- Beranda
- Stories from the Heart
Keluargaku Tulang Wangi
...
TS
muyasy
Keluargaku Tulang Wangi
Part 1
Aku mengajak Putri, anak pertamaku yang masih berumur tiga tahun beli jajan di rumah tetangga. Rumahnya terletak di belakang menghadap kebun. Kebun yang dulunya angker.
Dulu terdapat pohon Kepoh yang batangnya sangat tinggi dan besar. Banyak burung gagak yang selalu bertengger di ranting. Suaranya cumiakkan telinga dan gemar membuat bising. Terkadang ada aroma dupa yang menusuk hidung. Wanginya menyesakkan dada. Ternyata selain angker, tempat tersebut dijadikan makam para warga yang ada di desa maupun luar desa. Itu sekitar tahun 70-an. Sekarang tidak digunakan lagi karena, tiap dusun sudah mempunyai tempat makam sendiri.
Makin malam, sekitar jam delapan aku mengajak Putri untuk pulang. Kutuntun dia agar tidak terjatuh. Karena, jalan yang kulewati berbatu.
"Ayo, Put. Pulang," ajakku. Setelah aku sadar dengan ajakanku yang salah, aku mengganti ucapanku dengan yang lain. "Eh, salah. Ayo balik!"
Hatiku gelisah. Ucapanku mengajak anak pulang ternyata salah. "Moga nggak terjadi apa-apa."
Malam pun tiba. Putri tidur dengan gelisah. Lalu, menangis sambil meronta.
"Nak, bangun! Ayo buka matamu. Jangan merem. Buka matamu!"
Mas Dul, suamiku jadi bingung sekaligus kesal. "Putri ngelindur ini. Aku ambilkan garam brosok."
"Put, bangun, Nak!"
Pelan-pelan, anak semata wayangku membuka matanya. Aku lega, tetapi ....
"Itu, Bu ... aku takut. Itu .... hwa ...."
Putri malah menangis histeris sambil menutup mata. Dia memelukku erat sambil menunjuk di belakang pintu. Katanya takut. Takut dengan siapa? Tidak ada siapapun di sana.
Jangan-jangan ....
Kulihat Mas Dul membuang garam brosok ke setiap penjuru rumah. Mulutnya komat-kamit seperti baca doa. Entah doa apa itu.
Putri masih menangis. Ibu dan Bapak ikut terbangun.
"Masih jam dua pagi. Wajah anakmu bersihkan dengan air dan baca bismillah," titah Ibuku.
Aku langsung ke kamar mandi sambil berlari. Putri digendong neneknya malah tidak mau. Dia terus berteriak dan terus menunjuk pojokan belakang pintu. Rumah berlantai semen yang kupijak sangat bergerindil karena penuh garam. Seperti kata Mbah Buyut, guna garam brosok untuk mengusir hantu.
"Putri abis main kemana sampe ngelindur begitu," tanya Mas Dul dengan wajah marah. Namun, ekspresinya yang semula tegang terlihat tenang karena di sampingku ada Ibu sekaligus mertuanya.
Aku sedang menyeka wajah Putri dengan sapu tangan yang basah agar dia membuka matanya. Namun, tetap saja dia tidak mau membuka matanya. Tidak mengapa, asalkan anakku sudah tidak menangis lagi. Mungkin doa dan garam brosok yang membuat hantunya sudah pergi.
"Kemarin aku ajak Putri beli jajan di rumah Cak Diono. Saat pulang aku salah ngomong. Harusnya bilang balik, tapi aku bilang pulang," jawabku dengan polosnya.
"Kamu, Dek. Besok jangan beli ke sana lagi!"
"Iya," jawabku singkat.
Baru saja Putri diam, tetiba anakku menangis lagi. Meronta dan memelukku erat seperti tadi.
"Put ... udah, tenang. Ayo tidur lagi. Cup ... cup ...."
Kuelus rambut dan wajahnya. Ibu yang semua di ruang tengah menghampiriku ke kamar.
"Ayo gendong sama nenek, yok!"
"Itu ... itu hantuu ... orangnya gede hitam, matanya merah ... hwa ...."
"Mana, sih, Put. Nggak ada apa-apa di sana," bujukku pada Putri.
