Quote:
Hari-hari yang kami lewati kini dipenuhi oleh derita dan kecemasan. Malam, yang seharusnya membawa ketenangan dan kedamaian, justru menjadi sumber kepanikan yang tak berkesudahan. Kengerian terasa menyelimuti setiap saat, terutama ketika malam tiba dan segala sesuatu terasa semakin mencekam.
Semua ini bermula sejak kondisi Deni yang semakin hari semakin memburuk. Deni yang dulu kami kenal sebagai pribadi hangat dan baik hati, kini tampak seperti sosok yang sama sekali berbeda. Setiap malam, ia melukai dirinya sendiri, dan belakangan ini bahkan mencoba melukai kami. Sorot matanya kosong, penuh dengan amarah yang tak bisa kami pahami, seolah-olah ada sesuatu yang menguasai dirinya.
Sudah lebih dari seminggu sejak Deni jatuh sakit. Kami telah mencoba segala cara, mulai dari pengobatan medis hingga bantuan non-medis, namun hasilnya tetap nihil. Tidak ada tanda-tanda perubahan, tidak ada jalan keluar. Kami hanya bisa menyaksikan penderitaannya, tanpa bisa berbuat banyak untuk menolongnya.
Kini, bukan hanya aku, Rifaldy, dan Mang Tohir yang mengetahui kondisi Deni. Beberapa hari yang lalu, Bang Ferdy bersama keluarganya datang menjenguk. Namun, kedatangan mereka tidak memberikan solusi apa pun. Sebaliknya, situasi justru semakin rumit. Ibu Rifaldy tampak menyalahkan Deni atas segala yang terjadi, seolah semua ini adalah kesalahannya. Aku tak bisa mengerti pemikiran mereka, tapi rasanya begitu menyesakkan.
Aku sudah berkali-kali menyarankan agar Deni segera dibawa ke rumah sakit, atau setidaknya dipulangkan ke rumah orang tuanya. Namun, Ibu Rifaldy dan keluarganya tampaknya sepakat untuk menyembunyikan kondisi Deni dari orang tuanya. Mereka tak ingin membuat orang tua Deni khawatir. Bahkan mereka membuat alasan bahwa Deni sedang bekerja di kota Serang bersama Bang Ferdy, sesuatu yang jelas-jelas tidak benar.
Apakah keputusan mereka tepat atau tidak, aku tidak mengerti. Yang jelas, mereka sangat yakin bahwa Deni bisa kembali sembuh. Mungkin karena mereka takut menghadapi reaksi orang tua Deni, atau mungkin ada alasan lain yang tak aku pahami.
Meskipun begitu, keluarga Rifaldy terus memberikan dukungan finansial untuk keperluan Deni. Mereka bahkan menyewa seorang dokter pribadi yang selalu siap datang setiap hari untuk memantau kondisinya. Tak berhenti di situ, mereka juga pernah meminta bantuan seorang dukun untuk memeriksa keadaan Deni, berharap ada solusi yang bisa mengatasi penderitaannya.
Satu-satunya orang yang tulus peduli dengan kondisi Deni adalah Mang Rudi. Terkadang, sepulang bekerja, ia menyempatkan diri datang ke rumah ini. Selain melihat bagaimana keadaan Deni, Mang Rudi juga pernah duduk di sisi Deni sambil mengaji, memberikan doa dengan penuh harap. Hal ini tak pernah aku lihat dilakukan oleh keluarga Rifaldy, yang lebih sibuk dengan cara-cara material daripada benar-benar menunjukkan perhatian.
Pukul sepuluh siang, matahari terik menyinari halaman. Mobil hitam sang dokter terparkir di depan rumah, berkilau memantulkan cahaya. Suasana sekitar sepi, hanya ada angin sepoi-sepoi dan kicauan burung dari kejauhan. Rumah tampak tenang, tapi ada rasa tegang menunggu kabar dari dalam.
Aku, Rifaldy, dan Mang Tohir tengah menanti di luar kamar Deni, sementara dokter sedang memeriksa kondisinya. Luka-lukanya semakin banyak, fisiknya pun semakin lemah. Kami hanya bisa menduga-duga obat apa lagi yang akan diberikan padanya kali ini.
Pintu kamar perlahan terbuka, menampakkan sosok dokter yang berhenti sejenak di ambang pintu, sebelum mengucapkan beberapa kalimat kepada Deni. "Besok hari saya akan kembali, Saya izin pamit," katanya singkat, lalu berjalan keluar kamar dan menghampiri kami.
"Saya sudah memberikan Vitamin," ucap sang Dokter sambil merogoh tas jinjingnya. "Obat ini bisa diberikan saat ia menunjukkan gejala agresifnya." Rifaldy menerima toples kecil berisi empat butir kapsul berwarna kuning keputihan.
"Se-bisa mungkin, hindari situasi yang dapat memicu stres dalam dirinya," tambah Sang Dokter dengan nada pelan tapi serius. "Dengan cara mengikatnya seperti itu, malah akan membuat dia merasa semakin gelisah dan tertekan!"
Aku, Rifaldy, dan Mang Tohir mengangguk perlahan, merasa sedikit tertekan dengan ucapan dokter yang seakan menjadi peringatan. Suasana hening sejenak, hanya suara angin yang masuk melalui jendela ruang tamu yang membuat suasana terasa semakin berat. Kami menatap toples kecil di tangan Rifaldy, seolah menggantungkan harapan pada obat itu, meski hati kami dipenuhi keraguan.
