- Beranda
- Stories from the Heart
Rumah Terbengkalai (True Story)
...
TS
wedi
Rumah Terbengkalai (True Story)

#The Winner Writer II Horor
#Hot Genre Horor No 3.
#Top Catagori Novel Horor No 2.
#On Kaskus: HT ...

Hai, Readers.
Saya punya cerita yang mungkin menarik untuk kalian baca, kisah ini saya angkat dari kejadian nyata yang saya alami sendiri.
Quote:
Quote:
Cerita Lainnya: Audio Versi:
1. Ekspedisi Arkeologi - Kutukan Desa Mola-Mola
1. Ekspedisi Arkeologi - Kutukan Desa Mola-Mola
Spoiler for Temukan Athor di Sosial Media:
Spoiler for Link Donasi Gan:
Quote:
Dana: 081585512078
Spoiler for Fizzo Novel::
Buat yang mau baca Novel author lainnya bisa ke sini: Nama Pena: D. Eyzha_HR.Di sana bisa tanpa baca alias ada fitur audio baca.
Sebelumnya saya minta maaf jika ada:
-Kesalahan dalam Post saya
-Update ceritanya lama.
-Saltik atau Typo karena cerita belum sempat di Revisi ulang.
Quote:
Untuk Versi REVISI DAN TERUPDATE bisa cek di sini: Mangatoon - Rumah Terbengkalai True Story
Quote:
- WARNING -
Dimohon kerjasamanya bagi siapapun yang sudah tahu menahu tentang lokasi di cerita ini untuk tetap MERAHASIAKANNYA. Dan bagi yang MASIH PENASARAN, TS mohon dengan sangat untuk penasaranlah dari segi ceritanya saja (tidak perlu mencari & menerka). Let mystery be a mystery, untuk kebaikan kita bersama & sisi unik dari cerita ini.
Dimohon kerjasamanya bagi siapapun yang sudah tahu menahu tentang lokasi di cerita ini untuk tetap MERAHASIAKANNYA. Dan bagi yang MASIH PENASARAN, TS mohon dengan sangat untuk penasaranlah dari segi ceritanya saja (tidak perlu mencari & menerka). Let mystery be a mystery, untuk kebaikan kita bersama & sisi unik dari cerita ini.
Quote:
Note: SAYA HANYA MEMPOST CERITA INI DI KASKUS DAN MANGATOON. SELAIN DI DUA PLATFORM INI CERITA DIJAMIN PLAGIAT ..
----------------------------------------------------------------
NovelTool: TAMAT
Index On Kaskus (TAMAT)
0. Author Kembali 2024!
1. Prolog.
2. Perkenalan.
3. Rumah Tua Part 1.
4. Rumah Tua End.
5. Malam Pertama Part 1.
6. Malam Pertama End.
7. Interaksi Astral Part 1.
8. Interaksi Astral End.
9. Malam Penuh Cemas: Bab1 (2024)
10. Malam Penuh Cemas: Bab 2 (2024)
11. Malam Penuh Cemas: Bab 3 (2024)
12. Malam Penuh Cemas: End (2024)
13. Munguji Mental: Bab 1 (2024)
14. Menguji Mental: Bab 2 (2024)
15. Menguji Mental: Bab End (2024)
16. Aku Kembali: Bab 1 (2024)
17. Aku Kembali: Bab 2 (2024)
18. Aku Kembali: Bab 3 (2024)
19. Aku Kembali: Bab 4 (2024)
20. Aku Kembali: End (2024)
21. Dia Adik-ku: Bab 1 (2024)
22. Dia Adik-Ku: Bab 2 (2024)
23. Dia Adik-ku: Bab 3 (2024)
24. Dia Adik-Ku: Bab 4 (2024)
25. Dia Adik-Ku: Bab End (2024)
26. Teman Atau Lawan: Bab 1 (2024)
27. Teman Atau Lawan: Bab 1² (2024)
28. Teman Atau Lawan: Bab 2 (2024)
29. Teman Atau Lawan: Bab 3 (2024)
30. Teman Atau Lawan: Bab 4 (2024)
31. Teman Atau Lawan: Bab 5 (2024) ]
32. Teman Atau Lawan: Bab End¹ (2024)
32. Teman Atau Lawan: Bab End (2024)
33. Penderitaan: Bab 1 (2024)
34. POV Kevin: Penderitaan Bab 2 (2024)
35. Pov Kevin: Penderitaan: Bab 3¹ (2024)
36. POV Kevin: Penderitaan: Bab 3² (2024)
37. POV Kevin: Penderitaan: Bab 4¹
38. POV Kevin: Penderitaan: Bab 4²
39. Pov Kevin: Penderitaan bab 5
40. Pov Kevin: Penderitaan bab 6
41. Pov Kevin: Penderitaan Bab 7
42. Pov Kevin: Penderitaan End
43. Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP1
44. Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP2-3
45. Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP4-5
46. Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP6-7
47. Pov Kevin: Mengungkap Misteri End
48. Pov kevin: Perjuangan Akhir EP1-2
49. Perjuangan Akhir EP3
50. Perjuangan Akhir: TAMAT
>>>TAMAT<<<<
----------------------------------------------------------------
Quote:
Plot Story:
Cerita diangkat berdasarkan kisah nyata yang dialami oleh lima Pria remaja asal Bogor Jawa Barat.
Kejadian Bermula ketika Yudi membeli sebuah rumah tua peninggalan belanda yang hendak ia renovasi menjadi bangunan mewah berlantai empat.
Seiring pembangunan berjalan, kejadian aneh kerap dialami oleh para-pekerja yang membuat meraka merasa tidak nyaman, interaksi keberadaan makhluk tak kesat mata terasa kental ketika malam menjelang. Deni dan empat kawannya yang diberi tugas mengawasi pekerja tak luput dari gangguan yang sulit diterima oleh nalar.
Hingga detik ini pembangun telah terhenti, yang tinggal hanya menyisakan rumah besar yang terbengkalai.
Gangguan seperti apa yang mereka rasakan? lalu adakah kisah kelam dibalik berdirinya bangunan besar ini? mari ikuti pengakuannya dalam cerita "Rumah Terbengkalai"
dan pastikan anda tidak membacanya seorang diri.
