- Beranda
- Stories from the Heart
Rumah Terbengkalai (True Story)
...
TS
wedi
Rumah Terbengkalai (True Story)

#The Winner Writer II Horor
#Hot Genre Horor No 3.
#Top Catagori Novel Horor No 2.
#On Kaskus: HT ...

Hai, Readers.
Saya punya cerita yang mungkin menarik untuk kalian baca, kisah ini saya angkat dari kejadian nyata yang saya alami sendiri.
Quote:
Quote:
Cerita Lainnya: Audio Versi:
1. Ekspedisi Arkeologi - Kutukan Desa Mola-Mola
1. Ekspedisi Arkeologi - Kutukan Desa Mola-Mola
Spoiler for Temukan Athor di Sosial Media:
Spoiler for Link Donasi Gan:
Quote:
Dana: 081585512078
Spoiler for Fizzo Novel::
Buat yang mau baca Novel author lainnya bisa ke sini: Nama Pena: D. Eyzha_HR.Di sana bisa tanpa baca alias ada fitur audio baca.
Sebelumnya saya minta maaf jika ada:
-Kesalahan dalam Post saya
-Update ceritanya lama.
-Saltik atau Typo karena cerita belum sempat di Revisi ulang.
Quote:
Untuk Versi REVISI DAN TERUPDATE bisa cek di sini: Mangatoon - Rumah Terbengkalai True Story
Quote:
- WARNING -
Dimohon kerjasamanya bagi siapapun yang sudah tahu menahu tentang lokasi di cerita ini untuk tetap MERAHASIAKANNYA. Dan bagi yang MASIH PENASARAN, TS mohon dengan sangat untuk penasaranlah dari segi ceritanya saja (tidak perlu mencari & menerka). Let mystery be a mystery, untuk kebaikan kita bersama & sisi unik dari cerita ini.
Dimohon kerjasamanya bagi siapapun yang sudah tahu menahu tentang lokasi di cerita ini untuk tetap MERAHASIAKANNYA. Dan bagi yang MASIH PENASARAN, TS mohon dengan sangat untuk penasaranlah dari segi ceritanya saja (tidak perlu mencari & menerka). Let mystery be a mystery, untuk kebaikan kita bersama & sisi unik dari cerita ini.
Quote:
Note: SAYA HANYA MEMPOST CERITA INI DI KASKUS DAN MANGATOON. SELAIN DI DUA PLATFORM INI CERITA DIJAMIN PLAGIAT ..
----------------------------------------------------------------
NovelTool: TAMAT
Index On Kaskus (TAMAT)
0. Author Kembali 2024!
1. Prolog.
2. Perkenalan.
3. Rumah Tua Part 1.
4. Rumah Tua End.
5. Malam Pertama Part 1.
6. Malam Pertama End.
7. Interaksi Astral Part 1.
8. Interaksi Astral End.
9. Malam Penuh Cemas: Bab1 (2024)
10. Malam Penuh Cemas: Bab 2 (2024)
11. Malam Penuh Cemas: Bab 3 (2024)
12. Malam Penuh Cemas: End (2024)
13. Munguji Mental: Bab 1 (2024)
14. Menguji Mental: Bab 2 (2024)
15. Menguji Mental: Bab End (2024)
16. Aku Kembali: Bab 1 (2024)
17. Aku Kembali: Bab 2 (2024)
18. Aku Kembali: Bab 3 (2024)
19. Aku Kembali: Bab 4 (2024)
20. Aku Kembali: End (2024)
21. Dia Adik-ku: Bab 1 (2024)
22. Dia Adik-Ku: Bab 2 (2024)
23. Dia Adik-ku: Bab 3 (2024)
24. Dia Adik-Ku: Bab 4 (2024)
25. Dia Adik-Ku: Bab End (2024)
26. Teman Atau Lawan: Bab 1 (2024)
27. Teman Atau Lawan: Bab 1² (2024)
28. Teman Atau Lawan: Bab 2 (2024)
29. Teman Atau Lawan: Bab 3 (2024)
30. Teman Atau Lawan: Bab 4 (2024)
31. Teman Atau Lawan: Bab 5 (2024) ]
32. Teman Atau Lawan: Bab End¹ (2024)
32. Teman Atau Lawan: Bab End (2024)
33. Penderitaan: Bab 1 (2024)
34. POV Kevin: Penderitaan Bab 2 (2024)
35. Pov Kevin: Penderitaan: Bab 3¹ (2024)
36. POV Kevin: Penderitaan: Bab 3² (2024)
37. POV Kevin: Penderitaan: Bab 4¹
38. POV Kevin: Penderitaan: Bab 4²
39. Pov Kevin: Penderitaan bab 5
40. Pov Kevin: Penderitaan bab 6
41. Pov Kevin: Penderitaan Bab 7
42. Pov Kevin: Penderitaan End
43. Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP1
44. Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP2-3
45. Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP4-5
46. Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP6-7
47. Pov Kevin: Mengungkap Misteri End
48. Pov kevin: Perjuangan Akhir EP1-2
49. Perjuangan Akhir EP3
50. Perjuangan Akhir: TAMAT
>>>TAMAT<<<<
----------------------------------------------------------------
Quote:
Plot Story:
Cerita diangkat berdasarkan kisah nyata yang dialami oleh lima Pria remaja asal Bogor Jawa Barat.
Kejadian Bermula ketika Yudi membeli sebuah rumah tua peninggalan belanda yang hendak ia renovasi menjadi bangunan mewah berlantai empat.
Seiring pembangunan berjalan, kejadian aneh kerap dialami oleh para-pekerja yang membuat meraka merasa tidak nyaman, interaksi keberadaan makhluk tak kesat mata terasa kental ketika malam menjelang. Deni dan empat kawannya yang diberi tugas mengawasi pekerja tak luput dari gangguan yang sulit diterima oleh nalar.
Hingga detik ini pembangun telah terhenti, yang tinggal hanya menyisakan rumah besar yang terbengkalai.
Gangguan seperti apa yang mereka rasakan? lalu adakah kisah kelam dibalik berdirinya bangunan besar ini? mari ikuti pengakuannya dalam cerita "Rumah Terbengkalai"
dan pastikan anda tidak membacanya seorang diri.
Diubah oleh wedi 22-10-2024 19:47
iwanridwanmks dan 59 lainnya memberi reputasi
56
57.1K
Kutip
371
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
wedi
#285
Pov Kevin: Penderitaan Bab 6
Quote:
"Den!!"
Bagaimana bisa ia berpindah tempat, sedangkan tubuhnya masih terikat kuat. Ingin rasanya berpaling dari sini, namun orang yang berada di kamar itu tidak lain dan tidak bukan adalah teman baik-ku.
