- Beranda
- Stories from the Heart
Ekspedisi Arkeologi - Kutukan Desa Mola-Mola
...
TS
wedi
Ekspedisi Arkeologi - Kutukan Desa Mola-Mola
Quote:

Judul: Ekspedisi Arkeologi.
Genre: Petualangan/Misteri.
Status: TAMAT.
Sinopsis:
Kutukan Desa Mola-Mola adalah sebuah novel misteri yang mengikuti perjalanan seorang arkeolog bernama Satrio dalam mengungkap rahasia kutukan yang menyelimuti desa terpencil bernama Mola-Mola. Desa ini dihantui oleh kejadian-kejadian aneh setelah melupakan tradisi leluhur mereka. Bersama tim penelitinya, Satrio menemukan petunjuk dari prasasti kuno dan artefak tersembunyi yang mengarahkan mereka pada sebauh suku besar yang kini di kenal Mola-Mola.
Di tengah pencarian, Satrio terpisah dari tim dan berjuang bertahan hidup di hutan yang penuh bahaya, sementara tim penelitinya mencoba melacak jejaknya. Makin dalam mereka menelusuri misteri desa, semakin jelas bahwa kutukan itu bukan sekadar mitos, melainkan bagian dari balas dendam berdarah yang melibatkan masa lalu kelam dua keluarga besar desa. Di puncak ketegangan, mereka harus berpacu dengan waktu untuk menghentikan kutukan sebelum menghancurkan desa dan seluruh penghuninya.
Berikut salah satu karya yang sudah mulai saya kerjakan. Jumlah bab sudah mencapai 42 Bab. Bahkan sudah mendekati Tamat. Dan di sini juga teman-teman tidak perlu membaca, hehe.. Saya sudah merubahnya ke Audio.
Isi Post ini akan terus saya update jika peminatnya bagus, dan saya ada rencana akan merubah semua karya saya menjadi bentuk Audio, dan saya upload di youtube.
Spoiler for Daftar Cerita:
1. Rumah Terbengkalai [TAMAT]
2. Ekspedisi Arkeologi [On Going]
3. Rumah Terbengkalai II - Awal Kebangkitan [Next Projek]
4. Amnesia [Next Projek Revisi]
2. Ekspedisi Arkeologi [On Going]
3. Rumah Terbengkalai II - Awal Kebangkitan [Next Projek]
4. Amnesia [Next Projek Revisi]
Siapa tau rejeki saya bagus di sini. Aminn..
Quote:
Untuk daftar isi sementara saya update di sini lantaran TH belum bisa di edit. Semoga bisa menghibur. Update setiap hari. InsyaAllah, sampai tamat selama masih ada pembacanya.
Daftar Isi:
Bab 1: Desa Mola-Mola
Bab 2: Arkeologi Muda
Bab 3: Kepedihan Lisa dan Desa
Bab 4: Kutukan Kembali Vol. 1
Bab 4: Kutukan Kembali Vol. 2
Bab 4: Kutukan Kembali Vol. 3
Bab 4: Kutukan kembali Vol. 4 End
Bab 5: Tekad Satrio Vol. 1
Bab 5: Awal Petualangan Vol 2 End
Bab 6: Jejak Penjelajah
Bab 7: Ancaman Hutan
Bab 8: Misteri Batu Penjelajah
Bab 9: Prasasti Di Gua Batu
Bab 10: Arah Barat
Bab 11: Aksi Melewati Sungai
Bab 12: Hutan Misterius
Bab 13: Pria Kekar
Bab 14: Pria Desa Mola-Mola
Bab 15: Legenda Batu Kuno
Bab 16: Bab 16
Bab 16: Tim Satrio
Bab 17: Teka-teki Dibalik Kutukan V1
Bab 18: Teka-teki Dibalik Kutukan V2
Bab 19: Teka-teki Dibalik Kutukan V3
Bab 20: Teka-teki Dibalik Kutukan V4
Bab 21: Teka-teki Dibalik Kutukan V5
Bab 22: Teka-teki Dibalik Kutukan V6
Bab 23: Uraian Buku Catatan Satrio.