Telunjuknya mengarah ke belakang pintu. Aku seperti orang bodoh yang tidak bisa melihat yang tak kasat mata. Memang yang kulihat tidak ada apa-apa, selain beberapa baju tergantung di gantungan yang menempel di tembok.
Aku memeluk anakku karena tidak mau digendong. Dia sesenggukan. Ibu kusuruh tidur lagi. Mas Dul masuk kamar dan duduk menatapku yang memeluk anak perempuannya ini.
Kulihat jam empat pagi. Berarti dua jam Putri menangis. Lambat laun kudengar napasnya taratur menandakan tidurnya nyenyak kembali.
"Mas, sini tidur lagi. Pasti ngantuk."
"Nggak. Hampir subuh."
Kami berbicara berbisik, takutnya menganggu Putri yang baru terlelap.
"Mas liat di pojokan pintu ada hantunya. Kata Putri tadi ada orang gede hitam dan matanya merah. Bukankah itu Genderuwo."
"Nggak ada apa-apa."
Mas Dul rebahan dan menutup matanya. Aku sangat kesal dibuatnya.
"Katanya bisa liat hantu, ditanya malah nggak ada apa-apa," gumamku dengan lirih.
Aku pun menutup mata. Rasa ngantuk mulai datang. Minta satu jam saja untuk tidur sejenak. Nanti azan Subuh pasti dengar karena musala terletak tak jauh dari rumah.
Bersambung
Note:
Garam brosok : garam kasar
Cak : Mas
Sumber gambar : pinterest edit by PicsArt
bejo.gathel dan 43 lainnya memberi reputasi
44
18.8K
990
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.2KThread•46.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
muyasy
#259
PART 64
Sudah ketiga kalinya Putri berlari tunggang langgang masuk ke dalam rumah setelah mendengar suara sepeda motor milik Cak Soir. Aku pun langsung bercerita pada Mas Dul keadaan Putri yang belum membaik. Sudah lima hari dia di rumah. Suhu badannya sudah normal, tetapi perutnya masih sedikit nyeri kalau makan banyak. Mas Dul pun masih libur kerja. Suhu badannya pun naik turun. Perutnya melilit seperti yang dirasakan Putri. Karena salah satu obat di rumah habis, terpaksa suamiku berobat ke Dokter Menik untuk mendapatkan resep obat seperti biasanya.
"Tak paranane Cak Soir. Mene cegak baleni maneh. Arek sampe trauma. Mene nek budal ngaji yokpo? Wong dalane mek sitok iku tok,"keluh Mas Dul sambil memakai jaket karena dia merasa kedinginan.
(Kudatangi Cak Soir. Besok biar gak lakuin lagi. Anak sampe trauma. Besok kalo berangkat mengaji gimana? Kan jalannya hanya satu itu aja)
"Putri mek ditakoni tok, mboten digudo," ujarku pada Mas Dul.
(Putri hanya ditanyai aja, gak digoda)
"Wes eroh! Masi gak digudo wonge mene cegak baleni kelakuane koyok ngunu. Kabeh arek cilik yo wedi karo wonge. Ancene niat nggarai arek nanges ae."
(Udah tau! Meskipun gak digoda, orangnya besok biar gak mengulangi kelakuannya kayak gitu. Semua anak kecil ya takut sama dia. Memang niatnya sengaja bikin anak nangis)
Mas Dul pun bangkit dari duduknya. Dia mendekati Putri yang sedang bermain monopoli di kasurnya. Mas Dul pun duduk di dekat Putri.
"Pean mek ditakoni Dhe Soir tok tah?" tanya Mas Dul pada Putri.
(Kamu hanya ditanyai Dhe Soir aja tah?)
Putri hanya mengangguk sambil menunduk. Dia pasti takut dengan nada tanya ayahnya yang meninggi. Aku langsung mendekat pada mereka.
"Antemen ae mene nek kepetok Dhe Soir!"
(Pukul aka besok kalo ketemu Dhe Soir!)
Aku terkejut. Bisa-bisanya Mas Dul menyuruh anaknya ini berbuat jahat. Bukannya mencairkan suasana hati anaknya malah membuat pikiran runyam.
"Pean kok ngongkon elek! Mene pean nek diwales elek nang anak yokpo? Iku wuruk'ane pean. Dipikir sek poo nek ngomong!" bentakku pada Mas Dul. Suamiku langsung keluar dari kamar. Entah mau kemana? Mungkin ke rumah Cak Soir. Karena, sebelumnya sudah berencana bertamu ke sana.
