- Beranda
- Stories from the Heart
Diamante
...
TS
robotpintar
Diamante

Quote:
Disclaimer
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Diubah oleh robotpintar 24-03-2025 14:55
ChocoChips098 dan 144 lainnya memberi reputasi
145
203.3K
Kutip
1.9K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#117
003-A Unseen
Spoiler for 003-A Unseen:
“… Kenalin; Lian”Tambahnya, masih tetap menyeringai, sementara tangannya masih tetap ia julurkan, masih menunggu respon gua.
‘Hah? ‘kenalin’ gaya berkenalan macam apa itu? jadul banget kayaknya’ Batin gua, saat mendengar ia bicara menyebutkan namanya.
Gua bergeming, hanya tetap diam dan terus menatap ke arahnya. Pria ini, pria yang berdiri di depan gua saat ini, pria yang mungkin usianya kira-kira pertengahan sampai akhir 30-an. Pria dengan guratan wajah yang tegas namun penuh dengan misteri. Pria dengan senyum yang menyembunyikan sesuatu; senyum yang menyembunyikan kepalsuan. Pria dengan setelan kemeja putih berlengan panjang dan celana katun gelap bergaris tipis. Yang kalau dilihat-lihat, setelan yang dikenakakannya bukanlah setelan sembarang; setelan mahal dan eksklusif.
Tubuhnya tinggi menjulang, Kulitnya coklat sawo matang dengan rambutnya yang pendek dibiarkan acak-acakan. Alisnya tebal dan kedua matanya punya tatapan tajam yang seakan siap menerkam. Yaa, bolehlah. Ia cukup tampan walau gua terus merasa kalau ada sesuatu yang aneh dengan dirinya.
Ia terus menyeringai, lalu seketika ekspresinya berubah datar, dingin, berganti dengan ekspresi datar yang ‘dingin’. Matanya lalu seakan memindai gua secara keseluruhan, menatap dari ujung kaki ke ujung kepala. Menyadari sikapnya itu, gua langsung mundur beberapa langkah.
Bukannya diam atau menjauh, ia malah mengikuti gua; terus mendekat hingga gua nggak punya lagi ruang gerak. Saking dekatnya, aroma rokok yang nggak sedap mulai tercium.
“Hai, Aku Lian…” Ia mengulang perkenalan dirinya, lalu kembali tersenyum. Senyum yang lebih mirip seringai.
Dengan cepat, gua meraih tangan kanannya yang sudah nggak lagi ia julurkan dan menjabatnya; “Fira…” Ucap gua, memperkenalkan diri. Lalu menggeser tubuh, ‘keluar’ dari hadapannya, berpindah ke depan pintu kontrakan.
Gua membuka kunci pintu lalu membukanya. Tercium aroma apek dan lembab dari dalam kontrakan yang berdebu. Sementara, Pria itu melangkah pelan, penuh keraguan masuk ke dalam kontrakan seraya menatap sekeliling. Sepertinya Ia nampak baik-baik saja dengan kondisi ruangan yang apek dan berdebu.
“Boleh dipasang AC?” Tanyanya sambil terus masuk semakin dalam.
“Mmm, Boleh aja…” Jawab gua, menebak. Beberapa kontrakan yang lain juga terlihat menggunakan AC, jadi sepertinya Nyokap nggak bakal mempermasalahkan hal ini.
Ia terus masuk semakin dalam hingga ke dapur dan kamar mandi. Lalu terdengar suaranya menggema; “Airnya nggak nyala?”
“Harusnya sih Nyala…” Jawab gua setengah berteriak.
Ia menyembulkan kepalanya dari arah dapur, menatap gua; “Nggak nyala…”
“Ck…” Ragu-ragu, gua melangkah masuk ke dalam; mendekat ke arahnya seraya menutup hidung dengan ujung leher sweater.
Terlihat ia tengah memutar-mutar knop keran ke kiri dan ke kanan, dan nggak ada air yang keluar. “Tuh… Nggak keluar”
“Sebentar…” Gua mundur beberapa langkah, mengeluarkan ponsel dan menghubungi Nyokap.
Informasi dari Nyokap; Saluran air PAM mungkin ditutup, tuasnya berada tepat di bawah wastafel. “Di bawah wastafel… Di bawah wastafel…” Gua terus mengulang ucapan Nyokap, sambil membungkuk dan mencari-cari tuas di lokasi yang disebutkan. Sementara, pria itu yang mungkin mendengar ucapan gua ikut membungkuk. Di saat yang sama kepala kami saling terbentur.
