkan tangan, meminta ponselnya.
Ia mengeluarkan ponsel dan menyerahkannya; Ponsel tanpa kunci layar; “Serius nggak ada kodenya?” tanya gua.
“Buka kuncinya” Pinta gua, memintanya untuk membuka kode ponsel.
“Nggak ada kodenya…” Jawabnya.
“Hah? kenapa? nanti kalo ilang gimana?” Tanya gua.
“Ya gapapa, barang di dunia kalo nggak ilang ya rusak. Sama kayak manusia; kalo nggak sakit ya mati…” Jawabnya.
“Idih, apaan sih serem banget…” Balas gua, lalu mulai memasukkan nomor ponsel gua ke kontaknya. Kemudian, tanpa sepengetahuannya gua mulai membuka daftar kontak di ponselnya yang hanya terdiri dari empat kontak, empat kontak yang semuanya ditulis dengan menggunakan inisial.
“Kontak kamu cuma empat?” Tanya gua, penasaran.
“Iya…”
“Kenapa?”
“Apanya yang kenapa?”
“Kenapa kontak di HP kamu cuma empat?” Tanya gua lagi.
“Ya karena cuma empat kontak itu yang sering aku hubungi dan menghubungi aku…” Jawabnya, sederhana.
“Lho, berarti temen kamu cuma empat ini doang?” Tanya gua lagi.
“Enggak lah, banyak kok…”
“Terus kenapa yang di-save empat?”
“Ada berapa kontak di HP kamu?” Ia malah balik bertanya.
“Banyak”
“Berapa? 100? 200?”
“Lebih, mungkin 300-an…” Jawab gua, mengira-ngira.
“Dari 300-an kontak di HP kamu, paling cuma empat atau paling banyak 8 kontak yang sering kamu hubungi…”
“…”
“… Aku yakin, ada lebih dari 100 kontak di HP kamu yang bahkan kamu nggak kenal-kenal banget sama orangnya, dan nggak pernah sekalipun telpon atau kirim chat” Tambahnya.
“Iya lagi…” Gumam gua pelan, mengamini ucapannya.
“…”
“… Ya tapi kan nggak ada salahnya, siapa tau suatu saat perlu” Gua menambahkan, nggak mau kalah.
“Kapan?” Tanyanya.
“Ah, nggak tau ah… bodo amat. Nih, udah aku masukin nomor aku…” Balas gua, lalu menghubungi nomor gua sendiri dengan ponselnya. Kemudian memberinya nama; ‘L’
“Berarti aku udah boleh chat atau telpon kamu?” Tanyanya.
“Chat aja, jangan telpon…” Jawab gua, takutnya ia menelpon saat gua tengah bersama The Lontongers atau parahnya saat bersama Nyokap.
“Terus kalau rindu, gimana?” Tanyanya.
Tiba-tiba saja gua terdiam dan menghentikan langkah begitu mendengar pertanyaannya barusan. ‘Pertanyaan macam apa itu?’ Batin gua.
Sadar kalau gua sudah nggak berada di sampingnya, ia menoleh ke arah gua dan bertanya; “Kenapa?”
“Kita ini sebenernya apa sih?” Tanya gua sambil pasang tampang serius.
Ia nggak memberi jawaban, hanya kembali mendekat, meraih tangan gua dan menggenggamnya.
Gua tau, sejak awal gua memang sudah jatuh hati kepadanya. Tapi, ada bagian di dalam dada yang berusaha keras menolaknya. Berusaha menghindar dan mengingkarinya. Namun, semakin hari perasaan ini semakin sulit dibendung, dan kini hampir mustahil untuk dilawan.
—
Malam harinya, ia benar-benar mengirimkan pesan ke gua. Pesan yang isinya begitu mengejutkan dan nggak diduga-duga.
‘Nanti Sabtu mau nggak pergi keluar?’
‘Keluar? kmn?’ Balas gua.
‘Nonton? atau Makan?’ Balasnya lagi.
Sesaat gua tertegun, kedua kaki nggak berhenti bergoyang, sementara jari tangan gua bergetar tepat di atas layar ponsel. ‘Duh gimana nih?’ batin gua.