Diubah oleh wedi 22-10-2024 19:47
iwanridwanmks dan 59 lainnya memberi reputasi
56
57.1K
Kutip
371
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
wedi
#292
Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP6-7
Quote:
Aku terdiam, merasakan bahwa pembahasan ini akan terasa berat. Namun, di dalam hati, aku sudah tidak sanggup lagi membendung perasaan ini seorang diri.
"Awal rumah itu dibeli, semua terasa baik-baik saja, Mang. Tapi lama-lama, saya merasa ada yang aneh dengan rumah itu," ungkapku. Mang Tabah tampak serius mencerna kata-kataku. "Sampai akhirnya, salah satu teman saya tiba-tiba sakit dan mulai bertingkah aneh! Saya ngga ngerti awalnya bisa kayak gitu gimana, tapi sekarang kondisinya semakin parah! Sampai-sampai kami harus mengingatkan dia. Tanpa ikatan itu, dia terus melukai dirinya sendiri, seolah-olah dia ngga kenal rasa sakit."
Mang Tabah tertunduk, sesekali kepalanya mengangguk samar. Raut wajahnya sangat serius menangkap semua ceritaku.
"Udah coba diobatin, Jang?" tanyanya.
Aku menghela napas lelah, lalu menggelengkan kepala dengan isyarat kegagalan. "Sudah semua dicoba, Mang. Tapi hasilnya nihil," ucapku pelan.
"Udah coba dibawa ke orang pinter?"
"Dukun maksudnya, Mang?" Ia mengangguk cepat. "Udah, Mang. Cuma bikin suasana rumah tambah ngga nyaman. Ngga ada perubahan sama teman saya," lanjutku, membuat Mang Tabah terhening, tanpa melanjutkan pertanyaannya.
"Alasan saya mencari Andre, itu semua atas permintaan dari teman saya yang sakit, Mang. Dia ingin menanyakan beberapa hal sama Andre," tambahku, berharap penjelasan ini memberi gambaran jelas pada Mang Tabah.
"Kalau mau tanya Andre..." Aku melirik cepat ke arah Mang Tabah. "Coba tanya sama teman dia, saya tahu tempatnya," lanjutnya. Tentu saja, itu membuka kembali pintu harapan yang nyaris tertutup.
"Mang! Bisa bantu saya antar ke teman Andre itu?" tanyaku dengan tergesa-gesa. Aku bangkit dan berdiri, "Saya mohon, Mang. Antarkan saya ke sana."
Mang Tabah mengangguk setuju, wajahnya nampak tulus ingin membantuku. "Tenang... Abisin dulu atuh kopinya," jawabnya, ia mencoba melerai emosiku yang ingin segera berjumpa dengan orang yang dimaksud.
Tak lama kemudian, Mang Tabah kembali dari dalam rumah dengan pakaian rapi. Ia pun mengikat pintu kayunya dengan seutas tali. Aku bersiap di atas motor, menantinya untuk pergi.
Matahari tepat di atas kepalaku, udara panas tak sedikit pun menyurutkan semangat dalam diriku. Dalam perjalanan, aku dan Mang Tabah mengobrol singkat. Ia bercerita tentang orang yang akan kami temui.
Orang itu bernama Rusman dan tinggal di desa sebelah. Saat itu, Andre pernah mengajak Mang Tabah untuk bekerja membuat parkiran mobil di rumah Pak Rusman.
Melihat keakraban antara Pak Rusman dan Andre, Mang Tabah menduga jika Pak Rusman lebih mengenal sosok yang tengah aku cari.
Perjalanan panjang yang kami tempuh akhirnya membawa kami ke tempat yang dituju. "Nah! Ini rumahnya," tunjuk Mang Tabah pada sebuah rumah sederhana yang berdiri di tepi jalan.
Awalnya, aku menduga akan kembali disuguhkan pemandangan yang tak kalah menyeramkan dengan rumah loji. Namun kali ini, aku keliru. Rumah Pak Rusman terlihat mewah, berdiri anggun di salah satu perumahan.
"Mudah-mudahan orangnya ada, Jang," kata Mang Tabah, ia pun turun dari motor dan mendekat perlahan ke pagar rumah. Dengan nada keras, ia mengucapkan salam beberapa kali. Hingga akhirnya terdengar gemerincing kunci dari balik pintu. "Ada kayaknya, Jang," ucap Mang Tabah dengan raut wajah gembira.
"Wa'allaikumsallam," jawab seorang wanita. Seorang ibu yang mengenakan daster merah bermotif bunga muncul berjalan menuju depan rumah. "Iya, Pak? Mau cari siapa ya, Pak?"
"Maaf, Bu. Pak Rusman ada di rumah?" jawab Mang Tabah dengan nada sopan.
"Oh, ada, ada. Sebentar, saya panggilkan," sahut ibu itu sebelum kembali ke dalam.
Aku tidak percaya bisa melangkah sejauh ini. Rasa syukur dan bahagia mengubur semua beban yang selama ini aku pendam. Aku hanya mengekor di belakang Mang Tabah, karena aku merasa tidak percaya diri untuk hal semacam ini.
"Ohh!! Mang Tabah!" Suara berat dari pria paruh baya terdengar dari ambang pintu—sepertinya beliau yang bernama Pak Rusman. "Tumben ke sini," ucapnya, memperlihatkan senyum ramah. Tubuhnya gemuk, tapi masih terlihat normal.
"Ayo, Masuk.. Masuk," ucap Pak Rusman, setelah membuka pagar. "Ini siapa?" tanyanya sambil menoleh ke arahku.
Sebelum aku bisa menjawab, Mang Tabah lebih dulu menyahut. "Saya datang ke sini untuk mengantar Kevin," jelasnya.
Pak Rusman mengangguk, "Oh, gitu.. Ya, udah ngobrol di dalam saja," tutupnya, mempersilakan kami duduk di sofa yang cukup mewah.
"Bu.... Tolong buatkan minum," pintanya kepada sang ibu. Setelah itu, Pak Rusman memandang kami silih berganti, memberi sinyal agar kami membuka pembahasan.
Sepertinya, Mang Tabah mengerti gelagat pemaluku, sehingga ia mengulang semua cerita yang kusampaikan padanya. Pak Rusman nampak antusias mendengar semua perkataan Mang Tabah.