“Aduh…” Seru gua sambil mengusap kepala. Begitu juga dengan dirinya.
“…”
“… Awas dong…” Gua menambahkan. Kemudian mulai memutar tuas PAM di bawah wastafel, disusul suara air mengalir deras dari arah kamar mandi. Pria bernama Lian itu, berdiri, masuk ke kamar mandi dan mematikan keran.
“Nyala kan!” Seru gua, lalu kembali keluar.
Nggak seberapa lama ia kembali ke teras depan, lalu mengambil tas ransel yang sejak tadi tergeletak di lantai, mengeluarkan amplop putih beserta lembaran kertas yang terlipat. Lembaran tersebut ia serahkan ke gua; Surat kontrak yang sudah ditanda-tangani. Dari amplop ia mengeluarkan beberapa lembar uang pecahan 100 ribuan, dan menyerahkannya ke gua.
“Ada pulpen?” Tanya gua, begitu menerima uang darinya. Ingin menulis namanya di kuitansi pembayaran yang sudah disiapkan Nyokap.
“Oh, ada…” Jawabnya singkat. Lalu merogoh kembali ranselnya, mengeluarkan pulpen dan menyerahkannya ke gua.
Gua langsung mengernyitkan dahi begitu menerima pulpen tersebut. Pulpen yang nampak usang dengan banyak selotip yang sepertinya menahan body plastik pulpen agar nggak pecah.
Beberapa kali gua mencoba menulis dengan pulpen bobrok tersebut dan nggak berhasil. Setelah mencoba untuk ketiga kalinya barulah ujung pulpen mulai mengeluarkan tinta. ‘Lian’ gua menulis namanya pada kolom ‘Telah Terima dari’ di kuitansi. Sementara kolom ‘Uang sejumlah’ dan ‘Untuk Pembayaran’ sudah diisi sebelumnya oleh Nyokap. Setelah selesai menulis gua menyerahkan kuitansi tersebut kepadanya.
“Barangnya cuma ini aja?” Tanya gua, sambil menunjuk ke arah tas ransel miliknya.
“Iya…” Jawabnya singkat.
“Oh…”
“Kenapa?” Pria itu balik bertanya. Mungkin menyadari ekspresi gua yang menunjukkan keanehan. Siapa yang nggak heran lihat orang pindahan cuma bawa tas ransel?
“Gapapa, aneh aja…”
“Apanya yang aneh?” Tanyanya lagi, kini sambil tersenyum.
“Gapapa…” Gua menggeleng.
“…”
“… Oh Iya, boleh minta fotokopi KTP nya?” Ucap gua seraya mengadahkan tangan. Walau Nyokap nggak meminta-nya tapi gua sengaja berinisiatif, takut kalau ia adalah seorang penjahat atau amit-amit teroris yang tengah dalam pelarian.
“Nggak ada…” Jawabnya singkat.
“Nggak ada apa nggak punya?” Tanya gua lagi.
“Nggak ada dan nggak punya…”
“Masa udah gede nggak punya KTP?” Tanya gua, mulai curiga.
“Emang kamu punya?” Ia malah balik bertanya.
“Mmm… Belum, tapi aku punya kartu pelajar” Jawab gua ketus.
“Masih kecil…” Gumamnya pelan.
“Emang kenapa kalo masih kecil?” Seru gua, kali ini dengan nada sedikit meninggi.
“KTP ada, Fotokopi-nya yang nggak ada” Jawabnya, santai.
“Yaudah sini aku foto aja…” Balas gua sambil mengeluarkan ponsel. Namun, ia bergeming; hanya diam saja dan nggak melakukan apapun.
Gua menghela napas dan menurunkan bahu; Lelah harus meladeninya.
“Udah cepet deh, mana…” Keluh gua.
“Nanti aja, aku anter…” Jawabnya.
Gua yang sudah kehilangan kesabaran, lantas pergi begitu saja. Sementara, pria itu terlihat mengeluarkan sesuatu dari dalam ransel dan berusaha mengejar gua. Namun, terlambat gua sudah keburu keluar dari pagar dan berbelok ke kiri.
Sambil berjalan, gua terus mengutuki sikap pria tadi. Menjengkelkan dan bikin rusak mood pagi-pagi. Saking kesalnya, gua sampai nggak memperhatikan jalan, lalu tanpa sengaja malah berbelok ke kanan, menyusuri gang kecil yang tadi gua hindari. Baru beberapa meter keluar dari gang kecil, terdengar gericau suara yang bikin gua langsung menghentikan langkah; Soang.
