- Beranda
- Stories from the Heart
Akibat Tak Sengaja Mengusik 'Mereka' Yang Sedang 'Bekerja'
...
TS
indrag057
Akibat Tak Sengaja Mengusik 'Mereka' Yang Sedang 'Bekerja'
Spoiler for :
Spoiler for :
*************************
AKIBAT TAK SENGAJA MENGUSIK 'MEREKA' YANG SEDANG 'BEKERJA'
*************************
AKIBAT TAK SENGAJA MENGUSIK 'MEREKA' YANG SEDANG 'BEKERJA'
*************************
sebuah thread karya @indrag057
pic : lewritings.wordpress.com
Bab I :
Mbak Marni Meninggal Dunia
Mbak Marni Meninggal Dunia
Sore yang cerah di hari Sabtu. Hari yang paling ditunggu tunggu oleh Mas Bambang dan Joko, karena hari Sabtu merupakan hari gajian bagi keduanya yang bekerja sebagai buruh mingguan di kilang penggilingan padi milik Babah Liong.
Setelah menyelesaikan semua pekerjaan dan menerima uang gajian, keduanyapun melangkah pulang dengan hati riang. Cukup jauh jarak yang harus mereka tempuh. Ada sekitar delapan kilometeran untuk bisa sampai ke desa tempat mereka tinggal. Dan jarak sejauh itu harus mereka tempuh dengan berjalan kaki, karena memang tak ada kendaraan umum atau semacamnya di kota kecil nan terpencil tersebut.
Ya. Kota kecamatan J tempat mereka bekerja memang hanyalah sebuah kota kecamatan kecil yang terletak di salah satu sudut provinsi Jawa Tengah. Sementara desa Karanggedhe tempat mereka tinggal, jauh lebih terpencil lagi. Terletak di kaki bukit kapur, dengan naungan rimbunnya hutan jati milik perhutani di sebelah timur serta bentangan lahan pertanian yang luas disebelah utara dan barat. Jalan desa dengan permukaan berlapis susunan batu kali yang tak begitu lebar menjadi satu satunya akses yang menghubungkan desa tersebut dengan kota kecamatan J.
Praktis, keseharian dari warga desa tersebut juga tak jauh dari kesan kesederhanaan. Berjalan kaki kemana mana setiap hari sudah menjadi hal yang biasa mereka lakukan. Begitu juga dengan Mas Bambang dan Joko. Pulang pergi bekerja dengan berjalan kaki setiap hari sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka, karena memang tak ada angkutan umum atau semacamnya yang menghubungkan antara desa tempat mereka tinggal dengan kota tempat mereka bekerja. Satu satunya alat transportasi yang ada hanyalah ojek. Dan itu ongkosnya jauh diluar jangkauan isi kantong mereka. Jadilah, berjalan kaki merupakan pilihan yang terbaik bagi mereka.
Seperti sore itu. Meski rasa lelah masih mendera badan, namun keduanya melangkah pulang dengan hati riang. Tak ada kata mengeluh meski harus menempuh perjalanan jauh, karena mereka sadar akan kewajiban mereka sebagai tulang punggung perekonomian keluarga. Mereka justru bersyukur, karena jika dibandingkan dengan warga desa yang lain, nasib mereka sedikit lebih beruntung. Memiliki penghasilan tambahan sebagai buruh kilang penggilingan padi disela sela kesibukan mereka sebagai petani, membuat kondisi perekonomian mereka sedikit lebih baik daripada warga lain yang rata rata hanya menggantungkan hidup dari hasil bertani, tanpa ada tambahan penghasilan dari pekerjaan lain.
Sempat singgah di warung bakso milik Kang Tarno untuk sekedar membeli oleh oleh bagi keluarga di rumah (Mas Bambang sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak perempuan berusia 6 tahun, sementara Joko yang masih lajang hanya tinggal berdua dengan sang emak yang sudah lama menjanda), keduanya kembali melangkah pulang dengan hati riang. Sampai akhirnya, keceriaan yang mereka rasakan berubah menjadi rasa heran, saat langkah mereka mendekati gerbang desa, dan mendapati ada sepasang bendera merah dari kertas minyak yang terpasang di kiri kanan jalan. Bendera, yang menjadi pertanda bahwa ada warga yang meninggal dunia di desa tersebut.