Setelah selesai, Pak Rusman menatapku dengan penuh perhatian, ia menghela napas sebelum akhirnya berkata, "Benar seperti itu yang terjadi?"
Aku mengangguk, "Benar, Pak. Karena itu saya harus bisa menemukan Bang Andre," jawabku tegas.
Ia terus menatapku, seolah mencari keyakinan bahwa aku tidak sedang berbohong. "Kamu tidak perlu mencari si Andre!" tegas Pak Rusman, membuatku tertunduk kaku dalam kebingungan. "Karena saya tahu apa yang kamu cari," lanjutnya.
"Maaf, maksud Bapak, Bapak tahu tentang rumah yang saat ini kami tinggali?" tanyaku, mencari penjelasan dari perkataan Pak Rusman.
"Lho! Untuk apa kamu cari tahu tentang rumah itu?" lanjut Pak Rusman dengan nada sedikit keras, "Siapa tadi nama kamu?"
"Kevin, Pak," jawabku.
"Vin, dengar saya. Rumah itu tidak bermasalah! Jadi buat apa kamu cari tahu tentang rumah itu?" ucap Pak Rusman tanpa mengubah intonasi nadanya. Aku tak tahu harus menjawab apa. Suasana menjadi terasa tegang, tak seperti yang aku harapkan. "Sekarang gini, masalah kamu sama temanmu bukan hal sepele! Saya tidak mau buka mulut sama orang yang baru saya kenal!"
"Lantas apa yang harus saya lakukan agar Bapak mau membantu kami?" tanyaku halus, berharap bisa meluluhkan hatinya.
"Besok. Bawa teman kamu yang katanya sakit itu ke sini," lanjutnya, berhasil membuatku menelan ludah.
"Gimana, Jang?" tanya Mang Tabah, "Mending bawa ke sini, biar dibantu sama Bapak Rusman," lanjutnya, berusaha menguatkan keputusanku.
"Tapi kondisinya sangat lemah, Pak. Saya tidak tahu apakah dia bisa dibawa ke sini," jawabku, ragu.
"Oh! Kalau kamu mau jawaban, silakan bawa. Kalau tidak, selesai di sini jangan pernah temui saya lagi," tegas Pak Rusman. "Andre itu kawan saya, jadi saya tidak mau asal bicara! Sebelum ada bukti yang menguatkan."
Dari cara Pak Rusman berbicara, sepertinya ia sangat menghormati sosok yang bernama Andre itu.
"Baik, kalau begitu, Pak." ucapku dengan penuh keyakinan, "Besok izinkan saya kembali bersama teman saya."
Pak Rusman nampak gelisah, ia melirik jam dinding. "Tunggu.. Tunggu.. Selagi masih jam satu siang, sebaiknya bawa temanmu itu sekarang!" Mendengar itu, aku saling tatap dengan Mang Tabah, dalam raut wajahnya ia selalu memberiku keyakinan.
"Semakin cepat lebih baik, Jang," tambah Mang Tabah.
"Selagi saya ada di rumah, kalau besok takutnya saya pergi," lanjut Pak Rusman.
EP7
Aku termenung, berkelahi dengan banyak pikiran yang berkecamuk di kepalaku tentang alasan apa yang akan kutemukan agar Rifaldy dan Mang Tohir tidak curiga saat aku membawa Deni. Belum lagi, bagaimana jika Deni tiba-tiba mengamuk ketika kami berada di sini? Di sisi lain, aku merasakan ada yang berbeda dari diri Pak Rusman. Mungkinkah ia memiliki solusi atau sepenggal informasi baru yang bisa mengantarkan kami kepada sosok bernama Andre?
"Saya tidak memaksa, Nak Kevin. Saya hanya ingin memastikan bahwa informasi yang saya berikan tidak keliru," tambahnya, nada suaranya tegas namun penuh keprihatinan.
Setelah memikirkan segala kemungkinan, akhirnya aku membulatkan tekad untuk membawa Deni menemui Pak Rusman.
"Baik, Pak. Aku akan pulang dan membawa Deni ke sini," jawabku, meskipun suaraku terdengar ragu.
Pak Rusman bangkit dari duduknya, diikuti oleh aku dan Mang Tabah. "Kalau begitu, saya tunggu kedatangan kalian," ucapnya, tatapannya tajam seolah ingin memastikan aku tidak akan mundur.
"Pak, saya pamit dulu," ucap Mang Tabah, berpamitan dengan nada yang lembut.
"Terima kasih banyak, Pak. Maaf jika saya merepotkan," tambahku, merendahkan kepala dengan rasa bersalah saat kami melangkah pelan ke depan.
"Tidak masalah, Nak. Saya melakukan ini untuk memperkuat asumsi saya," jawab Pak Rusman, meski nada suaranya datar, ada keraguan yang tersembunyi dalam tatapannya.
Setelah berpamitan, aku dan Mang Tabah kembali pulang. Sepanjang perjalanan, pikiranku berputar-putar, terfokus pada harapan bahwa keputusan ini adalah yang terbaik untuk sahabatku—Deni.
"Mang," aku sedikit menoleh ke belakang, menyuarakan kekhawatiran yang menggelayut di benakku. "Nanti, saya minta tolong ya. Bawa teman saya ke rumah Pak Rusman."
"Oh, iya Mas. Siap. Langsung saja ke rumah teman Mas itu," jawab Mang Tabah, nada suaranya penuh semangat.
"Oh iya, Mang. Pak Rusman itu orangnya tegas banget, ya."
"Iya, Mas. Memang begitu sifatnya. Wah! Waktu saya kerja di sana, setiap gerakan saya diperhatikan dengan seksama," ucapnya sambil tersenyum, seolah mengenang pengalaman di masa lalu.
Sekilas aku merasakan ada sesuatu yang disimpan oleh Pak Rusman. Sikap dinginnya bukan hanya karena status persahabatan, tetapi lebih kepada keraguan dalam menghadapi masalah yang kami hadapi.
Debu sisa semen yang mengering tertiup lembut oleh angin siang yang menyengat. Ketika aku dan Mang Tabah tiba di rumah Loji, terik matahari semakin menyengat kulit kami.
"Wah! Udah beda sekarang, mah," ucap Mang Tabah, matanya menyapu setiap sudut rumah Loji dengan rasa ingin tahu. "Besar juga, ya."
