- Beranda
- Stories from the Heart
Ekspedisi Arkeologi - Kutukan Desa Mola-Mola
...
TS
wedi
Ekspedisi Arkeologi - Kutukan Desa Mola-Mola
Quote:

Judul: Ekspedisi Arkeologi.
Genre: Petualangan/Misteri.
Status: TAMAT.
Sinopsis:
Kutukan Desa Mola-Mola adalah sebuah novel misteri yang mengikuti perjalanan seorang arkeolog bernama Satrio dalam mengungkap rahasia kutukan yang menyelimuti desa terpencil bernama Mola-Mola. Desa ini dihantui oleh kejadian-kejadian aneh setelah melupakan tradisi leluhur mereka. Bersama tim penelitinya, Satrio menemukan petunjuk dari prasasti kuno dan artefak tersembunyi yang mengarahkan mereka pada sebauh suku besar yang kini di kenal Mola-Mola.
Di tengah pencarian, Satrio terpisah dari tim dan berjuang bertahan hidup di hutan yang penuh bahaya, sementara tim penelitinya mencoba melacak jejaknya. Makin dalam mereka menelusuri misteri desa, semakin jelas bahwa kutukan itu bukan sekadar mitos, melainkan bagian dari balas dendam berdarah yang melibatkan masa lalu kelam dua keluarga besar desa. Di puncak ketegangan, mereka harus berpacu dengan waktu untuk menghentikan kutukan sebelum menghancurkan desa dan seluruh penghuninya.
Berikut salah satu karya yang sudah mulai saya kerjakan. Jumlah bab sudah mencapai 42 Bab. Bahkan sudah mendekati Tamat. Dan di sini juga teman-teman tidak perlu membaca, hehe.. Saya sudah merubahnya ke Audio.
Isi Post ini akan terus saya update jika peminatnya bagus, dan saya ada rencana akan merubah semua karya saya menjadi bentuk Audio, dan saya upload di youtube.
Spoiler for Daftar Cerita:
1. Rumah Terbengkalai [TAMAT]
2. Ekspedisi Arkeologi [On Going]
3. Rumah Terbengkalai II - Awal Kebangkitan [Next Projek]
4. Amnesia [Next Projek Revisi]
2. Ekspedisi Arkeologi [On Going]
3. Rumah Terbengkalai II - Awal Kebangkitan [Next Projek]
4. Amnesia [Next Projek Revisi]
Siapa tau rejeki saya bagus di sini. Aminn..
Quote:
Untuk daftar isi sementara saya update di sini lantaran TH belum bisa di edit. Semoga bisa menghibur. Update setiap hari. InsyaAllah, sampai tamat selama masih ada pembacanya.
Daftar Isi:
Bab 1: Desa Mola-Mola
Bab 2: Arkeologi Muda
Bab 3: Kepedihan Lisa dan Desa
Bab 4: Kutukan Kembali Vol. 1
Bab 4: Kutukan Kembali Vol. 2
Bab 4: Kutukan Kembali Vol. 3
Bab 4: Kutukan kembali Vol. 4 End
Bab 5: Tekad Satrio Vol. 1
Bab 5: Awal Petualangan Vol 2 End
Bab 6: Jejak Penjelajah
Bab 7: Ancaman Hutan
Bab 8: Misteri Batu Penjelajah
Bab 9: Prasasti Di Gua Batu
Bab 10: Arah Barat
Bab 11: Aksi Melewati Sungai
Bab 12: Hutan Misterius
Bab 13: Pria Kekar
Bab 14: Pria Desa Mola-Mola
Bab 15: Legenda Batu Kuno
Bab 16: Bab 16
Bab 16: Tim Satrio
Bab 17: Teka-teki Dibalik Kutukan V1
Bab 18: Teka-teki Dibalik Kutukan V2
Bab 19: Teka-teki Dibalik Kutukan V3
Bab 20: Teka-teki Dibalik Kutukan V4
Bab 21: Teka-teki Dibalik Kutukan V5
Bab 22: Teka-teki Dibalik Kutukan V6
Bab 23: Uraian Buku Catatan Satrio.