"Kami akan coba, Dok" jawab Rifaldy akhirnya, suaranya terdengar lemah, seakan tak yakin apakah nasihat itu akan membawa perubahan.
Sang dokter mengangguk pelan, menutup tas jinjingnya dan bersiap pergi. "Besok saya akan kembali, Jika ada apa-apa, segera hubungi saya," ucapnya, kali ini dengan nada yang lebih lembut.
Kami mengantar sang dokter menuju pintu depan. Mobil hitamnya masih terparkir di halaman, kini panasnya semakin menyengat di bawah matahari yang semakin terik. Dokter membuka pintu mobil, lalu menoleh sejenak, tatapannya seakan menyiratkan rasa simpati pada situasi kami.
"Oya! Hampir lupa. Tadi Deni titip pesan, meminta Kevin untuk menemuinya," kata singkat sebelum masuk ke dalam mobil. Mesin mobil menyala perlahan, lalu mobil itu bergerak pelan meninggalkan pekarangan rumah.
Aku, Rifaldy, dan Mang Tohir berdiri diam di depan pintu, masih terdiam dengan pikiran masing-masing. Satu hal yang pasti, hari ini hanya memberi kami lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
====
Siang itu matahari bersinar terik, namun di dalam rumah loji yang belum sepenuhnya terbangun, suasana terasa dingin dan lembap. Dinding-dindingnya sudah terbuat dari bata yang kokoh, namun banyak bagian yang masih belum rampung, menyisakan jendela tanpa kaca dan langit-langit yang sebagian terbuka. Cahaya matahari hanya menyusup melalui lubang-lubang di dinding, membuat bayangan-bayangan aneh di lantai yang berdebu.
Di sebuah kamar di lantai satu, Deni terbaring lemah di atas kasur busa yang langsung diletakkan di lantai. Tubuhnya diselimuti perban yang menutup luka-luka yang seakan tak kunjung sembuh. Nafasnya berat, keringat membasahi dahinya.
Kamar ini sendiri minim perabotan, hanya ada kasur tipis, sebuah meja kecil, dan empat balok kayu yang terpaku kuat disetiap sudut kasur Deni. Kami sudah tidak menggunakan kain untuk mengikat tubuhnya, saat ia mulai lepas kendali, kami menggunakan tali tambang dan gelang yang terbuat dari karet pada setiap ujung talinya.
Aku baru saja tiba, mengikuti pesan mendesak dari Deni yang memintaku datang. Pikiranku tak henti bertanya-tanya menyikapi situasi yang tak biasa ini, buat langkahku terasa berat,. Sesampainya di depan pintu kamar, aku mendapati Deni terbaring tak berdaya. Matanya terbuka sedikit, cukup untuk menatapku dengan lelah.
"Masuk, Vin..." suaranya lemah, hampir seperti bisikan.Aku segera duduk di sebelah kasurnya, rasa khawatir semakin kuat. Kondisinya jauh lebih buruk dari terakhir kali aku melihatnya.
"Kenapa, Den?" kataku, berusaha tenang meski jantungku berdegup kencang. "Lu mau sesuatu?"
Deni menghela napas panjang sebelum berusaha berbicara. "Gw udah gak tahan lagi, Vin... Tiap hari luka-luka ini bermunculan tanpa gw tau." Aku terdiam, merenungkan semua keluhan dati dalam hatinya. "Gw yakin, apa yang gw alami ada hubungannya dengan rumah ini." Lanjutnya, aku semakin jatuh dalam pemikiran yang dalam. Memang rumah ini selalu terasa aneh, tapi apa hubungannya dengan kondisi Deni?
"Gw pengen cari tahu tentang rumah ini, Vin," ungkapnya, matanya berusaha tetap fokus padaku. "Andre...." Lata Deni, suaranya terdengar melemah.
"Andre?" ulangku, merasa asing dengan nama yang baru kudengar.
Raut wajah Deni merintih, seakan menahan sakit yang terasa menggigit tubuhnya. "Dia anak dari pemilik... Rumah ini sebelumnya. Gak tau kenapa, Gw pengen nyari tau asal-usul sebelum rumah ini berdiri."
Aku menatapnya dalam-dalam, mengetahui betapa pentingnya hal ini baginya. "Jadi lo pengen gw cari orang yang bernama Andre itu?" Deni menutup matanya, lalu mengangguk pelan.
Walau aku tak tahu sedikitpun tentang orang yang bernama andre, namun aku tak mau membuat temanku kecewa. "Oke, gue bantu lo nyari Andre. Tapi ini gak bakal mudah." Deni mengangguk pelan, tampak lemah tapi tetap teguh dengan keputusannya.
"Gue gak mau Rifaldy atau Bang Ferdy tau soal ini. Ini cuma antara kita berdua, Vin... Jangan sampai kita menambah beban mereka."
Aku mengangguk setuju, memahami kekhawatirannya. Rumah loji ini sudah membawa cukup banyak masalah bagi kami semua. "Gue ngerti, Den."
Angin siang berhembus pelan melalui jendela yang terbuka, membawa aroma debu dan kelembapan yang menyesakkan. Deni menutup matanya sejenak, seolah mencoba mengumpulkan kekuatan untuk bertahan.
Suara burung-burung dari luar terdengar samar, tapi di dalam rumah ini, keheningan terasa mencekam. Aku tahu, perjalanan ini bukan sekadar mencari seseorang bernama Andre. Ini adalah pencarian akan kebenaran yang tersembunyi di balik dinding-dinding dingin rumah ini, rahasia yang mungkin seharusnya tidak pernah diungkap.