“Ahh.., soang….” Gumam gua pelan. Sembari memutar otak, mencoba mencari cara yang efektif untuk bisa melewati gerombolan soang di depan gua.
Pilihannya adalah kembali, melewati jalan memutar yang gua lalui tadi. Atau berlari secepat mungkin dengan resiko para soang sialan itu bakal tetap mengejar. Gua memejamkan mata sejanak, dan memutuskan untuk mengambil resiko dikejar.
Setelah mengumpulkan keberanian, gua menarik napas dalam-dalam sambil pasang kuda-kuda. Mirip seperti atlit lari yang tengah dalam posisi start.
“Aah… Takut….” Seru gua dan membatalkan rencana, seraya menghentakkan kaki ke aspal. Namun rupanya gerakan gua yang tiba-tiba itu menarik perhatian gerombolan soang yang langsung mendekat. Sontak gua berteriak, berbalik dan berlari kembali.
Tanpa gua sadari, Pria itu sudah berdiri di ujung gang. Tubuhnya menutupi satu-satunya akses keluar dari gang, bikin gua berhenti dan berusaha melewatinya. Ia bergeming, hanya menatap gua sambil tertawa. Tawanya kini terlihat berbeda, jauh berbeda dari sebelumnya.
Seketika, tawanya terhenti. Ia terdiam, kembali ke ekspresi datar dan dingin seraya memegangi wajahnya dengan telapak tangan. Gua mengabaikan dirinya, dan terus mencoba keluar dari gang kecil dengan menyelip di sisi tubuhnya, lalu berlari secepat mungkin.
Setelah beberapa meter, merasa sudah cukup aman dari kejaran soang. Gua berhenti, membungkuk, dengan tangan bertumpu pada lutut seraya menyeka dahi dan pipi yang penuh dengan peluh. Sekali lagi, gua menoleh ke belakang, mencoba memastikan nggak ada seekor pun soang yang mengejar. Namun, yang gua terlihat malah pria itu yang masih berdiri sambil tersenyum menatap gua.
“Kenapa?” Tanyanya.
“Itu, Soang…” Jawab gua sambil menunjuk ke arah gang kecil tadi.
“Takut?” Tanyanya lagi.
“…” Gua mengangguk pelan.
“… Mau dianter?” Ia menawarkan bantuan.
“Nggak usah, lewat sana juga bisa…” Jawab gua, lantas kembali berjalan.
Bukannya pergi, pria itu malah terus mengikuti gua. Ia seperti sengaja menjaga jaraknya agar nggak terlalu jauh. Saat gua melambat, ia juga ikut melambat. Saat gua mempercepat langkah, ia juga ikut mempercepat langkahnya.
Gua berhenti dan berbalik; “Mau ngapain sih ngikutin?” Seru gua.
“Ke depan, ke tukang fotokopi…” Jawabnya, cengengesan.
“Ck…” Gua kembali berjalan.
Tiba di persimpangan jalan menuju rumah, gua kembali menghentikan langkah. Ada sesuatu yang bikin gua nggak nyaman.
Tanpa suara, pria itu melintas di depan gua. Langkahnya santai, seolah-olah malam ini hanya miliknya seorang. Asap rokoknya mengepul tipis, menghilang ke udara seperti sesuatu yang nggak mau meninggalkan jejak. Gua terus menatapnya, memperhatikan punggungnya yang perlahan menjauh, melewati persimpangan menuju pintu keluar komplek. Hingga akhirnya, ia lenyap ditelan tikungan.
Dan saat itu, ada sesuatu yang merayap di dada gua. Bukan takut, bukan juga marah. Tapi ada yang nggak beres. Sesuatu yang ganjil, yang nggak bisa gua jelaskan. Seperti melihat sesuatu yang harusnya nggak ada di sana. Seperti ‘percikan’ yang datang tanpa permisi.
—
Gua membuka mata dan menatap nanar ke arah langit-langit kamar. Merasa linglung dan nggak ingat apa-apa. Gua hanya terdiam sambil terus berbaring sambil mencoba kembali memejamkan mata, berharap sisa rasa pusing di kepala bisa hilang. Setelah beberapa saat, barulah perlahan-lahan ingatan gua mulai kembali. Gua menoleh dan mendapati Nyokap sudah terlihat duduk di kursi meja belajar dengan ponsel gua berada di genggamannya.
