- Beranda
- Stories from the Heart
Ekspedisi Arkeologi - Kutukan Desa Mola-Mola
...
TS
wedi
Ekspedisi Arkeologi - Kutukan Desa Mola-Mola
Quote:

Judul: Ekspedisi Arkeologi.
Genre: Petualangan/Misteri.
Status: TAMAT.
Sinopsis:
Kutukan Desa Mola-Mola adalah sebuah novel misteri yang mengikuti perjalanan seorang arkeolog bernama Satrio dalam mengungkap rahasia kutukan yang menyelimuti desa terpencil bernama Mola-Mola. Desa ini dihantui oleh kejadian-kejadian aneh setelah melupakan tradisi leluhur mereka. Bersama tim penelitinya, Satrio menemukan petunjuk dari prasasti kuno dan artefak tersembunyi yang mengarahkan mereka pada sebauh suku besar yang kini di kenal Mola-Mola.
Di tengah pencarian, Satrio terpisah dari tim dan berjuang bertahan hidup di hutan yang penuh bahaya, sementara tim penelitinya mencoba melacak jejaknya. Makin dalam mereka menelusuri misteri desa, semakin jelas bahwa kutukan itu bukan sekadar mitos, melainkan bagian dari balas dendam berdarah yang melibatkan masa lalu kelam dua keluarga besar desa. Di puncak ketegangan, mereka harus berpacu dengan waktu untuk menghentikan kutukan sebelum menghancurkan desa dan seluruh penghuninya.
Berikut salah satu karya yang sudah mulai saya kerjakan. Jumlah bab sudah mencapai 42 Bab. Bahkan sudah mendekati Tamat. Dan di sini juga teman-teman tidak perlu membaca, hehe.. Saya sudah merubahnya ke Audio.
Isi Post ini akan terus saya update jika peminatnya bagus, dan saya ada rencana akan merubah semua karya saya menjadi bentuk Audio, dan saya upload di youtube.
Spoiler for Daftar Cerita:
1. Rumah Terbengkalai [TAMAT]
2. Ekspedisi Arkeologi [On Going]
3. Rumah Terbengkalai II - Awal Kebangkitan [Next Projek]
4. Amnesia [Next Projek Revisi]
2. Ekspedisi Arkeologi [On Going]
3. Rumah Terbengkalai II - Awal Kebangkitan [Next Projek]
4. Amnesia [Next Projek Revisi]
Siapa tau rejeki saya bagus di sini. Aminn..
Quote:
Untuk daftar isi sementara saya update di sini lantaran TH belum bisa di edit. Semoga bisa menghibur. Update setiap hari. InsyaAllah, sampai tamat selama masih ada pembacanya.
Daftar Isi:
Bab 1: Desa Mola-Mola
Bab 2: Arkeologi Muda
Bab 3: Kepedihan Lisa dan Desa
Bab 4: Kutukan Kembali Vol. 1
Bab 4: Kutukan Kembali Vol. 2
Bab 4: Kutukan Kembali Vol. 3
Bab 4: Kutukan kembali Vol. 4 End
Bab 5: Tekad Satrio Vol. 1
Bab 5: Awal Petualangan Vol 2 End
Bab 6: Jejak Penjelajah
Bab 7: Ancaman Hutan
Bab 8: Misteri Batu Penjelajah
Bab 9: Prasasti Di Gua Batu
Bab 10: Arah Barat
Bab 11: Aksi Melewati Sungai
Bab 12: Hutan Misterius
Bab 13: Pria Kekar
Bab 14: Pria Desa Mola-Mola
Bab 15: Legenda Batu Kuno
Bab 16: Bab 16
Bab 16: Tim Satrio
Bab 17: Teka-teki Dibalik Kutukan V1
Bab 18: Teka-teki Dibalik Kutukan V2
Bab 19: Teka-teki Dibalik Kutukan V3
Bab 20: Teka-teki Dibalik Kutukan V4
Bab 21: Teka-teki Dibalik Kutukan V5
Bab 22: Teka-teki Dibalik Kutukan V6
Bab 23: Uraian Buku Catatan Satrio.
Bab 24: Babak Akhir V1
Bab 25: Babak Akhir V2
Bab 26: Babak Akhir V3
Bab 27: Babak Akhir V4
Bab 28: Babak Akhir V5
Bab 29: Hari Baru TAMAT
Daftar Isi:
Bab 1: Desa Mola-Mola
Bab 2: Arkeologi Muda
Bab 3: Kepedihan Lisa dan Desa
Bab 4: Kutukan Kembali Vol. 1
Bab 4: Kutukan Kembali Vol. 2
Bab 4: Kutukan Kembali Vol. 3
Bab 4: Kutukan kembali Vol. 4 End
Bab 5: Tekad Satrio Vol. 1
Bab 5: Awal Petualangan Vol 2 End
Bab 6: Jejak Penjelajah
Bab 7: Ancaman Hutan
Bab 8: Misteri Batu Penjelajah
Bab 9: Prasasti Di Gua Batu
Bab 10: Arah Barat
Bab 11: Aksi Melewati Sungai
Bab 12: Hutan Misterius
Bab 13: Pria Kekar
Bab 14: Pria Desa Mola-Mola
Bab 15: Legenda Batu Kuno
Bab 16: Bab 16
Bab 16: Tim Satrio
Bab 17: Teka-teki Dibalik Kutukan V1
Bab 18: Teka-teki Dibalik Kutukan V2
Bab 19: Teka-teki Dibalik Kutukan V3
Bab 20: Teka-teki Dibalik Kutukan V4
Bab 21: Teka-teki Dibalik Kutukan V5
Bab 22: Teka-teki Dibalik Kutukan V6
Bab 23: Uraian Buku Catatan Satrio.
