- Beranda
- Stories from the Heart
Keluargaku Tulang Wangi
...
TS
muyasy
Keluargaku Tulang Wangi

Part 1
Aku mengajak Putri, anak pertamaku yang masih berumur tiga tahun beli jajan di rumah tetangga. Rumahnya terletak di belakang menghadap kebun. Kebun yang dulunya angker.
Dulu terdapat pohon Kepoh yang batangnya sangat tinggi dan besar. Banyak burung gagak yang selalu bertengger di ranting. Suaranya cumiakkan telinga dan gemar membuat bising. Terkadang ada aroma dupa yang menusuk hidung. Wanginya menyesakkan dada. Ternyata selain angker, tempat tersebut dijadikan makam para warga yang ada di desa maupun luar desa. Itu sekitar tahun 70-an. Sekarang tidak digunakan lagi karena, tiap dusun sudah mempunyai tempat makam sendiri.
Makin malam, sekitar jam delapan aku mengajak Putri untuk pulang. Kutuntun dia agar tidak terjatuh. Karena, jalan yang kulewati berbatu.
"Ayo, Put. Pulang," ajakku. Setelah aku sadar dengan ajakanku yang salah, aku mengganti ucapanku dengan yang lain. "Eh, salah. Ayo balik!"
Hatiku gelisah. Ucapanku mengajak anak pulang ternyata salah. "Moga nggak terjadi apa-apa."
Malam pun tiba. Putri tidur dengan gelisah. Lalu, menangis sambil meronta.
"Nak, bangun! Ayo buka matamu. Jangan merem. Buka matamu!"
Mas Dul, suamiku jadi bingung sekaligus kesal. "Putri ngelindur ini. Aku ambilkan garam brosok."
"Put, bangun, Nak!"
Pelan-pelan, anak semata wayangku membuka matanya. Aku lega, tetapi ....
"Itu, Bu ... aku takut. Itu .... hwa ...."
Putri malah menangis histeris sambil menutup mata. Dia memelukku erat sambil menunjuk di belakang pintu. Katanya takut. Takut dengan siapa? Tidak ada siapapun di sana.
Jangan-jangan ....
Kulihat Mas Dul membuang garam brosok ke setiap penjuru rumah. Mulutnya komat-kamit seperti baca doa. Entah doa apa itu.
Putri masih menangis. Ibu dan Bapak ikut terbangun.
"Masih jam dua pagi. Wajah anakmu bersihkan dengan air dan baca bismillah," titah Ibuku.
Aku langsung ke kamar mandi sambil berlari. Putri digendong neneknya malah tidak mau. Dia terus berteriak dan terus menunjuk pojokan belakang pintu. Rumah berlantai semen yang kupijak sangat bergerindil karena penuh garam. Seperti kata Mbah Buyut, guna garam brosok untuk mengusir hantu.
"Putri abis main kemana sampe ngelindur begitu," tanya Mas Dul dengan wajah marah. Namun, ekspresinya yang semula tegang terlihat tenang karena di sampingku ada Ibu sekaligus mertuanya.
Aku sedang menyeka wajah Putri dengan sapu tangan yang basah agar dia membuka matanya. Namun, tetap saja dia tidak mau membuka matanya. Tidak mengapa, asalkan anakku sudah tidak menangis lagi. Mungkin doa dan garam brosok yang membuat hantunya sudah pergi.
"Kemarin aku ajak Putri beli jajan di rumah Cak Diono. Saat pulang aku salah ngomong. Harusnya bilang balik, tapi aku bilang pulang," jawabku dengan polosnya.
"Kamu, Dek. Besok jangan beli ke sana lagi!"
"Iya," jawabku singkat.
Baru saja Putri diam, tetiba anakku menangis lagi. Meronta dan memelukku erat seperti tadi.
"Put ... udah, tenang. Ayo tidur lagi. Cup ... cup ...."
Kuelus rambut dan wajahnya. Ibu yang semua di ruang tengah menghampiriku ke kamar.
"Ayo gendong sama nenek, yok!"
"Itu ... itu hantuu ... orangnya gede hitam, matanya merah ... hwa ...."
"Mana, sih, Put. Nggak ada apa-apa di sana," bujukku pada Putri.
Telunjuknya mengarah ke belakang pintu. Aku seperti orang bodoh yang tidak bisa melihat yang tak kasat mata. Memang yang kulihat tidak ada apa-apa, selain beberapa baju tergantung di gantungan yang menempel di tembok.