“Mah…” Panggil gua lirih, amat lirih.
Sadar kalau anaknya baru saja sadar, Nyokap langsung beranjak, pindah, duduk di atas ranjang tepat di sebelah gua. Lalu, tanpa banyak bicara ia mengambil tabung kecil transparan berisi obat, mengeluarkan sebutir pil berwarna merah dan menempatkannya di ujung bibir gua, kemudian menyodorkan air minum.
“Kamu lupa minum obat ya semalem?” Tanyanya.
“…” Gua mengangguk pelan.
“… Udah, latihan nge-dance. Malah lupa minum obat…” Tambahnya. Ekspresi wajahnya terlihat sedikit kecewa dengan rasa sedih yang juga tersirat lebih dalam. Ia mungkin masih kecewa dengan gua yang ‘berbohong’ ikut berlatih menari. Kekecawaan yang semakin dalam saat tau gua malah alpa meminum obat.
“Maafin Fira ya, Mah…” Ucap gua lirih.
Ia menghela nafas, dan mulai memeluk gua.
“Iya sayang…” Jawabnya.
“Aku kenapa? kejang lagi ya?” Tanya gua, penasaran. Jujur saja, gua sama sekali nggak ingat apa yang terjadi. Ingatan gua hanya sampai saat melihat pria bernama Lian berjalan menjauh di persimpangan jalan komplek. Gua lalu berbelok, dan terus berjalan menuju ke rumah. Saat tiba di gerbang, tiba-tiba gua merasakan pusing yang luar biasa lalu; gelap.
“Iya…” Jawab Nyokap lirih.
Menyesal. Gua sangat menyesal. Mengabaikan peringatan dokter Natalie dan lupa meminum obat, yang malah akhirnya bikin gua kembali kambuh, kembali kejang.
“Mamah udah telpon rumah sakit. Hari ini dokter Natalie Libur, jadi besok baru kita ke rumah sakit ya…” Nyokap menjelaskan.
“Emang besok Mamah libur?” Tanya gua.
“Libur, kan hari minggu…” Jawabnya.
“Oh iya ya, Lupa…” Gua menepuk dahi, mengutuki ingatan gua yang kayaknya semakin lama semakin lemah.
“Mamah, ambilin makan ya…” Ucapnya, lalu beranjak dari ranjang dan pergi keluar kamar.
Ia kembali beberapa saat kemudian sambil membawa makanan. Pun gua sudah berusaha menolak dan ingin makan sendiri, tapi ia terus memaksa ingin menyuapi gua.
Selesai makan, ia menarik selimut ke atas hingga hampir menyisakan wajah gua. Lalu, memberikan kecupan di dahi; “Istirahat… Jangan maen HP melulu…” Ucapnya, kemudian pergi, keluar dari kamar.
Bandel. Begitu Nyokap keluar dari kamar, gua langsung bangkit, berdiri menuju ke meja belajar untuk mengambil ponsel; ingin berkeluh kesah bersama The Lontongers. Namun, perhatian gua justru teralih ke pena penuh selotip di atas meja. Gua mengernyitkan dahi saat melihat pena tersebut dan berusaha mengingatnya.
“Astaga…” Gumam gua pelan, baru teringat kalau pena itu adalah milik pria bernama Lian tadi.
Gua meraih pena yang terlihat usang itu dan menggenggamnya. Iseng-iseng, gua mencoba menggores lembaran kertas tak terpakai di atas meja, dan memang pena tersebut masih berfungsi dengan normal. Hanya saja ‘grip’ nya terasa kurang nyaman saat di genggam.
‘Ah, Pulpen jelek gini. Siapa juga yang masih mau pake’ Batin gua lagi, lalu bersiap membuangnya. Namun tanpa sadar, gua malah menyimpan pulpen itu. Memasukkannya ke dalam laci meja belajar.
Siapa sangka, benda kecil ini bakal membawa gua lebih jauh ke dalam hidupnya.
--
‘Hah? ‘kenalin’ gaya berkenalan macam apa itu? jadul banget kayaknya’ Batin gua, saat mendengar ia bicara menyebutkan namanya.
Gua bergeming, hanya tetap diam dan terus menatap ke arahnya. Pria ini, pria yang berdiri di depan gua saat ini, pria yang mungkin usianya kira-kira pertengahan sampai akhir 30-an. Pria dengan guratan wajah yang tegas namun penuh dengan misteri. Pria dengan senyum yang menyembunyikan sesuatu; senyum yang menyembunyikan kepalsuan. Pria dengan setelan kemeja putih berlengan panjang dan celana katun gelap bergaris tipis. Yang kalau dilihat-lihat, setelan yang dikenakakannya bukanlah setelan sembarang; setelan mahal dan eksklusif.