Gua mulai mengetik; ‘Mauuuuuu….’ tapi membatalkan dan menghapusnya karena terdengar terlalu agresif.
Gua mengetik balasan lain; ‘Boleh…’ tapi kembali menghapusnya, masih terdengar kegatelan.
Gua mengetik balasan lain; ‘Nonton apa?’ tapi kembali menghapisnya, walaupun berupa kalimat tanya, tapi rasa-rasanya masih terdengar gampangan.
‘Ini km ngajak nge-date?’ Nah, ini sepertinya cukup tepat. Nggak terdengar agresif tapi juga bukan kalimat penolakan. Lalu mengirimnya.
Nggak lama berselang, masuk pesan balasan darinya; ‘Iya, mau?’
Gua langsung bersorak sambil mengepalkan tangan ke udara begitu mendapat pesan yang amat singkat tersebut, kemudian membalasnya; ‘Mauuuuuu….’ Sudah nggak peduli lagi walaupun terdengar agresif.
---
Senyum yang masih terasa janggal.
Gua masih berbaring. Mencoba memisahkan garis samar antara mimpi dan kenyataan. Gua lalu bangkit dengan perlahan, berpindah, duduk bersandar pada dinding tepat di sebelahnya. Entah dorongan dari mana, gua berani-beraninya merebahkan kepala di bahunya.
Lian nggak merespon, ia hanya diam. Begitu pula dengan gua, yang mulai terbius dengan bau parfum-nya yang khas. Dengan irama tarikan napasnya yang tenang dan teratur. Kami sama-sama menatap tembok kontrakan yang putih polos, nggak ada kata-kata yang terucap.
Cukup lama kami tenggelam dalam keheningan, hingga terdengar suara dering ponselnya yang mengganggu. Dengan hati-hati ia mengeluarkan ponsel dari saku celana, menekan tombol di sisi ponsel; membuatnya langsung senyap.
Gua beranjak dari sandaran bahunya, menegakkan duduk sambil merapikan ikatan rambut yang berantakan. Lian bangkit, meraih buku berbahasa Jerman yang tergeletak di lantai, mengembalikannya ke kardus; ke tempatnya semula. Kemudian berdiri dan keluar dari rumah.
Normalnya, gua bakal langsung pergi. Tapi kali ini, gua tetap diam. Hanya duduk mematung dan nggak melakukan apa-apa.
Selang beberapa lama, ia kembali. Kali ini dengan dua botol air mineral dalam genggamannya. Ia kembali duduk, membuka tutup salah satu botol dan menyodorkannya. Tanpa berani menatap wajah, gua meraih botol tersebut dan meminumnya. Mengabaikan ucapan gua dulu; ‘Nggak menerima makanan atau minuman dari orang asing’
Sementara, ia hanya duduk dan menatap gua. Masih dengan senyum yang terasa janggal.
Ia kembali berdiri dan melangkah keluar. Terdengar suara pemantik api berbunyi, disusul aroma asap rokok yang mulai tercium. Gua menghabiskan sisa air mineral di dalam botol lalu beringsut, memakai sepatu; bersiap untuk pulang.
Gua menatapnya sebentar, memperhatikan setiap guratan di wajahnya, lalu melangkah pergi. Pikiran liar berseliweran di kepala, mengaburkan konsentrasi, sampai gua malah terjebak di gang kecil dengan gerombolan soang yang siap memangsa.
“Ck…” Gua berbalik, bersiap untuk kembali untuk memutar jalan.
Namun, Lian sudah berdiri di sana, di ujung gang di belakang gua. Tanpa aba-aba, ia meraih tangan gua dan menggenggamnya. Kemudian mulai menuntun gua melewati jalan dengan gerombolan soang yang terlihat jahat.
Tangan gua semakin erat menggenggam saat seekor soang mulai mendekat, mengeluarkan bunyi-bunyian yang meneror. Namun, Lian malah melambatkan langkah dan mendekatkan tubuhnya ke gua.
Nggak terasa, kami berhasil melewati jalan itu dengan aman, tanpa gangguan.