Aku memeluk anakku karena tidak mau digendong. Dia sesenggukan. Ibu kusuruh tidur lagi. Mas Dul masuk kamar dan duduk menatapku yang memeluk anak perempuannya ini.
Kulihat jam empat pagi. Berarti dua jam Putri menangis. Lambat laun kudengar napasnya taratur menandakan tidurnya nyenyak kembali.
"Mas, sini tidur lagi. Pasti ngantuk."
"Nggak. Hampir subuh."
Kami berbicara berbisik, takutnya menganggu Putri yang baru terlelap.
"Mas liat di pojokan pintu ada hantunya. Kata Putri tadi ada orang gede hitam dan matanya merah. Bukankah itu Genderuwo."
"Nggak ada apa-apa."
Mas Dul rebahan dan menutup matanya. Aku sangat kesal dibuatnya.
"Katanya bisa liat hantu, ditanya malah nggak ada apa-apa," gumamku dengan lirih.
Aku pun menutup mata. Rasa ngantuk mulai datang. Minta satu jam saja untuk tidur sejenak. Nanti azan Subuh pasti dengar karena musala terletak tak jauh dari rumah.
Bersambung
Note:
Garam brosok : garam kasar
Cak : Mas
Sumber gambar : pinterest edit by PicsArt
Diubah oleh muyasy 22-08-2024 18:02
sukhhoi dan 45 lainnya memberi reputasi
46
23K
1K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
muyasy
#150
PART 36
Main ke rumah mertua menghabiskan bensin tidak sampai seliter. Perjalanan yang dihabiskan hanya dengan memakan waktu sepuluh menit. Pas mudik tidak terpikirkan membawa bawaan apa, yang penting dompet tebal saja untuk dibagikan pada Ibu mertua dan keponakan. Hehehe.
Memasuki Dusun Sumberejo selalu disambut dengan tugu 'SELAMAT DATANG KE DUSUN SUMBEREJO.' Panggilan dusunnya paling gampang dengan Sumberjo saja. Ada yanh disingkat dengan panggilan Mberjo.
Sekitar 100 meter, aku dapat melihat pohon beringin yang dulunya kecil sekarang sangat besar. Pohonnya tidak jauh dari jalan umum. Saking besarnya, dahan dan daunnya menutupi separuh jalan. Jadi terasa sejuk kalau melewati jalan itu. Akar beringin yang menjuntai layaknya rambut yang lurus minta disisir. Kulihat batang beringin itu semakin lama semakin kokoh saja. Batangnya pun dililit dengan kain putih. Entah, dengan maksud apa. Mungkin hanya memberitahu kalau pohon beringin dan tempat itu dikeramatkan.
Di samping pohon beringin bagian kiri terdapat bengkel milik Ramli. Lalu,ada warung kopi dan pom mini milik Cak Seger. Samping bagian kanan pohon beringin, ada warung kopi juga dan jual aneka buah dan es campur. Warung itu milik Wak Mo, tetapi warung ini lumayan jauh jadi tidak terlalu berdempetan seperti bengkel milik Ramli dengan pohon beringin tadi. Tiap hari jalan tersebut tidak ada yang sepi. Kiri kanan jalan ramai sepeda motor terparkir untuk menikmati sebuah kopi. Apalagi sekarang free wifi. Jadi, wajib beli jajanan juga, kan, biar penjualnya tidak rugi.
Jika aku melewati pohon beringin itu, mataku tidak bisa berkedip. Aku suka melihat pohon itu karena terlihat menyimpan misteri. Kebanyakan pohon beringin banyak dijadikan rumah oleh hantu. Makanya aku tatap terus pohon itu, karena bisa jadi aku melihat tak kasat mata sedang bertengger di sana. Namun, tidak satu kali pun aku menjumpainya.
"Mas, wit weringin iku tambah gede ae," tunjukku mengarah pohon beringin di kanan jalan. Aku pulang setelah berkunjung ke rumah mertua.
(Mas, pohon beringin itu tambah besar aja)
"Ojo nodeng! Pean kemalan nodeng ae," bentak Mas Dul.
(Jangan nunjuk! Kamu kebiasaan nunjuk aja)
Otomatis aku menarik tanganku. Aku diam seribu bahasa. Mataku pun melihat pohon beringin di sana yang mulai tidak kelihatan. Terlihat menakutkan kalau malam hari. Suram dan gelap.