(Kamu kok nyuruh jelek! Besok kamu kalo dibalas jelek sama anak gimana? Itu suruhanmu. Dipikir dulu kalo ngomong!)
Sore itu, membuatku kawatir. Mas Dul yang marah di depan Putri itu pun pertama kali dia lakukan. Aku tidak pernah menyuruh Putri melakukan hal jahat. Mungkin Mas Dul geram dengan Cak Soir karena Putri saat ini mengalami trauma.
***
Sudah seminggu Putri di rumah. Dia pun sembuh dari sakitnya. Hari ini pertama kali Putri masuk sekolah dari sakitnya yang lama. Dia sangat senang. Mungkin sudah rindu dengan teman-temannya. Bosan juga kalau di rumah terus. Satu minggu lagi.
Mas Dul pun berangkat bekerja. Suamiku juga sembuh dari sakitnya. Tujuh hari melawan sakit tipes.
Aku dan Putri berangkat ke sekolah bersama Mas Dul yang berangkat bekerja juga. Jalanan yang dilewati searah. Sampai gerbang sekolah Putri salim dan mencium tangan ayahnya. Kemudian melambaikan tangannya dengan senyum mengembang.
Sebelum masuk kelas untuk memulai pelajaran, para murid TK menyanyi dulu di teras sekolah. Putri menolak berbaris dengan teman-temannya, sehingga dia duduk dipangkuanku dan melihat teman-temannya bernyanyi sambil berseru. Setelah nyanyian mereka selesai, Bu Sul menyuruh anak-anak yang lain berbaris seperti kereta api. Semua murid sudah masuk ke kelas, tetapi Putri tetap duduk dipangkuanku.
"Ayo anak cantik. Masuk karo Bu Sul, ngge. Pon sehat Mbak Putri nopo sek saket?" tanya Bu Sul sambil membujuk Putri masuk ke ruang kelas.
(Ayo ana cantik. Masuk sama Bu Sul, ya. Udah sehat Mbak putri apa masih sakit?)
Putri diam saja, jadi aku yang menjawab pertanyaan Bu Sul. "Pon sehat, Bu. Manton saket maag."
(Udah sehat, Bu. Abis sakit maag)
"Ooh ngge. Ojo maem pedes ngge. Cegak perute saket. Ayo masuk kelas karo Bu Sul. Iko arek-arek takok pean ae. Endi Mbak Putri, Bu? Ngunu jarene. Ayo!" bujuk Bu Sul lagi. Tiba-tiba, anak-anak keluar semua melihat gurunya membujuk teman satunya ini. Karena cukup lama Putri tidak bisa dibujuk, terpaksa aku meminta ijin agar Putri belajar di teras sekolah saja. Untungnya Bu Sul mengijinkan dan aku mendengarkan Bu Sul bicara pada muridnya pelajaran apa hari ini.
(Ooh iya. Jangan makan pedas ya. Biar perutnya gak sakit. Ayo masuk kelas sama Bu Sul. Itu teman-teman tanya kamu terus. Mana Mbak Putri, Bu? Gitu katanya. Ayo!)
Putri belajar dekat pintu. Ada meja lipat miliknya yang dibawa dari rumah sengaja diletakkan di sekolahan. Jika ada waktu makan bersama dengan yang lain para murid menggunakan meja lipatnya sendiri. Sekarang aku ada di sampingnya. Menemani dia menggambar atau menggunting. Setelah tugasnya selesai, dia tidak mau masuk ke ruang kelas. Benar-benar tidak mau. Putri tidak menjawab, tetapi dia hanya menggelengkan kepala sambil menunduk. Aku bukannya malu, tetapi kenapa Putri tidak manut padaku. Aku yang kesal segera mengambil buku tugasnya Putri yang sudah selesai digarap dan memberikan pada Bu Sul atau Bu Naning di meja guru.
"Lanopo Mbak Putri mboten masok teng kelas? Lanopo Mbak Dewi?" Dek Alif bertanya padaku. Dia baru tahu kalau sejak tadi aku duduk di teras sekolah. Karena, para ibu-ibu yang menunggu anaknya sekolah biasanya duduk di kursi panjang di kantin samping sekolahan ini.
