Quote:
Deni tiba-tiba menarik bajuku dengan kasar. Sorot matanya penuh kepanikan dan kelelahan. "Bisikan aneh ini, membuat gw gak tenang, Vin!" suaranya serak dan putuS-putus. Aku melihat ke dalam matanya dan tahu dia sedang tersiksa. Ada sesuatu yang salah, dan itu mulai membuatku merinding.
Aku melirik jam dinding-17:25. Dadaku mulai sesak. Kejadian ini selalu dimulai di sekitar waktu yang sama. Tanpa berpikir panjang, aku bangkit dari dudukku, mencoba menenangkan dii. Mata Deni yang berkilat-kilat penuh kegilaan dan rasa sakit terus mengawasiku. Tubuhnya mulai berguncang semakin kuat.
Dia mencengkeram apa saja yang bisa diraihnya, menahan rasa sakit yang mungkin tak bisa kuimajinasikan. Desahan napasnya semakin cepat, seperti sedang mencoba melawan
sesuatu yang berusaha keluar dari dalam dirinya.
"Rif!! Mang!!" teriakku dengan panik, berlari ke arah Rifaldy dan Mang Tohir. Keduanya segera mendekat, memahami situasi yang genting.
Ketika kami kembali ke kamar, Deni sudah duduk tegak di lantai, tertawa lepas dengan suara yang asing. Tawanya membuat bulu kudukku berdiri. Dia lalu kembali menghantamkan tubuhnya ke lantai, bangkit, lalu jatuh lagi-melakukannya berulang kali dengan keras, seolah sedang dirasuki kekuatan jahat yang membuatnya tak merasa sakit.
Tanpa ragu, Rifaldy menerjang dan meraih lengan kirinya, mencoba menahannya. Tapi Deni terlalu kuat. Dengan tangan kanannya, dia menampar wajah Rifaldy begitu keras hingga Rifaldy tersungkur ke lantai, melepaskan pegangannya.
"Berengsek!!" Rifaldy mengumpat keras sebelum bangkit. Matanya menyala penuh amarah dan rasa tak berdaya. "Mang!! Pegang tangan satunya lagi, lah!!" suaranya kasar, tapi penuh
keputusasaan.
Rifaldy menoleh ke arahku yang masih terpaku di ambang pintu, terlalu syok untuk bergerak. "Woy!! Lu ngapain, sih!! Iket ini!" suaranya bergetar, bukan karena marah, tetapi karena takut.
Aku, dengan tangan gemetar, mencari kain. "Lu Ngapain sih! Itu Pake aja kain yang ada aja!!" Rifaldy mendesakku lagi, kali ini lebih tegas.
Dalam kepanikan, aku akhirnya menemukan selembar kain yang kami gunakan sebelumnya dan segera mengulurkannya. Setelah berjuang keras, kami akhirnya berhasil mengikat tubuh Deni dengan kain, membungkusnya rapat seperti
kepompong. Dia masih memberontak, tertawa, dan bergumam dengan kata-kata yang tak kupahami, tapi setidaknya sekarang tubuhnya tak bisa bergerak bebas.
"Bawa ke kamar sebelah! Angkat!" perintah Rifaldy, napasnya masih terengah-engah. Aku dan Mang Tohir bergegas mengangkat tubuh Deni, membawanya ke kamar lain yang sudah
kami persiapkan.
Di kamar itu, ada empat balok kayu yang kami pasang di setiap sudut karpet. Balok-balok itu dipakukan kuat ke lantai keramik yang kini retak di beberapa tempat. Tujuannya jelas—menahan tubuh Deni agar tidak bergerak liar.
"Vin! Lu naik di atas badan Deni.. Lu tahan!" Rifaldy memberi aba-aba sambil berusaha mengatur napas. "Gw sama Mang Tohir mau iket kaki sama tangan dia."
Aku ragu sejenak, tapi tidak ada waktu untuk berpikir lama. Aku melangkah ke arah Deni, tubuhku gemetar, lalu mulai menindih tubuhnya, menekan kepala dan lehernya dengan kedua tanganku agar dia tidak bisa bergerak. Aku bisa
merasakan seluruh tubuhnya bergetar hebat di bawahku, seperti ada kekuatan yang ingin meledak keluar.