Bab 24: Babak Akhir V1
Bab 25: Babak Akhir V2
Bab 26: Babak Akhir V3
Bab 27: Babak Akhir V4
Bab 28: Babak Akhir V5
Bab 29: Hari Baru TAMAT
Daftar Isi:
Bab 1: Desa Mola-Mola
Bab 2: Arkeologi Muda
Bab 3: Kepedihan Lisa dan Desa
Bab 4: Kutukan Kembali Vol. 1
Bab 4: Kutukan Kembali Vol. 2
Bab 4: Kutukan Kembali Vol. 3
Bab 4: Kutukan kembali Vol. 4 End
Bab 5: Tekad Satrio Vol. 1
Bab 5: Awal Petualangan Vol 2 End
Bab 6: Jejak Penjelajah
Bab 7: Ancaman Hutan
Bab 8: Misteri Batu Penjelajah
Bab 9: Prasasti Di Gua Batu
Bab 10: Arah Barat
Bab 11: Aksi Melewati Sungai
Bab 12: Hutan Misterius
Bab 13: Pria Kekar
Bab 14: Pria Desa Mola-Mola
Bab 15: Legenda Batu Kuno
Bab 16: Bab 16
Bab 16: Tim Satrio
Bab 17: Teka-teki Dibalik Kutukan V1
Bab 18: Teka-teki Dibalik Kutukan V2
Bab 19: Teka-teki Dibalik Kutukan V3
Bab 20: Teka-teki Dibalik Kutukan V4
Bab 21: Teka-teki Dibalik Kutukan V5
Bab 22: Teka-teki Dibalik Kutukan V6
Bab 23: Uraian Buku Catatan Satrio.
Bab 24: Babak Akhir V1
Bab 25: Babak Akhir V2
Bab 26: Babak Akhir V3
Bab 27: Babak Akhir V4
Bab 28: Babak Akhir V5
Bab 29: Hari Baru TAMAT
Diubah oleh wedi 17-11-2024 14:14
sukhhoi dan 10 lainnya memberi reputasi
11
2.7K
Kutip
125
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
wedi
#52
Bab 28: Babak Akhir V4
Spoiler for Audio:
Spoiler for Teks:
Quote:
Beberapa saat kemudian, sosok itu terus bergerak menjauh dari desa, tubuhnya yang diselimuti asap kini mulai kehilangan bayangan kaburnya, menipis seiring langkah yang semakin tertatih.
Di bawah cahaya bulan yang menggantung di langit, sosoknya berhenti di hadapan sebuah bukit batu yang menjulang. Seperti makhluk pada umumnya, ia terlihat kelelahan, seolah telah mencapai batas kekuatannya. Bahunya merosot, dan sejenak ia terdiam, seolah mengumpulkan sisa-sisa kekuatan.
Sesekali tubuh kakunya, berbalik perlahan, seolah menyapu sekitar dengan waspada, memastikan bahwa tak ada yang mengikutinya.
Namun, jauh di balik bayang-bayang semak yang lebat, dua pasang mata tajam berkilat di kegelapan. Mereka bersembunyi, tak beranjak, hanya menunggu dengan cermat, mengintai setiap gerak sosok itu dengan napas yang tertahan.
Dengan tiba-tiba, sebuah tombak melesat cepat, berkilat dalam cahaya remang dan hampir menancap tepat di tubuh makhluk itu. Namun, dengan gesitnya, ia berhasil menghindar-meski hanya sejenak. Tanpa memberi kesempatan, sebuah pukulan telak langsung mendarat di wajahnya, membuat sosok itu terhuyung dan tersungkur ke tanah.
"Bajingan! Ini untuk semua kekacauan yang kau buat! Ini, ini, ini dan ini!" Ekot menggeram penuh amarah, melontarkan serangan demi serangan. Tinju Ekot menghantam kepala makhluk itu bertubi-tubi, tanpa ampun, mengeluarkan semua dendam yang telah lama terpendam.
Mahluk hitam itu berusaha bangkit, tapi seketika Ekot menerjang kembali. Ia melayangkan lututnya dengan keras, tepat di dada makhluk itu, memaksa tubuh gelap itu terjatuh ke pojok batu, tak berdaya.
Kegelapan malam dan amarah Ekot kini menyatu, seolah menjadi satu hukuman bagi makhluk yang terpojok itu, sementara detak jantung Ekot semakin kencang, meluapkan keganasan yang sudah lama ia pendam.
Makhluk itu dengan gesit melancarkan serangan balasan, kakinya menyapu ke arah betis Ekot, membuat pemuda itu kehilangan keseimbangan dan tersungkur ke tanah. Memanfaatkan kesempatan, makhluk itu berusaha bangkit, namun belum sempat ia mengambil langkah lebih jauh, Satrio melompat ke arahnya, mendorong tubuhnya hingga terhempas keras ke batu besar di belakangnya.
"Dari mana kau mendapatkan semua ini?!" sergah Satrio dengan nada penuh kemarahan, pandangannya tajam menghujam. Tanpa ragu ia mencengkeram wajah mahluk itu dengan kuat, lalu menariknya hingga terlepas.