Bab 24: Babak Akhir V1
Bab 25: Babak Akhir V2
Bab 26: Babak Akhir V3
Bab 27: Babak Akhir V4
Bab 28: Babak Akhir V5
Bab 29: Hari Baru TAMAT
Daftar Isi:
Bab 1: Desa Mola-Mola
Bab 2: Arkeologi Muda
Bab 3: Kepedihan Lisa dan Desa
Bab 4: Kutukan Kembali Vol. 1
Bab 4: Kutukan Kembali Vol. 2
Bab 4: Kutukan Kembali Vol. 3
Bab 4: Kutukan kembali Vol. 4 End
Bab 5: Tekad Satrio Vol. 1
Bab 5: Awal Petualangan Vol 2 End
Bab 6: Jejak Penjelajah
Bab 7: Ancaman Hutan
Bab 8: Misteri Batu Penjelajah
Bab 9: Prasasti Di Gua Batu
Bab 10: Arah Barat
Bab 11: Aksi Melewati Sungai
Bab 12: Hutan Misterius
Bab 13: Pria Kekar
Bab 14: Pria Desa Mola-Mola
Bab 15: Legenda Batu Kuno
Bab 16: Bab 16
Bab 16: Tim Satrio
Bab 17: Teka-teki Dibalik Kutukan V1
Bab 18: Teka-teki Dibalik Kutukan V2
Bab 19: Teka-teki Dibalik Kutukan V3
Bab 20: Teka-teki Dibalik Kutukan V4
Bab 21: Teka-teki Dibalik Kutukan V5
Bab 22: Teka-teki Dibalik Kutukan V6
Bab 23: Uraian Buku Catatan Satrio.
Bab 24: Babak Akhir V1
Bab 25: Babak Akhir V2
Bab 26: Babak Akhir V3
Bab 27: Babak Akhir V4
Bab 28: Babak Akhir V5
Bab 29: Hari Baru TAMAT
Diubah oleh wedi 17-11-2024 14:14
sukhhoi dan 10 lainnya memberi reputasi
11
2.7K
Kutip
125
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
wedi
#28
Bab 9: Keputusan yang Berat.
Spoiler for Audio:
Spoiler for Teks:
Quote:
Bab 9: Keputusan yang Berat:
Hembusan nafasnya memburu, raut wajahnya terlukis panik, langkahnya cepat dan terbata-bata di tengah hutan yang gelap gulita. Pepohonan menjulang tinggi di sekelilingnya, batang-batangnya berliku seperti tangan raksasa yang ingin menghalangi jalan. Kegelapan malam menutupi segala sesuatu, menyisakan hanya suara derak ranting yang patah di bawah kakinya dan desisan nafasnya yang berat. Setiap detakan jantungnya terasa menggema, seolah mengiringi irama ketakutannya.
Sesekali Satrio menoleh ke belakang, sosok kekar muncul dari bayang-bayang, mengintimidasi dan angkuh. Pria itu membawa tombak tajam di tangannya, ujungnya berkilau samar dalam cahaya bulan yang terhalang awan. Setiap langkah pria itu seolah membawa beban kemarahan, suara langkahnya berat dan bergetar, semakin mendekat dengan cepat.
Hingga Satrio tidak berani melirik ke belakang. Ketakutan menyelusup dalam pikirannya, membayangkan apa yang akan terjadi jika tombak itu menyentuh tubuhnya. Dengan setiap napas, ia berusaha menenangkan diri, namun ketegangan justru membuatnya semakin cepat berlari. Rasa dingin malam menusuk kulitnya, tapi itu tidak sebanding dengan panas yang mengalir di dalam dada—panik yang tak tertahankan.
Dedaunan yang rimbun menggaruk wajahnya saat ia melintasi semak-semak, menciptakan rasa sakit yang samar di kulitnya. Kaki Satrio terasa berat, namun ia tahu bahwa ia tidak bisa berhenti. Ia harus mencari jalan keluar dari kegelapan ini, dari bayang-bayang yang mengintainya. Pria itu semakin dekat, suara nafasnya bisa terdengar, berat dan terengah-engah, menggambarkan niat yang tak terbantahkan.