"Oh, Iya. Kalau Mang Tabah butuh pekerjaan. Coba tanya teman saya, dia lagi cari pekerja," sahutku, lalu mengajaknya masuk ke dalam rumah. "Mang, nanti kalau ditanya mau ke mana, bilang saja mau dibawa berobat ke teman, ya?" Mang Tabah mengangguk mengerti, wajahnya menunjukkan keyakinan yang mendalam.
Suara bising dari ketukan palu Mang Tohir mengisi keheningan dalam rumah. Aku melangkah masuk dan melihat Rifaldy masih terlelap di kamarnya. Tentu ini akan mempermudah situasi.
Aku dan Mang Tabah lalu menuju kamar Deni. Saat pintu terbuka, terlihat Deni sedang mencatat sesuatu di bukunya. Perban yang pagi tadi sudah rusak kini terlihat rapi kembali. Sepertinya dokter sudah memeriksanya.
Ia meletakkan buku di dadanya, lalu tersenyum kecil menyambutku dan Mang Tabah.
"Mang, ini temanku, Deni," ucapku, memperkenalkan mereka.
"Ini sakit, atau bekas kecelakaan, Jang?" tanya Mang Tabah, raut wajahnya beralih, menampilkan kebingungan saat melihat kondisi Deni yang memprihatinkan.
"Seperti yang saya ceritakan, Mang," jawabku, duduk tepat di samping Deni. "Den... gw bawa kabar baik." Deni menoleh pelan ke arahku.
Sebelum aku melanjutkan, aku melirik pintu kamar untuk memastikan tidak ada orang lain di sana. "Gw berhasil nemuin orang yang kenal sama Andre. Tapi orang itu mau lu yang datang langsung ke dia," lanjutku.
Wajah Deni terlihat lesu, tetapi di dalam tatapannya, ada cahaya semangat yang bersinar. Ia berusaha bangkit dengan segenap tenaganya. "Hayo, Vin... "
Rasa senang, haru, cemas, dan harapan berkumpul dalam hatiku, tak tahu bagaimana cara mengekspresikannya. Seorang teman yang sebelumnya kulihat lemas tak berdaya kini berjuang dengan tekad yang kuat—Deni mampu berdiri.
Meski semangatnya meluap, ia tidak bisa berbohong pada fisiknya yang masih sangat lemah. Kedua kakinya bergetar, berjuang menopang tubuhnya yang dipenuhi perban putih.
Aku meraih lengannya, lalu mengalungkannya pada pundakku. Dengan rasa syukur yang dalam, aku tersenyum saat Deni melirikku dan membalas senyumnya. Meskipun aku tidak tahu seberapa penting Andre untuknya, aku yakin ini adalah sebuah keyakinan yang bisa membawanya bebas dari belenggu penderitaan.
"Vin..." suara berat dan napas Deni yang cepat menanyakan sebelum kami melangkah, "Rifaldy, tahu ini?" Aku menggelengkan kepala.
"Sejauh ini belum ada yang tahu," jawabku, lalu mulai melangkah perlahan. "Gw sama Mang Tabah sepakat bahwa sekarang kita akan pergi berobat."
Saat kami tiba di ambang pintu kamar, aku meminta Mang Tabah untuk membantu Deni berjalan. Aku perlu memberi tahu Mang Tohir bahwa kami akan membawa Deni pergi.
Suara ketukan palu yang nyaring terdengar dari balik pintu dapur, tampak Mang Tohir sedang mengerjakan sesuatu di bagian belakang rumah.
"Mang!" pekikku, suaraku tinggi dan penuh semangat. Mang Tohir berhenti dan menoleh, aku semakin mendekat ke arahnya. "Mang, Deni mau aku bawa berobat ke tabib di desa sebelah. Itu saya pergi bersama Mang Tabah," lanjutku.
Mendengar itu, Mang Tohir berdiri dan menoleh ke arah dapur. Raut wajahnya berubah saat melihat Mang Tabah dan Deni berdiri di sana. "Oh, iya, Pak!" Setelah menyapa Mang Tabah, ia menoleh ke arahku, "Semoga membawa hasil baik untuk Mas Deni. Maaf, Mas, saya tidak bisa bantu banyak karena lagi sibuk sama pekerjaan," ujarnya dengan nada menyesal.
Setelah berpamitan, aku dan yang lainnya melanjutkan perjalanan menuju rumah Pak Rusman. Dalam perjalanan, harapan terus menggelayut di pikiranku; semoga apa yang aku lakukan tidak akan mengecewakan Deni.
Akhirnya, kami tiba di depan rumah Pak Rusman, dan suasananya terasa berbeda. Di teras, karpet bludru berwarna merah terhampar rapi, lengkap dengan botol air mineral yang tersusun dengan sempurna.
Kami dengan hati-hati membantu Deni melangkah menuju gerbang, dan Pak Rusman melangkah cepat saat melihat kedatangan kami.
"Maaf, saya tadi sedang di dapur. Silakan masuk!" sapanya, dengan senyum hangat yang menyapa kami.
Aku, Deni, dan Mang Tabah duduk di halaman depan rumah. Awalnya, Deni terlihat bingung, tetapi tak butuh waktu lama setelah aku menjelaskan semuanya.
"Oh, jadi ini teman yang kamu ceritakan tadi, Nak?" tanya Pak Rusman, matanya berkilau ingin mengenal lebih jauh.
"Betul, Pak. Ini Deni," jawabku dengan nada rendah. Bola mata Pak Rusman tak henti beralih, memeriksa semua luka di tubuh Deni. "Deni..." gumamnya, lalu mengangguk perlahan. "Kenapa kamu bisa seperti ini?" lanjutnya, menatap Deni dengan penuh perhatian.
Deni hanya menundukkan kepala, tetapi sorot matanya penuh keyakinan dan tekad yang kuat. Dengan menahan rasa sakit, ia berusaha menjawab. "Apa yang aku alami... mungkin sulit diterima oleh akal sehat," kata Deni dengan cepat, lalu mengumpulkan energi untuk melanjutkan. "Karena... hingga saat ini, aku masih butuh jawaban yang tepat untuk menjelaskan semua ini."
Pak Rusman terdiam, seolah mencerna semua perkataan Deni. Setelah beberapa saat, ia kembali berbicara. "Lantas sekarang? Apa yang kamu yakini tentang penyakit itu?"