Satrio menatap wajah pria itu, yang kini tampak jelas di balik wujud samar-samarnya. Terlihat wajah seorang pria dengan bekas luka, terengah dan penuh kepanikan, berbeda jauh dari sosok makhluk menakutkan yang tadi menyerang.
Hening menyelimuti mereka, hanya suara napas berat yang memenuhi udara. Ekot dan tombak runcingnya, menjadi ancaman nyata yang mematikan. Sedikit gerakan salah, niscaya tombak itu melesat menembus tubuhnya.
"Cepat jawab! Di mana kau mendapatkan semua ini?!" desak Satrio dengan nada penuh amarah.
Wajahnya memerah, sorot matanya berapi-api, membuat Ekot terkejut melihat luapan emosi Satrio yang tak pernah ia saksikan sebelumnya. Ekot tahu, ini bukan sekadar masalah desa. Ada sesuatu yang lebih pribadi, lebih dalam, yang membuat Satrio begitu murka.
"Apa pedulimu dengan pakaian ini!" balas pria itu, nadanya tajam dan penuh kebencian. "Dan kau, Ekot. Kau kira ini sudah berakhir? Sampai kapan pun, aku tak akan berhenti menghancurkan kalian, sebagaimana kalian menghancurkan keluargaku!"
Satrio menarik napas dalam, tatapannya tak lepas dari pria itu. "Nah, Ekot," ujarnya sambil mengeraskan nada, "apa kau mengenal orang ini?"
Ekot memandang pria itu dengan saksama, mencoba mengingat-ingat. "Aku tak mengenalnya secara langsung," Ekot bergumam, "tapi bentuk wajah bajingan ini... seperti tidak asing bagiku."
Hingga suara gemerisik dedaunan mengalihkan perhatian mereka. Di balik pepohonan, pria kekar lainnya tampak berlari menghampiri, wajahnya penuh ketegangan.
"Itu Paman Djaya," gumam Ekot, mengenali sosok yang kian mendekat.
Pria yang berada dalam cengkeraman Satrio tampak memalingkan wajah, rahangnya mengeras seolah enggan menghadapi sosok yang baru tiba.
"Ekot, akhirnya aku berhasil menemukan kalian," ujar Djaya dengan napas memburu. "Siapa orang ini?"
Satrio menatap pria di genggamannya dengan tajam. "Inilah perwujudan kutukan yang selama ini menebar teror di desa."
Djaya melangkah mendekat, amarah terlihat di matanya, tetapi langkahnya terhenti ketika raut wajah pria itu mulai terlihat jelas di bawah cahaya remang. Seketika, ekspresi Djaya berubah, campuran ketidakpercayaan dan kekhawatiran muncul di wajahnya.
“Tak mungkin... Itu bukan dia,” gumam Djaya pelan, menatap wajah pria itu lekat-lekat, seolah melihat sesuatu yang lebih dalam di balik sorot matanya.
“Mereka di sana!”
“Cepat, cepat,” terdengar seruan beberapa pemuda yang mendekat, diiringi derap langkah yang kian jelas.
“Balewa, Mantir, Nanjan. Bagaimana kalian bisa menemukan kami?” Ekot bertanya.
“Kami melihat gumpalan asap pekat masuk ke dalam ladang jagung, lalu kami mengambil jalan memutar untuk mengejarnya,” jawab Balewa, matanya tertuju pada pria yang masih berada dalam cengkeraman Satrio.
“Bedebah! Kau belum menjawab pertanyaanku!” sergah Satrio dengan suara yang penuh tekanan. “Menyerahlah, akhiri semua ini! Lihat wajah-wajah lelah mereka. Setiap malam mereka harus terjaga demi melindungi desa dari ancaman manusia bejat sepertimu!”
“Melindungi?” Pria itu menyeringai, lalu mengeraskan genggaman di lengan Satrio. Namun Ekot cepat-cepat mengarahkan ujung tombaknya lebih dekat ke arahnya.
“Ketika kami membutuhkan perlindungan itu, kemana kalian?” suara pria itu terdengar getir.
“Djata, hentikan semua ini,” ujar Djaya dengan nada lebih tenang, mencoba menggapai adiknya. “Percayalah, saat itu dan sekarang sangatlah berbeda.”
“Djata?” gumam Ekot, terkejut. “Apakah orang ini… Djata, Paman?”
Djaya mengangguk, tatapannya penuh rasa sesal. “Ya, itulah dia. Kau tak akan mengenalnya, Ekot. Aku pun tak menyangka jika adikku masih hidup. Dia meninggalkan desa saat usianya baru delapan tahun.”