Lututku terasa sangat lamas, hingga aku menopangnya dengan ke dua tangan. Dadaku terasa sesak seraya irama jantung yang berdegup kuat. Sungguh, aku tak kuasa memandang wajahnya.
"Den.. " Aku bergumam, dengan harapan ia menjawabnya. Walau akhirnya semua itu percuma. Ia tetap mengoceh pelan dengan kata-kata tak jelas dan sesekali tertawa dengan nada aneh.
Otak ini seakan melayang-layang, mencoba memahami akan kondisinya. Apakah saat ini Deni sudah gila! Tapi nampaknya itu semua tidak berlaku saat kami masih bersama di siang hari. Atau mungkin, ia memiliki kepribadian ganda, yang membuatnya terlihat seperti orang lain. Tapi itu juga masih belum cukup kuat, pasalnya—selama aku mengenalnya, ia tak pernah seperti ini sebelumnya.
Aku menggeleng pelan, saat sebuah gagasan tiba-tiba saja terlintas di kepalaku, karena aku yakin, aku tak mungkin sanggup mengangkat tubuhnya seorang diri. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk membangunkan semua orang, dan meminta bantuan mang Tohir dan Rifaldy untuk memindahkan tubuh Deni.
"Rif... Mang... Bangun!" Aku mengguncang hebat tubuh Rifaldy dan Mang Tohir, berhasil membuat mereka tersadar. "Den.."
Mendengar itu Mang Tohir terhentak lalu duduk dengan cepat, "Kenapa, Mas Deni?" suaranya terdengar panik.
Hal itu juga diikuti Rifaldy yang bangkit berlahan, "Jam berapa, Vin?"
"Bantu gw angkat Deni... Dia tidur dilantai!" Aku membuka langkah di depan, sambil melambai tangan.
"Aduh, Mas!" mang Tohir terhentak saat ia membuka pintu kamar dan mendapati Deni telah berada tidak jauh dari situ. "Kok, bisa pindah ke sini... "
Aku dan Rifaldy mulai memasuki kamar. Seketika udara dingin dan lembab sangat terasa di sini. Ditambah aroma aneh yang tidak kenal membuat siapapun merasa enggan memasuki ruangan ini.
Rifaldy membungkuk dengan ke dua lututnya menyentuh lantai. "Den... " ucapnya pelan namun terdengar dalam. "Kalau lu masih ada di sana! Jawab gw, Den!" Kata itu juga yang ingin aku ucapkan, ketika melihat kondisi Deni saat ini.
Kini ia terlihat seperti ancaman besar di rumah ini. Wajahnya menyeringai dengan bola mata yang tak berhenti menggeret dengan sinis, senyum tajamnya yang terasa mengintimidasi siapapun yang menatapnya.
Dalam rasa kengerian, timbul juga rasa iba yang menyayat hati saat kulihat lengan dan kakinya telah membiru akibat kain yang melilitnya. Bahkan aku tak bisa merangkai kata-kata untuk membuat alasan atas semua ini—selain permintaan maaf yang mendalam.
Rifaldy dan mang Tohir saling bertukar pandang, lalu menggeleng pelan, menyadari jika kesadaran Deni masih di bawah nol.
"Hyo.. Angkat... "
Kami menggotong tubuh Deni kembali pada karpet yang menjadi alas tidurnya. Tidak sampai di sana, aku yang merasa hawa semakin dingin, lantas mengambil selimut dan menutupi tubuh Deni.
Masih butuh empat jam, untuk menunggu mata hari terbit. Aku dan yang lain lalu kembali ke ruang tamu. Tentu setelah kejadi ini berhasil mengusir hawa kantuk yang kini sudah sirnah.
Tak ada dari satu orang pun yang ada di sini, yang tidak melukiskan kemuram, dan lesu. Mata kami sayu, menahan beban pikiran yang kian menjadi.
"Ada yang mau dibuatin kopi?" ucap mang Tohir, namun justru membuka percakapan lain.
"Bingung! Harus gimana ini.." keluh Rifaldy, seolah gagal dalam mempertimbangkan apa yang ada di pikirannya. "Mau gw bawa ke Cilebut¹, takut. Pasti ngamuk nyokapnya! Ngga di bawa pun takut terjadi hal yang lebih buruk!"
Aku menghela nafas, mencoba ikut berpikir, meski aku tahu perkataan Rifaldy ialah solusi terbaik dan terburuk. Aku setuju jika Deni dipulangkan, tapi apakah mungkin keluarganya akan tinggal diam, melihat apa yang terjadi dengan kondisinya. Mungkin satu-satunya jalan, dengan cara merawat Deni hingga ia sembuh total.
"Kalau kaya gitu..." Aku membuka suara, berhasil mencuri perhatian. "Kita rawat Deni sampai sembuh, Rif."
Rifaldy menggeleng kasar, tak sabar menjatuhkan ucapanku. "Kalau sembuh? Kalau ternyata dia ngga sembuh mau gimana?"
"Hus... " sergah Mang Tohir, mengkoreksi ucapan Rifaldy "Jangan sembarangan berucap, Mas Deni, pasti sembuh, Mas.." lanjutnya dengan nada pela, mengingatkan.
"Besok kita jemput Mang Rudi," tutup Rifaldy.
"Minta dia ikut nginep di sini, Mas." tambah Mang Tohir.
"Ngga bakal mau, Mang. Tapi ngga apa-apa, coba aja dulu," jawabku.
"Paling juga si Deni di suruh pulang... Tarohan sama gw," timpal Rifaldy.
"Iya... Dijelasin aja, Mas.. Demi menjaga kepercayaan Ibu Deni, gitu."
Rifaldy mengangguk samar, sepertinya dia sudah mulai jenuh dengan pembasahan ini.
"Rif .... Vin.... Tolong Gw..."
Kami terhening, saat lirih suara Deni terdengar memanggil namaku. Suaranya begitu dalam menyentuh hati.
"Deni, Rif!"
"Ayoo.. Ayo."
Kami segera menuju kamar Deni untuk melihat kondisinya, dalam setiap langkah aku terus berharap, untuk kali ini ia sudah kembali tersadar. Langkahku semakin cepat, saat Mang Tohir mulai membuka pintu kamar.
"Den... " kembali Rifaldy mencoba berinteraksi dengannya. Ia nampak bergelut dengan kain yang mengikatnya. Raut wajahnya kini nampak pucat—sangat berbeda dari sebelumnya.
Aku yang tak tahan melihatnya menderita, lantas meraih ikatan kain—hendak membukanya. Namun, Rifaldy menarik bahuku, mengisyaratkan untuk tidak melakukannya.