"Sebuah mimpi..." Deni menyerahkan secarik kertas yang diambil dari sakunya, dan Pak Rusman menerimanya dengan penuh perhatian. "Setiap kali aku berjuang dalam kegelapan, gambaran itu selalu muncul."
Pak Rusman membuka kertas yang diberikan Deni dan menatapnya dalam-dalam, sebelum akhirnya menaruhnya kembali di pangkuannya. "Kamu tahu tempat ini?" tanya Pak Rusman. Deni hanya menggeleng samar, tidak mampu menjawab. "Jadi, karena hal ini, kamu mencari Andre?" lanjutnya. Deni menjawab dengan gerakan tubuh, meski terlihat sulit untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam pikirannya. Pak Rusman tampak mengerti sikap Deni.
Sebuah helaan napas berat terdengar. "Sebelumnya, saya tidak tahu pasti kondisi kalian seperti apa. Tapi untuk menghargai kedatangan kalian, saya akan menceritakan sedikit tentang Andre," ungkap Pak Rusman, menatap kami satu per satu dengan serius.
"Pertama kali saya kenal Andre ketika saya ingin membeli rumah yang sekarang kalian singgahi ini. Sejak saat itu, hubungan kami semakin erat karena ada proyek lain yang memerlukan kemampuannya sebagai Sales Properti. Bertahun-tahun proyek itu berjalan dengan baik. Apapun tugas yang saya berikan padanya, baik penjualan rumah maupun sebidang tanah, selalu cepat terjual. Hingga suatu ketika, saat saya hendak menjual sebidang tanah, saya mengetahui bahwa semua prestasi Andre berasal dari ritual yang biasa ia lakukan untuk menarik hati calon pembeli," ujar Pak Rusman, nada suaranya penuh penekanan.
Ucapannya membuatku tertegun, terperangah mendengar siapa sosok di balik nama Andre yang sangat ingin ditemui Deni. Mang Tabah tidak dapat menahan rasa penasarannya. Ia merangkak mendekati Deni dan meminta kertas itu, memerhatikan dengan seksama.
Kembali, Pak Rusman menatap Deni dalam-dalam. "Jangan bilang kalian membeli rumah darinya?" tanya Pak Rusman, nada suaranya mengandung keheranan. Tentu saja aku segera menoleh ke arah Deni, menantikan jawaban yang bisa mewakiliku.
"Bukan aku... tapi saudaraku," jawab Deni, suaranya lembut tetapi tegas. Mendengar itu, Pak Rusman mengerutkan alisnya.
"Sepengetahuan saya, ritual yang dilakukan Andre hanya ditujukan untuk orang yang bersangkutan, dalam hal ini, orang yang sedang mencari rumah," ungkapnya, sambil kembali berpikir. "Bagaimana mungkin kamu yang kena, tetapi saudaramu yang membeli rumah ini?"
Deni terdiam, wajahnya tampak pilu, seolah menyimpan kesedihan mendalam yang sulit ia ungkapkan.
"Lagi pula, semua ritual Andre akan terhenti setelah pembeli melewati semua proses akad jual beli," tambah Pak Rusman, "nggak mungkin sampai babak belur kayak kamu begini!" lanjutnya, nada suaranya bercampur prihatin.
"Awal rumah itu dibeli, semua terasa baik-baik saja, Mang. Tapi lama-lama, saya merasa ada yang aneh dengan rumah itu," ungkapku. Mang Tabah tampak serius mencerna kata-kataku. "Sampai akhirnya, salah satu teman saya tiba-tiba sakit dan mulai bertingkah aneh! Saya ngga ngerti awalnya bisa kayak gitu gimana, tapi sekarang kondisinya semakin parah! Sampai-sampai kami harus mengingatkan dia. Tanpa ikatan itu, dia terus melukai dirinya sendiri, seolah-olah dia ngga kenal rasa sakit."
Mang Tabah tertunduk, sesekali kepalanya mengangguk samar. Raut wajahnya sangat serius menangkap semua ceritaku.
"Udah coba diobatin, Jang?" tanyanya.
Aku menghela napas lelah, lalu menggelengkan kepala dengan isyarat kegagalan. "Sudah semua dicoba, Mang. Tapi hasilnya nihil," ucapku pelan.
"Udah coba dibawa ke orang pinter?"
"Dukun maksudnya, Mang?" Ia mengangguk cepat. "Udah, Mang. Cuma bikin suasana rumah tambah ngga nyaman. Ngga ada perubahan sama teman saya," lanjutku, membuat Mang Tabah terhening, tanpa melanjutkan pertanyaannya.
"Alasan saya mencari Andre, itu semua atas permintaan dari teman saya yang sakit, Mang. Dia ingin menanyakan beberapa hal sama Andre," tambahku, berharap penjelasan ini memberi gambaran jelas pada Mang Tabah.
"Kalau mau tanya Andre..." Aku melirik cepat ke arah Mang Tabah. "Coba tanya sama teman dia, saya tahu tempatnya," lanjutnya. Tentu saja, itu membuka kembali pintu harapan yang nyaris tertutup.
"Mang! Bisa bantu saya antar ke teman Andre itu?" tanyaku dengan tergesa-gesa. Aku bangkit dan berdiri, "Saya mohon, Mang. Antarkan saya ke sana."
Mang Tabah mengangguk setuju, wajahnya nampak tulus ingin membantuku. "Tenang... Abisin dulu atuh kopinya," jawabnya, ia mencoba melerai emosiku yang ingin segera berjumpa dengan orang yang dimaksud.
Tak lama kemudian, Mang Tabah kembali dari dalam rumah dengan pakaian rapi. Ia pun mengikat pintu kayunya dengan seutas tali. Aku bersiap di atas motor, menantinya untuk pergi.
Matahari tepat di atas kepalaku, udara panas tak sedikit pun menyurutkan semangat dalam diriku. Dalam perjalanan, aku dan Mang Tabah mengobrol singkat. Ia bercerita tentang orang yang akan kami temui.
Orang itu bernama Rusman dan tinggal di desa sebelah. Saat itu, Andre pernah mengajak Mang Tabah untuk bekerja membuat parkiran mobil di rumah Pak Rusman.