Bab 24: Babak Akhir V1
Bab 25: Babak Akhir V2
Bab 26: Babak Akhir V3
Bab 27: Babak Akhir V4
Bab 28: Babak Akhir V5
Bab 29: Hari Baru TAMAT
Diubah oleh wedi 17-11-2024 14:14
sukhhoi dan 10 lainnya memberi reputasi
11
2.7K
Kutip
125
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
wedi
#26
Bab 7 - Ancaman Hutan
Spoiler for Audio:
Spoiler for Teks:
Quote:
Satrio akhirnya tiba kembali di tendanya, napasnya sedikit tersengal setelah melewati rintangan hutan yang menantang. Matahari mulai merangkak lebih tinggi, membuat udara di sekitar terasa lebih hangat. Tenda kecilnya masih terletak di tempat yang sama, tenang dan tak tersentuh. Ia segera meletakkan botol air yang baru diisinya di tepi tenda, lalu menarik resleting dari pintu tenda.
Tanpa buang waktu, Satrio merogoh kantong dalam ransel dan mengeluarkan perlengkapan masaknya—sebuah kompor kecil portabel dan panci kecil untuk merebus air.
Ia menuangkan air sungai yang tadi diambilnya ke dalam panci, meletakkannya di atas api, lalu meraih sebungkus mi instan dari ransel. Hanya sebentar lagi air akan mendidih. Kesederhanaan ini memberinya rasa tenang di tengah hutan yang menyimpan misteri.
Namun, pikirannya kembali ke batu-batu di sungai tadi. Ukiran kuno dan jejak kaki raksasa itu masih menghantui benaknya. Dengan perasaan mendesak, Satrio mengambil ponselnya dan langsung mencari nama Gilang di daftar kontak. Ia tahu temannya itu, dengan keahliannya dalam teks kuno, pasti akan tertarik mendengar temuan ini.
Telepon tersambung, dan tak lama kemudian terdengar suara Gilang di ujung sana. "Akhirnya, apa ada info terbaru?"
Satrio tersenyum tipis, meski Gilang tak bisa melihatnya. “Tentu saja. Aku berhasil menemukan sesuatu, kau pasti tidak percaya dengan temuanku,” katanya sedikit basa-basi. Suaranya terdengar lebih cepat dari biasanya, terpengaruh oleh antusiasme dan rasa penasaran. "Di tengah sungai, aku menemukan batu besar dengan ukiran teks kuno. Dan bukan cuma itu, ada juga jejak kaki raksasa di batu lainnya."
"Serius?" Gilang terdengar terkejut, nadanya berubah lebih serius. “Ukiran teks kuno?”
Satrio memandangi panci yang mulai beruap, air di dalamnya mendidih perlahan. “Aku belum yakin sepenuhnya, tapi ukirannya jelas buatan tangan manusia. Aku sudah mengambil beberapa foto, dan telah kukirim ke E-Mail-mu."
Gilang terdiam sejenak, seperti sedang mencerna informasi itu. “Kalau benar begitu, kita harus segera melakukan penelitian lebih lanjut."
Satrio terdiam, pandangannya menerawang ke arah hutan. "Aku belum yakin, terpenting sekarang, aku butuh info tentang teks yang ada di batu itu secepatnya." jawabnya pelan, nada suaranya berubah lebih serius. "Tapi aku rasa ini adalah petunjuk penting. Mungkin Ayahku juga menemukan hal yang serupa di sini."
"Baiklah, setelah ini aku akan mempelajari fotomu itu. Aku akan berusaha secepat mungkin mengirim hasilnya padamu."
"Terima kasih, Gi."
Terdengar suara bisikan dari api yang mulai berkurang, mengingatkannya bahwa mi instan di depannya sudah siap. Satrio menutup telepon dengan harapan Gilang bisa secepatnya membaca teks itu.
Sambil mengaduk mi dalam panci, ia tak bisa menahan rasa gelisah yang memuncak di dadanya. Rahasia di Gunung Niuts bertambah dekat untuk terungkap, dan insting Satrio terasa semakin kuat berkat temuan batu misterius ini.
Satrio menyesap kuah mi instan terakhirnya, rasa hangat dan asin mengisi perutnya yang sejak pagi hanya terisi oleh rasa penasaran dan ketegangan. Setelah meletakkan panci kosong di samping tenda, pikirannya kembali terfokus pada langkah berikutnya. Ia masih harus memastikan apakah temuan di sungai itu sesuai dengan perkiraan sebelumnya—bahwa mungkin di sini pernah ada sebuah suku atau peradaban yang hidup tersembunyi di tengah hutan Gunung Niuts.
Merasa belum cukup, lengannya kembali mengambil ponsel sekali lagi, kali ini Satrio menghubungi Rio. Telepon berdering beberapa kali sebelum akhirnya Rio menjawab dengan suara ramahnya. "Syukurlah... Gimana kondisi di sana?"
Satrio langsung to the point, "Aku baru saja menemukan sesuatu yang besar, di sini. Batu-batu dengan ukiran kuno dan jejak kaki manusia—tapi ukurannya tidak wajar. Aku pikir mungkin ini ada hubungannya dengan peradaban lama."
Rio terdengar lebih waspada. “Yakin? Di mana tepatnya?”
"Aku menemukan batu itu di badan sungai yang mengalir dari selatan ke timur."
"Wow!" terndengar Rio berseru, "baru berapa hari.. Oh, bukan. Baru beberapa jam saja sudah menemukan sesuatu di sana."
"Kabar baik, kan? Tapi aku butuh bantuanmu untuk memastikan lagi, apakah tempat ini memenuhi kriteria untuk jadi tempat tinggal sebuah suku berkembang?”