"Engga tega gw, Rif," ungkapku, dengan pelan. Rifaldy terus menatap wajah Deni, seolah menanti sesuatu terjad. Namun, tetap saja Deni terus merintih, dan meminta agar kami melepaskan ikatannya.
"Tolong.. Tangan sama kaki gw sakit banget... " Deni terus meminta dengan nada memohon.
"Mas.. Buka aja kali, ya? Ngga tega saya," ucap mang Tohir. "Kalau emang dia kumat lagi, kan bisa kita ikat lagi."
Tak banyak bicara, Rifaldy dengan cepat mulai membuka kain yang membelit disekujur tubuh Deni. Aku tahu ia juga pasti merasakan hal sama sepertiku.
Batinku terasa menangis tak kala kain yang mulai terlepas dari lengan dan kakinya, memberikan luka lebam membiru. Entah apa yang telah ak lakukan pada teman kami sendiri.
Walau tali telah terlepas sepenuhnya, namun kedua kaki Deni masih mendekap kaku pada dadanya. Hingga Mang Tohir memberi sentuhan, mencoba meluruskannya secara perlahan.
Deni benar kembali, namun dengan sejuta rasa sakit yang ia rasakan—terlihat dari kerutan mata yang terpejam. Jemari- jemarinya meraba kening yang terluka, sebelum akhirnya terhentak dan kembali merintih. Bibir pucatnya terlihat sangat kering, tanda ia merasa sangat membutuhkan air. Tubuhnya tak henti berguling ke kiri dan kanan, bahkan sesekali ia memukul-mukul punggung—mungkin terasa pegal atau ada hal lain yang ia rasa.
"Den.. Jawab gw!" tanya Rifaldy yang masih diliputi perasaan ragu dan cemas. Di sisi lain aku juga merasakan hal yang sama.
Aku dan Rifaldy melirik Mang Tohir yang kini telah kembali membawa segelas air, menyadari itu aku dan Rifaldy lalu membantu Deni untuk terduduk dan membiarkannya minum. Meskipun, tak banyak air yang ia minum, tapi sudah cukup untuk membuatnya semakin tersadar.
"Badan gw... " Deni kembali roboh, tubuhnya masih terlihat gemetar. Saat ini kondisinya lebih terlihat bak korban lakalantas.
"Pindah ke kamar sana aja, Mas... Kasihan di sini dingin," saran Mang Tohir. Dan kami pun sepakat, untuk membawa tubuh Deni ke kamar sebelah. Mungkin saat ini Deni hanya butuh istirahat. Terlihat jelas dari wajah yang pucat dan lelah menandakan ia belum tidur.
"Kayaknya nanti kita butuh dokter, Rif," ucapku, setelah membaringkan tubuh Deni di atas kasur.
"Dokter kemarin ngga jadi datang ya, Mas?" tanya Mang Tohir.
"Deni bilang ke si Babang ngga usah bawa dokter. Makanya batal," sahut Rifaldy. Mungkin saat kami berada di Serang, atau saat pagi hari. Karena pagi itu Deni dan Mang Tohir yang telah lebih dahulu bangun.
Saat ini harapan kami masih menggantung kepada Mang Rudi, aku berharap banyak padanya. Semoga saja esok pagi atau siang beliau bisa datang ke sini.
"Ngobrol di depan aja, yu?" ajakku, seakan tak ingin mengganggu Deni yang mulai terlelap tidur.
Hingga tak terasa, mata hari pun terbit. Aku, Rifaldy dan Mang Tohir tidur di ruang tamu beralasankan tikar dan selimut.
Bias suara dering ponsel, terkesiap. "Rif... Rif.. Hp lu bunyi!" keluhku, menggoyangkan Rifaldy yang masih tertidur pulas.
"Halloo, Mang."
Ternyata itu telp dari Mang Rudi, nampaknya ia sedang menanyakan tujuan Rifaldy menghubunginya semalam. Tak ingin mengganggunya, aku lalu menjulurkan kepala di bibir pintu kamar. Nampak Deni masih tertidur, dengan luka-lukanya yang kian terlihat jelas.
"Mang.. Udah pagi.. " gusarku, juga membangunkan Mang Tohir yang masih tertidur.
Satu jam berlalu, kami semua pun sudah kemabli siap untuk menunggu Mang Rudi yang masih dalam perjalanan menuju rumag Loji.
Menurut pengakuan Rifaldy, Mang Rudi sangat mengkhawatirkan kondisi Deni sesaat Rifaldy menceritakan semua kejadian semalam.
Tak lama, terdengar suara motor berhenti di iringi suara pintu gerbang yang bergeser—aku yakin itu pasti Mang Rudi.
"A'assalamualaikum!" salam Mang Rudi, kami pun menjawab salamnya. Lalu kemudian beliau melangkah, masuk ke dalam rumah. Nampak Mang Rudi masih mengenakan pakaian Dinasnya, sambil menenteng helm pada lengan kanannya. Matanya melirik semua orang yang kini menyambut kunjungannya.
"Riff... Rif... " gumamnya, sambil menggelengkan kepala, terukir senyun pada bibirnya. "Terus, Deni di mana?" tanyanya lagi, sambil menoleh kiri dan kanan.
Rifaldy membalasnya dengan isyarat tubuh ragu, menunjuk ke arah kamar. Mungkin Rifaldy merasa takut, jika Mang Rudi melihat luka-luka Deni.
Pintu belum sepenuhnya terbuka, tapi sudah cukup membuat Mang Rudi tertegun, "Astagfirullahaladzim!!" Ia berdiri di ambang pintu, seakan ragu untuk melangkah. Aku dan Rifaldy hanya tertunduk di tempat, tak mampu berkata-kata.
"Itu Deni kenapa, Rif?" Nada Mang Rudi sedikit meninggi, namun penuh kecemasan. Sorot matanya terasa tajam, dan kaku. Ia mengurungkan niatnya, lalu menutup kembali pintu kamar.
Rifaldy mempersilahkan Mang Rudi untuk duduk pada bangku yang ia sodorkan. "Duduk dulu makanya, Mang."
Mang Rudi pun duduk, matanya mengedar, sesekali ia mengangguk samar di saat Rifaldy menjelaskan semua yang terjadi, tentu disuatu momentum aku pun membenarkan perkataannya.
Hela nafas panjang Mang Rudi mengakhiri pengakuan Rifaldy. Ia bangkit dari duduknya dan berkata. "Itu sebabnya, berulang-kali, Mamang minta ke Mamah Rifaldy untuk segera Memulangkan, Deni." Terdengar helaan Nafas kasar, seraya ia tertunduk lalu menggeleng samar. "Aneh sama si Ferdy! Anak sakit malah di suruh tetep di sini!"