Melihat keakraban antara Pak Rusman dan Andre, Mang Tabah menduga jika Pak Rusman lebih mengenal sosok yang tengah aku cari.
Perjalanan panjang yang kami tempuh akhirnya membawa kami ke tempat yang dituju. "Nah! Ini rumahnya," tunjuk Mang Tabah pada sebuah rumah sederhana yang berdiri di tepi jalan.
Awalnya, aku menduga akan kembali disuguhkan pemandangan yang tak kalah menyeramkan dengan rumah loji. Namun kali ini, aku keliru. Rumah Pak Rusman terlihat mewah, berdiri anggun di salah satu perumahan.
"Mudah-mudahan orangnya ada, Jang," kata Mang Tabah, ia pun turun dari motor dan mendekat perlahan ke pagar rumah. Dengan nada keras, ia mengucapkan salam beberapa kali. Hingga akhirnya terdengar gemerincing kunci dari balik pintu. "Ada kayaknya, Jang," ucap Mang Tabah dengan raut wajah gembira.
"Wa'allaikumsallam," jawab seorang wanita. Seorang ibu yang mengenakan daster merah bermotif bunga muncul berjalan menuju depan rumah. "Iya, Pak? Mau cari siapa ya, Pak?"
"Maaf, Bu. Pak Rusman ada di rumah?" jawab Mang Tabah dengan nada sopan.
"Oh, ada, ada. Sebentar, saya panggilkan," sahut ibu itu sebelum kembali ke dalam.
Aku tidak percaya bisa melangkah sejauh ini. Rasa syukur dan bahagia mengubur semua beban yang selama ini aku pendam. Aku hanya mengekor di belakang Mang Tabah, karena aku merasa tidak percaya diri untuk hal semacam ini.
"Ohh!! Mang Tabah!" Suara berat dari pria paruh baya terdengar dari ambang pintu—sepertinya beliau yang bernama Pak Rusman. "Tumben ke sini," ucapnya, memperlihatkan senyum ramah. Tubuhnya gemuk, tapi masih terlihat normal.
"Ayo, Masuk.. Masuk," ucap Pak Rusman, setelah membuka pagar. "Ini siapa?" tanyanya sambil menoleh ke arahku.
Sebelum aku bisa menjawab, Mang Tabah lebih dulu menyahut. "Saya datang ke sini untuk mengantar Kevin," jelasnya.
Pak Rusman mengangguk, "Oh, gitu.. Ya, udah ngobrol di dalam saja," tutupnya, mempersilakan kami duduk di sofa yang cukup mewah.
"Bu.... Tolong buatkan minum," pintanya kepada sang ibu. Setelah itu, Pak Rusman memandang kami silih berganti, memberi sinyal agar kami membuka pembahasan.
Sepertinya, Mang Tabah mengerti gelagat pemaluku, sehingga ia mengulang semua cerita yang kusampaikan padanya. Pak Rusman nampak antusias mendengar semua perkataan Mang Tabah.
Setelah selesai, Pak Rusman menatapku dengan penuh perhatian, ia menghela napas sebelum akhirnya berkata, "Benar seperti itu yang terjadi?"
Aku mengangguk, "Benar, Pak. Karena itu saya harus bisa menemukan Bang Andre," jawabku tegas.
Ia terus menatapku, seolah mencari keyakinan bahwa aku tidak sedang berbohong. "Kamu tidak perlu mencari si Andre!" tegas Pak Rusman, membuatku tertunduk kaku dalam kebingungan. "Karena saya tahu apa yang kamu cari," lanjutnya.
"Maaf, maksud Bapak, Bapak tahu tentang rumah yang saat ini kami tinggali?" tanyaku, mencari penjelasan dari perkataan Pak Rusman.
"Lho! Untuk apa kamu cari tahu tentang rumah itu?" lanjut Pak Rusman dengan nada sedikit keras, "Siapa tadi nama kamu?"
"Kevin, Pak," jawabku.
"Vin, dengar saya. Rumah itu tidak bermasalah! Jadi buat apa kamu cari tahu tentang rumah itu?" ucap Pak Rusman tanpa mengubah intonasi nadanya. Aku tak tahu harus menjawab apa. Suasana menjadi terasa tegang, tak seperti yang aku harapkan. "Sekarang gini, masalah kamu sama temanmu bukan hal sepele! Saya tidak mau buka mulut sama orang yang baru saya kenal!"
"Lantas apa yang harus saya lakukan agar Bapak mau membantu kami?" tanyaku halus, berharap bisa meluluhkan hatinya.
"Besok. Bawa teman kamu yang katanya sakit itu ke sini," lanjutnya, berhasil membuatku menelan ludah.
"Gimana, Jang?" tanya Mang Tabah, "Mending bawa ke sini, biar dibantu sama Bapak Rusman," lanjutnya, berusaha menguatkan keputusanku.
"Tapi kondisinya sangat lemah, Pak. Saya tidak tahu apakah dia bisa dibawa ke sini," jawabku, ragu.
"Oh! Kalau kamu mau jawaban, silakan bawa. Kalau tidak, selesai di sini jangan pernah temui saya lagi," tegas Pak Rusman. "Andre itu kawan saya, jadi saya tidak mau asal bicara! Sebelum ada bukti yang menguatkan."
Dari cara Pak Rusman berbicara, sepertinya ia sangat menghormati sosok yang bernama Andre itu.
"Baik, kalau begitu, Pak." ucapku dengan penuh keyakinan, "Besok izinkan saya kembali bersama teman saya."
Pak Rusman nampak gelisah, ia melirik jam dinding. "Tunggu.. Tunggu.. Selagi masih jam satu siang, sebaiknya bawa temanmu itu sekarang!" Mendengar itu, aku saling tatap dengan Mang Tabah, dalam raut wajahnya ia selalu memberiku keyakinan.
"Semakin cepat lebih baik, Jang," tambah Mang Tabah.
"Selagi saya ada di rumah, kalau besok takutnya saya pergi," lanjut Pak Rusman.
EP7
Aku termenung, berkelahi dengan banyak pikiran yang berkecamuk di kepalaku tentang alasan apa yang akan kutemukan agar Rifaldy dan Mang Tohir tidak curiga saat aku membawa Deni. Belum lagi, bagaimana jika Deni tiba-tiba mengamuk ketika kami berada di sini? Di sisi lain, aku merasakan ada yang berbeda dari diri Pak Rusman. Mungkinkah ia memiliki solusi atau sepenggal informasi baru yang bisa mengantarkan kami kepada sosok bernama Andre?