"Lho! Mas! Kok ada bendera merah? Siapa yang meninggal?" Tanya Joko heran, karena setahunya tak ada warga desa Karanggedhe yang sakit keras atau semacamnya.
"Ya ndak tau Jok. Kok nanya aku lho. Seharian ini tadi kan aku kerja bareng kamu," jawab Mas Bambang sambil menatap heran ke arah sepasang bendera merah tersebut.
"Apa jangan jangan Mbah Joyo ya Mas?" Tanya Joko lagi, sambil mengamat amati salah satu bendera merah yang terpasang di tiang gapura sebelah kiri. Tak ada tulisan nama dari orang yang meninggal disana. Padahal biasanya selalu ada nama orang yang meninggal yang ditulis di bendera semacam itu, agar orang bisa lebih mudah mengetahui siapa yang meninggal. Entah kenapa. Mungkin si pemasang bendera terlalu terburu buru hingga lupa untuk menuliskannya.
"Bisa jadi Jok. Kan cuma Mbah Joyo orang yang paling tua di desa kita," ujar Mas Bambang sambil ikut mengamati bendera merah yang berada di hadapan Joko. Mbah Joyo yang mereka maksud adalah orang paling tua di desa Karanggedhe. Konon katanya usianya sudah hampir sembilanpuluh tahun. Namun begitu, fisiknya masih kuat. Masih sanggup untuk bekerja di sawah atau di ladang seperti orang kebanyakan.
"Tapi masa iya Mbah Joyo sih Mas? Setahuku meski sudah sepuh tapi Mbah Joyo itu masih sehat kok. Lha wong kemarin saja aku masih ketemu sama dia, lagi nyari rumput buat pakan ternaknya," ujar Joko lagi.
"Ya namanya ajal siapa yang tahu Jok. Jangankan Mbah Joyo yang sudah tua. Lha wong orang yang masih muda kayak kita saja kalau memang sudah ajalnya bisa meninggal kapan saja kok," sahut Mas Bambang.
"Iya juga ya Mas. Tapi ..., ah, kebetulan. Itu ada Kang Marno. Kang!" Joko berseru dan melambai ke arah pengendara motor yang melaju pelan dari arah mereka datang tadi. Si pengendara motorpun mengurangi laju kendaraannya, lalu menghentikannya tepat dihadapan kedua laki laki itu.
"Ah, kalian rupanya. Baru pada pulang kerja?" Sapa si pengendara motor.
"Iya Kang. Siapa yang meninggal Kang?" Tanya Joko sambil melirik bungkusan plastik besar berisi kain kafan dan aneka keperluan untuk mengurus jenazah yang tergantung di stang motor. Pasti laki laki bernama Kang Marno ini habis disuruh belanja aneka keperluan itu di kota oleh para perangkat desa.
"Mbak Marni Jok," Kang Marno menjawab singkat, sambil menyalakan sebatang rokoknya.
"Hah?! Mbak Marni?!" Mas Bambang berseru kaget. Nama Mbak Marni yang barusan disebutkan oleh Kang Marno, bukanlah nama yang asing baginya. Karena memang hanya ada satu orang bernama Marni di desa Karanggedhe. Dan itu bukanlah orang lain bagi Mas Bambang. Selain tetangga dekat (jarak rumah Mas Bambang dan Mbak Marni hanya terpaut dua pekarangan), hubungan antara Mas Bambang dan Mbak Marni juga sudah seperti paman dan keponakan. Setiap ada masalah atau butuh bantuan, gadis yatim berusia delapan belas tahun itu pasti larinya ke Mas Bambang. Tak heran kalau Mas Bambang nampak begitu terkejut saat Kang Marno bilang bahwa Mbak Marnilah yang meninggal.
"Mbak Marni yang anaknya Mbok Sarkem itu Kang?" Tanya Joko lagi.
"Lha iya. Siapa lagi di desa kita yang namanya Mbak Marni kalau bukan dia," Kang Marno menjawab sambil menghembuskan asap rokoknya.
"Sampeyan serius Kang? Sampeyan ndak sedang bercanda kan?"
"Bercanda dengkulmu itu! Kau pikir kabar kemalangan begini bisa dijadikan bahan bercandaan heh?!"