Rio terdiam sejenak, mungkin sedang memeriksa data di ponselnya. "Sepanjang rute yang aku berikan, aku sudah cek peta topografi dan beberapa data dari satelit. Kalau kita bicara soal tempat tinggal, ada beberapa titik yang kelihatan memiliki potensial tinggi. Satu di sisi utara lembah, dekat dengan sungai yang lebih besar, dan satu lagi di lereng Gunung Niuts. Apa kau bisa mengirim titik koordinasi lokasimu sekarang? Siapa tahu itu tidak jauh dari tempatmu."
Satrio mengangguk sambil mendengarkan, meski Rio tak bisa melihatnya. "Kalau begitu, jika ada suku yang tinggal di sini, mungkin mereka memilih tempat yang dekat dengan sumber air. Sungai yang kutemukan tadi memang tidak begitu besar, tapi cukup untuk mendukung kehidupan."
"100% Tepat," sahut Rio. "Tapi kita perlu lihat apakah ada tanda-tanda bekas peradaban di sekitar lokasi yang kau temukan. Mungkin reruntuhan, struktur buatan manusia, atau bahkan lebih banyak ukiran di batu-batu lainnya."
Satrio menghela napas, matanya menatap ke arah sungai yang masih terlihat samar di antara pepohonan. "Baiklah. Aku akan kirim koordinat dan fotonya segera. Kita harus pastikan ini bukan cuma kebetulan."
"Siap. Aku akan coba analisis lebih lanjut dari sini. Satrio! Tetap fokus, dan Jangan lengkah sedikitpun!"
"Aku mengerti, tenang saja. Terima kasih."
Setelah percakapannya dengan Rio berakhir, Satrio termenung di depan tenda, suara hutan mengisi keheningan di sekitarnya. Tatapannya menembus pepohonan lebat, memikirkan informasi yang baru saja diterimanya.
Peta dari Rio menegaskan bahwa masih ada kemungkinan besar titik-titik penting yang tersembunyi di sekitar sini—bukit-bukit atau dataran tinggi yang terlindungi, tempat di mana suku kuno bisa saja pernah menetap.
Pikiran itu menggelitik rasa penasarannya. "Jika memang ada peradaban di sini, mereka pasti memilih lokasi yang strategis, terlindungi dari ancaman alam. Bukit atau dataran tinggi menjadi pilihan yang masuk akal," Satrio bergumam sendiri. Pikirannya mulai membayangkan bukit-bukit tersembunyi, mungkin terlindung di balik pepohonan rimbun yang belum pernah dijelajahinya.
Satrio bangkit dari duduknya, merasakan angin lembut yang membawa aroma tanah basah. Suara gemericik sungai terus mengalun di kejauhan, bercampur dengan gemerisik dedaunan yang tertiup pelan. Hutan di sekelilingnya terasa hidup, tapi dalam kesunyian yang penuh rahasia. Cahaya matahari hanya sedikit menembus dahan-dahan pohon tinggi, memantulkan sinar lembut pada dedaunan yang hijau.
Setiap langkahnya menyusuri tepi sungai terasa tenang namun penuh kehati-hatian. Udara dingin dan lembap seakan menyelimuti tubuhnya, membuatnya semakin waspada pada sekeliling. Matanya kembali tertuju pada tiga batu besar yang berdiri tegak di tepian sungai. Batu-batu itu memiliki pola yang tak biasa—seperti ukiran yang tersimpan oleh waktu.
Satrio mendekat, dan kali ini ia melihat lebih jelas. Pola-pola itu semakin nyata, dan di salah satu batu, ada jejak kaki manusia yang berukuran besar, terinjak kuat ke dalam permukaan batu. Pandangannya terpaku pada jejak itu, sementara di sekelilingnya, hutan seolah diam, seakan menunggu langkah berikutnya.
Merasa tak ada lagi petunjuk jelas di batu-batu itu, Satrio mengedarkan pandangannya ke sekitar sungai. Aliran air yang jernih berkilauan di bawah sinar matahari yang redup, mengalir pelan di antara bebatuan yang besar dan kecil. Di tepi sungai, pepohonan tinggi menjulang dengan akar-akarnya yang mencengkeram tanah, sementara dedaunan bergoyang pelan tertiup angin.
Satrio memfokuskan matanya ke setiap sudut, mencoba menangkap sesuatu yang bisa menjadi petunjuk. Mungkin ada jejak lain yang tersamarkan oleh lumpur, atau tanda yang tertinggal di batang pohon. Tapi, sejauh ia memandang, hanya hutan yang tampak tak berujung, seolah menyembunyikan semua rahasianya di balik ketenangan ini.
Desiran air yang mengalir seolah mengiringi pikiran Satrio. Dengan penuh kesabaran, ia terus mengamati, tak ingin melewatkan apapun yang mungkin bisa mengungkap lebih banyak tentang tempat misterius ini.
Satrio akhirnya memutuskan untuk meninggalkan sungai, meskipun pikirannya masih dipenuhi oleh pola-pola aneh pada batu besar tadi. Dengan langkah mantap, ia menaiki tebing kecil yang membatasi aliran sungai dan hutan di atasnya. Suara gemericik air perlahan memudar di belakangnya, digantikan oleh deru dedaunan yang bergerak mengikuti angin, dan suara-suara burung yang samar terdengar dari kejauhan.
Ia melangkah perlahan, mencoba untuk tetap waspada. Setiap sudut hutan yang ia susuri terasa penuh rahasia. Di sini, batang pohon-pohon besar menjulang tinggi, membentuk kanopi alami yang membuat cahaya matahari sulit menembus. Akar-akar mencuat dari tanah lembab, menciptakan jalur yang tak mudah dilewati. Udara semakin pekat dengan aroma tanah basah dan dedaunan yang mulai membusuk.