Rifaldy dan Mang Tohir bekerja cepat, membuka kain yang membalut tubuh Deni, lalu mulai mengikat tangan dan kakinya ke balok-balok di setiap sudut. Deni meronta, tapi kami tidak berhenti. Ikatan itu akhirnya selesai, tubuh Deni
kini tergenggam kuat seperti salib, dengan kedua tangan dan kakinya ditarik ke empat arah. Deni masih bergerak, tapi gerakannya terbatas. Hanya tubuhnya yang bisa menggeliat ke kiri dan ke kanan. Tawa anehnya masih terdengar, tapi semakin lemah seiring kelelahan yang mulai
menguasainya.
"Kalau begini, dia gak akan bisa lepas," kata Rifaldy sambil menyeka keringat di dahinya. Dia menoleh kepadaku, matanya serius. "Vin, ambil selimut di kamar, gih."
Aku mengangguk, segera berlari keluar kamar, nafasku masih terengah-engah, berharap malam ini cepat berlalu.
===
Setelah aku menyelimuti tubuh Deni yang masih meronta-ronta, kami bertiga berkumpul di ruang tamu, mencoba melepas lelah sambil menenangkan pikiran.
"Saya khawatir sama Mas Deni," kata Mang Tohir, wajahnya serius. "Ngga tega saya lihatnya,"
"Sama, Mang," jawabku, mencoba memberi kepastian. "Tapi kita udah ga punya pilihan lain."
Rifaldy hanya diam, wajahnya penuh frustrasi. Dia mengerutkan dahi, menatap lantai seolah ada jawaban di sana. Ketidakpastian menggantung di antara kami, dan suasana menjadi semakin tegang.
"Rif, lu ada solusi?" tanyaku, berharap dia bisa memberikan pencerahan. Tapi dia hanya menggelengkan kepala, tetap terjebak dalam pikirannya sendiri.
"Saya jadi curiga," Mang Tohir melanjutkan, suaranya bergetar. "Jangan-jangan ini kiriman dari orang lain."
Aku mengerutkan alis mendengar ucapan Mang Tohir, "Maksudnya, Mang?" kataku, menatap Mang Tohir. "Dulu ... Di kampung saya pernah ada orang sakit, tapi sakitnya itu hasil dari kiriman orang yang gak suka sama dia."
Rifaldy masih diam, tampak bingung dan frustrasi, lalu berdecak. "Udah, udah! Ngga usah punya pikiran ngelantur," sergahnya, dengan mata melirik sinis kearah kamar Deni. "Fokus gantian jaga, nanti kontrol tiap berapa jam sekali."
Kami semua terdiam, merasakan ketidakpastian yang sama. Aku menatap pintu kamar, berharap Deni bisa segera pulih dari semua ini.
===
Rifaldy nampak sibuk dengan ponselnya, lalu mengajak kami untuk segera beristirahat. "Gw Set Alarm tiap empat jam," jelasnya, sambil menunjukkan ponsel yang ia genggam. "Buat cek kondisi Deni."
Aku hanya mengangguk, lalu kami pun tidur di kamar sebelah. Aku berharap, kami bisa mendengar jika sesuatu terjadi pada diri Deni.
Di dalam kamar ini, suasana masih terasa tegang meskipun kami berusaha membuat diri kami nyaman.
Rifaldy merebahkan diri di atas kasur, masih terlihat lelah. “Moga aja bisa tidur nyenyak,” katanya sambil menutup matanya, meskipun suaranya terkesan acuh.
Mang Tohir duduk di sampingnya, tampak gelisah. "Semoga saja Mas Deni baik-baik saja di sana."
“Udah, Mang. Sekarang fokus tidur aja,” jawab Rifaldy dengan nada datar, seolah tidak ingin terlalu memikirkan kondisi Deni.
Aku terdiam, berusaha menenangkan pikiran yang berkecamuk. “Deni pasti baik-baik aja, Mnag,” kataku, berusaha menyembunyikan rasa cemas yang menggerogoti, "semoga ..."
Kami pun tertidur, berharap dapat istirahat sejenak sebelum kembali memeriksa Deni. Namun, tidur kami tidaklah nyenyak. Kegelapan malam terasa semakin berat, saat aku terbangun oleh suara-suara aneh dari kamar sebelah.
“Deni?” bisikku, langsung terjaga. Suara itu terdengar seperti seseorang tengah memukul sesuatu ke lantai lalu menyeretnya.
“Di kamar Mas Deni suaranya,” jawab Mang Tohir dengan nada khawatir. “Kita harus cek.”
“Rif, bangun!” panggilku, mengguncang bahunya pelan. Dia hanya menggerutu dan memalingkan wajah, seolah enggan untuk bangkit. “Rif, ini serius!” desakku lagi.