(Kenapa Mbak Putri gak masuk ke kelas? Kenapa Mbak Dewi?)
"Mboten poron, Dek. Kirangan lanopo." jawabku.
(Gak mau, Dek. Gak tau kenapa)
"Mbak Putri saket nopo kok suwe mboten masok-masok? Jare adek Zahra ngene, Mbak Putri saket opo, Buk? Arek-arek takok aku. Aku ngge mboten semerap." Dek Alif ikut menirukan obrolannya dengan anak bungsunya yang sepantaran dengan Putri.
(Mbak Putri sakit apa kok lama gak masuk-masuk? Kata adik Zahra gini, Mbak Putri sakit apa, Buk? Temen-temen tanya aku. Aku ya gak tau)
"Saket Maag, Dek."
(Sakit maag, Dik)
Sampai berganti hari, minggu ke bulan, Putri tetap pada pendiriannya. Dia tidak mau masuk ke ruang kelas. Belajar tetap di teras sekolah dekat pintu. Berbaris dengan teman-temannya pun mau, tetapi enggan masuk ke ruang kelas saat pelajaran di mulai.
Aku sampai dapat teguran oleh Bu Sul. Katanya, ada orang yang melaporkan Bu Sul ke kepala kependidikan di pusat pemerintahan gara-gara ada anak didiknya belajar di luar kelas. Dikira, Bu Sul membiarkan hal itu. Padahal memang Putri tidak mau masuk ke ruang kelas. Bu Sul sampai memaksa Putri masuk ke kelas, tetapi Putri menunduk sambil sesenggukan.
Di rumah dengan segala kesabaran hati, nada bicara aku turunkan, anggap Putri sebagai teman. Dia kunasihati agar masuk ke ruang kelas. Nanti, aku juga ikut masuk ke ruang kelas dan tetap mendampingi anakku di sampingnya. Akhirnya dia mau. Keesokannya, dia belajar di ruang kelas meskipun tidak duduk di bangku bersama temannya. Dia tetap duduk di lantai bersamaku dengan meja lipatnya. Bu Sul pun memahami dan tetap memberi pertanyaan atau pujian pada Putri. Walaupun Putri tidak menanggapi.
Terpaksa aku menceritakan hal ini pada Mas Dul. Suamiku ikut prihatin dengan apa yang terjadi pada Putri. Putri terlihat biasa saja di rumah, tetapi sikapnya berbeda jika disuruh sekolah maupun mengaji seperti biasanya. Maksudnya, berkumpul dengan teman-temannya saat belajar bersama.
Mas Dul sampai membelikan barang-barang yang diinginkan Putri. Asalkan harus mengaji dan sekolah di ruang kelas. Putri pun setuju. Lalu, Mas Dul membelikan tas sekolah berukuran besar berwarna merah muda dengan gambar permaisuri. Putri senang bukan main pokoknya. Kotak tempat pensil bertingkat pun dibelikan walaupun mahal harganya. Asalkan Putri senang. Aku dan Mas Dul pun ikut senang.
Keesokannya, ternyata tidak sesuai yang kami harapkan. Putri sekolah tetap dengan meja lipatnya dan harus aku mendampinginya. Dia tidak mau duduk di bangku kelas. Setiap Bu Sul dan murid-murid yang lain sebelum belajar selalu membaca surat Al Fatihah dan beberapa surat-surat pendek Al Quran. Itu pun Putri selalu gemetaran. Keringatnya bercucuran di bagian pelipis. Dia diam dan menunduk. Dia pun tidak mau menirukan bacaan Al Quran tersebut.
"Gak popo. Cuma moco Al Fatihah karo surat pendek tok," bujukku pada Putri sambil mengelus pundaknya. Lalu, kurangkul dia agar tenang hatinya.
(Gak papa. Cuma baca Al Fatihah dan surat pendek aja)
"Perute Putri saket, Bu," keluh Putri sambil memegang perutnya. Air matanya sudah membasahi pipinya.
(Perutnya Putri sakit, Bu)
Aku langsung mencari minyak kayu putih kecil di dompetku. Segera kubuka tutupnya dan membalurkan minyak kayu putih tersebut pada perut Putri. Selalu begini. Saat Bu Sul membacakan ayat suci Al Quran. Setelah Bu Sul dan murid-muridnya selesai membaca surat-surat pendek, mereka langsung belajar pelajaran jari ini.