Satrio berhenti sejenak, memperhatikan sekeliling. Hutan ini begitu tua, penuh dengan kehidupan yang tersembunyi. Suara ranting patah di kejauhan membuatnya sejenak berjaga-jaga, namun tak ada yang terlihat mencurigakan. Ia tetap melangkah, menyisir sekitar dengan harapan menemukan sesuatu—mungkin prasasti tersembunyi, jejak peninggalan peradaban kuno, atau apapun yang bisa menuntunnya pada misteri yang ia cari.
Langkah Satrio tiba-tiba terhenti ketika di hadapannya tampak sebuah gua batu yang cukup besar namun tak begitu dalam. Mulut gua itu dihiasi oleh tetesan air yang jatuh dari bebatuan atas, menimbulkan bunyi lembut yang berbaur dengan keheningan hutan. Cahaya redup yang masuk dari celah-celah daun di atas, menyoroti beberapa bagian dinding gua yang terlihat lembab dan berlumut.
Satrio memandang ke dalam gua, dadanya sedikit berdebar. Gua itu seolah memanggilnya, menyimpan sesuatu di balik kegelapannya. Tak pikir panjang, ia melangkah maju, tubuhnya bergerak mendekati mulut gua. Tetesan air yang menetes dari atap gua menyentuh pundaknya, membuatnya merasakan dinginnya alam sekitar.
Perlahan, ia memasuki gua dengan hati-hati. Setiap langkahnya terdengar jelas di antara dinding-dinding batu yang memantulkan suara, sementara matanya terus menyisir setiap sudut. Satrio tak tahu pasti apa yang akan ia temukan di dalam sana, namun perasaan bahwa sesuatu menanti di dalam semakin kuat menguasai benaknya.
Mata Satrio terus menyisir setiap sudut gua dengan teliti, mengikuti bentuk dinding batu yang tak rata. Cahaya remang yang memantul dari batu-batu di dalam, membuat bayangannya seolah bergerak bersamaan dengan langkahnya. Sesekali, ia berhenti sejenak, memandangi sesuatu yang menarik perhatiannya—bekas goresan di dinding, yang entah berasal dari apa.
Tangannya meraba-raba bagian perut gua, mengusap permukaannya yang dingin dan lembap. Di salah satu sisi, jari-jarinya menyentuh sesuatu yang terasa sedikit kasar, goresan tak beraturan yang tampak tak berarti. Namun, goresan-goresan itu membuatnya berpikir, mungkinkah ini hanya bekas alam atau ada sesuatu di baliknya?
Satrio berjongkok, mengamati lebih dekat. Goresan-goresan itu tampak seperti tanda yang sengaja dibuat, meskipun sulit untuk dipastikan. Lengannya bergerak perlahan, meraba kembali dinding gua, mencoba mencari petunjuk lebih jauh. Namun, semakin dalam ia menyelidiki, semakin gua itu terasa sunyi dan penuh misteri.
Kedua matanya terus memutar, sesekali ia melihat kawanan kelelawar yang tertidur pada langit-langit. "Entah berapa lama usia gua ini. Andai saja Bayu di sini, mungkin dia bisa menebak usianya." Pikirannya melayang ke timnya, betapa Bayu selalu mampu memberikan penilaian mendetail tentang hal-hal seperti ini.
Satrio berdiri, merentangkan punggungnya yang terasa sedikit kaku setelah berjongkok lama. Matanya masih terus mengamati sekeliling gua, setiap sudut tampak penuh dengan cerita yang belum terungkap.
"Seharusnya gua ini jadi tempat sempurna untuk berlindung atau melakukan ritual," gumamnya pelan saat melangkah keluar. Sesaat ia membayangkan bagaimana gua ini mungkin pernah digunakan oleh orang-orang di masa lalu, mungkin sebagai tempat sakral atau persembunyian.
Sinar matahari yang mulai meredup menyambutnya di luar gua kembali menegaskan betapa misteriusnya tempat ini, dan betapa banyak yang belum terpecahkan di sekitarnya.
Dalam perjalanan kembali menuju tendanya, langkah Satrio terhenti saat pandangannya tertarik pada sebuah pohon dengan tanaman unik menggantung di beberapa cabangnya. "Priuk Kera—Kantong semar," gumamnya, mendekati tanaman itu untuk mengamatinya lebih dekat. Ia tertegun melihat keindahan alami yang tersembunyi di tengah hutan ini.
"Sepertinya hutan ini kaya akan flora dan fauna," pikirnya, sedikit kagum namun juga waspada. "Aku harus lebih berhati-hati dalam melangkah." Satrio menegakkan tubuhnya, mengingat betapa berbahayanya alam liar ini jika tidak diperhatikan dengan seksama. Setiap langkah ke depan terasa lebih terukur, dengan kesadaran penuh akan kehidupan yang tak terlihat, mengintai di setiap sudut hutan.
Langit pun semakin gelap, namun semangat di dalam dirinya malah semakin membara. Ia menyadari bahwa pencarian ini tidak bisa diselesaikan dengan cepat. Temuan di sungai tadi hanyalah awal, dan sekarang ia tahu bahwa ada lebih banyak yang harus digali.
“Aku harus tinggal lebih lama di sini,” pikirnya tegas. “Jika aku meninggalkan tempat ini sekarang, aku mungkin kehilangan kesempatan untuk menemukan seluruh jejak peradaban itu.”
Satrio memandang peralatan dan persediaan yang dibawanya. Makanan masih cukup untuk beberapa hari, dan jika dibutuhkan, ia bisa memancing di sungai atau mencari tumbuhan liar yang bisa dimakan. Alat-alat penelitiannya juga masih dalam kondisi baik. Tekadnya makin kuat, ia akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk menjelajahi wilayah ini. Dengan mengandalkan petunjuk dari Rio dan pengamatannya sendiri, ia yakin bisa menemukan lebih banyak bukti.