"Saya tidak memaksa, Nak Kevin. Saya hanya ingin memastikan bahwa informasi yang saya berikan tidak keliru," tambahnya, nada suaranya tegas namun penuh keprihatinan.
Setelah memikirkan segala kemungkinan, akhirnya aku membulatkan tekad untuk membawa Deni menemui Pak Rusman.
"Baik, Pak. Aku akan pulang dan membawa Deni ke sini," jawabku, meskipun suaraku terdengar ragu.
Pak Rusman bangkit dari duduknya, diikuti oleh aku dan Mang Tabah. "Kalau begitu, saya tunggu kedatangan kalian," ucapnya, tatapannya tajam seolah ingin memastikan aku tidak akan mundur.
"Pak, saya pamit dulu," ucap Mang Tabah, berpamitan dengan nada yang lembut.
"Terima kasih banyak, Pak. Maaf jika saya merepotkan," tambahku, merendahkan kepala dengan rasa bersalah saat kami melangkah pelan ke depan.
"Tidak masalah, Nak. Saya melakukan ini untuk memperkuat asumsi saya," jawab Pak Rusman, meski nada suaranya datar, ada keraguan yang tersembunyi dalam tatapannya.
Setelah berpamitan, aku dan Mang Tabah kembali pulang. Sepanjang perjalanan, pikiranku berputar-putar, terfokus pada harapan bahwa keputusan ini adalah yang terbaik untuk sahabatku—Deni.
"Mang," aku sedikit menoleh ke belakang, menyuarakan kekhawatiran yang menggelayut di benakku. "Nanti, saya minta tolong ya. Bawa teman saya ke rumah Pak Rusman."
"Oh, iya Mas. Siap. Langsung saja ke rumah teman Mas itu," jawab Mang Tabah, nada suaranya penuh semangat.
"Oh iya, Mang. Pak Rusman itu orangnya tegas banget, ya."
"Iya, Mas. Memang begitu sifatnya. Wah! Waktu saya kerja di sana, setiap gerakan saya diperhatikan dengan seksama," ucapnya sambil tersenyum, seolah mengenang pengalaman di masa lalu.
Sekilas aku merasakan ada sesuatu yang disimpan oleh Pak Rusman. Sikap dinginnya bukan hanya karena status persahabatan, tetapi lebih kepada keraguan dalam menghadapi masalah yang kami hadapi.
Debu sisa semen yang mengering tertiup lembut oleh angin siang yang menyengat. Ketika aku dan Mang Tabah tiba di rumah Loji, terik matahari semakin menyengat kulit kami.
"Wah! Udah beda sekarang, mah," ucap Mang Tabah, matanya menyapu setiap sudut rumah Loji dengan rasa ingin tahu. "Besar juga, ya."
"Oh, Iya. Kalau Mang Tabah butuh pekerjaan. Coba tanya teman saya, dia lagi cari pekerja," sahutku, lalu mengajaknya masuk ke dalam rumah. "Mang, nanti kalau ditanya mau ke mana, bilang saja mau dibawa berobat ke teman, ya?" Mang Tabah mengangguk mengerti, wajahnya menunjukkan keyakinan yang mendalam.
Suara bising dari ketukan palu Mang Tohir mengisi keheningan dalam rumah. Aku melangkah masuk dan melihat Rifaldy masih terlelap di kamarnya. Tentu ini akan mempermudah situasi.
Aku dan Mang Tabah lalu menuju kamar Deni. Saat pintu terbuka, terlihat Deni sedang mencatat sesuatu di bukunya. Perban yang pagi tadi sudah rusak kini terlihat rapi kembali. Sepertinya dokter sudah memeriksanya.
Ia meletakkan buku di dadanya, lalu tersenyum kecil menyambutku dan Mang Tabah.
"Mang, ini temanku, Deni," ucapku, memperkenalkan mereka.
"Ini sakit, atau bekas kecelakaan, Jang?" tanya Mang Tabah, raut wajahnya beralih, menampilkan kebingungan saat melihat kondisi Deni yang memprihatinkan.
"Seperti yang saya ceritakan, Mang," jawabku, duduk tepat di samping Deni. "Den... gw bawa kabar baik." Deni menoleh pelan ke arahku.
Sebelum aku melanjutkan, aku melirik pintu kamar untuk memastikan tidak ada orang lain di sana. "Gw berhasil nemuin orang yang kenal sama Andre. Tapi orang itu mau lu yang datang langsung ke dia," lanjutku.
Wajah Deni terlihat lesu, tetapi di dalam tatapannya, ada cahaya semangat yang bersinar. Ia berusaha bangkit dengan segenap tenaganya. "Hayo, Vin... "
Rasa senang, haru, cemas, dan harapan berkumpul dalam hatiku, tak tahu bagaimana cara mengekspresikannya. Seorang teman yang sebelumnya kulihat lemas tak berdaya kini berjuang dengan tekad yang kuat—Deni mampu berdiri.
Meski semangatnya meluap, ia tidak bisa berbohong pada fisiknya yang masih sangat lemah. Kedua kakinya bergetar, berjuang menopang tubuhnya yang dipenuhi perban putih.
Aku meraih lengannya, lalu mengalungkannya pada pundakku. Dengan rasa syukur yang dalam, aku tersenyum saat Deni melirikku dan membalas senyumnya. Meskipun aku tidak tahu seberapa penting Andre untuknya, aku yakin ini adalah sebuah keyakinan yang bisa membawanya bebas dari belenggu penderitaan.
"Vin..." suara berat dan napas Deni yang cepat menanyakan sebelum kami melangkah, "Rifaldy, tahu ini?" Aku menggelengkan kepala.
"Sejauh ini belum ada yang tahu," jawabku, lalu mulai melangkah perlahan. "Gw sama Mang Tabah sepakat bahwa sekarang kita akan pergi berobat."
Saat kami tiba di ambang pintu kamar, aku meminta Mang Tabah untuk membantu Deni berjalan. Aku perlu memberi tahu Mang Tohir bahwa kami akan membawa Deni pergi.