"Wetenge pon mboten saket," tanyaku pada Putri. Aku mengusap wajahnya dengan tisu karena keringat maupun air matanya tadi yang membasahi muka.
(Perutnya udah gak sakit)
"Pon mboten," jawab Putri dengan pelan.
(Udah enggak)
Sorenya dan setiap hari aku membujuk dengan rayuan yang entah berapa kali aku keluarkan. Aku sampai capai batin dan pikiran. Entah berapa kali aku membujuk Putri agar mengaji lagi. Aku benar-benar putus asa.
"Ayo ngaji, Put. Pean pon ditumbasno Ayah tas apik seng pean pingini. Ditumbasno tepak tingkat. Arek-arek gak duwe. Mek pean tok seng duwe. Nek pean ngaji engkok tak sangoni seng akeh. Terserah engkok pean jajan opo. Tak turuti," bujukku dengan memohon Putri di hadapannya dan jawaban Putri hanya gelengan kepala.
(Ayo mengaji, Put. Kamu udah dibelikan Ayah tas bagus yang kamu inginkan. Dibelikan tempat pensil bertingkat. Temen-temen gak punya. Cuma kamu aja yang punya. Kalo kamu mengaji nanti tak kasih uang saku yang banyak. Terserah nanti kamu jajan apa. Aku turuti)
Mas Dul selalu bertanya, bagaimana srkolah tadi? Bagaimana mengajinya? Mau atau tidak. Hanya mengaji saja yang belum mau saat ini. Sudah enam bulan Putri tidak mengaji.
"Tak obonge ae tas karo tepak e. Pon ditumbasno pean cek sekolah karo ngaji sek pancet ae. Pean nek sek wedi karo Dhe Soir, lokno ae. Antemen pisan. Gak popo. Ojo wedi! Enten ayah," ujar Ayahnya menggebu. Kemudian, Mas Dul berdiri dan keluar dari kamarnya Putri.
(Tak bakar aja tas sama tempat pensilnya. Udah dibelikan kamu biar sekolah sama ngaji masih sama aja. Kamu kalo masih takut sama Pakdhe Soir, olok aja. Pukul aja sekalian. Gak papa. Jangan takut! Ada Ayah)
"Loh, Ayah moreng-moreng. Pean jalok opo ae pon dituruti ayah. Karepe pean opo? Nek pean gak gelem ngaji, sampe kapan? Diterno Ibuk ngaji ngge," ucapku pada Putri. Campur aduk perasannku saat ini. Kesal dengan omongan Mas Dul barusan dan bingung bujukan seperti apa lagi agar Putri mau menurutiku.
(Loh, Ayah marah-marah. Kamu minta apa aja dituruti Ayah. Maumu apa? Kalo kamu gak mau mengaji, sampe kapan? Diantar Ibu mengaji, ya)
Bersambung
Sudah ketiga kalinya Putri berlari tunggang langgang masuk ke dalam rumah setelah mendengar suara sepeda motor milik Cak Soir. Aku pun langsung bercerita pada Mas Dul keadaan Putri yang belum membaik. Sudah lima hari dia di rumah. Suhu badannya sudah normal, tetapi perutnya masih sedikit nyeri kalau makan banyak. Mas Dul pun masih libur kerja. Suhu badannya pun naik turun. Perutnya melilit seperti yang dirasakan Putri. Karena salah satu obat di rumah habis, terpaksa suamiku berobat ke Dokter Menik untuk mendapatkan resep obat seperti biasanya.
"Tak paranane Cak Soir. Mene cegak baleni maneh. Arek sampe trauma. Mene nek budal ngaji yokpo? Wong dalane mek sitok iku tok,"keluh Mas Dul sambil memakai jaket karena dia merasa kedinginan.
(Kudatangi Cak Soir. Besok biar gak lakuin lagi. Anak sampe trauma. Besok kalo berangkat mengaji gimana? Kan jalannya hanya satu itu aja)
"Putri mek ditakoni tok, mboten digudo," ujarku pada Mas Dul.
(Putri hanya ditanyai aja, gak digoda)
"Wes eroh! Masi gak digudo wonge mene cegak baleni kelakuane koyok ngunu. Kabeh arek cilik yo wedi karo wonge. Ancene niat nggarai arek nanges ae."