Sambil membereskan alat masak dan menutup tenda untuk malam itu, Satrio memutuskan bahwa esok hari ia akan mulai menyisir daerah sekitar. Ia akan bergerak lebih jauh dari sungai dan mencoba menemukan bukit atau dataran yang tersembunyi—tempat yang kemungkinan pernah menjadi bagian dari peradaban yang hilang. Ini mungkin akan menjadi perjalanan yang lebih panjang dan menantang dari yang ia bayangkan, tapi bagi Satrio, ini adalah kesempatan untuk tidak hanya mengungkap misteri kuno, tetapi juga melanjutkan jejak ayahnya.
Dengan hati yang mantap, Satrio mempersiapkan diri untuk malam yang semakin dingin, sambil menata rencana di benaknya untuk hari-hari berikutnya.
Malam pun menjelang, membawa kesejukan dan kegelapan yang melingkupi hutan di sekitar tenda Satrio. Cahaya redup dari lampu kecil di dalam tendanya memberikan sedikit kehangatan saat ia duduk bersandar di matras, sibuk menulis di buku hariannya. Tangan Satrio bergerak lincah di atas kertas, mencatat pengalamannya sepanjang hari—penemuan batu berukir di sungai, percakapannya dengan Rio, dan rencananya untuk tinggal lebih lama di hutan ini.
Namun, di tengah kesibukan itu, telinganya menangkap suara aneh dari luar tenda. Awalnya samar, seperti bunyi ranting yang patah, namun perlahan semakin jelas. Satrio terdiam, berhenti menulis, dan mendongakkan kepala. Suara itu kini terdengar lebih dekat, seperti sesuatu yang bergerak perlahan di antara pepohonan dan semak-semak.
Jantungnya berdegup lebih kencang. Ia meletakkan pena dan bukunya, lalu perlahan mengambil senter dari samping tasnya. Suasana berubah tegang. Suara dari luar semakin tak biasa—ada bunyi dedaunan yang digeser dengan kasar, lalu disusul oleh dengusan lembut yang terdengar berat dan dalam.
Satrio memasang sikap waspada. Di satu tangan, ia menggenggam senter, sementara di tangan yang lain, ia meraih pisau kecil yang selalu disimpannya untuk berjaga-jaga. Perlahan, ia merangkak mendekati pintu tenda, telinganya terus mencermati suara dari luar.
Tiba-tiba, suara itu berubah menjadi lebih mengancam. Sebuah geraman rendah terdengar, sangat dekat. Dada Satrio semakin sesak, napasnya tertahan. Itu bukan suara hewan biasa—itu geraman harimau. Geraman yang dalam dan tajam, terdengar dari jarak yang tak lebih dari beberapa meter dari tendanya.
Jantung Satrio berdegup kencang, seakan siap meledak dari dadanya. Geraman itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas. Ia tahu harimau adalah penguasa hutan, dan sekali salah langkah, situasi bisa berakhir fatal. Ia menggenggam pisaunya lebih erat, berusaha menenangkan pikirannya yang mulai dibanjiri ketakutan.
Ia tahu tak ada pilihan selain tetap tenang. Perlahan, Satrio merapikan posisi duduknya, menyiapkan diri untuk apa pun yang mungkin terjadi. Matanya terpaku pada pintu tenda, berharap hewan buas itu menjauh dan tak mendekat lebih jauh. Di tengah ketegangan yang mencekam, suara hutan yang tadinya menenangkan kini berubah menjadi ancaman yang tak terlihat.
Tanpa buang waktu, Satrio merogoh kantong dalam ransel dan mengeluarkan perlengkapan masaknya—sebuah kompor kecil portabel dan panci kecil untuk merebus air.
Ia menuangkan air sungai yang tadi diambilnya ke dalam panci, meletakkannya di atas api, lalu meraih sebungkus mi instan dari ransel. Hanya sebentar lagi air akan mendidih. Kesederhanaan ini memberinya rasa tenang di tengah hutan yang menyimpan misteri.
Namun, pikirannya kembali ke batu-batu di sungai tadi. Ukiran kuno dan jejak kaki raksasa itu masih menghantui benaknya. Dengan perasaan mendesak, Satrio mengambil ponselnya dan langsung mencari nama Gilang di daftar kontak. Ia tahu temannya itu, dengan keahliannya dalam teks kuno, pasti akan tertarik mendengar temuan ini.
Telepon tersambung, dan tak lama kemudian terdengar suara Gilang di ujung sana. "Akhirnya, apa ada info terbaru?"
Satrio tersenyum tipis, meski Gilang tak bisa melihatnya. “Tentu saja. Aku berhasil menemukan sesuatu, kau pasti tidak percaya dengan temuanku,” katanya sedikit basa-basi. Suaranya terdengar lebih cepat dari biasanya, terpengaruh oleh antusiasme dan rasa penasaran. "Di tengah sungai, aku menemukan batu besar dengan ukiran teks kuno. Dan bukan cuma itu, ada juga jejak kaki raksasa di batu lainnya."
"Serius?" Gilang terdengar terkejut, nadanya berubah lebih serius. “Ukiran teks kuno?”
Satrio memandangi panci yang mulai beruap, air di dalamnya mendidih perlahan. “Aku belum yakin sepenuhnya, tapi ukirannya jelas buatan tangan manusia. Aku sudah mengambil beberapa foto, dan telah kukirim ke E-Mail-mu."
Gilang terdiam sejenak, seperti sedang mencerna informasi itu. “Kalau benar begitu, kita harus segera melakukan penelitian lebih lanjut."
Satrio terdiam, pandangannya menerawang ke arah hutan. "Aku belum yakin, terpenting sekarang, aku butuh info tentang teks yang ada di batu itu secepatnya." jawabnya pelan, nada suaranya berubah lebih serius. "Tapi aku rasa ini adalah petunjuk penting. Mungkin Ayahku juga menemukan hal yang serupa di sini."