Sampai rumah, Mas Dul masih menampakkan kesalnya. Bibirnya mengerucut, alisnya bertautan dan sikapnya pun seakan aku tidak ada. Aku kalau melihat seperti ini ingin kutimpuk saja suamiku. Ngambeknya bakalan awet kalau tidak dirayu.
Satu jam sampai dua jam. Isya pun sudah lewat sejam yang lalu. Huff ... ini orang diam saja bak patung.
"Mas ...,"panggilku.
Tidak ada jawaban. Kesal benar nih orang. Salahku apa, sih?
"Mas ...," panggilku lagi. Kali ini kugoyangkan badannya agar melihatku yang ada di sampingnya. Mas Dul fokus ke ponselnya. Pasti menonton serial drama cina.
"Mas! Masio krungu kupinge," kesalku sampai kupukul ringan lengannya.
(Mas, walau denger telinganya)
Mas Dul kaget. Lalu tangannya melepaskan salah satu 'earphone' yang dipakainya di bagian kanan. Aku baru tahu kalau suamiku dari tadi memakai 'earphone' andalannya. Kenapa aku bisa sebodoh ini?
"Lapose?" tanya Mas Dul dengan kesalnya.
(Kenapa sih?)
"Gak lapo-lapo," jawabku sekenanya. Kepalang malu lah pokoknya.
(Gak kenapa-napa)
Mas Dul memakai 'earphone' nya lagi. Astaga ... memangnya laki-laki kurang peka, ya. Heran aku jadinya. Akan tetapi, mana tahu kalau tidak diberitahu. Hahaha.
"Mas ...Mas."
Aku mengganggunya lagi. Memang aku masih penasaran dengan diamnya suamiku setelah dari rumah orang tuanya. Apa gara-gara aku nunjuk pohon beringin tadi? Kan, aku tidak sengaja.
Lengan Mas Dul kugoyangkan. Sampai lelaki gembul ini pun risi. Aku tertawa melihatnya.
"Lapose?" tanya Mas Dul dengan ekspresi kesal.
(Kenapa sih?)
"Delehen hapene sek. Aku takok," jawabku.
(Taruh hapenya dulu. Aku tanya)
Anak keduaku yang bernama Husain sudah tidur sejak tadi. Jadi, aku leluasa untuk bertanya apa kesalahanku. Heh! Kalau aku yang tidak mengalah, Mas Dul merajuknya mengalahkan wanita yang lagi PMS. Awet betul.
"Takok opo?"
(Tanya apa?)
"Lapo kulo gak oleh nodeng weringin maeng?"
(Kenapa aku gak boleh nunjuk beringin tadi?)
"Ngge, gak oleh!"
(Iya, gak boleh!)
"Mosok ngunu jawabane. Iku duk jawaban. Aku sek dereng ngerti."
(Masa' gitu jawabannya. Itu bukan jawaban. Aku masih belum ngerti)
Mas Duk kelihatan mengembuskan napasnya dengan kasar. Aku tertawa dalam hati. Biarlah Mas Dul kesal, kalau aku bertanya tanpa henti nanti juga dijawab.
"Ndek endi ae ojo sembarang nodeng-nodeng. Gak mesti panggonan maeng iku mboten enten wong medine. Nek wong medi melok peyan, gelem tah."
(Di mana aja jangan asal nunjuk-nunjuk. Belum tentu tempat tadi itu gak ada hantunya. Kalo hantunya ikut kamu, mau kah)
"Emoh!"
(Gak mau!)
"Mangkane iku. Wong medine ngiro peyan iku ngeremehno panggonan maeng. Wit weringin ndek Mberjo iku ket biyen enten seng nunggu. Mangkane diarani punden. Punden iku nek arane wong biyen iku panggonan seng keramat. Mangkane tah ojo angger ae takok-takok ngunu sandeng punden."
(Maka dari itu. Hantunya mengira kamu itu meremehkan tempat tadi. Pohon beringin di Mberjo itu dari dulu ada yang nunggu. Makanya dikatakan punden. Punden itu istilahnya orang dulu itu tempat yang keramat. Maka dari itu jangan asal tanya-tanya begitu deket punden)
"Lah ... ancene kulo mboten semerap. Mangkane iki takok. Kulo nek semerap ngge lapo saiki takok."