Akhirnya, Rifaldy membuka matanya, terlihat bingung. “Apa sih?” tanyanya, masih setengah sadar.
“Deni, ada yang aneh,” kataku, langsung melangkah menuju pintu kamar Deni. Mang Tohir mengikutiku, sementara Rifaldy hanya menggelengkan kepala, mencoba memulihkan kesadarannya.
Aku membuka pintu dengan hati-hati, dan suara itu semakin jelas terdengar. Deni terbaring di tempatnya—masih terikat kuat, namun kuda kaki dan tangannya ia benturkan lalu menggesek-gesekannya pada karpet.
Raut wajahnya terlihat sangat puas, dengan senyum menyeringai. Kepalanya tak henti menggelen-geleng seolah menari menikmati apa yang ia lakukan.
“Den!” teriakku, berlari menghampirinya.
Aku meraih tangan kanannya, sedangkan Mang Tohir menahan kedua kakinya. Betapa aku tak percaya dengan apa yang ia lakukan. Gesekan pada karpet yang kasar berhasil menbuat luka yang cukup serius pada kulit lengannya.
"Lu kenapa, si Den!" Pekik Rifaldy, ia menahan lengan kiri Deni. Nadanya terdengar putus asa, dan bergetar.
"Aduh! Saya udah ga ngerti lagi! Gimana ini, Mas?" keluh Mang Tohir.
"Udah kepas aja!" pekik Rifaldy, ia melepas genggamannya dari tangan Deni. Tentu saja itu membuat Deni kembali mengulangi perbuatannya.
"Woy, Rif! Liat itu tangan dia!" sergahku, meminta Rifaldy untuk memperhatikan luka pada lengan Deni. "Tega lu sama dia?"
Rifaldy terhening sesaat, lalu ia kembali menahan lengan Deni. "Gw bingung harus ngapain? Terus gw pegangin gini sampe pagi?"
"Bentar, Mas.. " Mang Tohir menyela, lalu berlari ke kamar sebelah.
Ternyata Mang Tohir bermaksud memberi beberapa guling untuk menopang kedua kaki Deni, ia juga menyodorkan bantal kearahku. "Pake buat tangannya, Mas." Akhirnya kami bisa melepasnya kembali, tanpa khawatir perbuatan Deni melukai dirinya sendiri.
"Tidur pake apa? Seprai di pake dia! Sekarang bantal di pake dia!" Gumam Rifaldy.
"Biarkan, Mas.. Dari pada nanti lukanya semakin parah," timpal Mang Tohir, ia menerawang setiap tumit Deni. "Ini kalau saya pasti udah uring-uringan! Dalem ini lukanya." lanjutnya, sambil bergidik tak kuasa melihatnya.
"Rif," ucapku, sambil memegangi kedua lutut ini yang terasa semakin lemas. "Mending besok kita anter dia pulang."
"Ah! Lu gila kali!" sergah Rifaldy, menyangkal cepat gagasanku. "Eh! Lu liat itu kondisi dia kaya apa.. Ga usah ketemu nyokapnya, Ketemu Mang Rudi pun gw bingung mau jelasin apa!"
"Setelah liat kondisi Mas Deni, kayaknya emang lebih baik di bawa pulang, Mas," kata Mang Tohir, membenarkan saran dariku. Karena memang kondisinya justru semakin buruk.
Rifaldy menghela nafas, lalu ia berjalan keluar kamar, "Gw coba Telp Bang Ferdy." Kami pun membuntut di belakangnya, lalu menutup kembali pintu kamar Deni.
Malam ini cuaca kurang bersahabat, udara dingin dan lembab sangat terasa di dada. Suara guyuran air hujan, diringi teriakan petir, terdengar mengisi malam yang sunyi.
Rifaldy kembali ke ruang tamu setelah sesaat mencari ponsel genggam dari dalam kamar. Ia nampak gelisah, mencoba menghubungi kakaknya yang tak kunjung menerima panggilan darinya.
"Enak banget ini orang! Tidur nyenyak kayaknya!" gusar Rifaldy. Ia masih disibukan dengan layar ponsel miliknya.
"Besok saja, Mas.. Sebaiknya kita kembali tidur." saran Mang Tohir. Hujan yang tak kunjung mereda disertai kilatan cahaya petir yang menembus jendela terasa malam ini berat sekali,
Aku menatap pintu kamar Deni dengan rasa cemas, berharap ia juga dapat tertidur dengan nyenyak. Walau kini kamarnya terasa sunyi, namun aku tahu ia masih terjaga.