"Baiklah, setelah ini aku akan mempelajari fotomu itu. Aku akan berusaha secepat mungkin mengirim hasilnya padamu."
"Terima kasih, Gi."
Terdengar suara bisikan dari api yang mulai berkurang, mengingatkannya bahwa mi instan di depannya sudah siap. Satrio menutup telepon dengan harapan Gilang bisa secepatnya membaca teks itu.
Sambil mengaduk mi dalam panci, ia tak bisa menahan rasa gelisah yang memuncak di dadanya. Rahasia di Gunung Niuts bertambah dekat untuk terungkap, dan insting Satrio terasa semakin kuat berkat temuan batu misterius ini.
Satrio menyesap kuah mi instan terakhirnya, rasa hangat dan asin mengisi perutnya yang sejak pagi hanya terisi oleh rasa penasaran dan ketegangan. Setelah meletakkan panci kosong di samping tenda, pikirannya kembali terfokus pada langkah berikutnya. Ia masih harus memastikan apakah temuan di sungai itu sesuai dengan perkiraan sebelumnya—bahwa mungkin di sini pernah ada sebuah suku atau peradaban yang hidup tersembunyi di tengah hutan Gunung Niuts.
Merasa belum cukup, lengannya kembali mengambil ponsel sekali lagi, kali ini Satrio menghubungi Rio. Telepon berdering beberapa kali sebelum akhirnya Rio menjawab dengan suara ramahnya. "Syukurlah... Gimana kondisi di sana?"
Satrio langsung to the point, "Aku baru saja menemukan sesuatu yang besar, di sini. Batu-batu dengan ukiran kuno dan jejak kaki manusia—tapi ukurannya tidak wajar. Aku pikir mungkin ini ada hubungannya dengan peradaban lama."
Rio terdengar lebih waspada. “Yakin? Di mana tepatnya?”
"Aku menemukan batu itu di badan sungai yang mengalir dari selatan ke timur."
"Wow!" terndengar Rio berseru, "baru berapa hari.. Oh, bukan. Baru beberapa jam saja sudah menemukan sesuatu di sana."
"Kabar baik, kan? Tapi aku butuh bantuanmu untuk memastikan lagi, apakah tempat ini memenuhi kriteria untuk jadi tempat tinggal sebuah suku berkembang?”
Rio terdiam sejenak, mungkin sedang memeriksa data di ponselnya. "Sepanjang rute yang aku berikan, aku sudah cek peta topografi dan beberapa data dari satelit. Kalau kita bicara soal tempat tinggal, ada beberapa titik yang kelihatan memiliki potensial tinggi. Satu di sisi utara lembah, dekat dengan sungai yang lebih besar, dan satu lagi di lereng Gunung Niuts. Apa kau bisa mengirim titik koordinasi lokasimu sekarang? Siapa tahu itu tidak jauh dari tempatmu."
Satrio mengangguk sambil mendengarkan, meski Rio tak bisa melihatnya. "Kalau begitu, jika ada suku yang tinggal di sini, mungkin mereka memilih tempat yang dekat dengan sumber air. Sungai yang kutemukan tadi memang tidak begitu besar, tapi cukup untuk mendukung kehidupan."
"100% Tepat," sahut Rio. "Tapi kita perlu lihat apakah ada tanda-tanda bekas peradaban di sekitar lokasi yang kau temukan. Mungkin reruntuhan, struktur buatan manusia, atau bahkan lebih banyak ukiran di batu-batu lainnya."
Satrio menghela napas, matanya menatap ke arah sungai yang masih terlihat samar di antara pepohonan. "Baiklah. Aku akan kirim koordinat dan fotonya segera. Kita harus pastikan ini bukan cuma kebetulan."
"Siap. Aku akan coba analisis lebih lanjut dari sini. Satrio! Tetap fokus, dan Jangan lengkah sedikitpun!"
"Aku mengerti, tenang saja. Terima kasih."
Setelah percakapannya dengan Rio berakhir, Satrio termenung di depan tenda, suara hutan mengisi keheningan di sekitarnya. Tatapannya menembus pepohonan lebat, memikirkan informasi yang baru saja diterimanya.
Peta dari Rio menegaskan bahwa masih ada kemungkinan besar titik-titik penting yang tersembunyi di sekitar sini—bukit-bukit atau dataran tinggi yang terlindungi, tempat di mana suku kuno bisa saja pernah menetap.
Pikiran itu menggelitik rasa penasarannya. "Jika memang ada peradaban di sini, mereka pasti memilih lokasi yang strategis, terlindungi dari ancaman alam. Bukit atau dataran tinggi menjadi pilihan yang masuk akal," Satrio bergumam sendiri. Pikirannya mulai membayangkan bukit-bukit tersembunyi, mungkin terlindung di balik pepohonan rimbun yang belum pernah dijelajahinya.
Satrio bangkit dari duduknya, merasakan angin lembut yang membawa aroma tanah basah. Suara gemericik sungai terus mengalun di kejauhan, bercampur dengan gemerisik dedaunan yang tertiup pelan. Hutan di sekelilingnya terasa hidup, tapi dalam kesunyian yang penuh rahasia. Cahaya matahari hanya sedikit menembus dahan-dahan pohon tinggi, memantulkan sinar lembut pada dedaunan yang hijau.
Setiap langkahnya menyusuri tepi sungai terasa tenang namun penuh kehati-hatian. Udara dingin dan lembap seakan menyelimuti tubuhnya, membuatnya semakin waspada pada sekeliling. Matanya kembali tertuju pada tiga batu besar yang berdiri tegak di tepian sungai. Batu-batu itu memiliki pola yang tak biasa—seperti ukiran yang tersimpan oleh waktu.
Satrio mendekat, dan kali ini ia melihat lebih jelas. Pola-pola itu semakin nyata, dan di salah satu batu, ada jejak kaki manusia yang berukuran besar, terinjak kuat ke dalam permukaan batu. Pandangannya terpaku pada jejak itu, sementara di sekelilingnya, hutan seolah diam, seakan menunggu langkah berikutnya.