"Hehehe ..., ya bukan begitu Kang. Tapi bukannya Mbak Marni itu belakangan ini sehat sehat saja? Ndak ada sakit atau apa gitu kan? Lha wong tadi pagi saja kita ketemu kok sama dia. Berangkat kerja bareng malah. Iya kan Mas?" Joko menoleh ke arah Mas Bambang yang hanya mengangguk pelan, karena belum sepenuhnya pulih dari rasa keterkejutannya.
Sama seperti keduanya, Mbak Marni juga bekerja di kota kecamatan J. Bedanya, gadis manis berambut sebahu itu bekerja di warung soto milik budhenya. Warung yang cukup besar dan sangat terkenal di seantero kota J, hingga orang sering salah kaprah menyebutnya sebagai restoran daripada warung.
"Memang nggak sakit nggak apa kok. Meninggalnya mendadak Jok. Katanya sih siang tadi ia pamit pulang lebih awal sama budhenya di tempat kerja sana, karena merasa nggak enak badan. Pas sampai rumah, setelah dikerokin sama simboknya, ia langsung tidur. Pusing katanya. Nah, sekitar habis ashar tadi, pas mau dibangunin sama simboknya, mau disuruh makan, ternyata udah nggak ada Jok," jelas Kang Marno.
"Aneh," Joko menggumam pelan.
"Memang agak aneh Jok. Kalau kata orang orang sih ...."
"Kenapa Kang?" Joko bertanya sambil mengerutkan alis, karena Kang Marno sepertinya enggan untuk melanjutkan kalimatnya.
"Ah, enggak kok! Nanti juga kalian akan tahu sendiri. Ya sudah, aku duluan ya. Ini perlengkapan untuk mengurus jenazah sudah ditungguin sama Pak Modin. Kalian juga, buruan pulang sana! Mandi terus datang ke rumah duka. Bantu bantu apa gitu kek," Kang Marno kembali menyalakan mesin motornya, lalu melajukannya perlahan, menyusuri jalanan desa yang mulai meremang karena senja mulai datang, meninggalkan Joko dan Mas Bambang yang hanya bisa saling pandang. Ucapan terakhir Kang Marno yang sepertinya sengaja tak dilanjutkan tadi, sedikit banyak membangkitkan rasa penasaran di hati keduanya.
Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa Mbak Marni bisa meninggal tiba tiba? Dan kenapa Kang Marno seolah enggan memberitahukan sesuatu yang sebenarnya ia tahu? Berbagai pertanyaan itu menggelayut di benak Mas Bambang dan Joko, mengiringi langkah mereka menuju ke rumah masing masing, yang jaraknya sudah tak jauh lagi dari gerbang desa.
Setelah menyelesaikan semua pekerjaan dan menerima uang gajian, keduanyapun melangkah pulang dengan hati riang. Cukup jauh jarak yang harus mereka tempuh. Ada sekitar delapan kilometeran untuk bisa sampai ke desa tempat mereka tinggal. Dan jarak sejauh itu harus mereka tempuh dengan berjalan kaki, karena memang tak ada kendaraan umum atau semacamnya di kota kecil nan terpencil tersebut.
Ya. Kota kecamatan J tempat mereka bekerja memang hanyalah sebuah kota kecamatan kecil yang terletak di salah satu sudut provinsi Jawa Tengah. Sementara desa Karanggedhe tempat mereka tinggal, jauh lebih terpencil lagi. Terletak di kaki bukit kapur, dengan naungan rimbunnya hutan jati milik perhutani di sebelah timur serta bentangan lahan pertanian yang luas disebelah utara dan barat. Jalan desa dengan permukaan berlapis susunan batu kali yang tak begitu lebar menjadi satu satunya akses yang menghubungkan desa tersebut dengan kota kecamatan J.
Praktis, keseharian dari warga desa tersebut juga tak jauh dari kesan kesederhanaan. Berjalan kaki kemana mana setiap hari sudah menjadi hal yang biasa mereka lakukan. Begitu juga dengan Mas Bambang dan Joko. Pulang pergi bekerja dengan berjalan kaki setiap hari sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka, karena memang tak ada angkutan umum atau semacamnya yang menghubungkan antara desa tempat mereka tinggal dengan kota tempat mereka bekerja. Satu satunya alat transportasi yang ada hanyalah ojek. Dan itu ongkosnya jauh diluar jangkauan isi kantong mereka. Jadilah, berjalan kaki merupakan pilihan yang terbaik bagi mereka.