Kata-kata Djaya membuat semua yang hadir terdiam, masing-masing mencerna fakta bahwa pria di hadapan mereka ternyata adalah seseorang yang seharusnya menjadi bagian dari mereka.
Djata mendengus, tatapan tajamnya mengarah langsung pada Djaya. "Kau dan aku berbeda, Djaya. Kau tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi, itulah mengapa kau begitu lemah!"
Tanpa peringatan, Djaya menerjang Djata, pukulannya mendarat keras hingga Djata terhuyung mundur dan tersungkur. "Kau masih menyimpan dendam itu, Djata! Apapun yang terjadi pada Nara dan Sanja, kami semua kini sangat menghargai mereka. Tapi kau, kau justru mencemarkan kehormatan mereka dengan tindakan seperti ini!"
Djata mendongak dengan sorot mata berkilat penuh amarah. “Jika bukan karena kakek bedebah itu! Pasti keluarga kita masih utuh! Dia, dengan pikirannya yang busuk, merenggut kehormatan Nara dan Sanja. Dia tak terima saat Ayah terpilih sebagai petua adat! Tapi mengapa Ayah lebih peduli pada gelarnya daripada anak-anaknya sendiri? Hah! Jawab aku, Djaya! Apa itu wujud kasih sayang seorang ayah yang seharusnya melindungi darah dagingnya?”
Suasana hening mencekam, tiap kata dari Djata menyisakan perih bagi siapa pun yang mendengarnya. Djaya tampak tercekat, teringat kembali pada kenangan yang telah lama berusaha ia lupakan, namun kini terangkat lagi di hadapan mereka semua.
Djata menggeram rendah, tatapannya tajam, menusuk ke arah Satrio yang masih menggenggam kerahnya. "Kau pikir aku sudi hidup dengan orang seperti itu? Itulah sebabnya aku memilih orang yang lebih layak untuk menjadi ayah bagiku," ujarnya, suaranya penuh kebencian yang terpendam.
Semua orang di sekitar mereka tak mengendurkan kewaspadaan, meskipun kata-kata Djata mengundang keheningan yang mencekam.
"Salah seorang dari mereka," lanjut Djata dengan getir, "orang itu benar-benar memberikan kasih sayang seorang ayah saat penyakit aneh menyerang desa. Dia merawatku saat tak ada yang peduli." Djata memandang Satrio dengan tatapan sinis.
Satrio tak menggubris tatapan itu, menahan diri sejenak sebelum bertanya, "Kemana mereka pergi?"
Djata mendesis kasar. "Dasar orang asing sialan, kau pikir kau siapa untuk menginterogasiku begitu?"
Dengan sekali hentakan, Satrio menarik kerahnya lebih kuat. Sorot matanya berkobar penuh amarah, hingga tak ada yang bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Di antara mereka... ada ayahku!" teriaknya. Kata-kata itu membuat semua orang terkesiap, bahkan Ekot memandang Satrio dengan tatapan tak percaya.
"Mereka semua... telah tewas," jawab Djata singkat, suaranya lirih.
Ekot melirik getir ke arah Satrio. "Ageo," gumamnya.
"Harapan terakhirku hancur begitu saja, seolah alam tak pernah mengizinkanku bahagia," ucap Djata nada suaranya melemah, penuh penyesalan yang tak terucapkan. "Setelah berkelana di dalam hutan mencarinya, akhirnya aku menemukannya. Dia berjanji akan membawaku ke tempatnya, memberiku kehidupan yang lebih baik. Dia sering bercerita padaku... tentang seorang anak yang ia miliki. Tentang keluarga yang pernah ia tinggalkan..." Mata Djata tampak redup, membawa seluruh luka lama yang ia coba simpan rapat-rapat di dalam dadanya.
Djata menarik napas panjang, matanya menerawang jauh, seakan kembali ke masa lalu yang penuh kenangan pahit. "Bukan hanya dia yang menyayangiku," katanya dengan suara serak, "tapi teman-temannya juga. Mereka memperlakukanku seperti keluarga. Saat mereka sibuk bekerja, akulah yang pergi berburu. Tak peduli apa yang kubawa, kami selalu menyantapnya bersama, tertawa, merasa hangat meski hidup di tengah kerasnya hutan."
Ia mengelus bola-bola asap di tangannya, seolah barang itu adalah peninggalan terakhir dari masa lalunya. "Ayah angkatku... dia khawatir dengan bahaya yang mengintai. Dia memberiku bola-bola asap ini, katanya untuk melindungiku dari hewan buas. Aku masih ingat saat pertama kali menggunakannya pada seekor harimau besar yang hendak menerkam. Begitu aku lempar bola ini, kucing besar itu terkapar tak berdaya."