Merasa tak ada lagi petunjuk jelas di batu-batu itu, Satrio mengedarkan pandangannya ke sekitar sungai. Aliran air yang jernih berkilauan di bawah sinar matahari yang redup, mengalir pelan di antara bebatuan yang besar dan kecil. Di tepi sungai, pepohonan tinggi menjulang dengan akar-akarnya yang mencengkeram tanah, sementara dedaunan bergoyang pelan tertiup angin.
Satrio memfokuskan matanya ke setiap sudut, mencoba menangkap sesuatu yang bisa menjadi petunjuk. Mungkin ada jejak lain yang tersamarkan oleh lumpur, atau tanda yang tertinggal di batang pohon. Tapi, sejauh ia memandang, hanya hutan yang tampak tak berujung, seolah menyembunyikan semua rahasianya di balik ketenangan ini.
Desiran air yang mengalir seolah mengiringi pikiran Satrio. Dengan penuh kesabaran, ia terus mengamati, tak ingin melewatkan apapun yang mungkin bisa mengungkap lebih banyak tentang tempat misterius ini.
Satrio akhirnya memutuskan untuk meninggalkan sungai, meskipun pikirannya masih dipenuhi oleh pola-pola aneh pada batu besar tadi. Dengan langkah mantap, ia menaiki tebing kecil yang membatasi aliran sungai dan hutan di atasnya. Suara gemericik air perlahan memudar di belakangnya, digantikan oleh deru dedaunan yang bergerak mengikuti angin, dan suara-suara burung yang samar terdengar dari kejauhan.
Ia melangkah perlahan, mencoba untuk tetap waspada. Setiap sudut hutan yang ia susuri terasa penuh rahasia. Di sini, batang pohon-pohon besar menjulang tinggi, membentuk kanopi alami yang membuat cahaya matahari sulit menembus. Akar-akar mencuat dari tanah lembab, menciptakan jalur yang tak mudah dilewati. Udara semakin pekat dengan aroma tanah basah dan dedaunan yang mulai membusuk.
Satrio berhenti sejenak, memperhatikan sekeliling. Hutan ini begitu tua, penuh dengan kehidupan yang tersembunyi. Suara ranting patah di kejauhan membuatnya sejenak berjaga-jaga, namun tak ada yang terlihat mencurigakan. Ia tetap melangkah, menyisir sekitar dengan harapan menemukan sesuatu—mungkin prasasti tersembunyi, jejak peninggalan peradaban kuno, atau apapun yang bisa menuntunnya pada misteri yang ia cari.
Langkah Satrio tiba-tiba terhenti ketika di hadapannya tampak sebuah gua batu yang cukup besar namun tak begitu dalam. Mulut gua itu dihiasi oleh tetesan air yang jatuh dari bebatuan atas, menimbulkan bunyi lembut yang berbaur dengan keheningan hutan. Cahaya redup yang masuk dari celah-celah daun di atas, menyoroti beberapa bagian dinding gua yang terlihat lembab dan berlumut.
Satrio memandang ke dalam gua, dadanya sedikit berdebar. Gua itu seolah memanggilnya, menyimpan sesuatu di balik kegelapannya. Tak pikir panjang, ia melangkah maju, tubuhnya bergerak mendekati mulut gua. Tetesan air yang menetes dari atap gua menyentuh pundaknya, membuatnya merasakan dinginnya alam sekitar.
Perlahan, ia memasuki gua dengan hati-hati. Setiap langkahnya terdengar jelas di antara dinding-dinding batu yang memantulkan suara, sementara matanya terus menyisir setiap sudut. Satrio tak tahu pasti apa yang akan ia temukan di dalam sana, namun perasaan bahwa sesuatu menanti di dalam semakin kuat menguasai benaknya.
Mata Satrio terus menyisir setiap sudut gua dengan teliti, mengikuti bentuk dinding batu yang tak rata. Cahaya remang yang memantul dari batu-batu di dalam, membuat bayangannya seolah bergerak bersamaan dengan langkahnya. Sesekali, ia berhenti sejenak, memandangi sesuatu yang menarik perhatiannya—bekas goresan di dinding, yang entah berasal dari apa.
Tangannya meraba-raba bagian perut gua, mengusap permukaannya yang dingin dan lembap. Di salah satu sisi, jari-jarinya menyentuh sesuatu yang terasa sedikit kasar, goresan tak beraturan yang tampak tak berarti. Namun, goresan-goresan itu membuatnya berpikir, mungkinkah ini hanya bekas alam atau ada sesuatu di baliknya?
Satrio berjongkok, mengamati lebih dekat. Goresan-goresan itu tampak seperti tanda yang sengaja dibuat, meskipun sulit untuk dipastikan. Lengannya bergerak perlahan, meraba kembali dinding gua, mencoba mencari petunjuk lebih jauh. Namun, semakin dalam ia menyelidiki, semakin gua itu terasa sunyi dan penuh misteri.
Kedua matanya terus memutar, sesekali ia melihat kawanan kelelawar yang tertidur pada langit-langit. "Entah berapa lama usia gua ini. Andai saja Bayu di sini, mungkin dia bisa menebak usianya." Pikirannya melayang ke timnya, betapa Bayu selalu mampu memberikan penilaian mendetail tentang hal-hal seperti ini.
Satrio berdiri, merentangkan punggungnya yang terasa sedikit kaku setelah berjongkok lama. Matanya masih terus mengamati sekeliling gua, setiap sudut tampak penuh dengan cerita yang belum terungkap.