Ia melonggarkan genggaman, lalu melepasnya. Sementara, gua malah mendongak, menatap wajahnya, seakan mengajukan protes dengan sikapnya barusan.
Saat mulai memasuki komplek perumahan, ia melambatkan langkahnya, mulai memberi jarak di antara kami berdua.
Satu meter,
Dua meter,
Tiga meter,
Kini ia berada tiga meter di belakang gua, tetap berjalan dengan tangan kiri di saku celananya. Sesekali gua menoleh ke belakang, hanya sekedar ingin memastikan kalau ia masih di sana. Gua menoleh semakin sering, begitu sudah dekat dengan rumah.
Gua berhenti tepat di depan pintu pagar, sementara ia diam di bawah tiang lampu tempat biasanya dulu ia berdiri; memandangi jendela kamar. Kami berdua saling menatap dalam diam, sebelum akhirnya gua membuka pagar dan masuk ke dalam.
Begitu berhasil membuka pintu rumah, gua dengan cepat berlari, menaiki tangga, lalu masuk ke dalam kamar. Gua menyibak tirai jendela, kemudian menatap ke luar. Terlihat, Lian masih berdiri di tempatnya, mendongak, menatap ke arah jendela, ke arah gua.
Sekali lagi ia tersenyum, kemudian berbalik pergi. Gua masih berdiri, menggenggam teralis jendela sambil menatapnya menjauh. Senyum ini mulai terkembang, lalu sadar kalau selama ini gua merindukannya.
Perasaan aneh apa ini?
Dan sore itu, gua hanya menghabiskan waktu dengan duduk di lantai kamar, bersandar pada tepian ranjang sambil termenung memikirkan dirinya.
—
“Ih, kok lo bego sih, Fir?”Seru Gaby saat gua bercerita tentang kejadian kemarin, tentang pertemuan kembali gua dengan Lian.
“Iya! Coba kalo lo di apa-apain? Gimana?” Liv ikut nimbrung.
“Nggak, tenang aja…” Jawab gua santai.
“Tenang? Enak aja… ntar kalo lo kenapa-kenapa, kalo lo di apa-apain sama dia, gimana?” Balas Gaby.
“Buktinya? Enggak kan?” Jawab gua.
“Heh, kepala batu… Ngeyel banget lo kalo dibilangin…” Balasnya lagi.
Gua menoleh ke arah Fidel, seakan mencari ‘perlindungan’. Fidel tersenyum sebentar, lalu menggenggam tangan gua dan bicara; “Kalo lo tetep mau ketemu sama dia, paling nggak jangan di kontrakannya Fir…” Ucap Fidel.
“…”
“… Gue sih bukan khawatir lo di apa-apain di kontrakannya. Tapi, gue lebih khawatir sama pandangan orang-orang atau tetangga sekitar. Apa kata mereka kalo ngeliat gadis SMA main ke kontrakan bujangan…” Fidel menambahkan, seperti biasa sarannya selalu terdengar bijak.
“Paling digrebek warga. Mau lo di grebek?” Gaby kembali bicara.
“Lagian, emang lo yakin Del, dia bujangan? kan bisa aja sebenernya di udah beristri, udah punya anak…” Liv menambahkan.
Sementara, gua hanya terdiam mendengar ucapan dari para penasihat-penasihat kehidupan ini. Nasihat yang tentu saja nggak begitu gua gubris.
“Iya, iya, Guys… Tenang aja, gua juga nggak berencana datengin dia lagi kok…” Balas gua.
“…”
“… Kemaren tuh cuma kebetulan aja, kebetulan pas gua ke sana, ke kontrakan, eh dia dateng…” Gua memang nggak berniat menjalin hubungan apapun dengannya. Kami hanya kembali bertemu setelah nggak berjumpa sekian lama.
“…”
“… Lagian, Kalian kan tau gue. Mana mungkin gue suka sama dia…” Gua menambahkan. Yakin kalau mereka bertiga paham kalau gua nggak percaya sama cinta. Mereka juga tau tentang pengalaman gua dengan cowok selama ini, di mana gua selalu menghindar, nggak mau terlibat terlalu jauh dengan yang namanya cinta.
