Quote:
"Jangan tidur dulu, Den," ucapku, meletakan Deni duduk ditepi tempat tidur. "Kita makan, abis itu lu minum obat."
"Makasih, Vin. Sory kalau gw ngerpotin," ungkapnya, dengan garis senyum menghiasi raut wajah pucatnya. Aku pun tersenyum padanya, dan mengganguk pelan.
Sesungguhnya, ada hal yang mengganjal dipikiran ini, tapi aku tahu ini bukan waktu yang tepat.
"Tunggu bentar. Gw ambil bubur dulu, Den." Aku pun berlalu untuk mempersiapkan bubur ayam yang sempat kami beli sepulang berobat.
Di ruang tamu nampak Rifaldy dan Mang Tohir sedang menikmati buah anggur yang baru saja ia beli.
"Bubur buat Deni yang mana, nih?" tanyaku, mengubek-ubek kantok plastik diatas meja.
"Yang polos punya dia," jawab Rifaldy, sambil mengangkat Bubur Ayam yang masih di plastik.
"Mas, saya masih agak takut," keluh Mang Tohir membuat aku dan Rifaldy menoleh kearahnya. "Saya takut kalau Deni kambuh lagi nanti malam."
Sesaat kami terdiam ketika ingatan akan semua kejadian semalam terbuka dalam pikiranku. Selain mengikat tubuh Deni, tak ada lagi solusi yang bisa aku nalar.
"Semoga Mang Rudi, ke sini nanti malam," harapan Rifaldy berhasil menbuat aku merasa sedikit lega.
"Bentar.. Gw ngasih buburnya dulu," jawabku, lalu aku melangkah masuk ke dalam kamar.
Nampak Deni tengah terdiam dalam lamunannya, wajahnya seolah melukiskan penyesalan yang amat mendalam.
"Den," sergahku pelan. Membuatnya tersadar, lalu menatapku. "Lu makan dulu, ya. Habis ini lu minum obat, biar luka lu cepet pulih."
Akhirnya ia pun memakan hidangan yang aku berikan, walau perlahan tapi dia berhasil menuntaskan semuanya.
"Vin," aku menoleh, dan menaikan kedua alisku, "lu ada buku sama pulpen?"
"Gw pengen tulis apa yang gw alami ini," tutupnya. Jika dilihat dari raut wajahnya tak ada sedikitpun alasan untuknya bergurau.
Aku menggeleng samar, seakan tak percaya apa yang ia pikirkan. Bagaimana bisa ia memikirkan hal itu di dalam kondisinya yang seperti ini. "Mau buat cerita lu?" ucapku, sedikit mengejeknya. "Ya, udah bentar, gw tanya Mang Tohir dulu."
Namun langkahku terhenti ketika Deni menahanku dengan ucapannya, "Gw simpen di kamar depan," ungkapnya. Aku baru sadar jika selama ini memang ia sering menggunakan buku dan pulpen untuk mencatat stok bahan.
Selesai dengan itu, ia pun mulai menggoreskan pena pada sebuah buku. Entah apa yang ia tulis di sana. Namun, ini membuatku berpikir lain—apakah ini ada hubungannya dengan kedatangan Mang Rudi. Atau bisa saja apa yang ia lakukan saat ini atas permintaannya.
"Makan dulu sana," ucap Rifaldy, saat aku tiba di ruang tamu. "Udah beres?" lanjutnya.
"Udah," singkatku, sambil menyiapkan sarapku. "Lu sama Mang Tohir udah makan?"
"Udah, baru aja beres."
"Menurut lu, kita bakal kayak gini sampai kapan?" tanyaku. Aku hanya mengaduk sarapanku tanpa selera, dengan pikiran melayang-layang.
Rifaldy hanya membisu, seolah tak memiliki jawaban tegas akan pertanyaanku. "Udah abisin dulu makan, lu. Ngga usah mikir yang aneh-aneh."