Tubuhnya tinggi menjulang, Kulitnya coklat sawo matang dengan rambutnya yang pendek dibiarkan acak-acakan. Alisnya tebal dan kedua matanya punya tatapan tajam yang seakan siap menerkam. Yaa, bolehlah. Ia cukup tampan walau gua terus merasa kalau ada sesuatu yang aneh dengan dirinya.
Ia terus menyeringai, lalu seketika ekspresinya berubah datar, dingin, berganti dengan ekspresi datar yang ‘dingin’. Matanya lalu seakan memindai gua secara keseluruhan, menatap dari ujung kaki ke ujung kepala. Menyadari sikapnya itu, gua langsung mundur beberapa langkah.
Bukannya diam atau menjauh, ia malah mengikuti gua; terus mendekat hingga gua nggak punya lagi ruang gerak. Saking dekatnya, aroma rokok yang nggak sedap mulai tercium.
“Hai, Aku Lian…” Ia mengulang perkenalan dirinya, lalu kembali tersenyum. Senyum yang lebih mirip seringai.
Dengan cepat, gua meraih tangan kanannya yang sudah nggak lagi ia julurkan dan menjabatnya; “Fira…” Ucap gua, memperkenalkan diri. Lalu menggeser tubuh, ‘keluar’ dari hadapannya, berpindah ke depan pintu kontrakan.
Gua membuka kunci pintu lalu membukanya. Tercium aroma apek dan lembab dari dalam kontrakan yang berdebu. Sementara, Pria itu melangkah pelan, penuh keraguan masuk ke dalam kontrakan seraya menatap sekeliling. Sepertinya Ia nampak baik-baik saja dengan kondisi ruangan yang apek dan berdebu.
“Boleh dipasang AC?” Tanyanya sambil terus masuk semakin dalam.
“Mmm, Boleh aja…” Jawab gua, menebak. Beberapa kontrakan yang lain juga terlihat menggunakan AC, jadi sepertinya Nyokap nggak bakal mempermasalahkan hal ini.
Ia terus masuk semakin dalam hingga ke dapur dan kamar mandi. Lalu terdengar suaranya menggema; “Airnya nggak nyala?”
“Harusnya sih Nyala…” Jawab gua setengah berteriak.
Ia menyembulkan kepalanya dari arah dapur, menatap gua; “Nggak nyala…”
“Ck…” Ragu-ragu, gua melangkah masuk ke dalam; mendekat ke arahnya seraya menutup hidung dengan ujung leher sweater.
Terlihat ia tengah memutar-mutar knop keran ke kiri dan ke kanan, dan nggak ada air yang keluar. “Tuh… Nggak keluar”
“Sebentar…” Gua mundur beberapa langkah, mengeluarkan ponsel dan menghubungi Nyokap.
Informasi dari Nyokap; Saluran air PAM mungkin ditutup, tuasnya berada tepat di bawah wastafel. “Di bawah wastafel… Di bawah wastafel…” Gua terus mengulang ucapan Nyokap, sambil membungkuk dan mencari-cari tuas di lokasi yang disebutkan. Sementara, pria itu yang mungkin mendengar ucapan gua ikut membungkuk. Di saat yang sama kepala kami saling terbentur.
“Aduh…” Seru gua sambil mengusap kepala. Begitu juga dengan dirinya.
“…”
“… Awas dong…” Gua menambahkan. Kemudian mulai memutar tuas PAM di bawah wastafel, disusul suara air mengalir deras dari arah kamar mandi. Pria bernama Lian itu, berdiri, masuk ke kamar mandi dan mematikan keran.
“Nyala kan!” Seru gua, lalu kembali keluar.
Nggak seberapa lama ia kembali ke teras depan, lalu mengambil tas ransel yang sejak tadi tergeletak di lantai, mengeluarkan amplop putih beserta lembaran kertas yang terlipat. Lembaran tersebut ia serahkan ke gua; Surat kontrak yang sudah ditanda-tangani. Dari amplop ia mengeluarkan beberapa lembar uang pecahan 100 ribuan, dan menyerahkannya ke gua.
“Ada pulpen?” Tanya gua, begitu menerima uang darinya. Ingin menulis namanya di kuitansi pembayaran yang sudah disiapkan Nyokap.