“Iya kita ngerti. Kita tuh cuma nggak mau lo kenapa-kenapa, Fir. Kita tuh cuma khawatir…” Liv buka suara, menjelaskan maksud ucapannya tadi.
“Ya bagus deh, kalo lo nggak berencana ketemu lagi sama dia…” Gaby menambahkan.
“…”
“… Tapi, seandainya dia melakukan hal yang sama kayak waktu itu, gimana?” Tanya Gaby.
“…”
“… Lo bakal lapor ke Nyokap lagi?” Tambahnya.
“Pasti!!” Gua menjawab yakin.
Pertemuan kembali gua dengan Lian kemarin tentu hanya gua ceritakan ke The Lontongers. Nggak punya keberanian dan nyali untuk memberitahu Nyokap. Takut, ia akan marah dan malah merealisasikan ancamannya waktu itu; melaporkan Lian ke polisi.
Nah, ini yang menjadi misteri. Kenapa gua harus takut?
—
Beberapa hari berselang,
Sore itu, Gua yang tengah asyik berlatih gerakan-gerakan tari tanpa musik dikejutkan dengan suara benturan benda kecil di kaca jendela kamar. Gua mendekat, dan melihat ke luar, ke bawah. Lian nampak menatap gua sambil melambaikan tangannya, memberi kode agar gua keluar.
Gua terdiam, lalu entah apa yang merasuki pikiran; gua mengangguk.
Tau kalau ia nggak bisa mendengar, tapi gua tetap mencoba berbicara seraya menggerakan tangan; memberi kode; “Aku mau mandi dulu…”
Di sana, di bawah sana, Lian mengangguk sambil mengacungkan ibu jarinya ke atas, seakan paham dengan ucapan gua barusan. Gua berbalik, meraih handuk dan bergegas menuju ke kamar mandi, kali ini sambil bersenandung; girang.
Saat kaki gua melangkah keluar, di saat yang sama gua merasa mengkhianati Gaby, Liv dan Fidel; membohongi mereka. Namun nggak ada penyesalan, nggak ada kesedihan, gua dengan kesadaran penuh keluar dari rumah, melintasi gerbang dan melangkah mendekat ke arahnya. Kali ini ia terlihat berbeda. Dengan kaos berlengan panjang dan celana kargo berwarna hijau selutut; ia nampak keren.
Sama seperti kemarin, kami nggak saling bicara dan berjalan dengan menjaga jarak. Ia berada di depan, sementara gua beberapa meter di belakang. Gua menatapnya yang berjalan di depan. Jarak di antara kami tetap ada, tapi nggak lagi terasa jauh. Gua udah nggak bisa bohong ke diri sendiri, gua mulai merasa nyaman.
Kami terus berjalan, menyusuri jalan komplek yang sepi hingga keluar ke jalan utama. Ia membawa gua ke arah yang sama dengan tempat sebelumnya kami membeli obeng di toko listrik. Bedanya, kali ini kami berjalan lebih jauh hingga ke ujung ruko, lalu berhenti tepat di depan kios yang menjual mie ayam.
Untuk pertama kalinya sejak pertemuan kedua kami; ia bicara.
“Mie ayam gapapa kan?” Tanyanya.
“Gapapa…” Gua menjawab sambil menundukkan kepala.
Suasana kios sangat ramai, saking ramainya hampir nggak ada tempat duduk yang tersisa untuk kami berdua. Lian berbalik, bersiap keluar dari kios; seakan nggak mau memasuki kios yang ramai. Namun, gua dengan cepat menahannya dengan meraih tangan.
“Mau kemana?” Tanya gua.
“Di tempat lain aja” Jawabnya.
“Kenapa?”
“Kamu gapapa rame begini?”
“Gapapa…” Jawab gua singkat.
“Oh…” Ia lantas bicara kesalah seorang pelayan yang berada di sana. Lalu kembali ke gua sambil membawa bungkusan rempeyek udang yang diambilnya dari dalam kedai. Membuka bungkusan dan menyerahkannya ke gua; “Makan ini dulu kalo laper…”
“Kamu?”