Seperti sore itu. Meski rasa lelah masih mendera badan, namun keduanya melangkah pulang dengan hati riang. Tak ada kata mengeluh meski harus menempuh perjalanan jauh, karena mereka sadar akan kewajiban mereka sebagai tulang punggung perekonomian keluarga. Mereka justru bersyukur, karena jika dibandingkan dengan warga desa yang lain, nasib mereka sedikit lebih beruntung. Memiliki penghasilan tambahan sebagai buruh kilang penggilingan padi disela sela kesibukan mereka sebagai petani, membuat kondisi perekonomian mereka sedikit lebih baik daripada warga lain yang rata rata hanya menggantungkan hidup dari hasil bertani, tanpa ada tambahan penghasilan dari pekerjaan lain.
Sempat singgah di warung bakso milik Kang Tarno untuk sekedar membeli oleh oleh bagi keluarga di rumah (Mas Bambang sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak perempuan berusia 6 tahun, sementara Joko yang masih lajang hanya tinggal berdua dengan sang emak yang sudah lama menjanda), keduanya kembali melangkah pulang dengan hati riang. Sampai akhirnya, keceriaan yang mereka rasakan berubah menjadi rasa heran, saat langkah mereka mendekati gerbang desa, dan mendapati ada sepasang bendera merah dari kertas minyak yang terpasang di kiri kanan jalan. Bendera, yang menjadi pertanda bahwa ada warga yang meninggal dunia di desa tersebut.
"Lho! Mas! Kok ada bendera merah? Siapa yang meninggal?" Tanya Joko heran, karena setahunya tak ada warga desa Karanggedhe yang sakit keras atau semacamnya.
"Ya ndak tau Jok. Kok nanya aku lho. Seharian ini tadi kan aku kerja bareng kamu," jawab Mas Bambang sambil menatap heran ke arah sepasang bendera merah tersebut.
"Apa jangan jangan Mbah Joyo ya Mas?" Tanya Joko lagi, sambil mengamat amati salah satu bendera merah yang terpasang di tiang gapura sebelah kiri. Tak ada tulisan nama dari orang yang meninggal disana. Padahal biasanya selalu ada nama orang yang meninggal yang ditulis di bendera semacam itu, agar orang bisa lebih mudah mengetahui siapa yang meninggal. Entah kenapa. Mungkin si pemasang bendera terlalu terburu buru hingga lupa untuk menuliskannya.
"Bisa jadi Jok. Kan cuma Mbah Joyo orang yang paling tua di desa kita," ujar Mas Bambang sambil ikut mengamati bendera merah yang berada di hadapan Joko. Mbah Joyo yang mereka maksud adalah orang paling tua di desa Karanggedhe. Konon katanya usianya sudah hampir sembilanpuluh tahun. Namun begitu, fisiknya masih kuat. Masih sanggup untuk bekerja di sawah atau di ladang seperti orang kebanyakan.
"Tapi masa iya Mbah Joyo sih Mas? Setahuku meski sudah sepuh tapi Mbah Joyo itu masih sehat kok. Lha wong kemarin saja aku masih ketemu sama dia, lagi nyari rumput buat pakan ternaknya," ujar Joko lagi.
"Ya namanya ajal siapa yang tahu Jok. Jangankan Mbah Joyo yang sudah tua. Lha wong orang yang masih muda kayak kita saja kalau memang sudah ajalnya bisa meninggal kapan saja kok," sahut Mas Bambang.
"Iya juga ya Mas. Tapi ..., ah, kebetulan. Itu ada Kang Marno. Kang!" Joko berseru dan melambai ke arah pengendara motor yang melaju pelan dari arah mereka datang tadi. Si pengendara motorpun mengurangi laju kendaraannya, lalu menghentikannya tepat dihadapan kedua laki laki itu.
"Ah, kalian rupanya. Baru pada pulang kerja?" Sapa si pengendara motor.
"Iya Kang. Siapa yang meninggal Kang?" Tanya Joko sambil melirik bungkusan plastik besar berisi kain kafan dan aneka keperluan untuk mengurus jenazah yang tergantung di stang motor. Pasti laki laki bernama Kang Marno ini habis disuruh belanja aneka keperluan itu di kota oleh para perangkat desa.
"Mbak Marni Jok," Kang Marno menjawab singkat, sambil menyalakan sebatang rokoknya.