Detak jam terus bergulir, perlahan tapi pasti menutup hari yang kami lalui. Aku dan yang lain menjalankan aktivitas seperti biasa, namun tidak dengan satu kawan kami. Ia hanya terbaring lemah, dengan kondisinya yang nampak memburuk. Sesekali aku memeriksa tubuhnya, dengan demam yang semakin menjadi.
Di sore hari aku mencoba membangunkan Deni, untuk memberinya makan dan minum obat.
"Den.. " Perlahan ia mulai membuka matanya seraya rasa sakit yang kembali ia rasakan tergambar jelas dari raut wajahnya. "Makan dulu, habis itu minum obat." lanjutku.
Dengan sisa tenaganya, ia bangkit, lalu menggeser tubuhnya ke atas hingga bersandar pada Divan tempat tidur.
Walau perlahan, namun Deni masih bisa mengunyah makannya dengan baik, hingga habis tak tersisa. Akan tetapi, dia merasa ragu ketika aku menyodorkan gelas dan obat padanya.
"Lu harus minum obat, Den!" jelasku, namun Deni hanya menggelengkan kepala. Kulihat lengannya mengusap perut, seakan ada rasa tidak nyaman di sana. "Kenapa perut, lu?" tanyaku.
"Sakit... " singkatnya, dengan nafas boros. "Abis minum obat itu kayaknya."
Aku yang penasaran mencoba melihat perutnya, khawatir ada penyakit lain yang ia rasakan. Dan benar saja, ketika aku menekan pelan, ada sesuatu yang janggal di dalamnya.
"Keras amat perut, Lu?" tanyaku lagi, sambil menekan-nekan pelan.
"Tadi dokter periksa ngga?" sela Rifaldy, yang masih fokus bermain Game di depan TV. Deni pun menjawab dengan isyarat tubuh—menggeleng kepala. Aku sudah bisa menebaknya, karena saat kami ke dokter Deni tidak menunjukkan gejala pada perutnya.
Akhirnya aku pun mengurungkan niat untuk memberikan obatnya, khawatir jika obat ini membuat perutnya tidak nyaman. Lagi pula, ini hanya obat Antibiotik dan penghilang rasa nyeri.
"Ngga usah di minum juga gpp lali, ya?" gumamku, lalu menaruhnya di atas meja kecil yang berada di sisi tempat tidur.
"Nggaa... " sahut Rifaldy.
Kring!! Kring!!!
"Halooo, Mang Ganteng.. " salam Rifaldy ketika dirinya mengangkat panggilan. Sepertinya dari Mang Rudi. "Oh, oke, oke... Mang."
Sesaat ia meletakan kembali ponselnya, lalu menoleh, "Mang Rudi ngga jadi datang! Gantiin temannya yang ngga masuk."
Aku menghela nafas malas, mendapati harapan ketenangan kini sirnah sudah. Padahal baru saja aku ingin menanyakan akan hal itu pada Rifaldy, tapi apalah daya. Mau tidak mau aku harus melalui malam ini seperti biasa.
Isi kepala ini terus melayang, memikirkan apa yang akan terjadi malam ini, hingga kedua mataku tak sengaja terhenti pada jam dinding yang tepat berada di atas TV, menunjukan pukul: 16:20.
Rasa cemas mulai berdatangan, seolah malapetaka besar sedang menanti kami disuatu tempat—bersembunyi dibalik gelapnya malam. Kedua mataku bergerak perlahan, menatap Deni yang masih terdiam dengan tatapan kosong.
"Rif... " Aku menarik Rifaldy, untuk mengajaknya diskusi di luar kamar. "Ikut gw sebentar." Walau awalnya Rifaldy menolak namun aku terus menariknya.
Hingga tibalah kami di dapur, dan kebetulan Mang Tohir pun sudah selesai dalam bekerjanya.
