Lantai lembab dan dingin menjadi alas di mana tubuh Deni masih terbaring lemah. Tak jauh dari tempatnya, sebuah kotak kayu yang rusak terlihat terbuka, isinya berhamburan, mengotori lantai dengan benda-benda yang sepertinya pernah terkunci rapat di dalam peti tersebut.
Deni tetap diam, pikirannya berputar-putar, mencoba merangkai segala kejadian yang telah ia alami. Setiap potongan kenangan, setiap pertemuan—semua ia coba gabungkan untuk mencari jawaban dari misteri yang kini mengurungnya.
Dari pertemuannya dengan Andre, hingga segala perkataan Pak Rusman yang masih terngiang di telinganya.
Jika ia mempercayai kata-kata Pak Rusman, bahwa ritual Andre selalu ditujukan kepada calon pembelinya, maka jelas target saat itu adalah Bang Ferdy. Kepemilikan rumah ini yang sekarang berada di tangan Bang Ferdy memperkuat kebenaran itu. Artinya, ritual tersebut sudah lama dilakukan, jauh sebelum Deni berjumpa dengan Andre.
Tapi, kenapa namanya tercantum di selembar kertas misterius ini? Seharusnya nama Bang Ferdy yang berada di sana. Walau begitu Deni tidak mengharapkan ada nama dari orang yang ia kenal tertulis di sana. Namun robekan dari kertas ini membawa pikirannya pada suatu opini liar.
Ia terdiam lama, matanya sayu menatap kosong pada cahaya lampu yang menerangi ruangan suram itu. Setetes air jatuh di pipinya, bukan karena hujan di luar sana, melainkan dari luka batin yang semakin menganga. Dari sisa coretan yang tersobek, ia berhasil memahami apa yang sebenarnya telah terjadi.
Di tengah suara hujan yang tak kunjung reda, deru motor mendadak memecah kesunyian. Pintu depan terbuka, Deni mengangkat alisnya, menoleh pelan, menanti sosok yang baru tiba.
“Masya Allah!” teriakan panik Mang Rudi menggema saat melihat Deni tergeletak di lantai, dengan tubuhnya terbalut perban merah.
“Den!” seru Kevin, matanya penuh cemas.
Mereka berdua segera menghampiri—orang-orang yang Deni hormati sepenuh hati. Mereka tak memedulikan air hujan yang terus mengalir membasahi pakaian mereka, hanya ada kekhawatiran di wajah mereka.
Mang Rudi berlutut, meraih lengan Deni yang lemas, wajahnya menggambarkan kepedulian yang mendalam. “Den, tahan sebentar, ayo berdiri...” suaranya tegas namun lembut, mencoba memberi kekuatan kepada pemuda yang nyaris tak berdaya itu. Dengan penuh tenaga, ia menopang tubuh Deni yang lemah.
Kevin, yang berdiri di samping, ikut berjongkok, menahan bahu Deni dari sisi lain. “Ayo, pelan-pelan, gue bantu,” katanya, napasnya terdengar berat, keringat bercucuran di wajahnya. Tangannya yang kokoh menempel di punggung Deni, berusaha memastikan mereka bisa membawanya berdiri dengan aman.
Deni mengerang lemah, kakinya gemetar saat mencoba bangkit. Dengan penuh perjuangan, Mang Rudi dan Kevin menariknya berdiri, meski langkahnya masih terasa berat dan tak stabil.
Kevin melirik Deni dengan tatapan khawatir, menyadari jika teman baiknya ini terlihat sangat rapuh. Matanya bertemu dengan Mang Rudi, seolah keduanya tahu situasi ini lebih rumit dari dugaan.
“Aku... sekarang ngerti, Mang...” ucap Deni lirih. Mang Rudi hanya menepuk lembut bahunya, mencoba menenangkan suasana.
Raut wajah Mang Rudi tak menunjukkan ketenangan. Matanya menyiratkan amarah yang terpendam, seakan apa yang ia takutkan selama ini akhirnya menjadi kenyataan. Namun, ia tahu semuanya sudah terjadi, dan tak ada lagi yang bisa diubah.
Deni melepaskan diri dari pegangan Mang Rudi dan Kevin, berusaha berdiri tegak, walau kakinya masih gemetar. Ia menatap kertas yang ada di tangannya, air matanya mulai menggenang tanpa ia sadari. Melihat itu, Mang Rudi mengambil kertas dari tangan Deni.
Mang Rudi diam sejenak, memandang kertas itu, mencoba memahami maknanya. Namun, perhatiannya teralihkan saat Kevin mendekati sebuah patung kecil yang tergeletak di lantai. “Vin! Jangan sentuh boneka haram itu!” bentak Mang Rudi tegas, membuat Kevin terkejut dan segera menjauh.
Setelah merasa cukup, Mang Rudi menyerahkan kembali kertas itu ke tangan Deni. “Vin, kamu punya pulpen?” tanyanya dengan suara berat.
Kevin mengangguk. "Ada di kamar Deni," katanya, lalu berjalan ke kamar Deni, mengambil pulpen, dan menyerahkannya ke Mang Rudi.