Suara ketukan palu yang nyaring terdengar dari balik pintu dapur, tampak Mang Tohir sedang mengerjakan sesuatu di bagian belakang rumah.
"Mang!" pekikku, suaraku tinggi dan penuh semangat. Mang Tohir berhenti dan menoleh, aku semakin mendekat ke arahnya. "Mang, Deni mau aku bawa berobat ke tabib di desa sebelah. Itu saya pergi bersama Mang Tabah," lanjutku.
Mendengar itu, Mang Tohir berdiri dan menoleh ke arah dapur. Raut wajahnya berubah saat melihat Mang Tabah dan Deni berdiri di sana. "Oh, iya, Pak!" Setelah menyapa Mang Tabah, ia menoleh ke arahku, "Semoga membawa hasil baik untuk Mas Deni. Maaf, Mas, saya tidak bisa bantu banyak karena lagi sibuk sama pekerjaan," ujarnya dengan nada menyesal.
Setelah berpamitan, aku dan yang lainnya melanjutkan perjalanan menuju rumah Pak Rusman. Dalam perjalanan, harapan terus menggelayut di pikiranku; semoga apa yang aku lakukan tidak akan mengecewakan Deni.
Akhirnya, kami tiba di depan rumah Pak Rusman, dan suasananya terasa berbeda. Di teras, karpet bludru berwarna merah terhampar rapi, lengkap dengan botol air mineral yang tersusun dengan sempurna.
Kami dengan hati-hati membantu Deni melangkah menuju gerbang, dan Pak Rusman melangkah cepat saat melihat kedatangan kami.
"Maaf, saya tadi sedang di dapur. Silakan masuk!" sapanya, dengan senyum hangat yang menyapa kami.
Aku, Deni, dan Mang Tabah duduk di halaman depan rumah. Awalnya, Deni terlihat bingung, tetapi tak butuh waktu lama setelah aku menjelaskan semuanya.
"Oh, jadi ini teman yang kamu ceritakan tadi, Nak?" tanya Pak Rusman, matanya berkilau ingin mengenal lebih jauh.
"Betul, Pak. Ini Deni," jawabku dengan nada rendah. Bola mata Pak Rusman tak henti beralih, memeriksa semua luka di tubuh Deni. "Deni..." gumamnya, lalu mengangguk perlahan. "Kenapa kamu bisa seperti ini?" lanjutnya, menatap Deni dengan penuh perhatian.
Deni hanya menundukkan kepala, tetapi sorot matanya penuh keyakinan dan tekad yang kuat. Dengan menahan rasa sakit, ia berusaha menjawab. "Apa yang aku alami... mungkin sulit diterima oleh akal sehat," kata Deni dengan cepat, lalu mengumpulkan energi untuk melanjutkan. "Karena... hingga saat ini, aku masih butuh jawaban yang tepat untuk menjelaskan semua ini."
Pak Rusman terdiam, seolah mencerna semua perkataan Deni. Setelah beberapa saat, ia kembali berbicara. "Lantas sekarang? Apa yang kamu yakini tentang penyakit itu?"
"Sebuah mimpi..." Deni menyerahkan secarik kertas yang diambil dari sakunya, dan Pak Rusman menerimanya dengan penuh perhatian. "Setiap kali aku berjuang dalam kegelapan, gambaran itu selalu muncul."
Pak Rusman membuka kertas yang diberikan Deni dan menatapnya dalam-dalam, sebelum akhirnya menaruhnya kembali di pangkuannya. "Kamu tahu tempat ini?" tanya Pak Rusman. Deni hanya menggeleng samar, tidak mampu menjawab. "Jadi, karena hal ini, kamu mencari Andre?" lanjutnya. Deni menjawab dengan gerakan tubuh, meski terlihat sulit untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam pikirannya. Pak Rusman tampak mengerti sikap Deni.
Sebuah helaan napas berat terdengar. "Sebelumnya, saya tidak tahu pasti kondisi kalian seperti apa. Tapi untuk menghargai kedatangan kalian, saya akan menceritakan sedikit tentang Andre," ungkap Pak Rusman, menatap kami satu per satu dengan serius.
"Pertama kali saya kenal Andre ketika saya ingin membeli rumah yang sekarang kalian singgahi ini. Sejak saat itu, hubungan kami semakin erat karena ada proyek lain yang memerlukan kemampuannya sebagai Sales Properti. Bertahun-tahun proyek itu berjalan dengan baik. Apapun tugas yang saya berikan padanya, baik penjualan rumah maupun sebidang tanah, selalu cepat terjual. Hingga suatu ketika, saat saya hendak menjual sebidang tanah, saya mengetahui bahwa semua prestasi Andre berasal dari ritual yang biasa ia lakukan untuk menarik hati calon pembeli," ujar Pak Rusman, nada suaranya penuh penekanan.
Ucapannya membuatku tertegun, terperangah mendengar siapa sosok di balik nama Andre yang sangat ingin ditemui Deni. Mang Tabah tidak dapat menahan rasa penasarannya. Ia merangkak mendekati Deni dan meminta kertas itu, memerhatikan dengan seksama.
Kembali, Pak Rusman menatap Deni dalam-dalam. "Jangan bilang kalian membeli rumah darinya?" tanya Pak Rusman, nada suaranya mengandung keheranan. Tentu saja aku segera menoleh ke arah Deni, menantikan jawaban yang bisa mewakiliku.
"Bukan aku... tapi saudaraku," jawab Deni, suaranya lembut tetapi tegas. Mendengar itu, Pak Rusman mengerutkan alisnya.
"Sepengetahuan saya, ritual yang dilakukan Andre hanya ditujukan untuk orang yang bersangkutan, dalam hal ini, orang yang sedang mencari rumah," ungkapnya, sambil kembali berpikir. "Bagaimana mungkin kamu yang kena, tetapi saudaramu yang membeli rumah ini?"
Deni terdiam, wajahnya tampak pilu, seolah menyimpan kesedihan mendalam yang sulit ia ungkapkan.
"Lagi pula, semua ritual Andre akan terhenti setelah pembeli melewati semua proses akad jual beli," tambah Pak Rusman, "nggak mungkin sampai babak belur kayak kamu begini!" lanjutnya, nada suaranya bercampur prihatin.
Diubah oleh wedi 12-10-2024 01:49
sampeuk dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Kutip
Balas