(Lah ... kan aku gak tau. Makanya ini tanya. Aku kalo tau ya kenapa sekarang tanya)
Ganti aku yang kesal. Kami diam beberapa saat. Kemudian, Mas Dul menceritakan tempat angker yang tidak ada yang berani mendatanginya.
Katanya, ada sebuah pohon beringin di tengah kebun tebu milik warga. Pohon beringin itu ada di dusun sebelah. Tepatnya di Dusun Bureng Kidul. Pohon beringin yang bertahun-tahun lamanya tegak berdiri di tengah kebun tebu tidak ada yang menebangnya. Beringinnya pun tidak sebesar yang ada di Dusun Sumberejo. Padahal beringin tersebut sejak Mas Dul kecil pun sudah ada di sana.
Lapangan lawas biasa disebut Mas Dul atau lapangan lama yang dulunya dekat dengan pohon beringin itu. Lapangannya lebih luas dari yang sekarang dan banyak sekali anak-anak yang main sepak bola di sana saat senja mulai datang. Namun, hal mistis tidak dirasakan oleh anak lainnya. Beda dengan Mas Dul yang tahu tentang tak kasat mata. Banyak hantu yang berpenghuni di pohon beringin itu. Genderuwo berbulu hitam dengan badannya yang sangat besar dan tinggi. Matanya melotot berwarna merah dengan gigi runcingnya. Hanya itu yang Mas Dul ceritakan. Suamiku tidak bercerita dengan detail makhluk seperti apa saja di sana. Genderuwo di sana tidak mengganggu, tetapi banyak warga yang direcoki jadi kabar menakutkan ini jadi tersebar. Mungkin para orang tua sengaja membuat kabar angin seperti itu, agar anak-anak mereka cepat pulang sebelum magrib tiba. Memang dasarnya di lapangan lama itu terdapat sumur yang sumber airnya melimpah. Jika ingin mengambil airnya, timba kecil yang sudah diikat dengan tali tampar yang lumayan panjang dan dijatuhkan perlahan sampai dapat diambil air dari sumur tersebut dengan cara ditarik. Tidak ada katrol di situ.
Lapangan lama ditutup karena pemilik tanah asli sengaja menjualnya. Sekarang, dijadikan kebun tebu sampai saat ini. Sumurnya kemungkinan besar ditutup permanen. Akan tetapi, pohon beringinnya sampai saat ini masih saja berdiri kokoh.
"Sopo seng wani ngetok? Wong iku 'panggonane' ket biyen," kata Mas Dul.
(Siapa yang berani menebang? Kan itu 'tempatnya' dari dulu)
"Nggone genderuwo tah," celetukku.
(Tempatnya genderuwo kah)
"Akeh."
(Banyak)
Aku jadi ingat saat aku menggendong Husain yang masih berumur dua tahun dan Mas Dul membonceng kami. Husain waktu itu sulit tidur dan biasanya cari angin segar dulu biar anak bungsuku mengantuk. Bertepatan di Desa Sumberwaru ada hajatan dan jalan umum di tutup, kami pun terpaksa makan angin ke Dusun Bureng Kidul. Saat itu jam delapan malam.
Dari perempatan Dusun Bureng Lor, kami lurus ke Selatan dan melewati lorong jalan tol Sumo. Tidak ada lampu jalan. Itu yang tidak kusenangi jika lewat sini. Biasanya Husain akan berdiri dan menunjuk bintang maupun mobil yang terlihat di atas jalan tol. Tiba-tiba, Husain duduk dan menatap ke atas. Matanya lebar seperti ketakutan. Aku juga mendengar suara rintihan dan badan Husain yang menggigil karena takut.
"Uwes ... wes. Balek ae balek!"
(Udah ... udah. Balik aja balik!)
Kutepuk pundak Mas Dul untuk balik ke rumah. Setelah itu aku mendekap Husain. Sampai perempatan jalan di Dusun tempat tinggalku, Husain ingin berdiri lagi dan ceria seperti sedia kala. Aku merasa lega. Tidak kuulangi lagi bawa Husain melewati jalan itu saat malam.
Sehabis keluar rumah, kami selalu menyempatkan diri untuk membasuh kaki. Kata Mas Dul agar makhluk tak kasat mata yang sengaja ikut kami di jalan tidak akan bisa mengikuti kami sampai dalam rumah.
"Husain maeng koyoke ketok. Untung ae mboten nanges," ujarku sambil melepaskan jaket yang dipakai Husain.