"Ngga, Mang." sanggah Rifaldy, "Deni itu sakitnya kalau udah mulai magrib! Kevin saksinya." Aku mengangguk, untuk membenarkan perkataan Rifaldy.
Mang Rudi terhening seolah menimbang pernyataan Rifaldy, lalu mulai melangkah masuk ke kamar Deni dengan kami mengekor di belakangnya.
Deni masih tertidur dengan lelap, luka di kening dan bibirnya, membuat hati bergetar bagi siapa saja yang melihatnya.
Mang Rudi, duduk tepat disamping Deni, lalu ia meraih lengannya, dan melihat luka membiru dari kain yang mengikatnya.
Ia berdecak, matanya berkaca-kaca dengan tangannya yang mengusap bahu Deni perlahan—agar Deni terbangun.
"Bawa berobat ini Rif," pinta Mang Rudi saat memperhatikan bekas luka yang ada di kening Deni. "Dibenturin di mana emang?"
Rifaldy terkesiap, ia lantas menujuk ke kamar sebelah, "Tembok kamar situ, Mang." kembali Mang Rudi menggeleng kepala.
Hentakan dari tangan Deni membuat kami menoleh ke arahnya, dan siap untuk menyambutnya dengan senyuman hangat.
"Kenapa jadi begini?" Halus ucap Mang Rudi, saat Deni mulai membuka matanya.
Sepertinya Deni tak mampu menatap Mang Rudi, ia memalingkan wajahnya ke samping seraya setetes air yang mulai meresap dari kelopak matanya mengalir lembut melewati tulang hidungnya.
Entah apa yang pernah mereka bicarakan sebelumnya, hingga membuat Deni diliputi rasa bersalah yang sangat mendalam.
Mang Rudi menoleh ke arah aku dan Rifaldy, mengisyaratkan agar kami tak menggangu mereka berdua. Tanpa meninggalkan sepatah kata, kami pun mengerti, dan segara melangkah keluar kamar.
"Pak Rudi masih di dalam, Mas?" tanya mang Tohir di ruang tamu, di respon Rifaldy yang mengangguk samar.
"Mending Telp Kakak lu, Rif," pintaku.
"Iya, Mas. Kasih tau kondisi Deni," timpal Mang Tohir.
Rifaldy jatuh dalam lamunannya, seolah-olah ia sudah tahu apa yang akan terjadi jika ia menghubungi Kakaknya itu. Tapi demi memuaskan gagasan Mang Tohir dan aku, dengan terpaksa ia mencoba kembali menghubungi Kakaknya.
Nada bicara Rifaldy terdengar tak bergairah—datar tak ada emosi. Kali ini dia tidak banyak cerita, dan tidak lagi menuntut seorang Dokter untuk datang ke rumah Loji. Melainkan yang ia pinta justru sejumlah uang untuk merawat Deni.
Tentu saja sang Kakak bersedia memberikannya sejumlah uang, bahkan mempersilahkan Rifaldy untuk memintanya lagi jika uang yang diberikan sudah habis.
"Lu yakin?" tanyaku, mempertimbangkan keputusan Rifaldy yang akan membuat kami harus bekerja ekstra dalam merawat Deni hingga sembuh.
Padahal aku berharap Rifaldy dapat membujuk kakaknya agar Deni dipulangkan ke rumah orang tuanya. Mungkin dengan permintaan maaf dan materi yang dimiliki Kakaknya, aku yakin keluarga Deni masih bisa menerimanya. Atau jika semua itu mustahil setidaknya Deni mendapatkan perwatan Intensif di rumah sakit.
Ia menggaruk kepalanya dengan kasar, melukiskan rasa frustasi dan buntu, "Terus gw harus gimana, Vin? Dia kekeh, ngga mau kalau Deni keluar dari rumah ini dengan kondisi sakit."
"Terus, kita yang mau rawat Deni?"
"Kita bawa berobat, kalau perlu kita bawa ke Psikiater kek. Psikologi kek, atau apalah itu!!"
Pintu kamar yang terbuka, mengalihkan perhatian kami. Nampak, Mang Rudi sudah selesai dengan urusannya di dalam.
"Pak.. " sapa Mang Tohir, sambil berjabat tangan.
"Ini pekerja sensor," gurau Mang Rudi, sambil menepuk pundak Mang Tohir halus, "Sehat ya, Mang?" Tanyanya, sambil tertawa kecil.
"Alhamdulillah, kalau saya sehat," jawab Mang Tohir, lau tertunduk dan menoleh ke arah kamar, "Mas Deni udah sadar ya, Pak?"
Mang Rudi menghela nafas dalam, lalu menutup pintu kamar. "Sudah, Mang. Tapi kondisinya harus segera dibawa berobat," Mang Rudi melirik ke arah Rifaldy "Rif! si Ferdy tau kondisi Deni sekarang?"
"Tau, Mang. Tadi juga udah di telp."
"Apa kata dia?"
"Dia minta Deni dirawat sampai sembuh, Mang."
"Oh, ia! Harus itu! Sampai ngga mau tanggung jawab, biar mamang yang damprat dia ke Sereng!"
Tak ada yang berani memberi komentar atas pernyataan Mang Rudi yang terdengar sangat geram.
"Pusing sebenernya!" lanjut Mang Rudi, lalu duduk pada kursi. "Si Deni ngga mau pulang, si Ferdy juga ngga mau Deni pulang. 11, 12 konyolnya."
"Mas Deni berarti ngga mau pulang ya, Pak?" tanya Mang Tohir dibalas dengan gelengan kepala samar seraya kedua ujung bibir Mang Rudi turun—seolah mengisyaratkan tidak namun dengan perasaan rendah.
"Emang orang tau Deni wataknya keras, lain dari yang lain," himbau Mang Rudi, "Udah dibujuk biar Mamang yang bilang ke orang tua dia, tetep ngga mau juga." Mang Rudi, bangkit lalu mengambil helm-nya. diikut Aku dan Rifaldy.
"Ya, udah, Mamang pulang dulu," lanjutnya, kemudian aku dan Rifaldy menyalami lengannya, "Titip Deni ya, Vin, Rif."
"Siap, Mang," sahut Rifaldy, dengan yakin.
"Mang, saya pamit. Nanti setiap pulang kerja, saya sempatkan mampir ke sini untuk jenguk Deni." tambah Mang Rudi.
"Ia, siap, Pak. Saya bantu rawat Mas Deni sebisa mungkin, pokoknya."
Mang Rudi mulai melangkah keluar rumah, namun belum ia melewati pintu, langkahnya tercekat lalu menoleh ke arahku. "Vin, sini."