Suaranya kemudian bergetar, menyimpan penyesalan dan duka yang tak terucapkan. "Tapi suatu hari, saat aku kembali dari berburu, aku menemukan mereka... semuanya... sudah tergeletak, tak bernyawa. Orang-orang yang kusebut keluarga, orang yang pernah berjanji akan melindungiku… lenyap begitu saja, tanpa sempat mengucapkan kata perpisahan."
Ia meronta, memukul-mukul dadanya, lalu menjambak rambutnya dengan geram. "Dan itulah yang membuat dendam lama ini kembali membara. Aku tak ingin hidup sendirian dalam kesakitan. Aku ingin kalian semua merasakan apa yang aku rasakan!" ucapnya, nada suaranya penuh getir. Matanya menyala, penuh kemarahan yang terpendam begitu lama. "Aku bisa saja menghentikan kalian semua..."
Belum selesai ia berkata, sebuah tinju keras mendarat di pipinya, membuatnya tersentak mundur. Satrio berdiri di depannya, napasnya terengah-engah. "Apa dengan semua yang kau lakukan, itu akan memperbaiki semuanya? Kau pikir Nara, Sanja, dan ayah angkatmu akan bangga melihat perbuatanmu ini? Kau justru membuat mereka lebih sedih!" Satrio berseru dengan kemarahan yang belum padam. Sorot matanya tajam, meski ada bara amarah yang membara, ia mencoba menahan diri, berusaha mengendalikan emosi yang hampir meledak.
Djata terdiam, matanya kosong, seolah kata-kata Satrio menusuk jauh ke dalam hatinya. Untuk pertama kalinya, ia merasakan betapa hancurnya semua tindakannya. Perlahan, wajahnya berubah muram, kesadarannya mulai perlahan kembali.
"Ekot, aku serahkan Djata padamu," ujar Djaya dengan nada tegas, langkahnya berat namun penuh pengertian.
Ekot menggelengkan kepalanya dengan lembut, pandangannya tak lepas dari Djata yang kini tertunduk. "Tidak, Paman. Aku tak berhak untuk itu. Biarlah keluarga korban yang menentukan nasibnya." Ekot menatap Djata dengan penuh penyesalan, namun tekadnya tetap teguh. "Balewa, Mantir. Bawa dia kembali ke desa."
Tanpa berkata lagi, Balewa dan Mantir bergerak maju, mengapit Djata dengan penuh kewaspadaan. Mereka mulai membawa Djata menjauh dari tempat itu, langkah mereka mantap, sementara suasana hening menggantung di udara.
Derap langkah rombongan Djata perlahan meredup di balik kegelapan malam, menyisakan perasaan getir yang menusuk dalam kesunyian. Satrio dan Ekot masih berdiri di tempat mereka, terdiam, masing-masing tenggelam dalam pikiran yang tak terucapkan.
Tatapan Satrio jatuh pada sebuah benda yang tergeletak di tanah, perlengkapan yang tadi digunakan Djaya. Dengan hati-hati, ia membungkuk dan mengangkat masker gas itu, memeriksanya dalam keheningan. Tiba-tiba, matanya tertumbuk pada sebuah label kecil di sisi masker--nama ayahnya tertulis jelas di sana. Jemarinya membeku, sementara perasaannya campur aduk antara rindu, marah, dan kepedihan yang mengendap begitu lama.
Ekot menatap Satrio dengan raut prihatin. "Aku tidak tahu apa yang bisa kukatakan, Ageo," ucap Ekot perlahan. "Jujur saja, aku tak pandai berkata-kata. Tapi ketahuilah, kau bisa percaya pada kami. Meski kenyataan itu pahit, kami semua di sini untukmu."
Satrio tersenyum tipis, mengangguk pelan. "Terima kasih, Ekot. Aku tahu itu. Hanya saja... ada saatnya seseorang merasa terpukul lebih dari yang bisa ia bayangkan. Mungkin ini salah satu dari dua kali dalam hidupku," jawabnya dengan suara yang nyaris berbisik. Ia menatap hampa pada masker di tangannya sebelum akhirnya berkata. "Baiklah, kita sebaiknya kembali ke desa, Ekot," lanjutnya.
Keduanya pun berbalik, melangkah menyusuri jalan setapak yang mulai diselimuti kabut. Malam begitu hening, dan dalam kesunyian itu, mereka berjalan berdampingan, membiarkan damai yang samar menyelimuti langkah mereka yang berat.
Diubah oleh wedi 17-11-2024 14:25
sampeuk dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Kutip
Balas
Tutup