(Husain tadi kayaknya liat. Untung aja gak nangis)
"Pean gak ambu."
(Kamu gak cium bau)
"Ambu apek koyoke."
(Cium bau apek kayaknya)
"Ngge iku. 'Wonge' gede dukur."
(Iya itu. 'Orangnya' gede tinggi)
"Genderuwo."
"Mboten. Seje meneh."
(Enggak. Beda lagi)
"Kok cik akehe."
(Kok banyak banget)
"Nek genderuwo lak ambu tunonan kaspe."
(Kalo genderuwo kan bau ubi kayu panggang)
"Ngge. Nek iku kulo semerap."
(Iya. Kalo itu aku tau)
Bersambung
Main ke rumah mertua menghabiskan bensin tidak sampai seliter. Perjalanan yang dihabiskan hanya dengan memakan waktu sepuluh menit. Pas mudik tidak terpikirkan membawa bawaan apa, yang penting dompet tebal saja untuk dibagikan pada Ibu mertua dan keponakan. Hehehe.
Memasuki Dusun Sumberejo selalu disambut dengan tugu 'SELAMAT DATANG KE DUSUN SUMBEREJO.' Panggilan dusunnya paling gampang dengan Sumberjo saja. Ada yanh disingkat dengan panggilan Mberjo.
Sekitar 100 meter, aku dapat melihat pohon beringin yang dulunya kecil sekarang sangat besar. Pohonnya tidak jauh dari jalan umum. Saking besarnya, dahan dan daunnya menutupi separuh jalan. Jadi terasa sejuk kalau melewati jalan itu. Akar beringin yang menjuntai layaknya rambut yang lurus minta disisir. Kulihat batang beringin itu semakin lama semakin kokoh saja. Batangnya pun dililit dengan kain putih. Entah, dengan maksud apa. Mungkin hanya memberitahu kalau pohon beringin dan tempat itu dikeramatkan.
Di samping pohon beringin bagian kiri terdapat bengkel milik Ramli. Lalu,ada warung kopi dan pom mini milik Cak Seger. Samping bagian kanan pohon beringin, ada warung kopi juga dan jual aneka buah dan es campur. Warung itu milik Wak Mo, tetapi warung ini lumayan jauh jadi tidak terlalu berdempetan seperti bengkel milik Ramli dengan pohon beringin tadi. Tiap hari jalan tersebut tidak ada yang sepi. Kiri kanan jalan ramai sepeda motor terparkir untuk menikmati sebuah kopi. Apalagi sekarang free wifi. Jadi, wajib beli jajanan juga, kan, biar penjualnya tidak rugi.
Jika aku melewati pohon beringin itu, mataku tidak bisa berkedip. Aku suka melihat pohon itu karena terlihat menyimpan misteri. Kebanyakan pohon beringin banyak dijadikan rumah oleh hantu. Makanya aku tatap terus pohon itu, karena bisa jadi aku melihat tak kasat mata sedang bertengger di sana. Namun, tidak satu kali pun aku menjumpainya.
"Mas, wit weringin iku tambah gede ae," tunjukku mengarah pohon beringin di kanan jalan. Aku pulang setelah berkunjung ke rumah mertua.
(Mas, pohon beringin itu tambah besar aja)
"Ojo nodeng! Pean kemalan nodeng ae," bentak Mas Dul.
(Jangan nunjuk! Kamu kebiasaan nunjuk aja)
Otomatis aku menarik tanganku. Aku diam seribu bahasa. Mataku pun melihat pohon beringin di sana yang mulai tidak kelihatan. Terlihat menakutkan kalau malam hari. Suram dan gelap.
Sampai rumah, Mas Dul masih menampakkan kesalnya. Bibirnya mengerucut, alisnya bertautan dan sikapnya pun seakan aku tidak ada. Aku kalau melihat seperti ini ingin kutimpuk saja suamiku. Ngambeknya bakalan awet kalau tidak dirayu.
Satu jam sampai dua jam. Isya pun sudah lewat sejam yang lalu. Huff ... ini orang diam saja bak patung.
"Mas ...,"panggilku.
Tidak ada jawaban. Kesal benar nih orang. Salahku apa, sih?
"Mas ...," panggilku lagi. Kali ini kugoyangkan badannya agar melihatku yang ada di sampingnya. Mas Dul fokus ke ponselnya. Pasti menonton serial drama cina.