“Aku nggak begitu laper” Jawabnya.
“Lho terus ngapain ngajak kesini?”
“Mau ngetes aja, kamu udah mau belum kalo aku ajak makan”
“Serius? Ini cuma ngetes doang?” Tanya gua.
“Ya sekalian nyobain, kata orang mie ayam di sini enak..”
“….” Gua nggak bisa berkata-kata, cukup shock dengan alasannya yang pertama tadi.
Salah satu pelayan kedai keluar sambil membawa tumpukan kursi plastik
“Nunggu sebentar gapapa kan kak?” Tanya si pelayan.
“Gapapa…” Lian menjawab.
Nggak cuma kami berdua, nggak lama berselang mulai bermunculan pelanggan-pelanggan lain yang bernasib sama; kehabisan tempat dan harus menunggu. Maklum, ini memang salah satu mie ayam terbaik yang ada di sekitar sini. Mie ayam asli Bangka yang rasanya otentik.
Kami duduk di atas kursi plastik, bersisian, sambil menatap ke halaman ruko yang dipenuhi sepeda motor milik para pelanggan. Ia mengeluarkan sebatang rokok dan pemantik api. Namun, nggak kunjung disulutnya. Batang rokok yang hanya dimainkan, diputarnya di sela-sela jari tangan.
“Ngerokok aja, gapapa…” Ucap gua sambil menunjuk ke arah batang rokok di tangannya,
“Nanti aja…” Jawabnya.
Setelah menunggu sekitar 10 menit, kami akhirnya mendapat kesempatan masuk ke dalam kedai. Walaupun kenyataannya, kami masih harus menunggu lagi untuk mendapat porsi mie ayam bangka yang kami pesan. Tapi, semua terbayar lunas dengan rasa mie ayam yang nggak ada duanya.
Sementara gua hampir menghabiskan setengah porsi, Lian belum menyentuh porsinya sama sekali. Ia hanya diam dan menatap ke arah mie di hadapannya.
“Kenapa? nggak laper?” Tanya gua.
“Masih panas” Jawabnya.
“Kan bisa ditiup”
Ia menyeringai sebentar lalu menjawab; “Ditiup? Cuma orang bar-bar yang niup makanan karena nggak punya kesabaran…’
Mendengar jawabannya, gua lantas berhenti meniup dan mulai makan dengan perlahan.
“Kenapa kamu mau?” Tiba-tiba ia bertanya.
“Mau apa?” Gua balik bertanya.
“Mau aku ajak keluar”
“Oh… Rahasia” Jawab gua. Bukan gua nggak mau menjawab, tapi sampai saat ini gua memang nggak punya jawabannya.
“Bukan karena rindu kan?” Tanyanya sambil cengegesan.
“Anjir, nggak lah…” Jawab gua seraya mencoba menutupi wajah yang mulai memerah.
“Hahaha…”
“Kalo kamu, kenapa kamu tiba-tiba ilang?” Tanya gua.
“Oh… Rahasia. Hehehehe….” Ia menjawab dengan gaya yang sama dengan gua, seakan ingin membalas dendam.
Setelah selesai makan, Lian mengantarkan gua pulang ke rumah. Lewat jalan yang sama dengan metode yang mirip, dimana gua berjalan lebih dulu, sementara ia mengikuti di belakang.
Hari-hari berikutnya, walau tanpa membuat janji, tanpa bertukar pesan, kami kerap bertemu. Pagi hari, ia sudah menunggu di depan rumah, mengantar gua hingga ke gerbang komplek depan. Dimana, gua akan naik ojek langganan hingga ke sekolah. Begitu juga saat pulang sekolah, ia sudah berdiri menunggu gua di tikungan dekat rumah Gaby. Hal ini berlangsung cukup lama. Tanpa sepengetahuan The Lontongers dan tentu saja Nyokap.