Aku menoleh ke Rifaldy dan Mang Tohir, lalu mendekat mendekat ke Arahnya. Mang Rudi, menggandeng pundak-ku, seraya ia berkata "Apa pun yang Deni minta tolong turuti, dan jangan sampai Rifaldy tau."
Sekejap aku merenung, mencoba menebak perkataan mang Rudi, tapi tetap saja aku tidak mengerti apa maksudnya. Seakan ada sesuatu yang terjadi, saat mereka berdua di kamar.
Entah apa yang Deni dan Mang Rudi bicarakan sebelumnya, tapi jika aku cermati kalimatnya, seperti memiliki makna tertentu dan rahasia yang tidak boleh diketahui oleh Rifaldy.
"Dah, Mamang pulang dulu, nanti jam empat Mamang ke sini lagi," tutup Mang Rudi lalu ia melanjutkan langkah cepat menuju motornya.
"Apa kata Mang Rudi, Vin?" tanya Rifaldy setelah aku kembali.
Aku menggeleng halus, sambil memikirkan alasan yang tepat, "Dia minta gw buat bantu lu, jagain Deni, Pa," kilahku, ia hanya menjawab 'Oh' mengakhiri kalimatnya.
Aku menyapa Deni dengan senyum hangat, kala ia mulai keluar kamar dan berdiri tepat di ambang pintu. "Den, gimana kondisi, lu?" tanyaku.
Ia juga tersenyum dalam, seolah memiliki rasa bangga di dalam harinya, "Udah mendingan, cuma sedikit lemes aja." tutupnya.
"Ya udah, sekalian aja kita berobat," ajak Rifaldy menghampiri Deni. "Biar luka-luka lu cepet sembuh."
Gagasannya mengawali rutinitas baru untuk aku dan Rifaldy di rumah ini, sedangkan Mang Tohir masih tetap dengan pekerjaannya.
Tepat sekitar jam delapan pagi, aku dan Rifaldy membawa Deni berobat, hingga ia mendapatkan perawatan lebih dari luka-lukanya.
Selain itu dokter juga tidak menemukan gejala yang serius dalam diri Deni. Hanya luka luar yang bisa sembuh dalam waktu empat atau lima hari. Tak lupa kami juga meminta resep diperbanyak untuk berjaga-jaga jika ia kembali terluka.
Selain itu Rifaldy justru malah berdebat dengan seorang dokter, pasalnya ia bersih-kukuh untuk meminta obat penenang dalam dosis yang tinggi. Tentu saja Dokter di sini menolaknya, karena kondisi Deni belum membutuhkan itu semua.
"Padahal gw bayar! Kalau perlu 5x lipat harganya!" sejalan pulang Rifaldy terus menggumam karena permintaannya ditolak. Hingga akhirnya kami pun tiba di rumah Loji.
"Nah! Diperban juga kepalanya, Mas," canda Mang Tohir, menyambut kepulangan kami.
"Iya, Mang.." Deni menjawab masih dengan nada lemas.
"Mang, Itu makanan ada sama Rifaldy," ucapku, sambil membantu Deni berjalan ke kamarnya, sekaligus meminta mang Tohir membantu Rifaldy yang masih sibuk mengemasi barang di motornya.
(¹Cilebut tempat tinggal Deni dan Keluarganya. )
Bagaimana bisa ia berpindah tempat, sedangkan tubuhnya masih terikat kuat. Ingin rasanya berpaling dari sini, namun orang yang berada di kamar itu tidak lain dan tidak bukan adalah teman baik-ku.
Lututku terasa sangat lamas, hingga aku menopangnya dengan ke dua tangan. Dadaku terasa sesak seraya irama jantung yang berdegup kuat. Sungguh, aku tak kuasa memandang wajahnya.
"Den.. " Aku bergumam, dengan harapan ia menjawabnya. Walau akhirnya semua itu percuma. Ia tetap mengoceh pelan dengan kata-kata tak jelas dan sesekali tertawa dengan nada aneh.
Otak ini seakan melayang-layang, mencoba memahami akan kondisinya. Apakah saat ini Deni sudah gila! Tapi nampaknya itu semua tidak berlaku saat kami masih bersama di siang hari. Atau mungkin, ia memiliki kepribadian ganda, yang membuatnya terlihat seperti orang lain. Tapi itu juga masih belum cukup kuat, pasalnya—selama aku mengenalnya, ia tak pernah seperti ini sebelumnya.
Aku menggeleng pelan, saat sebuah gagasan tiba-tiba saja terlintas di kepalaku, karena aku yakin, aku tak mungkin sanggup mengangkat tubuhnya seorang diri. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk membangunkan semua orang, dan meminta bantuan mang Tohir dan Rifaldy untuk memindahkan tubuh Deni.
"Rif... Mang... Bangun!" Aku mengguncang hebat tubuh Rifaldy dan Mang Tohir, berhasil membuat mereka tersadar. "Den.."
Mendengar itu Mang Tohir terhentak lalu duduk dengan cepat, "Kenapa, Mas Deni?" suaranya terdengar panik.
Hal itu juga diikuti Rifaldy yang bangkit berlahan, "Jam berapa, Vin?"
"Bantu gw angkat Deni... Dia tidur dilantai!" Aku membuka langkah di depan, sambil melambai tangan.
"Aduh, Mas!" mang Tohir terhentak saat ia membuka pintu kamar dan mendapati Deni telah berada tidak jauh dari situ. "Kok, bisa pindah ke sini... "
Aku dan Rifaldy mulai memasuki kamar. Seketika udara dingin dan lembab sangat terasa di sini. Ditambah aroma aneh yang tidak kenal membuat siapapun merasa enggan memasuki ruangan ini.
Rifaldy membungkuk dengan ke dua lututnya menyentuh lantai. "Den... " ucapnya pelan namun terdengar dalam. "Kalau lu masih ada di sana! Jawab gw, Den!" Kata itu juga yang ingin aku ucapkan, ketika melihat kondisi Deni saat ini.
Kini ia terlihat seperti ancaman besar di rumah ini. Wajahnya menyeringai dengan bola mata yang tak berhenti menggeret dengan sinis, senyum tajamnya yang terasa mengintimidasi siapapun yang menatapnya.
Dalam rasa kengerian, timbul juga rasa iba yang menyayat hati saat kulihat lengan dan kakinya telah membiru akibat kain yang melilitnya. Bahkan aku tak bisa merangkai kata-kata untuk membuat alasan atas semua ini—selain permintaan maaf yang mendalam.
Rifaldy dan mang Tohir saling bertukar pandang, lalu menggeleng pelan, menyadari jika kesadaran Deni masih di bawah nol.