Di tengah keputusasaan, Satrio melihat sebuah celah di antara pepohonan. Dengan semua tenaga yang tersisa, ia melompat ke arah sana, berharap bisa menemukan tempat aman. Namun, ketakutannya terus membayangi, menuntunnya ke dalam ketidakpastian dan kegelapan yang semakin dalam.
Satrio terhentak dari tidurnya, dengan napas terengah-engah, tubuhnya menggigil meski dikelilingi oleh kehangatan tenda. Dalam hening, ia teringat akan mimpi buruk yang baru saja dialaminya. Bayangan pria kekar dengan tombak tajam yang memburu, seolah-olah ancaman itu nyata dan dekat. Rasanya, ketegangan yang mengikatnya saat berlari masih terasa di seluruh tubuhnya.
Saat ia menatap sekelilingnya, cahaya lembut matahari menembus celah-celah tenda, menghangatkan wajahnya yang letih. Suara gemerisik daun dan kicauan burung di kejauhan menjadi latar belakang yang menenangkan, membiarkan pikirannya sesaat melayang dalam kedamaian alam. Namun, di balik ketenangan pagi itu, semangat yang kembali menyala mulai menyelinap di benaknya, menyadarkannya akan sebuah temuan penting yang menantinya di dalam gua batu.—Sebuah batu prasasti berukuran besar, berdiri kokoh pada salah satu sudut di dalam Gua. Tempat ini berupa bukit batu yang telah ia temukan setelah menempuh perjalanan panjang dan melelahkan.
Perjalanan itu bukan hanya menguras fisiknya, tapi juga mental dan ketahanan dirinya. Badai, hujan, dan malam-malam penuh ancaman di hutan membuatnya meragukan setiap langkah yang ia ambil. Dengan perbekalan yang semakin menipis, setiap hari yang berlalu menjadi ujian, mengikis logistik dan daya tahannya sedikit demi sedikit. Namun, di balik segala kelelahan itu, ingatan tentang temuan batu Penjelajah tersebut memantik tekadnya, memberinya alasan untuk terus bertahan.
Ia menegakkan tubuh, merasakan otot-ototnya yang masih terasa kaku. Pagi ini, ia tahu bahwa penantiannya telah berakhir, dan waktunya untuk menjawab misteri di gua batu itu akhirnya tiba.
Satrio kemudian bergerak cepat untuk merapikan tenda. Ia menggulung kantong tidur dan menyimpan peralatan ke dalam tas, setiap gerakan diiringi oleh kesadaran akan waktu yang terus berjalan. "Aku tidak sabar, melihat reaksi mereka atas temuan baruku ini," gumam Satrio, tersenyum lebar.
Setelah semua barang siap, Satrio mengambil ponsel dan berusaha menghubungi timnya. Dengan jari-jarinya yang bergetar, ia membuka aplikasi panggilan video dan tak menunggu lama semua timnya pun bergabung.
"Gilang! Rio, Bayu! Lihat ini." Seru Satrio, menyiapkan beberapa foto untuk menampilkannya di layar ponsel.
"Hai, apa ini?" suara Gilang terdengar sangat antusias. "Ini prasasti kuno lagi?"
Terdengar suara Rio tertawa di ujung panggilan, "Aku tidak habis pikir, walau keras kepala, tapi selalu membawakan hasil luar biasa."
"Kau berada di dalam Gua?" Bayu bertanya, mengomentari gambar yang tampil di layar.
"Ya, ini aku temukan pada sebuah bukit batu," sahut Satrio. “Baiklah, teman-teman, simpan rasa puas itu. Saat ini kita punya beberapa simbol yang harus kita pecahkan." Satrio membagikan beberapa gambar yang ia ambil sebelumnya.
"Kita memiliki ukiran sebuah pohon besar, beberapa garis-garis melengkung dengan dua lingkaran di atasnya, dan beberapa pengembala yang menujuk ke arah lingkaran. Apa pendapat kalian tentang ini?” ungkap Satrio.