Sampai di momen itu, gua sudah banyak bercerita tentangnya; tentang hidup gua, tentang The Lontongers, tentang hobi menari gua dan banyak hal lainnya. Hanya saja gua belum punya keberanian untuk memberitahunya tentang epilepsi yang gua idap. Sementara, gua justru nggak tau banyak tentang dirinya, sepertinya ia sengaja menutup rapat-rapat masa lalunya, bersembunyi dan hidup dalam bayang-bayang masa sekarang.
Sore itu, seperti biasa ia sudah menunggu gua dekat tikungan rumah Gaby. Gua tersenyum dan mempercepat langkah ke arahnya.
“Sore…” Sapanya sambil membalas senyum.
“Sore….” Balas gua.
“Kok lama banget pulangnya?”
“Iya, tadi ada rapat osis dulu…” Jawab gua.
“Oh…”
Gua menghentikan langkah dan menatapnya. “Jangan bilang kamu nunggu dari tadi?”
“…” Lian nggak menjawab, ia hanya terus tersenyum.
“… Dari jam berapa?” Tanya gua.
“Jam 3…” Jawabnya santai, gua mengeluarkan ponsel dan menatap layarnya yang menampilkan jam digital; 04:00 WIB.
“Tuh kan, emang nggak capek nunggu sejam?”
“Aku udah biasa nunggu," katanya santai. Tapi gua bisa lihat tangannya sibuk mengacak-acak rambutnya sendiri; mungkin sejatinya dia nggak begitu suka menunggu.
“Udah sini mana nomor kamu, besok-besok aku kabarin lewat chat aja…” Ucap gua.
“Yakin? Waktu itu kamu nggak mau, takut ketahuan Mamah?” Tanyanya, memastikan.
Iya, gua memang sengaja nggak mau bertukar nomor ponsel, takut Nyokap yang sering memeriksa ponsel tau akan ‘hubungan’ kami berdua. Tapi, di sisi lain, gua juga nggak mau dia seperti ini, menunggu terlalu lama tanpa mendapat kabar dari gua. Dan, gua kayaknya juga mulai butuh tau kabar darinya.
“Sekarang beda..” Jawab gua, sambil mengadahkan tangan, meminta ponselnya.
Ia mengeluarkan ponsel dan menyerahkannya; Ponsel tanpa kunci layar; “Serius nggak ada kodenya?” tanya gua.
“Buka kuncinya” Pinta gua, memintanya untuk membuka kode ponsel.
“Nggak ada kodenya…” Jawabnya.
“Hah? kenapa? nanti kalo ilang gimana?” Tanya gua.
“Ya gapapa, barang di dunia kalo nggak ilang ya rusak. Sama kayak manusia; kalo nggak sakit ya mati…” Jawabnya.
“Idih, apaan sih serem banget…” Balas gua, lalu mulai memasukkan nomor ponsel gua ke kontaknya. Kemudian, tanpa sepengetahuannya gua mulai membuka daftar kontak di ponselnya yang hanya terdiri dari empat kontak, empat kontak yang semuanya ditulis dengan menggunakan inisial.
“Kontak kamu cuma empat?” Tanya gua, penasaran.
“Iya…”
“Kenapa?”
“Apanya yang kenapa?”
“Kenapa kontak di HP kamu cuma empat?” Tanya gua lagi.
“Ya karena cuma empat kontak itu yang sering aku hubungi dan menghubungi aku…” Jawabnya, sederhana.
“Lho, berarti temen kamu cuma empat ini doang?” Tanya gua lagi.
“Enggak lah, banyak kok…”
“Terus kenapa yang di-save empat?”
“Ada berapa kontak di HP kamu?” Ia malah balik bertanya.
“Banyak”
“Berapa? 100? 200?”
“Lebih, mungkin 300-an…” Jawab gua, mengira-ngira.
“Dari 300-an kontak di HP kamu, paling cuma empat atau paling banyak 8 kontak yang sering kamu hubungi…”
“…”
“… Aku yakin, ada lebih dari 100 kontak di HP kamu yang bahkan kamu nggak kenal-kenal banget sama orangnya, dan nggak pernah sekalipun telpon atau kirim chat” Tambahnya.