"Mas! Masio krungu kupinge," kesalku sampai kupukul ringan lengannya.
(Mas, walau denger telinganya)
Mas Dul kaget. Lalu tangannya melepaskan salah satu 'earphone' yang dipakainya di bagian kanan. Aku baru tahu kalau suamiku dari tadi memakai 'earphone' andalannya. Kenapa aku bisa sebodoh ini?
"Lapose?" tanya Mas Dul dengan kesalnya.
(Kenapa sih?)
"Gak lapo-lapo," jawabku sekenanya. Kepalang malu lah pokoknya.
(Gak kenapa-napa)
Mas Dul memakai 'earphone' nya lagi. Astaga ... memangnya laki-laki kurang peka, ya. Heran aku jadinya. Akan tetapi, mana tahu kalau tidak diberitahu. Hahaha.
"Mas ...Mas."
Aku mengganggunya lagi. Memang aku masih penasaran dengan diamnya suamiku setelah dari rumah orang tuanya. Apa gara-gara aku nunjuk pohon beringin tadi? Kan, aku tidak sengaja.
Lengan Mas Dul kugoyangkan. Sampai lelaki gembul ini pun risi. Aku tertawa melihatnya.
"Lapose?" tanya Mas Dul dengan ekspresi kesal.
(Kenapa sih?)
"Delehen hapene sek. Aku takok," jawabku.
(Taruh hapenya dulu. Aku tanya)
Anak keduaku yang bernama Husain sudah tidur sejak tadi. Jadi, aku leluasa untuk bertanya apa kesalahanku. Heh! Kalau aku yang tidak mengalah, Mas Dul merajuknya mengalahkan wanita yang lagi PMS. Awet betul.
"Takok opo?"
(Tanya apa?)
"Lapo kulo gak oleh nodeng weringin maeng?"
(Kenapa aku gak boleh nunjuk beringin tadi?)
"Ngge, gak oleh!"
(Iya, gak boleh!)
"Mosok ngunu jawabane. Iku duk jawaban. Aku sek dereng ngerti."
(Masa' gitu jawabannya. Itu bukan jawaban. Aku masih belum ngerti)
Mas Duk kelihatan mengembuskan napasnya dengan kasar. Aku tertawa dalam hati. Biarlah Mas Dul kesal, kalau aku bertanya tanpa henti nanti juga dijawab.
"Ndek endi ae ojo sembarang nodeng-nodeng. Gak mesti panggonan maeng iku mboten enten wong medine. Nek wong medi melok peyan, gelem tah."
(Di mana aja jangan asal nunjuk-nunjuk. Belum tentu tempat tadi itu gak ada hantunya. Kalo hantunya ikut kamu, mau kah)
"Emoh!"
(Gak mau!)
"Mangkane iku. Wong medine ngiro peyan iku ngeremehno panggonan maeng. Wit weringin ndek Mberjo iku ket biyen enten seng nunggu. Mangkane diarani punden. Punden iku nek arane wong biyen iku panggonan seng keramat. Mangkane tah ojo angger ae takok-takok ngunu sandeng punden."
(Maka dari itu. Hantunya mengira kamu itu meremehkan tempat tadi. Pohon beringin di Mberjo itu dari dulu ada yang nunggu. Makanya dikatakan punden. Punden itu istilahnya orang dulu itu tempat yang keramat. Maka dari itu jangan asal tanya-tanya begitu deket punden)
"Lah ... ancene kulo mboten semerap. Mangkane iki takok. Kulo nek semerap ngge lapo saiki takok."
(Lah ... kan aku gak tau. Makanya ini tanya. Aku kalo tau ya kenapa sekarang tanya)
Ganti aku yang kesal. Kami diam beberapa saat. Kemudian, Mas Dul menceritakan tempat angker yang tidak ada yang berani mendatanginya.
Katanya, ada sebuah pohon beringin di tengah kebun tebu milik warga. Pohon beringin itu ada di dusun sebelah. Tepatnya di Dusun Bureng Kidul. Pohon beringin yang bertahun-tahun lamanya tegak berdiri di tengah kebun tebu tidak ada yang menebangnya. Beringinnya pun tidak sebesar yang ada di Dusun Sumberejo. Padahal beringin tersebut sejak Mas Dul kecil pun sudah ada di sana.