Gilang berpikir sejenak, kemudian menjawab, “Aku rasa pohon itu melambangkan sesuatu yang sakral. Mungkin terkait dengan persembahan atau penghormatan kepada dewa-dewa. Pohon sering kali menjadi simbol kehidupan.”
“Bisa jadi,” Bayu menambahkan. “Dan untuk dua lingkaran di atasnya, mungkin mereka menggambarkan siklus kehidupan atau kesuburan. Ada kemungkinan itu berhubungan dengan panen atau musim.”
Satrio mengernyitkan dahi. “Tapi, apa maksudnya dengan beberapa pengembala yang terlihat menunjuk ke arah dua lingkaran itu? Kenapa mereka melakukan itu?”
“Di situlah segalanya menjadi ambigu,” Gilang mengakui. “Kenapa pengembala harus menunjuk ke sana? Apakah mereka memperingatkan atau justru menunjukkan sesuatu yang penting?”
Rio mencuri perhatian dengan pandangan tajamnya. “Kalau boleh menambahkan, orang-orang zaman dahulu sering kali menentukan arah dengan berpatokan pada matahari atau bintang. Mungkin pengembala itu menunjukkan arah yang penting, seperti tempat pertemuan atau lokasi suci yang berhubungan dengan dua lingkaran itu.”
Satrio tampak merenung, menimbang semua informasi yang didapat. “Jika mereka menunjuk ke arah itu, mungkin ada yang harus kita cari di sana. Ini semakin membuatku yakin, batu ini sedang mengisahkan tentang sebuah suku yang jauh dari sini. Mungkin ada ritual atau tradisi yang mereka lakukan.”
Gilang dengan segera menambahkan, “Cukup, Tri! Penemuanmu sudah lebih dari cukup. Jangan buat kita kembali berdebat akan hal itu.”
“Aku setuju sama Gilang,” Rio menegaskan. “Sebaiknya, kamu segera menuju ke Pos Dua, Tri."
Beberapa hari belakangan ini, Satrio selalu berdebat dengan timnya. Bukan karena berbeda pendapat, melainkan karena ada kekhawatiran yang dirasakan oleh timnya terhadap kondisi Satrio.
“Jangan keras kepala, Satrio. Coba lihat perbekalanmu. Apa masih cukup?” Bayu menyela dengan nada khawatir. “Bahkan kita tidak tahu seberapa jauh lagi kamu harus berjalan.”
Satrio hanya terdiam, menghadapi dilema yang lebih rumit. Dalam hatinya, ia ingin melanjutkan perjalanan untuk mengungkap misteri yaNg menggelisahkan pikirannya, namun semua timnya menginginkan ia untuk segera kembali.
Dengan napas dalam, Satrio berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Tapi, kalian tahu betapa pentingnya ini. Kita bisa mendapatkan informasi yang sangat berharga.”
“Tri,” Gilang memotong, “kesehatanmu lebih penting. Kita tidak ingin mengambil risiko yang lebih besar. Kita sudah sampai sejauh ini.”
Satrio merasakan tekanan dari semua arah. Ia mengalihkan pandang ke arah hutan dari balik mulut gua. Keinginan untuk menjelajahi semakin menguat, namun ia juga harus mempertimbangkan kondisinya saat ini.
“Berikan aku satu hari lagi,” pintanya, suaranya rendah. “Aku hanya butuh sedikit waktu untuk memastikan.”
Rio menggelengkan kepala, “Satrio, tolong dengarkan kita kali ini. Dengan sisa perbekalanmu saat ini, itu tidak akan cukup untuk sampai ke Pos Dua. Dan kamu masih harus melanjutkan ke Pos Satu.”
Sejenak suasana terhening, rasa gelisah dan cemas menggantung di udara. Dengan ragu, Satrio berkata, “Mungkin aku bisa berburu, atau memakan tumbuhan yang ada di hutan ini.”
Mendengar itu, Rio dan yang lain kompak bersuara, “Apa? Tidak-tidak!”