Mang Rudi menyodorkan pulpen itu ke arah Deni. “Lakukan, Den. Lalu sobek namamu, biar mereka tau seberapa menderitanya kamu selama ini!”
Deni mengambil pulpen itu dengan tangan gemetar, menunduk, lalu tanpa berkata apa-apa, ia melempar pulpen itu jauh keluar ruangan.
Ia menghela napas panjang, tersenyum tipis, meski wajahnya masih diliputi kekecewaan yang mendalam. "Deni udah ikhlas, Mang. Gak mau penderitaan ini terus berlanjut," katanya dengan nada pelan, sebelum berjalan mendekati kompor.
“Woy! Lo gila apa! Kalau lo bakar itu gimana kondisi lo sendiri?” Walau Kevin tidak begitu mengerti apa yang sebenarnya terjadi, namun tetap saja ia merasa tindakan Deni membuatnya takut.
Deni hanya menoleh sekilas, tersenyum kecil, lalu membiarkan api mulai melahap kertas di tangannya. Kevin yang mencoba melerai mendapatkan isyarat tegas dari Mang Rudi agar membiarkan Deni melakukan semua itu.
Tak sampai di situ, ia juga mengambil semua benda aneh yang tercecer di atas lantai, lalu ia memasukkannya kembali ke dalam peti kayu yang rusak. Dengan tekad bulat, ia membakar semuanya hingga tak tersisa, hanya menjadi abu.
"Akhirnya kau bisa menemukan itu, Jang," Mata Deni membesar saat mendengar suara lirih dari seorang Nenek. Dibalik guyuran hujan deras, tampak sosok seorangnya berdiri tepat di samping sumur tua itu, disisinya berdiri sosok anak perempuan yang tak asing bagi Deni. Walau butiran air hujan begitu deras, namun tak membuat kedua sosok itu tampak basah sedikitpun. Tapi kali ini kehadiran mereka terasa lebih hangat dan bersahabat.
"Kau terlalu bodoh! Sekarang mereka akan mencari teman baru!"
"Pulanglah, Jang.. Dan tinggalkan tempat ini dengan tenang," meski tubuh mereka jauh, namun Deni mampu mendengar suara sang Nenek dan anak kecil itu dengan sangat jelas. Walau ia hanya menjawabnya dengan senyum tipis.
Tiba-tiba tubuhnya limbung, kesadarannya hilang, dan dunia seakan berhenti berputar. Untung saja Mang Rudi cepat menangkap tubuh Deni yang mukai terjatuh tak berdaya. Keheningan pun menyelimutinya, menutup hari lelah penuh siksaan.
*******
Setelah kejadian itu, selama 2 hari Deni menjalani perawatan intensif di salah satu rumah sakit. Akibat luka-lukanya yang serius, membuat cedera pada tenggorokannya, bahkan untuk menelan setetes air pun ia sangat menderita. Melihat kondisinya yang memburuk, Mang Rudi dengan penuh amarah mendesak Bang Ferdy untuk membawanya ke rumah sakit.
Selain mendesak Bang Ferdy, Mang Rudi juga meminta bantuan Kevin untuk menjemput Ibu Deni, dan memberitahukan jika anaknya berada di rumah sakit. Rasa kecewa dan tidak terima atas apa yang menimpa anaknya, sang Ibu meminta kepada Ferdy untuk menjauh dari kehidupan Deni.
Kisruh antara Ibu Ferdy dan Ibu Deni pun terjadi, pasalnya Ibu Ferdy tetap kekeh meyakini jika semua yang terjadi akibat kesalahan Deni yang tidak becus menjaga diri. Hingga akhirnya kedua keluarga itu benar-benar terpisah semakin jauh.
Di siang itu, tampak Deni melangkah keluar dari kamar rumah sakit dengan tas kecil tergantung di pundaknya. Udara segar langsung menyambutnya di koridor, menghapus bau obat-obatan yang selama ini ia hirup. Perasaan lega dan sedikit gugup bercampur di hatinya—hari ini ia akhirnya bisa pulang.
Di ruang tunggu, Mang Rudi dan Kevin sudah menanti. Mang Rudi, dengan kemeja kotaknya yang usang, tampak berdiri sambil bersandar di dinding, sementara Kevin duduk dengan kepala sedikit tertunduk, memainkan ponsel di tangannya. Begitu melihat Deni keluar, senyum mereka berdua langsung merekah.
“Wah, akhirnya anak ini pulang juga!” seru Mang Rudi dengan suara berat dan senyum lebar. Ia mendekati Deni, menepuk bahunya pelan.
“Alhamdulillah, sehat-sehat, ya, Den?” lanjut Mang Rudi, matanya memperhatikan Deni dari atas ke bawah, memastikan kondisi anak muda itu benar-benar membaik.
Deni tersenyum kecil, sedikit canggung dengan perhatian yang ia terima. “Iya, Mang. Udah mendingan sekarang, kata dokter juga nggak ada yang perlu dikhawatirin lagi.”