"Hah?! Mbak Marni?!" Mas Bambang berseru kaget. Nama Mbak Marni yang barusan disebutkan oleh Kang Marno, bukanlah nama yang asing baginya. Karena memang hanya ada satu orang bernama Marni di desa Karanggedhe. Dan itu bukanlah orang lain bagi Mas Bambang. Selain tetangga dekat (jarak rumah Mas Bambang dan Mbak Marni hanya terpaut dua pekarangan), hubungan antara Mas Bambang dan Mbak Marni juga sudah seperti paman dan keponakan. Setiap ada masalah atau butuh bantuan, gadis yatim berusia delapan belas tahun itu pasti larinya ke Mas Bambang. Tak heran kalau Mas Bambang nampak begitu terkejut saat Kang Marno bilang bahwa Mbak Marnilah yang meninggal.
"Mbak Marni yang anaknya Mbok Sarkem itu Kang?" Tanya Joko lagi.
"Lha iya. Siapa lagi di desa kita yang namanya Mbak Marni kalau bukan dia," Kang Marno menjawab sambil menghembuskan asap rokoknya.
"Sampeyan serius Kang? Sampeyan ndak sedang bercanda kan?"
"Bercanda dengkulmu itu! Kau pikir kabar kemalangan begini bisa dijadikan bahan bercandaan heh?!"
"Hehehe ..., ya bukan begitu Kang. Tapi bukannya Mbak Marni itu belakangan ini sehat sehat saja? Ndak ada sakit atau apa gitu kan? Lha wong tadi pagi saja kita ketemu kok sama dia. Berangkat kerja bareng malah. Iya kan Mas?" Joko menoleh ke arah Mas Bambang yang hanya mengangguk pelan, karena belum sepenuhnya pulih dari rasa keterkejutannya.
Sama seperti keduanya, Mbak Marni juga bekerja di kota kecamatan J. Bedanya, gadis manis berambut sebahu itu bekerja di warung soto milik budhenya. Warung yang cukup besar dan sangat terkenal di seantero kota J, hingga orang sering salah kaprah menyebutnya sebagai restoran daripada warung.
"Memang nggak sakit nggak apa kok. Meninggalnya mendadak Jok. Katanya sih siang tadi ia pamit pulang lebih awal sama budhenya di tempat kerja sana, karena merasa nggak enak badan. Pas sampai rumah, setelah dikerokin sama simboknya, ia langsung tidur. Pusing katanya. Nah, sekitar habis ashar tadi, pas mau dibangunin sama simboknya, mau disuruh makan, ternyata udah nggak ada Jok," jelas Kang Marno.
"Aneh," Joko menggumam pelan.
"Memang agak aneh Jok. Kalau kata orang orang sih ...."
"Kenapa Kang?" Joko bertanya sambil mengerutkan alis, karena Kang Marno sepertinya enggan untuk melanjutkan kalimatnya.
"Ah, enggak kok! Nanti juga kalian akan tahu sendiri. Ya sudah, aku duluan ya. Ini perlengkapan untuk mengurus jenazah sudah ditungguin sama Pak Modin. Kalian juga, buruan pulang sana! Mandi terus datang ke rumah duka. Bantu bantu apa gitu kek," Kang Marno kembali menyalakan mesin motornya, lalu melajukannya perlahan, menyusuri jalanan desa yang mulai meremang karena senja mulai datang, meninggalkan Joko dan Mas Bambang yang hanya bisa saling pandang. Ucapan terakhir Kang Marno yang sepertinya sengaja tak dilanjutkan tadi, sedikit banyak membangkitkan rasa penasaran di hati keduanya.
Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa Mbak Marni bisa meninggal tiba tiba? Dan kenapa Kang Marno seolah enggan memberitahukan sesuatu yang sebenarnya ia tahu? Berbagai pertanyaan itu menggelayut di benak Mas Bambang dan Joko, mengiringi langkah mereka menuju ke rumah masing masing, yang jaraknya sudah tak jauh lagi dari gerbang desa.
Bersambung
thanosbekasi dan 136 lainnya memberi reputasi
135
34.2K
1.1K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.2KThread•46.5KAnggota
Tampilkan semua post
jenggalasunyi
#306
Kbtulan yg sdkit unlogic reason nya
pulaukapok dan indrag057 memberi reputasi
2
Tutup