"Seharusnya gua ini jadi tempat sempurna untuk berlindung atau melakukan ritual," gumamnya pelan saat melangkah keluar. Sesaat ia membayangkan bagaimana gua ini mungkin pernah digunakan oleh orang-orang di masa lalu, mungkin sebagai tempat sakral atau persembunyian.
Sinar matahari yang mulai meredup menyambutnya di luar gua kembali menegaskan betapa misteriusnya tempat ini, dan betapa banyak yang belum terpecahkan di sekitarnya.
Dalam perjalanan kembali menuju tendanya, langkah Satrio terhenti saat pandangannya tertarik pada sebuah pohon dengan tanaman unik menggantung di beberapa cabangnya. "Priuk Kera—Kantong semar," gumamnya, mendekati tanaman itu untuk mengamatinya lebih dekat. Ia tertegun melihat keindahan alami yang tersembunyi di tengah hutan ini.
"Sepertinya hutan ini kaya akan flora dan fauna," pikirnya, sedikit kagum namun juga waspada. "Aku harus lebih berhati-hati dalam melangkah." Satrio menegakkan tubuhnya, mengingat betapa berbahayanya alam liar ini jika tidak diperhatikan dengan seksama. Setiap langkah ke depan terasa lebih terukur, dengan kesadaran penuh akan kehidupan yang tak terlihat, mengintai di setiap sudut hutan.
Langit pun semakin gelap, namun semangat di dalam dirinya malah semakin membara. Ia menyadari bahwa pencarian ini tidak bisa diselesaikan dengan cepat. Temuan di sungai tadi hanyalah awal, dan sekarang ia tahu bahwa ada lebih banyak yang harus digali.
“Aku harus tinggal lebih lama di sini,” pikirnya tegas. “Jika aku meninggalkan tempat ini sekarang, aku mungkin kehilangan kesempatan untuk menemukan seluruh jejak peradaban itu.”
Satrio memandang peralatan dan persediaan yang dibawanya. Makanan masih cukup untuk beberapa hari, dan jika dibutuhkan, ia bisa memancing di sungai atau mencari tumbuhan liar yang bisa dimakan. Alat-alat penelitiannya juga masih dalam kondisi baik. Tekadnya makin kuat, ia akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk menjelajahi wilayah ini. Dengan mengandalkan petunjuk dari Rio dan pengamatannya sendiri, ia yakin bisa menemukan lebih banyak bukti.
Sambil membereskan alat masak dan menutup tenda untuk malam itu, Satrio memutuskan bahwa esok hari ia akan mulai menyisir daerah sekitar. Ia akan bergerak lebih jauh dari sungai dan mencoba menemukan bukit atau dataran yang tersembunyi—tempat yang kemungkinan pernah menjadi bagian dari peradaban yang hilang. Ini mungkin akan menjadi perjalanan yang lebih panjang dan menantang dari yang ia bayangkan, tapi bagi Satrio, ini adalah kesempatan untuk tidak hanya mengungkap misteri kuno, tetapi juga melanjutkan jejak ayahnya.
Dengan hati yang mantap, Satrio mempersiapkan diri untuk malam yang semakin dingin, sambil menata rencana di benaknya untuk hari-hari berikutnya.
Malam pun menjelang, membawa kesejukan dan kegelapan yang melingkupi hutan di sekitar tenda Satrio. Cahaya redup dari lampu kecil di dalam tendanya memberikan sedikit kehangatan saat ia duduk bersandar di matras, sibuk menulis di buku hariannya. Tangan Satrio bergerak lincah di atas kertas, mencatat pengalamannya sepanjang hari—penemuan batu berukir di sungai, percakapannya dengan Rio, dan rencananya untuk tinggal lebih lama di hutan ini.
Namun, di tengah kesibukan itu, telinganya menangkap suara aneh dari luar tenda. Awalnya samar, seperti bunyi ranting yang patah, namun perlahan semakin jelas. Satrio terdiam, berhenti menulis, dan mendongakkan kepala. Suara itu kini terdengar lebih dekat, seperti sesuatu yang bergerak perlahan di antara pepohonan dan semak-semak.
Jantungnya berdegup lebih kencang. Ia meletakkan pena dan bukunya, lalu perlahan mengambil senter dari samping tasnya. Suasana berubah tegang. Suara dari luar semakin tak biasa—ada bunyi dedaunan yang digeser dengan kasar, lalu disusul oleh dengusan lembut yang terdengar berat dan dalam.
Satrio memasang sikap waspada. Di satu tangan, ia menggenggam senter, sementara di tangan yang lain, ia meraih pisau kecil yang selalu disimpannya untuk berjaga-jaga. Perlahan, ia merangkak mendekati pintu tenda, telinganya terus mencermati suara dari luar.
Tiba-tiba, suara itu berubah menjadi lebih mengancam. Sebuah geraman rendah terdengar, sangat dekat. Dada Satrio semakin sesak, napasnya tertahan. Itu bukan suara hewan biasa—itu geraman harimau. Geraman yang dalam dan tajam, terdengar dari jarak yang tak lebih dari beberapa meter dari tendanya.
Jantung Satrio berdegup kencang, seakan siap meledak dari dadanya. Geraman itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas. Ia tahu harimau adalah penguasa hutan, dan sekali salah langkah, situasi bisa berakhir fatal. Ia menggenggam pisaunya lebih erat, berusaha menenangkan pikirannya yang mulai dibanjiri ketakutan.
Ia tahu tak ada pilihan selain tetap tenang. Perlahan, Satrio merapikan posisi duduknya, menyiapkan diri untuk apa pun yang mungkin terjadi. Matanya terpaku pada pintu tenda, berharap hewan buas itu menjauh dan tak mendekat lebih jauh. Di tengah ketegangan yang mencekam, suara hutan yang tadinya menenangkan kini berubah menjadi ancaman yang tak terlihat.
Diubah oleh wedi 27-10-2024 00:56
itkgid dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Kutip
Balas
Tutup