Quote:
Sore itu, langit menggulung gelap. Awan hitam pekat seperti mengepung bumi, dan udara terasa semakin berat, menekan. Tetesan hujan mulai turun, menggedor genting rumah di antara pepohonan yang rindang, menyuarakan ketukan yang makin lama makin deras.
Rumah besar berlantai lima itu kini tampak sepi. Dulu, suasana masih terasa hidup ketika Kevin dan yang lainnya baru saja pergi, meninggalkan Deni seorang diri.
Di dalam kamar yang remang, tak ada satu pun cahaya yang menerangi, Deni terbaring. Matanya menatap kosong, seolah jiwa dan pikirannya terkunci entah di mana. Tubuhnya terikat oleh gelang di kedua tangan dan kaki—sebuah pembatas, tapi tidak sepenuhnya penghalang.
"Terima kasih, Vin... Lu bikin gue sadar kalau di dunia ini masih ada orang baik," gumam Deni, menyunggingkan senyum kecil di wajah yang penuh luka. Ucapan itu terdengar tulus, meski suara lemah dan getir menyelimutinya.
Di balik senyum itu, pikirannya masih terus berkecamuk. Semua luka dan rasa sakit yang menutup tubuhnya dengan balutan perban adalah bukti atas pilihan yang ia buat, pilihan yang penuh risiko. Semua ini dimulai setelah Pak Rusman mengungkapkan betapa berbahayanya ritual yang dilakukan Andre.
Ritual itu awalnya ditujukan untuk Bang Ferdy, tapi entah bagaimana, kutukan itu malah jatuh kepada dirinya. Pak Rusman yakin, kutukan ini bisa terus merambat, menyakiti orang-orang terdekat.
"Bukan hanya soal kutukan," Pak Rusman pernah berkata dengan nada tegas. "Rumah ini... yang sekarang kalian tempati, di itulah Andre melakukan ritual-ritualnya. Dan saya yakin jika benda itu tersembunyi di tempat tertentu."
Ingatan itu berputar di benak Deni. Ia dan Pak Rusman sempat berdiskusi panjang tentang gambar yang dibuat oleh Deni pada selembar kertas. Gambar itu tampak memperlihatkan sebuah ruangan misterius, mungkin penunjuk jalan menuju tempat tersembunyi, tempat di mana semua misteri ini berpusar. Tapi masih belum jelas apakah tempat itu benar-benar ada atau mungkin sudah terkubur di bawah rumah besar ini.
Waktu semakin cepat berlalu, jam dinding berdetak, sekarang menunjukkan pukul 15:49. Deni tahu, waktunya semakin menipis. Dengan napas berat dan tubuh gemetar, ia berusaha melepaskan diri dari ikatan di tangan dan kakinya. Satu per satu gelang yang melingkari tubuhnya terlepas, berkat Kevin yang sengaja tidak mengunci erat gelang itu—sebuah simbol kepercayaan penuh yang Kevin berikan padanya.
Tubuh Deni menggigil, ia perlahan bangkit dari tempat tidur. Setiap gerakan terasa menyakitkan, tapi tekadnya kuat. Ia harus melawan, meskipun tiap langkah terasa seperti menapak di atas bara.
Dengan tangan yang gemetar, ia meraih tuas pintu. Saat pintu terbuka, angin dingin yang membawa aroma hujan menerpa wajahnya. Udara segar itu memberinya sedikit ketenangan. Namun, belum sempat ia menikmati kebebasan itu, pikirannya langsung kembali ke misi utamanya—menemukan tempat ritual Andre.
"Di mana... di mana tempat itu?" gumamnya pelan, menatap ke luar rumah. Otaknya bekerja keras, mencoba memetakan kembali ingatannya.
Deni tak mau gegabah, ia tak mungkin mencari di semua area, tanpa rencana. Otaknya menganalisis dengan cepat. Tempat itu tak mungkin ada di dalam rumah, sebab tidak pernah terdenger kalau ada pekerja yang menemukan benda, atau tempat aneh di dalam rumah ini. Setelah memikirkannya, pilihan jatuh pada dua lokasi yang memang nyaris tak terjamah oleh siapapun: satu lahan kosong di samping kiri rumah, dan satu lagi berada di belakang rumah.
Kilatan petir menyambar, membuat ingatan Deni tiba-tiba terarah ke satu tempat yang nyaris terlupakan, bahkan tak pernah tersentuh sejak tempat itu ditemukan—sumur tua di belakang rumah. Nalurinya mengatakan sesuatu penting tersembunyi di sana.
Deni segera melangkah ke arah dapur. Angin kencang dan hujan menerpa tubuhnya, membasahi perban yang mulai terlihat kusam, bercampur darah. Setibanya di pintu dapur, ia terdiam, mengumpulkan napas.
Sesaat kemudian, pandangannya tertuju pada tumpukan bambu besar yang menutup sumur tua. "Sial..." bisiknya lirih, kepalanya menunduk lesu.
Perasaannya bergolak, ia tahu mustahil untuk memindahkan bambu-bambu itu dalam kondisi fisiknya sekarang. Tubuhnya terlalu lemah. Tapi Deni menolak menyerah. Napasnya semakin cepat, amarah dan frustasi menggulung dalam dadanya. Tangan yang gemetar, mencoba meraih salah satu batang bambu. Bebannya terasa berat, setiap otot di tubuhnya berteriak kesakitan.
Dengan usaha yang hampir membuatnya pingsan, satu per satu bambu mulai bergeser. Gemetar dan basah kuyup, Deni terus berjuang sampai akhirnya sebagian besar bambu berhasil disingkirkan. Namun, saat ia terkapar di samping sumur, rasa lega itu belum hadir sepenuhnya.