"Hyo.. Angkat... "
Kami menggotong tubuh Deni kembali pada karpet yang menjadi alas tidurnya. Tidak sampai di sana, aku yang merasa hawa semakin dingin, lantas mengambil selimut dan menutupi tubuh Deni.
Masih butuh empat jam, untuk menunggu mata hari terbit. Aku dan yang lain lalu kembali ke ruang tamu. Tentu setelah kejadi ini berhasil mengusir hawa kantuk yang kini sudah sirnah.
Tak ada dari satu orang pun yang ada di sini, yang tidak melukiskan kemuram, dan lesu. Mata kami sayu, menahan beban pikiran yang kian menjadi.
"Ada yang mau dibuatin kopi?" ucap mang Tohir, namun justru membuka percakapan lain.
"Bingung! Harus gimana ini.." keluh Rifaldy, seolah gagal dalam mempertimbangkan apa yang ada di pikirannya. "Mau gw bawa ke Cilebut¹, takut. Pasti ngamuk nyokapnya! Ngga di bawa pun takut terjadi hal yang lebih buruk!"
Aku menghela nafas, mencoba ikut berpikir, meski aku tahu perkataan Rifaldy ialah solusi terbaik dan terburuk. Aku setuju jika Deni dipulangkan, tapi apakah mungkin keluarganya akan tinggal diam, melihat apa yang terjadi dengan kondisinya. Mungkin satu-satunya jalan, dengan cara merawat Deni hingga ia sembuh total.
"Kalau kaya gitu..." Aku membuka suara, berhasil mencuri perhatian. "Kita rawat Deni sampai sembuh, Rif."
Rifaldy menggeleng kasar, tak sabar menjatuhkan ucapanku. "Kalau sembuh? Kalau ternyata dia ngga sembuh mau gimana?"
"Hus... " sergah Mang Tohir, mengkoreksi ucapan Rifaldy "Jangan sembarangan berucap, Mas Deni, pasti sembuh, Mas.." lanjutnya dengan nada pela, mengingatkan.
"Besok kita jemput Mang Rudi," tutup Rifaldy.
"Minta dia ikut nginep di sini, Mas." tambah Mang Tohir.
"Ngga bakal mau, Mang. Tapi ngga apa-apa, coba aja dulu," jawabku.
"Paling juga si Deni di suruh pulang... Tarohan sama gw," timpal Rifaldy.
"Iya... Dijelasin aja, Mas.. Demi menjaga kepercayaan Ibu Deni, gitu."
Rifaldy mengangguk samar, sepertinya dia sudah mulai jenuh dengan pembasahan ini.
"Rif .... Vin.... Tolong Gw..."
Kami terhening, saat lirih suara Deni terdengar memanggil namaku. Suaranya begitu dalam menyentuh hati.
"Deni, Rif!"
"Ayoo.. Ayo."
Kami segera menuju kamar Deni untuk melihat kondisinya, dalam setiap langkah aku terus berharap, untuk kali ini ia sudah kembali tersadar. Langkahku semakin cepat, saat Mang Tohir mulai membuka pintu kamar.
"Den... " kembali Rifaldy mencoba berinteraksi dengannya. Ia nampak bergelut dengan kain yang mengikatnya. Raut wajahnya kini nampak pucat—sangat berbeda dari sebelumnya.
Aku yang tak tahan melihatnya menderita, lantas meraih ikatan kain—hendak membukanya. Namun, Rifaldy menarik bahuku, mengisyaratkan untuk tidak melakukannya.
"Engga tega gw, Rif," ungkapku, dengan pelan. Rifaldy terus menatap wajah Deni, seolah menanti sesuatu terjad. Namun, tetap saja Deni terus merintih, dan meminta agar kami melepaskan ikatannya.
"Tolong.. Tangan sama kaki gw sakit banget... " Deni terus meminta dengan nada memohon.
"Mas.. Buka aja kali, ya? Ngga tega saya," ucap mang Tohir. "Kalau emang dia kumat lagi, kan bisa kita ikat lagi."
Tak banyak bicara, Rifaldy dengan cepat mulai membuka kain yang membelit disekujur tubuh Deni. Aku tahu ia juga pasti merasakan hal sama sepertiku.
Batinku terasa menangis tak kala kain yang mulai terlepas dari lengan dan kakinya, memberikan luka lebam membiru. Entah apa yang telah ak lakukan pada teman kami sendiri.
Walau tali telah terlepas sepenuhnya, namun kedua kaki Deni masih mendekap kaku pada dadanya. Hingga Mang Tohir memberi sentuhan, mencoba meluruskannya secara perlahan.
Deni benar kembali, namun dengan sejuta rasa sakit yang ia rasakan—terlihat dari kerutan mata yang terpejam. Jemari- jemarinya meraba kening yang terluka, sebelum akhirnya terhentak dan kembali merintih. Bibir pucatnya terlihat sangat kering, tanda ia merasa sangat membutuhkan air. Tubuhnya tak henti berguling ke kiri dan kanan, bahkan sesekali ia memukul-mukul punggung—mungkin terasa pegal atau ada hal lain yang ia rasa.
"Den.. Jawab gw!" tanya Rifaldy yang masih diliputi perasaan ragu dan cemas. Di sisi lain aku juga merasakan hal yang sama.
Aku dan Rifaldy melirik Mang Tohir yang kini telah kembali membawa segelas air, menyadari itu aku dan Rifaldy lalu membantu Deni untuk terduduk dan membiarkannya minum. Meskipun, tak banyak air yang ia minum, tapi sudah cukup untuk membuatnya semakin tersadar.
"Badan gw... " Deni kembali roboh, tubuhnya masih terlihat gemetar. Saat ini kondisinya lebih terlihat bak korban lakalantas.
"Pindah ke kamar sana aja, Mas... Kasihan di sini dingin," saran Mang Tohir. Dan kami pun sepakat, untuk membawa tubuh Deni ke kamar sebelah. Mungkin saat ini Deni hanya butuh istirahat. Terlihat jelas dari wajah yang pucat dan lelah menandakan ia belum tidur.
"Kayaknya nanti kita butuh dokter, Rif," ucapku, setelah membaringkan tubuh Deni di atas kasur.
"Dokter kemarin ngga jadi datang ya, Mas?" tanya Mang Tohir.
"Deni bilang ke si Babang ngga usah bawa dokter. Makanya batal," sahut Rifaldy. Mungkin saat kami berada di Serang, atau saat pagi hari. Karena pagi itu Deni dan Mang Tohir yang telah lebih dahulu bangun.
Saat ini harapan kami masih menggantung kepada Mang Rudi, aku berharap banyak padanya. Semoga saja esok pagi atau siang beliau bisa datang ke sini.
"Ngobrol di depan aja, yu?" ajakku, seakan tak ingin mengganggu Deni yang mulai terlelap tidur.