(Udah tau! Meskipun gak digoda, orangnya besok biar gak mengulangi kelakuannya kayak gitu. Semua anak kecil ya takut sama dia. Memang niatnya sengaja bikin anak nangis)
Mas Dul pun bangkit dari duduknya. Dia mendekati Putri yang sedang bermain monopoli di kasurnya. Mas Dul pun duduk di dekat Putri.
"Pean mek ditakoni Dhe Soir tok tah?" tanya Mas Dul pada Putri.
(Kamu hanya ditanyai Dhe Soir aja tah?)
Putri hanya mengangguk sambil menunduk. Dia pasti takut dengan nada tanya ayahnya yang meninggi. Aku langsung mendekat pada mereka.
"Antemen ae mene nek kepetok Dhe Soir!"
(Pukul aka besok kalo ketemu Dhe Soir!)
Aku terkejut. Bisa-bisanya Mas Dul menyuruh anaknya ini berbuat jahat. Bukannya mencairkan suasana hati anaknya malah membuat pikiran runyam.
"Pean kok ngongkon elek! Mene pean nek diwales elek nang anak yokpo? Iku wuruk'ane pean. Dipikir sek poo nek ngomong!" bentakku pada Mas Dul. Suamiku langsung keluar dari kamar. Entah mau kemana? Mungkin ke rumah Cak Soir. Karena, sebelumnya sudah berencana bertamu ke sana.
(Kamu kok nyuruh jelek! Besok kamu kalo dibalas jelek sama anak gimana? Itu suruhanmu. Dipikir dulu kalo ngomong!)
Sore itu, membuatku kawatir. Mas Dul yang marah di depan Putri itu pun pertama kali dia lakukan. Aku tidak pernah menyuruh Putri melakukan hal jahat. Mungkin Mas Dul geram dengan Cak Soir karena Putri saat ini mengalami trauma.
***
Sudah seminggu Putri di rumah. Dia pun sembuh dari sakitnya. Hari ini pertama kali Putri masuk sekolah dari sakitnya yang lama. Dia sangat senang. Mungkin sudah rindu dengan teman-temannya. Bosan juga kalau di rumah terus. Satu minggu lagi.
Mas Dul pun berangkat bekerja. Suamiku juga sembuh dari sakitnya. Tujuh hari melawan sakit tipes.
Aku dan Putri berangkat ke sekolah bersama Mas Dul yang berangkat bekerja juga. Jalanan yang dilewati searah. Sampai gerbang sekolah Putri salim dan mencium tangan ayahnya. Kemudian melambaikan tangannya dengan senyum mengembang.
Sebelum masuk kelas untuk memulai pelajaran, para murid TK menyanyi dulu di teras sekolah. Putri menolak berbaris dengan teman-temannya, sehingga dia duduk dipangkuanku dan melihat teman-temannya bernyanyi sambil berseru. Setelah nyanyian mereka selesai, Bu Sul menyuruh anak-anak yang lain berbaris seperti kereta api. Semua murid sudah masuk ke kelas, tetapi Putri tetap duduk dipangkuanku.
"Ayo anak cantik. Masuk karo Bu Sul, ngge. Pon sehat Mbak Putri nopo sek saket?" tanya Bu Sul sambil membujuk Putri masuk ke ruang kelas.
(Ayo ana cantik. Masuk sama Bu Sul, ya. Udah sehat Mbak putri apa masih sakit?)
Putri diam saja, jadi aku yang menjawab pertanyaan Bu Sul. "Pon sehat, Bu. Manton saket maag."
(Udah sehat, Bu. Abis sakit maag)
"Ooh ngge. Ojo maem pedes ngge. Cegak perute saket. Ayo masuk kelas karo Bu Sul. Iko arek-arek takok pean ae. Endi Mbak Putri, Bu? Ngunu jarene. Ayo!" bujuk Bu Sul lagi. Tiba-tiba, anak-anak keluar semua melihat gurunya membujuk teman satunya ini. Karena cukup lama Putri tidak bisa dibujuk, terpaksa aku meminta ijin agar Putri belajar di teras sekolah saja. Untungnya Bu Sul mengijinkan dan aku mendengarkan Bu Sul bicara pada muridnya pelajaran apa hari ini.