“Oh, ada…” Jawabnya singkat. Lalu merogoh kembali ranselnya, mengeluarkan pulpen dan menyerahkannya ke gua.
Gua langsung mengernyitkan dahi begitu menerima pulpen tersebut. Pulpen yang nampak usang dengan banyak selotip yang sepertinya menahan body plastik pulpen agar nggak pecah.
Beberapa kali gua mencoba menulis dengan pulpen bobrok tersebut dan nggak berhasil. Setelah mencoba untuk ketiga kalinya barulah ujung pulpen mulai mengeluarkan tinta. ‘Lian’ gua menulis namanya pada kolom ‘Telah Terima dari’ di kuitansi. Sementara kolom ‘Uang sejumlah’ dan ‘Untuk Pembayaran’ sudah diisi sebelumnya oleh Nyokap. Setelah selesai menulis gua menyerahkan kuitansi tersebut kepadanya.
“Barangnya cuma ini aja?” Tanya gua, sambil menunjuk ke arah tas ransel miliknya.
“Iya…” Jawabnya singkat.
“Oh…”
“Kenapa?” Pria itu balik bertanya. Mungkin menyadari ekspresi gua yang menunjukkan keanehan. Siapa yang nggak heran lihat orang pindahan cuma bawa tas ransel?
“Gapapa, aneh aja…”
“Apanya yang aneh?” Tanyanya lagi, kini sambil tersenyum.
“Gapapa…” Gua menggeleng.
“…”
“… Oh Iya, boleh minta fotokopi KTP nya?” Ucap gua seraya mengadahkan tangan. Walau Nyokap nggak meminta-nya tapi gua sengaja berinisiatif, takut kalau ia adalah seorang penjahat atau amit-amit teroris yang tengah dalam pelarian.
“Nggak ada…” Jawabnya singkat.
“Nggak ada apa nggak punya?” Tanya gua lagi.
“Nggak ada dan nggak punya…”
“Masa udah gede nggak punya KTP?” Tanya gua, mulai curiga.
“Emang kamu punya?” Ia malah balik bertanya.
“Mmm… Belum, tapi aku punya kartu pelajar” Jawab gua ketus.
“Masih kecil…” Gumamnya pelan.
“Emang kenapa kalo masih kecil?” Seru gua, kali ini dengan nada sedikit meninggi.
“KTP ada, Fotokopi-nya yang nggak ada” Jawabnya, santai.
“Yaudah sini aku foto aja…” Balas gua sambil mengeluarkan ponsel. Namun, ia bergeming; hanya diam saja dan nggak melakukan apapun.
Gua menghela napas dan menurunkan bahu; Lelah harus meladeninya.
“Udah cepet deh, mana…” Keluh gua.
“Nanti aja, aku anter…” Jawabnya.
Gua yang sudah kehilangan kesabaran, lantas pergi begitu saja. Sementara, pria itu terlihat mengeluarkan sesuatu dari dalam ransel dan berusaha mengejar gua. Namun, terlambat gua sudah keburu keluar dari pagar dan berbelok ke kiri.
Sambil berjalan, gua terus mengutuki sikap pria tadi. Menjengkelkan dan bikin rusak mood pagi-pagi. Saking kesalnya, gua sampai nggak memperhatikan jalan, lalu tanpa sengaja malah berbelok ke kanan, menyusuri gang kecil yang tadi gua hindari. Baru beberapa meter keluar dari gang kecil, terdengar gericau suara yang bikin gua langsung menghentikan langkah; Soang.
“Ahh.., soang….” Gumam gua pelan. Sembari memutar otak, mencoba mencari cara yang efektif untuk bisa melewati gerombolan soang di depan gua.
Pilihannya adalah kembali, melewati jalan memutar yang gua lalui tadi. Atau berlari secepat mungkin dengan resiko para soang sialan itu bakal tetap mengejar. Gua memejamkan mata sejanak, dan memutuskan untuk mengambil resiko dikejar.
Setelah mengumpulkan keberanian, gua menarik napas dalam-dalam sambil pasang kuda-kuda. Mirip seperti atlit lari yang tengah dalam posisi start.
“Aah… Takut….” Seru gua dan membatalkan rencana, seraya menghentakkan kaki ke aspal. Namun rupanya gerakan gua yang tiba-tiba itu menarik perhatian gerombolan soang yang langsung mendekat. Sontak gua berteriak, berbalik dan berlari kembali.