Tenggorokannya kering, meski wajahnya penuh air hujan. Dengan sisa tenaga, ia meraih bibir sumur dan mengintip ke dalam. Jilatan petir menyambar memperlihatkan air keruh bergelombang di bawah sana. Selain sampah, ia tak melihat apapun, seperti yang ia pikirkan.
Sekejap Deni terpaku, membiarkan tubuhnya diterpa air hujan yang deras berjatuhan. Ia merasa jika usaha terakhirnya ini hanyalah mimpi belaka, semua harapannya hancur berkeping-keping.
"Aku harus berbuat apa lagi!!!" Deni tengah dilanda rasa frustasi hebat, ia tidak bisa menerima kenyataan pahit ini.
Sekilas ia bisa membayangkan, jika tubuhnya akan berakhir di dalam sana, saat waktunya telah habis membawa kutukan itu kembali. Namun, mata Deni yang mengedara terhenti pada sebuah tepi sumur yang terlihat sangat aneh.
Matanya tak henti tertuju, pada sebuah rongga yang miliki bentuk kotak sempurna. Lubang itu memiliki cekungan yang dalam—hampir terlihat seperti sebuah laci tanpa pintu. Deni sadar jika rongga seperti itu hanya bisa dibuat oleh tangan manusia. Harapannya mulai tumbuh menyuluh api semangat yang pernah padam.
Kepalanya menolah ke segala arah, mencari benda yang mungkin bisa ia gunakan untuk memastikan apa yang ada di dalam sana.
Berbekal bambu panjang, Deni mulai mengorek lubang tersebut, hingga membuat gugusan tanah disekitarnya berjatuhan. Tapi lagi-lagi, sesaat ia bisa melihat isi lubang tersebut, Namun Deni tak menemukan apapun di dalamnya.
Merasa kecewa dengan usahanya yang melelahkan, ia melempar pambu tersebut ke dalam lubang sumur.
Belettaaakk!! Byyuuurrrr!!
Deni terperangah saat mendengar suara dari bambu yang terjatuh. Ia kembali melirik ke dasar sumur, dan barulah ia temukan jika diantar kotoran dan sampah ada sebuah plastik hitam yang mengapung lebih berat dari pada yang lain.
"Apa ini?" bisik Deni, rasa ingin tahunya memuncak meski tubuhnya sudah hampir tak mampu bergerak. Ia mengambil sebatang bambu, mencoba menarik benda itu ke atas.
Saat kayu menyentuh plastik, tubuhnya langsung bergetar hebat. Sebuah suara misterius seperti berbisik di telinganya, membuatnya seketika merasa panik. Deni cumiik, satu tangannya menutupi telinga, tapi ia tetap fokus dalam usahanya. Plastik hitam itu akhirnya berhasil ia raih.
Sebuah kotak keras berukuran kecil, terbungkus rapat di balik plastik hitam. Wajah Deni berubah, antara kelegaan dan ketegangan, isi hatinya terus bertanya-nyata. Apakah ini media yang digunakan Andre?
Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, Deni kembali ke dapur dengan kondisi merayap di antara genangan air coklat dan serpihan keramik. Lalu ia merobek lapisan plastik dengan tergesa-gesa.
Kotak kayu jati, dengan ukiran menyerupai bunga-bunga terpahat sempurna menghiasi setiap sisi kotak berwarna coklat tersebut. Kota itu memiliki kunci berwarna kuning emas.
Tak ingin membuang waktu, Deni lantas membantingnya dengan keras dan berhasil membukanya. Di dalamnya, sebuah patung kecil dengan wajah menyeramkan terlihat, bersama gumpalan rambut hitam, tanah merah, dan selembar kertas tua yang terlipat.
Pandangan Deni terpaku pada patung kecil itu, tubuhnya yang kurus dan mengerikan membuat perutnya terasa mual. Rambut kusam terurai hingga kaki, dengan warna hitam keputihan. Kedua Matanya tampat bulat menyiratkan tetapan kosong. Patung itu memiliki taring panjang menyembul dari mulutnya. Kedua tangannya bertemu di atas dada dengan kuku yang membelit sekujur tubuhnya. Ia seolah menyeringai di tengah kesunyian.
Wajah lelah dan diliputi tandanya besar dengan apa yang ia temukan saat ini. Hingga matanya bergulir pada selembar kertas tua yang kusam dan tampak tak biasa. Kertas kecokelatan itu penuh dengan coretan acak dan salah satu sisinya tercabik tak beraturan, seolah ada sesuatu yang hilang dari sana.
Tangan Deni bergetar saat ia perlahan meraih kertas tersebut, mendekatkannya ke cahaya lampu yang remang. Ia menahan napas, matanya membelalak ketika melihat sesuatu yang tak pernah ia sangka—namanya tertulis di sana dengan jelas.
“Deni...” gumamnya pelan, suaranya gemetar seiring dengan napasnya yang semakin cepat. Jantungnya berdegup kencang saat matanya menelusuri baris-baris tulisan yang tak ia pahami, semuanya asing—kecuali satu nama: namanya sendiri. Di bagian lain kertas itu, ada potongan yang hilang—seolah pernah ada sebuah nama lain yang sekarang sudah hilang, namun bekasnya masih tampak samar dengan guratan panjang dan mendatar pada tepi atasnya yang bisa merujuk pada sebuah huruf—( "R" "E" "F" "P" )
Dengan mata terbelalak, Deni mencoba menerka apa yang hilang dari potongan itu. Ia merasa ada sesuatu yang penting di sana—sesuatu yang mungkin berkaitan erat dengan dirinya.
====