Bayu menambahkan dengan tegas, “Aku akui kamu handal di beberapa aspek. Tapi kamu buruk di bidang itu!”
Gilang pun ikut berkomentar, “Apa kamu lupa Tri? Saat kita di hutan, berapa kali kamu salah menilai mana yang bisa dimakan dan mana yang tidak. Bahkan kamu nyaris memakan buah beracun!”
“Aku tahu ambisimu besar, tekadmu kuat. Tapi gunakan logikamu Tri,” tambah Rio, nada suaranya berusaha menenangkan.
Kehangatan di antara mereka mulai mengendur, dan Satrio merasakan beban di pundaknya semakin berat. Ia menatap wajah-wajah khawatir teman-temannya. Di dalam hatinya, ragu semakin menggerogoti keinginannya untuk melanjutkan pencarian.
“Baiklah,” akhirnya ia mengalah. “Aku akan mempertimbangkan semua ini.” Meskipun Kata-katanya terdengar mantap, dalam hati ia merasa bimbang. Keputusan untuk kembali bukanlah yang ia inginkan, namun ia tahu betapa pentingnya kekhawatiran timnya.
Hembusan nafasnya memburu, raut wajahnya terlukis panik, langkahnya cepat dan terbata-bata di tengah hutan yang gelap gulita. Pepohonan menjulang tinggi di sekelilingnya, batang-batangnya berliku seperti tangan raksasa yang ingin menghalangi jalan. Kegelapan malam menutupi segala sesuatu, menyisakan hanya suara derak ranting yang patah di bawah kakinya dan desisan nafasnya yang berat. Setiap detakan jantungnya terasa menggema, seolah mengiringi irama ketakutannya.
Sesekali Satrio menoleh ke belakang, sosok kekar muncul dari bayang-bayang, mengintimidasi dan angkuh. Pria itu membawa tombak tajam di tangannya, ujungnya berkilau samar dalam cahaya bulan yang terhalang awan. Setiap langkah pria itu seolah membawa beban kemarahan, suara langkahnya berat dan bergetar, semakin mendekat dengan cepat.
Hingga Satrio tidak berani melirik ke belakang. Ketakutan menyelusup dalam pikirannya, membayangkan apa yang akan terjadi jika tombak itu menyentuh tubuhnya. Dengan setiap napas, ia berusaha menenangkan diri, namun ketegangan justru membuatnya semakin cepat berlari. Rasa dingin malam menusuk kulitnya, tapi itu tidak sebanding dengan panas yang mengalir di dalam dada—panik yang tak tertahankan.
Dedaunan yang rimbun menggaruk wajahnya saat ia melintasi semak-semak, menciptakan rasa sakit yang samar di kulitnya. Kaki Satrio terasa berat, namun ia tahu bahwa ia tidak bisa berhenti. Ia harus mencari jalan keluar dari kegelapan ini, dari bayang-bayang yang mengintainya. Pria itu semakin dekat, suara nafasnya bisa terdengar, berat dan terengah-engah, menggambarkan niat yang tak terbantahkan.
Di tengah keputusasaan, Satrio melihat sebuah celah di antara pepohonan. Dengan semua tenaga yang tersisa, ia melompat ke arah sana, berharap bisa menemukan tempat aman. Namun, ketakutannya terus membayangi, menuntunnya ke dalam ketidakpastian dan kegelapan yang semakin dalam.
Satrio terhentak dari tidurnya, dengan napas terengah-engah, tubuhnya menggigil meski dikelilingi oleh kehangatan tenda. Dalam hening, ia teringat akan mimpi buruk yang baru saja dialaminya. Bayangan pria kekar dengan tombak tajam yang memburu, seolah-olah ancaman itu nyata dan dekat. Rasanya, ketegangan yang mengikatnya saat berlari masih terasa di seluruh tubuhnya.