"Dih! Apaan si lu!" gusar Rifaldy, melepas paksa lenganku.
"Mang, sini... " Aku melambai pada Mang Tohir agar ia mendekat, karena aku tak ingin jika pembicaraan ini terdengar oleh Deni.
"Kenapa, Mas?"
"Coba liat," aku menyodorkan layar ponsel kearah mereka berdua, "Jam berapa ini?" Tapi sepertinya Rifaldy dan Mang Tohir belum juga menyadarinya.
"Dikit lagi jam 5! Gw takutnya Deni kumat lagi!" ungkapku, dengan nada pelan.
"Lu yakin, Vin?" tanya Rifaldy, nampaknya ia belum menyadari atau bahkan tidak percaya dengan perkataanku.
"Dua hari gw pantau, dan semua tepat di jam 5 Deni menunjukan gejala aneh," jelasku. Membuat Rifaldy berpikir keras.
"Ha!" Aku yang tak sabaran, tak ingin malah berdebat dengannya, "Gini, Deh! Kalau nanti jam 5 Deni kumat, kita mau gimana?"
Masih saja Rifaldy memikirkan perkataanku, malah justru Mang Tohir pun nampak serupa dengannya.
"Gimana?" tanyaku lagi, semakin mendesak mereka berdua.
"Cara satu-satunya, paling kita iket lagi!" ucap Rifaldy, dengan ragu dalam pemikirannya.
"Tapi jangan kayak semalam, Mas.. Terlalu sadis," timpal Mang Tohir.
Berarti mereka berdua hanya memiliki gagasan itu, dan mungkin memang itu cara terbaik untuk menahan Deni agar tidak melukai dirinya sendiri.
Tanpa ada pilihan lain, aku pun ikut dalam gagasan mereka, "Terus harus gimana, Mang?"
"Kita iket, tangan dan kakinya, kainnya kita iket ke setiap ujung tempat tidur Aja! Jangan kayak semalem, kasihan kakinya ketekuk terus," jelas Mang Tohir.
Aku bisa mengerti apa yang dipikirkan Mang Tohir, namun cara itu juga membuat kami semua harus bermalam di luar kamar.
"Terus kita tidur di mana, Mang?" tanya Rifaldy, kemudian ia memikirkan suatu hal. Ia melangkah ke kamar sebelah. "Mang, Sini coba!" pekik Rifaldy.
Aku dan Mang Tohir menghampirinya lalu terhenti di ambang pintu. "Bisa ngga kalau dibuat patok-patok di sini?"
Mendengar hal itu, aku langsung terbayang dengan apa yang ingin dibuat Rifaldy. "Gila, lu! Udah biarin aja di kamar sana!" sergahku, menentang gagasan Rifaldy. Mungkin membuat tempat pasung, tidak sepenuhnya salah, tapi aku merasa tindakannya itu terkesan berlebihan.
"Gw merasa ga nyaman aja kalau tidur di ruang tamu," keluh Rifaldy, nampaknya ia tak ingin kamar nyamannya digunakan Deni seorang diri.
"Bisa aja si, Mas.. Tapi di kamar ini dingin kalau pagi!" tambah Mang Tohir.
"Kita, kan bisa tidur bareng-bareng di sana, Rif," balasku, bersikeras menentang ide Rifaldy.
Namun semua seakan percuma, Rifaldy tetap berdiri kokoh dengan gagasannya, "Kan ga seterusnya, lu yang bilang setiap sore dia kumat?" ungkapnya.
Entah apa yang ada dalam pikirannya, hingga ia memiliki Ide seperti itu, satu hal yang aku tahu. Jika Rifaldy sudah bertitah akan sangat sulit menentangnya. Ego-nya yang tinggi melengkapi kapalanya sekeras batu.
"Tapi menurut gw, solusi ini hanya akan membuat Deni merasa diasingkan!" tambahku, masih berharap Rifaldy mempertimbangkan idenya.