Kevin ikut bangkit dari kursinya, menghampiri Deni dengan ekspresi lega. “Syukurlah, Den. Akhirnya lo bisa pulang. Gue udah lama nunggu kabar baik ini.” Suaranya terdengar tulus, meski wajahnya masih sedikit tegang.
Deni menatap Kevin sejenak, merasa terharu dengan perhatian teman-temannya. “Thanks, Vin. Gue juga nggak nyangka bakal secepat ini pulih. Kalian udah banyak bantu gue... bener-bener terima kasih.”
Mang Rudi melambaikan tangannya dengan santai. “Udah ga usah dipikirin. Yang penting sekarang kamu sehat.”
Deni mengangguk, matanya mulai sedikit berkaca-kaca, tapi ia menahannya. "Deni ngga tau harus gimana tanpa kalian. Beneran," ucapnya pelan, tapi tulus.
Kevin menepuk bahunya, kali ini dengan lebih lembut. “Udah, Den. Yang penting lo sehat. Kita semua seneng lo balik lagi.”
“Mang, Deni izin pamit.” Deni berkata sambil menatap Mang Rudi dan Kevin, merasa berat untuk meninggalkan mereka di sini.
Mang Rudi tersenyum lebar. “Jangan lupa istirahat yang banyak, Den. Jangan kebanyakan mikir. Kalau lo butuh apa-apa, langsung aja hubungi kita.”
Kevin mengangguk setuju. “Iya, kita semua selalu ada buat lo, Den.”
Deni tersenyum dan mengangguk. “Pasti, Mang, Vin. Aku bakal inget itu. Makasih banyak buat semuanya.”
Setelah beberapa pelukan dan salam perpisahan, Deni akhirnya melangkah menuju pintu keluar rumah sakit. Di luar, dunia terasa berbeda. Angin segar menerpa wajahnya, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Deni merasa bebas—bebas dari kekhawatiran dan rasa sakit yang membelenggunya selama ini.
TAMAT
Tambahan:
Beberapa bulan kemudian, Deni kembali berkunjung ke Bogor saat merayakan hari raya Idul Fitri bersama. Di sana Deni bertemu dengan semuanya, dan Kevin dibantu Aidan mulai bercerita tentang apa yang terjadi setelah kepulangannya.
Ketika Deni tak lagi di rumah terkutuk itu, semua aktivitas terhenti total, sedangkan Mang Tohir lebih memilih pulang ke kampung halamannya. Terhentinya pembangunan bukan karena Rifaldy tidak bisa menemukan para pekerja, melainkan ada suatu masalah yang terjadi pada Bang Ferdy.
Kevin meyakini jika Bang Ferdy bangkrut dalam semua bisnisnya, sehingga rumah terkutuk itu pun disita oleh Bank. Bukan hanya itu saja, beberapa bulan kemudian Rifaldy harus masuk panjara akibat kelakuan Bang Ferdy.
Selama mengalami masa sulit, Bang Ferdy terus menerus meminta Rifaldy mencarikan rental mobil untuk menyewa beberapa unit dan membawanya ke suatu tempat. Namun, tindakannya itu justru harus membuat Rifaldy mendekam di penjara lantaran sang Kakak telah menggelapkan puluhan unit mobil.
Namun keluarga Rifaldy berhasil membujuk Bang Ferdy untuk bertanggung jawab agar Rifaldy dapat terbebas dari hukumannya. Setelah itu Bang Ferdy tidak pernah terlihat lagi. Selain bercerita Deni dan yang lain menyempatkan diri untuk melihat rumah yang kini terbengkalai dari kejauhan. Tidak ada perubahan dari bangunan itu—masih sama seperti dulu. Hanya saja terkihat lebih seram karena tak terawat.
Next:
Setalah kunjungan itu Deni tak pernah lagi ke sana, bahkan saat hari Raya Idul Fitri. Hingga pada tahun 2020 dirinya baru kembali berkunjung. Namun, kunjungannya kali ini membawa luka yang mendalam untuknya.
Lama tak terdengar kabar, ternyata telah banyak orang yang ia sayangi di sana yang telah Wa'fat. Luka terdalamnya adalah, ketika ia tak bisa mengantar kepergian Mang Rudi ke tempat peristirahatan yang terakhir.
Selain Mang Rudi, di sisi keluarga Rifaldy pun semua telah berpulang—kini hanya menyisakan Rifaldy seorang diri. Tanpa kedua orang tua dan Bang Ferdy.
========
Entah semua itu masih berhubungan atau tidak, semua saya kembalikan pada keyakinan masing-masih dari pembaca. See You ...
Terima kasih selama ini kalian telah menemani Author dalam berkarya. Aku berharap cerita ini bisa mengisi waktu luang kalian dengan baik.
================
From Author:
Jika merasa masih kurang, dengan senang hati aku buat Series kedua yang akan memperjelas Plot Twis dalam cerita ini. Mungkin kisah berikutnya akan menceritakan perjalan Bang Ferdy dan Andre yang berperan penting menciptakan kutukan yang menyerang tubuh Deni. Tapi semua itu tergantung dengan minat pembaca. Hehe...