Hingga tak terasa, mata hari pun terbit. Aku, Rifaldy dan Mang Tohir tidur di ruang tamu beralasankan tikar dan selimut.
Bias suara dering ponsel, terkesiap. "Rif... Rif.. Hp lu bunyi!" keluhku, menggoyangkan Rifaldy yang masih tertidur pulas.
"Halloo, Mang."
Ternyata itu telp dari Mang Rudi, nampaknya ia sedang menanyakan tujuan Rifaldy menghubunginya semalam. Tak ingin mengganggunya, aku lalu menjulurkan kepala di bibir pintu kamar. Nampak Deni masih tertidur, dengan luka-lukanya yang kian terlihat jelas.
"Mang.. Udah pagi.. " gusarku, juga membangunkan Mang Tohir yang masih tertidur.
Satu jam berlalu, kami semua pun sudah kemabli siap untuk menunggu Mang Rudi yang masih dalam perjalanan menuju rumag Loji.
Menurut pengakuan Rifaldy, Mang Rudi sangat mengkhawatirkan kondisi Deni sesaat Rifaldy menceritakan semua kejadian semalam.
Tak lama, terdengar suara motor berhenti di iringi suara pintu gerbang yang bergeser—aku yakin itu pasti Mang Rudi.
"A'assalamualaikum!" salam Mang Rudi, kami pun menjawab salamnya. Lalu kemudian beliau melangkah, masuk ke dalam rumah. Nampak Mang Rudi masih mengenakan pakaian Dinasnya, sambil menenteng helm pada lengan kanannya. Matanya melirik semua orang yang kini menyambut kunjungannya.
"Riff... Rif... " gumamnya, sambil menggelengkan kepala, terukir senyun pada bibirnya. "Terus, Deni di mana?" tanyanya lagi, sambil menoleh kiri dan kanan.
Rifaldy membalasnya dengan isyarat tubuh ragu, menunjuk ke arah kamar. Mungkin Rifaldy merasa takut, jika Mang Rudi melihat luka-luka Deni.
Pintu belum sepenuhnya terbuka, tapi sudah cukup membuat Mang Rudi tertegun, "Astagfirullahaladzim!!" Ia berdiri di ambang pintu, seakan ragu untuk melangkah. Aku dan Rifaldy hanya tertunduk di tempat, tak mampu berkata-kata.
"Itu Deni kenapa, Rif?" Nada Mang Rudi sedikit meninggi, namun penuh kecemasan. Sorot matanya terasa tajam, dan kaku. Ia mengurungkan niatnya, lalu menutup kembali pintu kamar.
Rifaldy mempersilahkan Mang Rudi untuk duduk pada bangku yang ia sodorkan. "Duduk dulu makanya, Mang."
Mang Rudi pun duduk, matanya mengedar, sesekali ia mengangguk samar di saat Rifaldy menjelaskan semua yang terjadi, tentu disuatu momentum aku pun membenarkan perkataannya.
Hela nafas panjang Mang Rudi mengakhiri pengakuan Rifaldy. Ia bangkit dari duduknya dan berkata. "Itu sebabnya, berulang-kali, Mamang minta ke Mamah Rifaldy untuk segera Memulangkan, Deni." Terdengar helaan Nafas kasar, seraya ia tertunduk lalu menggeleng samar. "Aneh sama si Ferdy! Anak sakit malah di suruh tetep di sini!"
"Ngga, Mang." sanggah Rifaldy, "Deni itu sakitnya kalau udah mulai magrib! Kevin saksinya." Aku mengangguk, untuk membenarkan perkataan Rifaldy.
Mang Rudi terhening seolah menimbang pernyataan Rifaldy, lalu mulai melangkah masuk ke kamar Deni dengan kami mengekor di belakangnya.
Deni masih tertidur dengan lelap, luka di kening dan bibirnya, membuat hati bergetar bagi siapa saja yang melihatnya.
Mang Rudi, duduk tepat disamping Deni, lalu ia meraih lengannya, dan melihat luka membiru dari kain yang mengikatnya.
Ia berdecak, matanya berkaca-kaca dengan tangannya yang mengusap bahu Deni perlahan—agar Deni terbangun.
"Bawa berobat ini Rif," pinta Mang Rudi saat memperhatikan bekas luka yang ada di kening Deni. "Dibenturin di mana emang?"
Rifaldy terkesiap, ia lantas menujuk ke kamar sebelah, "Tembok kamar situ, Mang." kembali Mang Rudi menggeleng kepala.
Hentakan dari tangan Deni membuat kami menoleh ke arahnya, dan siap untuk menyambutnya dengan senyuman hangat.
"Kenapa jadi begini?" Halus ucap Mang Rudi, saat Deni mulai membuka matanya.
Sepertinya Deni tak mampu menatap Mang Rudi, ia memalingkan wajahnya ke samping seraya setetes air yang mulai meresap dari kelopak matanya mengalir lembut melewati tulang hidungnya.
Entah apa yang pernah mereka bicarakan sebelumnya, hingga membuat Deni diliputi rasa bersalah yang sangat mendalam.
Mang Rudi menoleh ke arah aku dan Rifaldy, mengisyaratkan agar kami tak menggangu mereka berdua. Tanpa meninggalkan sepatah kata, kami pun mengerti, dan segara melangkah keluar kamar.
"Pak Rudi masih di dalam, Mas?" tanya mang Tohir di ruang tamu, di respon Rifaldy yang mengangguk samar.
"Mending Telp Kakak lu, Rif," pintaku.
"Iya, Mas. Kasih tau kondisi Deni," timpal Mang Tohir.
Rifaldy jatuh dalam lamunannya, seolah-olah ia sudah tahu apa yang akan terjadi jika ia menghubungi Kakaknya itu. Tapi demi memuaskan gagasan Mang Tohir dan aku, dengan terpaksa ia mencoba kembali menghubungi Kakaknya.
Nada bicara Rifaldy terdengar tak bergairah—datar tak ada emosi. Kali ini dia tidak banyak cerita, dan tidak lagi menuntut seorang Dokter untuk datang ke rumah Loji. Melainkan yang ia pinta justru sejumlah uang untuk merawat Deni.
Tentu saja sang Kakak bersedia memberikannya sejumlah uang, bahkan mempersilahkan Rifaldy untuk memintanya lagi jika uang yang diberikan sudah habis.
"Lu yakin?" tanyaku, mempertimbangkan keputusan Rifaldy yang akan membuat kami harus bekerja ekstra dalam merawat Deni hingga sembuh.