"Santai, aja, Vin. Kita ganti-gantian kontrol ke sini buat liat kondisinya," jelas Rifaldy. Aku hanya terdiam, tak ingin membuat perdebatan ini semakin melebar.
Tak ingin ikut campur dengan apa yang hendak Rifaldy dan Mang Tohir lakukan, aku lebih memilih untuk kemabli ke kamar Deni.
Kulihat ia masih berbaring dengan pandangan kosong tertuju pada langit kamar. Entah mengapa aku mulai merasa aneh saat mulai memasuki kamar. Udara di dalam seakan bertambah pengap, namun terasa lembab. Sebelum menghampirinya aku sempatkan melirik jam dinding yang kini sudah menunjukan pukul lima sore.
Sikapnya diamnya, terasa begitu dingin dan kaku, seolah menyimpan misteri di dalam dirinya, tapi ada yang berbeda dengan wajahnya. Ia nampak lebih pucat, bibirnya terlihat pecah-pecah.
"Den ... " perlahan langkahku terhenti saat tiba di sisi tempat tidurnya. "Kondi..." belum aku melanjutkan Deni menoleh.
"Vin, apapun yang kalian rencanakan, kalau itu baik buat gw dan kalian.. Lakukanlah."
Mungkin apa yang aku dan manusia bodoh itu bicarakan di kamar sebelah, sampai terdengar oleh Deni, kini membuatku semakin merasa bersalah dihadapannya.
Aku menghela nafas, lalu duduk di sisinya, "sebenarnya, apa yang udah terjadi sama lu si, Den?" Deni terhening, kedua matanya tak henti bergerak, seolah ia jatuh dalam pemikiran.
"Apa lu tau? Sebelum pulang Mang Rudi bilang sama gw. Kalau gw, harus ikuti semua yang lu mau?" Ia masih dalam lamunannya, matanya nampak berkaca-kaca. "Cerita, Den! Jangan lu tutup-tutupi."
"Gw masih ragu, Vin." suaranya pelan, dan serak. Namun ini sudah cukup membuatku semakin yakin, jika ada hal besar yang ia tahu..
Duuuggg, duiugg..dugg...
Suara pukulan palu keras terdengar menggelegar dari kamar sebelah. Sepertinya Mang Tohir dan Rifaldy sudah memulai mengerjakan sesuatu.
"Mang Rudi juga bilang jangan sampai Rifaldy tahu. Gw ngga tau apa maksud dari Mang Rudi bilang kayak gitu sama gw," tambahku. Melihat Rifaldy sedang sibuk berdua dengan Mang Tohir. Mungkin ini waktu yang tepat untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi pada Deni.
"Gw masih suka bermimpi, kalau gw sedang terpasung di rumah ini. Tapi akhir-akhir ini ada beberapa orang yang tertawa melihat penderitaan gw," jelasnya. Membuatku berpikir keras akan makna dibalik mimpinya.
Merasa semakin ganjil akan mimpinya, aku pun mulai mengajukan pertanyaan. "Siapa orang yang lu liat di mimpi?"
Sesaat ia terdiam, lalu menghela nafas, seolah sangat berat untuk ia ucapkan. "Bang Ferdy dan Istrinya!"
"Bang Ferdy?" ulangku, yang merasa aneh, mengapa ia memimpikan Bang Ferdy dan Istrinya.
"Gw ngga tau, Vin. Tapi Mang Rudi minta gw untuk cari orang yang bernama Andre! Pemilik rumah ini sebelumnya." Aku menaikan alis mendengar apa yang ia ucapkan. Kini aku mengerti mengapa Mang Rudi memintaku untuk menuruti semua keinginan Deni.
"Jangan sampai Rifaldy tau, kan?" tambahku, dan dianggukan olehnya. Tapi aku masih belum mengerti mengapa Deni ingin mencari pemilik rumah ini sebelumnya.