Tanpa gua sadari, Pria itu sudah berdiri di ujung gang. Tubuhnya menutupi satu-satunya akses keluar dari gang, bikin gua berhenti dan berusaha melewatinya. Ia bergeming, hanya menatap gua sambil tertawa. Tawanya kini terlihat berbeda, jauh berbeda dari sebelumnya.
Seketika, tawanya terhenti. Ia terdiam, kembali ke ekspresi datar dan dingin seraya memegangi wajahnya dengan telapak tangan. Gua mengabaikan dirinya, dan terus mencoba keluar dari gang kecil dengan menyelip di sisi tubuhnya, lalu berlari secepat mungkin.
Setelah beberapa meter, merasa sudah cukup aman dari kejaran soang. Gua berhenti, membungkuk, dengan tangan bertumpu pada lutut seraya menyeka dahi dan pipi yang penuh dengan peluh. Sekali lagi, gua menoleh ke belakang, mencoba memastikan nggak ada seekor pun soang yang mengejar. Namun, yang gua terlihat malah pria itu yang masih berdiri sambil tersenyum menatap gua.
“Kenapa?” Tanyanya.
“Itu, Soang…” Jawab gua sambil menunjuk ke arah gang kecil tadi.
“Takut?” Tanyanya lagi.
“…” Gua mengangguk pelan.
“… Mau dianter?” Ia menawarkan bantuan.
“Nggak usah, lewat sana juga bisa…” Jawab gua, lantas kembali berjalan.
Bukannya pergi, pria itu malah terus mengikuti gua. Ia seperti sengaja menjaga jaraknya agar nggak terlalu jauh. Saat gua melambat, ia juga ikut melambat. Saat gua mempercepat langkah, ia juga ikut mempercepat langkahnya.
Gua berhenti dan berbalik; “Mau ngapain sih ngikutin?” Seru gua.
“Ke depan, ke tukang fotokopi…” Jawabnya, cengengesan.
“Ck…” Gua kembali berjalan.
Tiba di persimpangan jalan menuju rumah, gua kembali menghentikan langkah. Ada sesuatu yang bikin gua nggak nyaman.
Tanpa suara, pria itu melintas di depan gua. Langkahnya santai, seolah-olah malam ini hanya miliknya seorang. Asap rokoknya mengepul tipis, menghilang ke udara seperti sesuatu yang nggak mau meninggalkan jejak. Gua terus menatapnya, memperhatikan punggungnya yang perlahan menjauh, melewati persimpangan menuju pintu keluar komplek. Hingga akhirnya, ia lenyap ditelan tikungan.
Dan saat itu, ada sesuatu yang merayap di dada gua. Bukan takut, bukan juga marah. Tapi ada yang nggak beres. Sesuatu yang ganjil, yang nggak bisa gua jelaskan. Seperti melihat sesuatu yang harusnya nggak ada di sana. Seperti ‘percikan’ yang datang tanpa permisi.
—
Gua membuka mata dan menatap nanar ke arah langit-langit kamar. Merasa linglung dan nggak ingat apa-apa. Gua hanya terdiam sambil terus berbaring sambil mencoba kembali memejamkan mata, berharap sisa rasa pusing di kepala bisa hilang. Setelah beberapa saat, barulah perlahan-lahan ingatan gua mulai kembali. Gua menoleh dan mendapati Nyokap sudah terlihat duduk di kursi meja belajar dengan ponsel gua berada di genggamannya.
“Mah…” Panggil gua lirih, amat lirih.
Sadar kalau anaknya baru saja sadar, Nyokap langsung beranjak, pindah, duduk di atas ranjang tepat di sebelah gua. Lalu, tanpa banyak bicara ia mengambil tabung kecil transparan berisi obat, mengeluarkan sebutir pil berwarna merah dan menempatkannya di ujung bibir gua, kemudian menyodorkan air minum.
“Kamu lupa minum obat ya semalem?” Tanyanya.
“…” Gua mengangguk pelan.
“… Udah, latihan nge-dance. Malah lupa minum obat…” Tambahnya. Ekspresi wajahnya terlihat sedikit kecewa dengan rasa sedih yang juga tersirat lebih dalam. Ia mungkin masih kecewa dengan gua yang ‘berbohong’ ikut berlatih menari. Kekecawaan yang semakin dalam saat tau gua malah alpa meminum obat.
“Maafin Fira ya, Mah…” Ucap gua lirih.
Ia menghela nafas, dan mulai memeluk gua.
“Iya sayang…” Jawabnya.