Padahal aku berharap Rifaldy dapat membujuk kakaknya agar Deni dipulangkan ke rumah orang tuanya. Mungkin dengan permintaan maaf dan materi yang dimiliki Kakaknya, aku yakin keluarga Deni masih bisa menerimanya. Atau jika semua itu mustahil setidaknya Deni mendapatkan perwatan Intensif di rumah sakit.
Ia menggaruk kepalanya dengan kasar, melukiskan rasa frustasi dan buntu, "Terus gw harus gimana, Vin? Dia kekeh, ngga mau kalau Deni keluar dari rumah ini dengan kondisi sakit."
"Terus, kita yang mau rawat Deni?"
"Kita bawa berobat, kalau perlu kita bawa ke Psikiater kek. Psikologi kek, atau apalah itu!!"
Pintu kamar yang terbuka, mengalihkan perhatian kami. Nampak, Mang Rudi sudah selesai dengan urusannya di dalam.
"Pak.. " sapa Mang Tohir, sambil berjabat tangan.
"Ini pekerja sensor," gurau Mang Rudi, sambil menepuk pundak Mang Tohir halus, "Sehat ya, Mang?" Tanyanya, sambil tertawa kecil.
"Alhamdulillah, kalau saya sehat," jawab Mang Tohir, lau tertunduk dan menoleh ke arah kamar, "Mas Deni udah sadar ya, Pak?"
Mang Rudi menghela nafas dalam, lalu menutup pintu kamar. "Sudah, Mang. Tapi kondisinya harus segera dibawa berobat," Mang Rudi melirik ke arah Rifaldy "Rif! si Ferdy tau kondisi Deni sekarang?"
"Tau, Mang. Tadi juga udah di telp."
"Apa kata dia?"
"Dia minta Deni dirawat sampai sembuh, Mang."
"Oh, ia! Harus itu! Sampai ngga mau tanggung jawab, biar mamang yang damprat dia ke Sereng!"
Tak ada yang berani memberi komentar atas pernyataan Mang Rudi yang terdengar sangat geram.
"Pusing sebenernya!" lanjut Mang Rudi, lalu duduk pada kursi. "Si Deni ngga mau pulang, si Ferdy juga ngga mau Deni pulang. 11, 12 konyolnya."
"Mas Deni berarti ngga mau pulang ya, Pak?" tanya Mang Tohir dibalas dengan gelengan kepala samar seraya kedua ujung bibir Mang Rudi turun—seolah mengisyaratkan tidak namun dengan perasaan rendah.
"Emang orang tau Deni wataknya keras, lain dari yang lain," himbau Mang Rudi, "Udah dibujuk biar Mamang yang bilang ke orang tua dia, tetep ngga mau juga." Mang Rudi, bangkit lalu mengambil helm-nya. diikut Aku dan Rifaldy.
"Ya, udah, Mamang pulang dulu," lanjutnya, kemudian aku dan Rifaldy menyalami lengannya, "Titip Deni ya, Vin, Rif."
"Siap, Mang," sahut Rifaldy, dengan yakin.
"Mang, saya pamit. Nanti setiap pulang kerja, saya sempatkan mampir ke sini untuk jenguk Deni." tambah Mang Rudi.
"Ia, siap, Pak. Saya bantu rawat Mas Deni sebisa mungkin, pokoknya."
Mang Rudi mulai melangkah keluar rumah, namun belum ia melewati pintu, langkahnya tercekat lalu menoleh ke arahku. "Vin, sini."
Aku menoleh ke Rifaldy dan Mang Tohir, lalu mendekat mendekat ke Arahnya. Mang Rudi, menggandeng pundak-ku, seraya ia berkata "Apa pun yang Deni minta tolong turuti, dan jangan sampai Rifaldy tau."
Sekejap aku merenung, mencoba menebak perkataan mang Rudi, tapi tetap saja aku tidak mengerti apa maksudnya. Seakan ada sesuatu yang terjadi, saat mereka berdua di kamar.
Entah apa yang Deni dan Mang Rudi bicarakan sebelumnya, tapi jika aku cermati kalimatnya, seperti memiliki makna tertentu dan rahasia yang tidak boleh diketahui oleh Rifaldy.
"Dah, Mamang pulang dulu, nanti jam empat Mamang ke sini lagi," tutup Mang Rudi lalu ia melanjutkan langkah cepat menuju motornya.
"Apa kata Mang Rudi, Vin?" tanya Rifaldy setelah aku kembali.
Aku menggeleng halus, sambil memikirkan alasan yang tepat, "Dia minta gw buat bantu lu, jagain Deni, Pa," kilahku, ia hanya menjawab 'Oh' mengakhiri kalimatnya.
Aku menyapa Deni dengan senyum hangat, kala ia mulai keluar kamar dan berdiri tepat di ambang pintu. "Den, gimana kondisi, lu?" tanyaku.
Ia juga tersenyum dalam, seolah memiliki rasa bangga di dalam harinya, "Udah mendingan, cuma sedikit lemes aja." tutupnya.
"Ya udah, sekalian aja kita berobat," ajak Rifaldy menghampiri Deni. "Biar luka-luka lu cepet sembuh."
Gagasannya mengawali rutinitas baru untuk aku dan Rifaldy di rumah ini, sedangkan Mang Tohir masih tetap dengan pekerjaannya.
Tepat sekitar jam delapan pagi, aku dan Rifaldy membawa Deni berobat, hingga ia mendapatkan perawatan lebih dari luka-lukanya.
Selain itu dokter juga tidak menemukan gejala yang serius dalam diri Deni. Hanya luka luar yang bisa sembuh dalam waktu empat atau lima hari. Tak lupa kami juga meminta resep diperbanyak untuk berjaga-jaga jika ia kembali terluka.
Selain itu Rifaldy justru malah berdebat dengan seorang dokter, pasalnya ia bersih-kukuh untuk meminta obat penenang dalam dosis yang tinggi. Tentu saja Dokter di sini menolaknya, karena kondisi Deni belum membutuhkan itu semua.
"Padahal gw bayar! Kalau perlu 5x lipat harganya!" sejalan pulang Rifaldy terus menggumam karena permintaannya ditolak. Hingga akhirnya kami pun tiba di rumah Loji.
"Nah! Diperban juga kepalanya, Mas," canda Mang Tohir, menyambut kepulangan kami.
"Iya, Mang.." Deni menjawab masih dengan nada lemas.
"Mang, Itu makanan ada sama Rifaldy," ucapku, sambil membantu Deni berjalan ke kamarnya, sekaligus meminta mang Tohir membantu Rifaldy yang masih sibuk mengemasi barang di motornya.
(¹Cilebut tempat tinggal Deni dan Keluarganya. )
Diubah oleh wedi 07-10-2024 13:19
sampeuk dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Kutip
Balas