(Ooh iya. Jangan makan pedas ya. Biar perutnya gak sakit. Ayo masuk kelas sama Bu Sul. Itu teman-teman tanya kamu terus. Mana Mbak Putri, Bu? Gitu katanya. Ayo!)
Putri belajar dekat pintu. Ada meja lipat miliknya yang dibawa dari rumah sengaja diletakkan di sekolahan. Jika ada waktu makan bersama dengan yang lain para murid menggunakan meja lipatnya sendiri. Sekarang aku ada di sampingnya. Menemani dia menggambar atau menggunting. Setelah tugasnya selesai, dia tidak mau masuk ke ruang kelas. Benar-benar tidak mau. Putri tidak menjawab, tetapi dia hanya menggelengkan kepala sambil menunduk. Aku bukannya malu, tetapi kenapa Putri tidak manut padaku. Aku yang kesal segera mengambil buku tugasnya Putri yang sudah selesai digarap dan memberikan pada Bu Sul atau Bu Naning di meja guru.
"Lanopo Mbak Putri mboten masok teng kelas? Lanopo Mbak Dewi?" Dek Alif bertanya padaku. Dia baru tahu kalau sejak tadi aku duduk di teras sekolah. Karena, para ibu-ibu yang menunggu anaknya sekolah biasanya duduk di kursi panjang di kantin samping sekolahan ini.
(Kenapa Mbak Putri gak masuk ke kelas? Kenapa Mbak Dewi?)
"Mboten poron, Dek. Kirangan lanopo." jawabku.
(Gak mau, Dek. Gak tau kenapa)
"Mbak Putri saket nopo kok suwe mboten masok-masok? Jare adek Zahra ngene, Mbak Putri saket opo, Buk? Arek-arek takok aku. Aku ngge mboten semerap." Dek Alif ikut menirukan obrolannya dengan anak bungsunya yang sepantaran dengan Putri.
(Mbak Putri sakit apa kok lama gak masuk-masuk? Kata adik Zahra gini, Mbak Putri sakit apa, Buk? Temen-temen tanya aku. Aku ya gak tau)
"Saket Maag, Dek."
(Sakit maag, Dik)
Sampai berganti hari, minggu ke bulan, Putri tetap pada pendiriannya. Dia tidak mau masuk ke ruang kelas. Belajar tetap di teras sekolah dekat pintu. Berbaris dengan teman-temannya pun mau, tetapi enggan masuk ke ruang kelas saat pelajaran di mulai.
Aku sampai dapat teguran oleh Bu Sul. Katanya, ada orang yang melaporkan Bu Sul ke kepala kependidikan di pusat pemerintahan gara-gara ada anak didiknya belajar di luar kelas. Dikira, Bu Sul membiarkan hal itu. Padahal memang Putri tidak mau masuk ke ruang kelas. Bu Sul sampai memaksa Putri masuk ke kelas, tetapi Putri menunduk sambil sesenggukan.
Di rumah dengan segala kesabaran hati, nada bicara aku turunkan, anggap Putri sebagai teman. Dia kunasihati agar masuk ke ruang kelas. Nanti, aku juga ikut masuk ke ruang kelas dan tetap mendampingi anakku di sampingnya. Akhirnya dia mau. Keesokannya, dia belajar di ruang kelas meskipun tidak duduk di bangku bersama temannya. Dia tetap duduk di lantai bersamaku dengan meja lipatnya. Bu Sul pun memahami dan tetap memberi pertanyaan atau pujian pada Putri. Walaupun Putri tidak menanggapi.
Terpaksa aku menceritakan hal ini pada Mas Dul. Suamiku ikut prihatin dengan apa yang terjadi pada Putri. Putri terlihat biasa saja di rumah, tetapi sikapnya berbeda jika disuruh sekolah maupun mengaji seperti biasanya. Maksudnya, berkumpul dengan teman-temannya saat belajar bersama.
Mas Dul sampai membelikan barang-barang yang diinginkan Putri. Asalkan harus mengaji dan sekolah di ruang kelas. Putri pun setuju. Lalu, Mas Dul membelikan tas sekolah berukuran besar berwarna merah muda dengan gambar permaisuri. Putri senang bukan main pokoknya. Kotak tempat pensil bertingkat pun dibelikan walaupun mahal harganya. Asalkan Putri senang. Aku dan Mas Dul pun ikut senang.