Saat ia menatap sekelilingnya, cahaya lembut matahari menembus celah-celah tenda, menghangatkan wajahnya yang letih. Suara gemerisik daun dan kicauan burung di kejauhan menjadi latar belakang yang menenangkan, membiarkan pikirannya sesaat melayang dalam kedamaian alam. Namun, di balik ketenangan pagi itu, semangat yang kembali menyala mulai menyelinap di benaknya, menyadarkannya akan sebuah temuan penting yang menantinya di dalam gua batu.—Sebuah batu prasasti berukuran besar, berdiri kokoh pada salah satu sudut di dalam Gua. Tempat ini berupa bukit batu yang telah ia temukan setelah menempuh perjalanan panjang dan melelahkan.
Perjalanan itu bukan hanya menguras fisiknya, tapi juga mental dan ketahanan dirinya. Badai, hujan, dan malam-malam penuh ancaman di hutan membuatnya meragukan setiap langkah yang ia ambil. Dengan perbekalan yang semakin menipis, setiap hari yang berlalu menjadi ujian, mengikis logistik dan daya tahannya sedikit demi sedikit. Namun, di balik segala kelelahan itu, ingatan tentang temuan batu Penjelajah tersebut memantik tekadnya, memberinya alasan untuk terus bertahan.
Ia menegakkan tubuh, merasakan otot-ototnya yang masih terasa kaku. Pagi ini, ia tahu bahwa penantiannya telah berakhir, dan waktunya untuk menjawab misteri di gua batu itu akhirnya tiba.
Satrio kemudian bergerak cepat untuk merapikan tenda. Ia menggulung kantong tidur dan menyimpan peralatan ke dalam tas, setiap gerakan diiringi oleh kesadaran akan waktu yang terus berjalan. "Aku tidak sabar, melihat reaksi mereka atas temuan baruku ini," gumam Satrio, tersenyum lebar.
Setelah semua barang siap, Satrio mengambil ponsel dan berusaha menghubungi timnya. Dengan jari-jarinya yang bergetar, ia membuka aplikasi panggilan video dan tak menunggu lama semua timnya pun bergabung.
"Gilang! Rio, Bayu! Lihat ini." Seru Satrio, menyiapkan beberapa foto untuk menampilkannya di layar ponsel.
"Hai, apa ini?" suara Gilang terdengar sangat antusias. "Ini prasasti kuno lagi?"
Terdengar suara Rio tertawa di ujung panggilan, "Aku tidak habis pikir, walau keras kepala, tapi selalu membawakan hasil luar biasa."
"Kau berada di dalam Gua?" Bayu bertanya, mengomentari gambar yang tampil di layar.
"Ya, ini aku temukan pada sebuah bukit batu," sahut Satrio. “Baiklah, teman-teman, simpan rasa puas itu. Saat ini kita punya beberapa simbol yang harus kita pecahkan." Satrio membagikan beberapa gambar yang ia ambil sebelumnya.
"Kita memiliki ukiran sebuah pohon besar, beberapa garis-garis melengkung dengan dua lingkaran di atasnya, dan beberapa pengembala yang menujuk ke arah lingkaran. Apa pendapat kalian tentang ini?” ungkap Satrio.
Gilang berpikir sejenak, kemudian menjawab, “Aku rasa pohon itu melambangkan sesuatu yang sakral. Mungkin terkait dengan persembahan atau penghormatan kepada dewa-dewa. Pohon sering kali menjadi simbol kehidupan.”
“Bisa jadi,” Bayu menambahkan. “Dan untuk dua lingkaran di atasnya, mungkin mereka menggambarkan siklus kehidupan atau kesuburan. Ada kemungkinan itu berhubungan dengan panen atau musim.”
Satrio mengernyitkan dahi. “Tapi, apa maksudnya dengan beberapa pengembala yang terlihat menunjuk ke arah dua lingkaran itu? Kenapa mereka melakukan itu?”
“Di situlah segalanya menjadi ambigu,” Gilang mengakui. “Kenapa pengembala harus menunjuk ke sana? Apakah mereka memperingatkan atau justru menunjukkan sesuatu yang penting?”
Rio mencuri perhatian dengan pandangan tajamnya. “Kalau boleh menambahkan, orang-orang zaman dahulu sering kali menentukan arah dengan berpatokan pada matahari atau bintang. Mungkin pengembala itu menunjukkan arah yang penting, seperti tempat pertemuan atau lokasi suci yang berhubungan dengan dua lingkaran itu.”