Lapangan lawas biasa disebut Mas Dul atau lapangan lama yang dulunya dekat dengan pohon beringin itu. Lapangannya lebih luas dari yang sekarang dan banyak sekali anak-anak yang main sepak bola di sana saat senja mulai datang. Namun, hal mistis tidak dirasakan oleh anak lainnya. Beda dengan Mas Dul yang tahu tentang tak kasat mata. Banyak hantu yang berpenghuni di pohon beringin itu. Genderuwo berbulu hitam dengan badannya yang sangat besar dan tinggi. Matanya melotot berwarna merah dengan gigi runcingnya. Hanya itu yang Mas Dul ceritakan. Suamiku tidak bercerita dengan detail makhluk seperti apa saja di sana. Genderuwo di sana tidak mengganggu, tetapi banyak warga yang direcoki jadi kabar menakutkan ini jadi tersebar. Mungkin para orang tua sengaja membuat kabar angin seperti itu, agar anak-anak mereka cepat pulang sebelum magrib tiba. Memang dasarnya di lapangan lama itu terdapat sumur yang sumber airnya melimpah. Jika ingin mengambil airnya, timba kecil yang sudah diikat dengan tali tampar yang lumayan panjang dan dijatuhkan perlahan sampai dapat diambil air dari sumur tersebut dengan cara ditarik. Tidak ada katrol di situ.
Lapangan lama ditutup karena pemilik tanah asli sengaja menjualnya. Sekarang, dijadikan kebun tebu sampai saat ini. Sumurnya kemungkinan besar ditutup permanen. Akan tetapi, pohon beringinnya sampai saat ini masih saja berdiri kokoh.
"Sopo seng wani ngetok? Wong iku 'panggonane' ket biyen," kata Mas Dul.
(Siapa yang berani menebang? Kan itu 'tempatnya' dari dulu)
"Nggone genderuwo tah," celetukku.
(Tempatnya genderuwo kah)
"Akeh."
(Banyak)
Aku jadi ingat saat aku menggendong Husain yang masih berumur dua tahun dan Mas Dul membonceng kami. Husain waktu itu sulit tidur dan biasanya cari angin segar dulu biar anak bungsuku mengantuk. Bertepatan di Desa Sumberwaru ada hajatan dan jalan umum di tutup, kami pun terpaksa makan angin ke Dusun Bureng Kidul. Saat itu jam delapan malam.
Dari perempatan Dusun Bureng Lor, kami lurus ke Selatan dan melewati lorong jalan tol Sumo. Tidak ada lampu jalan. Itu yang tidak kusenangi jika lewat sini. Biasanya Husain akan berdiri dan menunjuk bintang maupun mobil yang terlihat di atas jalan tol. Tiba-tiba, Husain duduk dan menatap ke atas. Matanya lebar seperti ketakutan. Aku juga mendengar suara rintihan dan badan Husain yang menggigil karena takut.
"Uwes ... wes. Balek ae balek!"
(Udah ... udah. Balik aja balik!)
Kutepuk pundak Mas Dul untuk balik ke rumah. Setelah itu aku mendekap Husain. Sampai perempatan jalan di Dusun tempat tinggalku, Husain ingin berdiri lagi dan ceria seperti sedia kala. Aku merasa lega. Tidak kuulangi lagi bawa Husain melewati jalan itu saat malam.
Sehabis keluar rumah, kami selalu menyempatkan diri untuk membasuh kaki. Kata Mas Dul agar makhluk tak kasat mata yang sengaja ikut kami di jalan tidak akan bisa mengikuti kami sampai dalam rumah.
"Husain maeng koyoke ketok. Untung ae mboten nanges," ujarku sambil melepaskan jaket yang dipakai Husain.
(Husain tadi kayaknya liat. Untung aja gak nangis)
"Pean gak ambu."
(Kamu gak cium bau)
"Ambu apek koyoke."
(Cium bau apek kayaknya)
"Ngge iku. 'Wonge' gede dukur."
(Iya itu. 'Orangnya' gede tinggi)
"Genderuwo."
"Mboten. Seje meneh."
(Enggak. Beda lagi)
"Kok cik akehe."
(Kok banyak banget)
"Nek genderuwo lak ambu tunonan kaspe."
(Kalo genderuwo kan bau ubi kayu panggang)
"Ngge. Nek iku kulo semerap."
(Iya. Kalo itu aku tau)
Bersambung
Diubah oleh muyasy 08-10-2024 22:20
wakazsurya77 dan 13 lainnya memberi reputasi
14
Tutup