Keesokannya, ternyata tidak sesuai yang kami harapkan. Putri sekolah tetap dengan meja lipatnya dan harus aku mendampinginya. Dia tidak mau duduk di bangku kelas. Setiap Bu Sul dan murid-murid yang lain sebelum belajar selalu membaca surat Al Fatihah dan beberapa surat-surat pendek Al Quran. Itu pun Putri selalu gemetaran. Keringatnya bercucuran di bagian pelipis. Dia diam dan menunduk. Dia pun tidak mau menirukan bacaan Al Quran tersebut.
"Gak popo. Cuma moco Al Fatihah karo surat pendek tok," bujukku pada Putri sambil mengelus pundaknya. Lalu, kurangkul dia agar tenang hatinya.
(Gak papa. Cuma baca Al Fatihah dan surat pendek aja)
"Perute Putri saket, Bu," keluh Putri sambil memegang perutnya. Air matanya sudah membasahi pipinya.
(Perutnya Putri sakit, Bu)
Aku langsung mencari minyak kayu putih kecil di dompetku. Segera kubuka tutupnya dan membalurkan minyak kayu putih tersebut pada perut Putri. Selalu begini. Saat Bu Sul membacakan ayat suci Al Quran. Setelah Bu Sul dan murid-muridnya selesai membaca surat-surat pendek, mereka langsung belajar pelajaran jari ini.
"Wetenge pon mboten saket," tanyaku pada Putri. Aku mengusap wajahnya dengan tisu karena keringat maupun air matanya tadi yang membasahi muka.
(Perutnya udah gak sakit)
"Pon mboten," jawab Putri dengan pelan.
(Udah enggak)
Sorenya dan setiap hari aku membujuk dengan rayuan yang entah berapa kali aku keluarkan. Aku sampai capai batin dan pikiran. Entah berapa kali aku membujuk Putri agar mengaji lagi. Aku benar-benar putus asa.
"Ayo ngaji, Put. Pean pon ditumbasno Ayah tas apik seng pean pingini. Ditumbasno tepak tingkat. Arek-arek gak duwe. Mek pean tok seng duwe. Nek pean ngaji engkok tak sangoni seng akeh. Terserah engkok pean jajan opo. Tak turuti," bujukku dengan memohon Putri di hadapannya dan jawaban Putri hanya gelengan kepala.
(Ayo mengaji, Put. Kamu udah dibelikan Ayah tas bagus yang kamu inginkan. Dibelikan tempat pensil bertingkat. Temen-temen gak punya. Cuma kamu aja yang punya. Kalo kamu mengaji nanti tak kasih uang saku yang banyak. Terserah nanti kamu jajan apa. Aku turuti)
Mas Dul selalu bertanya, bagaimana srkolah tadi? Bagaimana mengajinya? Mau atau tidak. Hanya mengaji saja yang belum mau saat ini. Sudah enam bulan Putri tidak mengaji.
"Tak obonge ae tas karo tepak e. Pon ditumbasno pean cek sekolah karo ngaji sek pancet ae. Pean nek sek wedi karo Dhe Soir, lokno ae. Antemen pisan. Gak popo. Ojo wedi! Enten ayah," ujar Ayahnya menggebu. Kemudian, Mas Dul berdiri dan keluar dari kamarnya Putri.
(Tak bakar aja tas sama tempat pensilnya. Udah dibelikan kamu biar sekolah sama ngaji masih sama aja. Kamu kalo masih takut sama Pakdhe Soir, olok aja. Pukul aja sekalian. Gak papa. Jangan takut! Ada Ayah)
"Loh, Ayah moreng-moreng. Pean jalok opo ae pon dituruti ayah. Karepe pean opo? Nek pean gak gelem ngaji, sampe kapan? Diterno Ibuk ngaji ngge," ucapku pada Putri. Campur aduk perasannku saat ini. Kesal dengan omongan Mas Dul barusan dan bingung bujukan seperti apa lagi agar Putri mau menurutiku.
(Loh, Ayah marah-marah. Kamu minta apa aja dituruti Ayah. Maumu apa? Kalo kamu gak mau mengaji, sampe kapan? Diantar Ibu mengaji, ya)
Bersambung
Diubah oleh muyasy 07-12-2024 02:52
agoezsholich107 dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Tutup