“Aku kenapa? kejang lagi ya?” Tanya gua, penasaran. Jujur saja, gua sama sekali nggak ingat apa yang terjadi. Ingatan gua hanya sampai saat melihat pria bernama Lian berjalan menjauh di persimpangan jalan komplek. Gua lalu berbelok, dan terus berjalan menuju ke rumah. Saat tiba di gerbang, tiba-tiba gua merasakan pusing yang luar biasa lalu; gelap.
“Iya…” Jawab Nyokap lirih.
Menyesal. Gua sangat menyesal. Mengabaikan peringatan dokter Natalie dan lupa meminum obat, yang malah akhirnya bikin gua kembali kambuh, kembali kejang.
“Mamah udah telpon rumah sakit. Hari ini dokter Natalie Libur, jadi besok baru kita ke rumah sakit ya…” Nyokap menjelaskan.
“Emang besok Mamah libur?” Tanya gua.
“Libur, kan hari minggu…” Jawabnya.
“Oh iya ya, Lupa…” Gua menepuk dahi, mengutuki ingatan gua yang kayaknya semakin lama semakin lemah.
“Mamah, ambilin makan ya…” Ucapnya, lalu beranjak dari ranjang dan pergi keluar kamar.
Ia kembali beberapa saat kemudian sambil membawa makanan. Pun gua sudah berusaha menolak dan ingin makan sendiri, tapi ia terus memaksa ingin menyuapi gua.
Selesai makan, ia menarik selimut ke atas hingga hampir menyisakan wajah gua. Lalu, memberikan kecupan di dahi; “Istirahat… Jangan maen HP melulu…” Ucapnya, kemudian pergi, keluar dari kamar.
Bandel. Begitu Nyokap keluar dari kamar, gua langsung bangkit, berdiri menuju ke meja belajar untuk mengambil ponsel; ingin berkeluh kesah bersama The Lontongers. Namun, perhatian gua justru teralih ke pena penuh selotip di atas meja. Gua mengernyitkan dahi saat melihat pena tersebut dan berusaha mengingatnya.
“Astaga…” Gumam gua pelan, baru teringat kalau pena itu adalah milik pria bernama Lian tadi.
Gua meraih pena yang terlihat usang itu dan menggenggamnya. Iseng-iseng, gua mencoba menggores lembaran kertas tak terpakai di atas meja, dan memang pena tersebut masih berfungsi dengan normal. Hanya saja ‘grip’ nya terasa kurang nyaman saat di genggam.
‘Ah, Pulpen jelek gini. Siapa juga yang masih mau pake’ Batin gua lagi, lalu bersiap membuangnya. Namun tanpa sadar, gua malah menyimpan pulpen itu. Memasukkannya ke dalam laci meja belajar.
Siapa sangka, benda kecil ini bakal membawa gua lebih jauh ke dalam hidupnya.
--
Tulus - Ruang Sendiri
Beri aku kesempatan
'Tuk bisa merindukanmu
(Jangan datang terus)
Beri juga aku ruang
Bebas dan sendiri
(Jangan ada terus)
Aku butuh tahu seberapa kubutuh kamu
Percayalah rindu itu baik untuk kita
(Pagi melihatmu) menjelang siang kau tahu
(Aku ada di mana) sore nanti
Tak pernah sekalipun ada malam yang dingin
Hingga aku lupa rasanya sepi
Tak lagi sepi bisa kuhargai
Baik buruk perubahanku
Tak akan kau sadari
(Kita berevolusi)
Bila kita ingin tahu
Seberapa besar rasa yang kita punya
Kita butuh ruang
(Pagi melihatmu) menjelang siang kau tahu
(Aku ada di mana) sore nanti
Tak pernah sekalipun ada malam yang dingin
Hingga aku lupa rasanya sepi
Tak lagi sepi bisa kuhargai
Kita tetap butuh ruang sendiri-sendiri
Untuk tetap menghargai rasanya sepi
(Pagi melihatmu) menjelang siang kau tahu
(Aku ada di mana) sore nanti
Tak pernah sekalipun ada malam yang dingin
Hingga aku lupa rasanya sepi
(Pagi melihatmu) menjelang siang kau tahu
(Aku ada di mana) sore nanti
Tak pernah sekalipun ada malam yang dingin
Hingga aku lupa rasanya sepi
Tak lagi sepi bisa kuhargai
Tak lagi sepi bisa kuhargai
fakecrash dan 40 lainnya memberi reputasi
41
Kutip
Balas
Tutup