“Iya lagi…” Gumam gua pelan, mengamini ucapannya.
“…”
“… Ya tapi kan nggak ada salahnya, siapa tau suatu saat perlu” Gua menambahkan, nggak mau kalah.
“Kapan?” Tanyanya.
“Ah, nggak tau ah… bodo amat. Nih, udah aku masukin nomor aku…” Balas gua, lalu menghubungi nomor gua sendiri dengan ponselnya. Kemudian memberinya nama; ‘L’
“Berarti aku udah boleh chat atau telpon kamu?” Tanyanya.
“Chat aja, jangan telpon…” Jawab gua, takutnya ia menelpon saat gua tengah bersama The Lontongers atau parahnya saat bersama Nyokap.
“Terus kalau rindu, gimana?” Tanyanya.
Tiba-tiba saja gua terdiam dan menghentikan langkah begitu mendengar pertanyaannya barusan. ‘Pertanyaan macam apa itu?’ Batin gua.
Sadar kalau gua sudah nggak berada di sampingnya, ia menoleh ke arah gua dan bertanya; “Kenapa?”
“Kita ini sebenernya apa sih?” Tanya gua sambil pasang tampang serius.
Ia nggak memberi jawaban, hanya kembali mendekat, meraih tangan gua dan menggenggamnya.
Gua tau, sejak awal gua memang sudah jatuh hati kepadanya. Tapi, ada bagian di dalam dada yang berusaha keras menolaknya. Berusaha menghindar dan mengingkarinya. Namun, semakin hari perasaan ini semakin sulit dibendung, dan kini hampir mustahil untuk dilawan.
—
Malam harinya, ia benar-benar mengirimkan pesan ke gua. Pesan yang isinya begitu mengejutkan dan nggak diduga-duga.
‘Nanti Sabtu mau nggak pergi keluar?’
‘Keluar? kmn?’ Balas gua.
‘Nonton? atau Makan?’ Balasnya lagi.
Sesaat gua tertegun, kedua kaki nggak berhenti bergoyang, sementara jari tangan gua bergetar tepat di atas layar ponsel. ‘Duh gimana nih?’ batin gua.
Gua mulai mengetik; ‘Mauuuuuu….’ tapi membatalkan dan menghapusnya karena terdengar terlalu agresif.
Gua mengetik balasan lain; ‘Boleh…’ tapi kembali menghapusnya, masih terdengar kegatelan.
Gua mengetik balasan lain; ‘Nonton apa?’ tapi kembali menghapisnya, walaupun berupa kalimat tanya, tapi rasa-rasanya masih terdengar gampangan.
‘Ini km ngajak nge-date?’ Nah, ini sepertinya cukup tepat. Nggak terdengar agresif tapi juga bukan kalimat penolakan. Lalu mengirimnya.
Nggak lama berselang, masuk pesan balasan darinya; ‘Iya, mau?’
Gua langsung bersorak sambil mengepalkan tangan ke udara begitu mendapat pesan yang amat singkat tersebut, kemudian membalasnya; ‘Mauuuuuu….’ Sudah nggak peduli lagi walaupun terdengar agresif.
---
Stay - BlackPink
툭하면 거친 말들로
내 맘에 상처를 내놓고
미안하단 말 한마디 없이
또 나 혼자 위로하고
오늘 하루도 혹시
날 떠날까 늘 불안해 해
I just want you to stay
점점 무뎌져 가는
너의 그 무표정 속에
천천히 내려놓자며
거울에 속삭이곤 해
날 당연하게 생각하는 너지만
그게 너다워 그래도
Stay stay stay with me
널 닮은 듯한 슬픈 멜로디
이렇게 날 울리는데 eh eh
네 향기는 달콤한 felony
너무 밉지만 사랑해
어두운 밤이 날 가두기 전에
내 곁을 떠나지마
아직 날 사랑하니 내 맘과 같다면
오늘은 떠나지마
굳이 너여야만 하는 이유는 묻지마
그저 내 곁에 stay with me
fakecrash dan 39 lainnya memberi reputasi
40
Kutip
Balas
Tutup