Satrio tampak merenung, menimbang semua informasi yang didapat. “Jika mereka menunjuk ke arah itu, mungkin ada yang harus kita cari di sana. Ini semakin membuatku yakin, batu ini sedang mengisahkan tentang sebuah suku yang jauh dari sini. Mungkin ada ritual atau tradisi yang mereka lakukan.”
Gilang dengan segera menambahkan, “Cukup, Tri! Penemuanmu sudah lebih dari cukup. Jangan buat kita kembali berdebat akan hal itu.”
“Aku setuju sama Gilang,” Rio menegaskan. “Sebaiknya, kamu segera menuju ke Pos Dua, Tri."
Beberapa hari belakangan ini, Satrio selalu berdebat dengan timnya. Bukan karena berbeda pendapat, melainkan karena ada kekhawatiran yang dirasakan oleh timnya terhadap kondisi Satrio.
“Jangan keras kepala, Satrio. Coba lihat perbekalanmu. Apa masih cukup?” Bayu menyela dengan nada khawatir. “Bahkan kita tidak tahu seberapa jauh lagi kamu harus berjalan.”
Satrio hanya terdiam, menghadapi dilema yang lebih rumit. Dalam hatinya, ia ingin melanjutkan perjalanan untuk mengungkap misteri yaNg menggelisahkan pikirannya, namun semua timnya menginginkan ia untuk segera kembali.
Dengan napas dalam, Satrio berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Tapi, kalian tahu betapa pentingnya ini. Kita bisa mendapatkan informasi yang sangat berharga.”
“Tri,” Gilang memotong, “kesehatanmu lebih penting. Kita tidak ingin mengambil risiko yang lebih besar. Kita sudah sampai sejauh ini.”
Satrio merasakan tekanan dari semua arah. Ia mengalihkan pandang ke arah hutan dari balik mulut gua. Keinginan untuk menjelajahi semakin menguat, namun ia juga harus mempertimbangkan kondisinya saat ini.
“Berikan aku satu hari lagi,” pintanya, suaranya rendah. “Aku hanya butuh sedikit waktu untuk memastikan.”
Rio menggelengkan kepala, “Satrio, tolong dengarkan kita kali ini. Dengan sisa perbekalanmu saat ini, itu tidak akan cukup untuk sampai ke Pos Dua. Dan kamu masih harus melanjutkan ke Pos Satu.”
Sejenak suasana terhening, rasa gelisah dan cemas menggantung di udara. Dengan ragu, Satrio berkata, “Mungkin aku bisa berburu, atau memakan tumbuhan yang ada di hutan ini.”
Mendengar itu, Rio dan yang lain kompak bersuara, “Apa? Tidak-tidak!”
Bayu menambahkan dengan tegas, “Aku akui kamu handal di beberapa aspek. Tapi kamu buruk di bidang itu!”
Gilang pun ikut berkomentar, “Apa kamu lupa Tri? Saat kita di hutan, berapa kali kamu salah menilai mana yang bisa dimakan dan mana yang tidak. Bahkan kamu nyaris memakan buah beracun!”
“Aku tahu ambisimu besar, tekadmu kuat. Tapi gunakan logikamu Tri,” tambah Rio, nada suaranya berusaha menenangkan.
Kehangatan di antara mereka mulai mengendur, dan Satrio merasakan beban di pundaknya semakin berat. Ia menatap wajah-wajah khawatir teman-temannya. Di dalam hatinya, ragu semakin menggerogoti keinginannya untuk melanjutkan pencarian.
“Baiklah,” akhirnya ia mengalah. “Aku akan mempertimbangkan semua ini.” Meskipun Kata-katanya terdengar mantap, dalam hati ia merasa bimbang. Keputusan untuk kembali bukanlah yang ia inginkan, namun ia tahu betapa pentingnya kekhawatiran timnya.
Diubah oleh wedi 29-10-2024 01:31
itkgid dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Kutip
Balas
Tutup