- Beranda
- Stories from the Heart
Rumah Terbengkalai (True Story)
...
TS
wedi
Rumah Terbengkalai (True Story)

#The Winner Writer II Horor
#Hot Genre Horor No 3.
#Top Catagori Novel Horor No 2.
#On Kaskus: HT ...

Hai, Readers.
Saya punya cerita yang mungkin menarik untuk kalian baca, kisah ini saya angkat dari kejadian nyata yang saya alami sendiri.
Quote:
Quote:
Cerita Lainnya: Audio Versi:
1. Ekspedisi Arkeologi - Kutukan Desa Mola-Mola
1. Ekspedisi Arkeologi - Kutukan Desa Mola-Mola
Spoiler for Temukan Athor di Sosial Media:
Spoiler for Link Donasi Gan:
Quote:
Dana: 081585512078
Spoiler for Fizzo Novel::
Buat yang mau baca Novel author lainnya bisa ke sini: Nama Pena: D. Eyzha_HR.Di sana bisa tanpa baca alias ada fitur audio baca.
Sebelumnya saya minta maaf jika ada:
-Kesalahan dalam Post saya
-Update ceritanya lama.
-Saltik atau Typo karena cerita belum sempat di Revisi ulang.
Quote:
Untuk Versi REVISI DAN TERUPDATE bisa cek di sini: Mangatoon - Rumah Terbengkalai True Story
Quote:
- WARNING -
Dimohon kerjasamanya bagi siapapun yang sudah tahu menahu tentang lokasi di cerita ini untuk tetap MERAHASIAKANNYA. Dan bagi yang MASIH PENASARAN, TS mohon dengan sangat untuk penasaranlah dari segi ceritanya saja (tidak perlu mencari & menerka). Let mystery be a mystery, untuk kebaikan kita bersama & sisi unik dari cerita ini.
Dimohon kerjasamanya bagi siapapun yang sudah tahu menahu tentang lokasi di cerita ini untuk tetap MERAHASIAKANNYA. Dan bagi yang MASIH PENASARAN, TS mohon dengan sangat untuk penasaranlah dari segi ceritanya saja (tidak perlu mencari & menerka). Let mystery be a mystery, untuk kebaikan kita bersama & sisi unik dari cerita ini.
Quote:
Note: SAYA HANYA MEMPOST CERITA INI DI KASKUS DAN MANGATOON. SELAIN DI DUA PLATFORM INI CERITA DIJAMIN PLAGIAT ..
----------------------------------------------------------------
NovelTool: TAMAT
Index On Kaskus (TAMAT)
0. Author Kembali 2024!
1. Prolog.
2. Perkenalan.
3. Rumah Tua Part 1.
4. Rumah Tua End.
5. Malam Pertama Part 1.
6. Malam Pertama End.
7. Interaksi Astral Part 1.
8. Interaksi Astral End.
9. Malam Penuh Cemas: Bab1 (2024)
10. Malam Penuh Cemas: Bab 2 (2024)
11. Malam Penuh Cemas: Bab 3 (2024)
12. Malam Penuh Cemas: End (2024)
13. Munguji Mental: Bab 1 (2024)
14. Menguji Mental: Bab 2 (2024)
15. Menguji Mental: Bab End (2024)
16. Aku Kembali: Bab 1 (2024)
17. Aku Kembali: Bab 2 (2024)
18. Aku Kembali: Bab 3 (2024)
19. Aku Kembali: Bab 4 (2024)
20. Aku Kembali: End (2024)
21. Dia Adik-ku: Bab 1 (2024)
22. Dia Adik-Ku: Bab 2 (2024)
23. Dia Adik-ku: Bab 3 (2024)
24. Dia Adik-Ku: Bab 4 (2024)
25. Dia Adik-Ku: Bab End (2024)
26. Teman Atau Lawan: Bab 1 (2024)
27. Teman Atau Lawan: Bab 1² (2024)
28. Teman Atau Lawan: Bab 2 (2024)
29. Teman Atau Lawan: Bab 3 (2024)
30. Teman Atau Lawan: Bab 4 (2024)
31. Teman Atau Lawan: Bab 5 (2024) ]
32. Teman Atau Lawan: Bab End¹ (2024)
32. Teman Atau Lawan: Bab End (2024)
33. Penderitaan: Bab 1 (2024)
34. POV Kevin: Penderitaan Bab 2 (2024)
35. Pov Kevin: Penderitaan: Bab 3¹ (2024)
36. POV Kevin: Penderitaan: Bab 3² (2024)
37. POV Kevin: Penderitaan: Bab 4¹
38. POV Kevin: Penderitaan: Bab 4²
39. Pov Kevin: Penderitaan bab 5
40. Pov Kevin: Penderitaan bab 6
41. Pov Kevin: Penderitaan Bab 7
42. Pov Kevin: Penderitaan End
43. Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP1
44. Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP2-3
45. Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP4-5
46. Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP6-7
47. Pov Kevin: Mengungkap Misteri End
48. Pov kevin: Perjuangan Akhir EP1-2
49. Perjuangan Akhir EP3
50. Perjuangan Akhir: TAMAT
>>>TAMAT<<<<
----------------------------------------------------------------
Quote:
Plot Story:
Cerita diangkat berdasarkan kisah nyata yang dialami oleh lima Pria remaja asal Bogor Jawa Barat.
Kejadian Bermula ketika Yudi membeli sebuah rumah tua peninggalan belanda yang hendak ia renovasi menjadi bangunan mewah berlantai empat.
Seiring pembangunan berjalan, kejadian aneh kerap dialami oleh para-pekerja yang membuat meraka merasa tidak nyaman, interaksi keberadaan makhluk tak kesat mata terasa kental ketika malam menjelang. Deni dan empat kawannya yang diberi tugas mengawasi pekerja tak luput dari gangguan yang sulit diterima oleh nalar.
Hingga detik ini pembangun telah terhenti, yang tinggal hanya menyisakan rumah besar yang terbengkalai.
Gangguan seperti apa yang mereka rasakan? lalu adakah kisah kelam dibalik berdirinya bangunan besar ini? mari ikuti pengakuannya dalam cerita "Rumah Terbengkalai"
dan pastikan anda tidak membacanya seorang diri.
Diubah oleh wedi 22-10-2024 19:47
iwanridwanmks dan 59 lainnya memberi reputasi
56
57.1K
Kutip
371
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
wedi
#284
Pov Kevin: Penderitaan Bab 5
Quote:
Langkahku terasa berat, tak sanggup lagi berkata-kata, saat ini yang aku harapkan hanya tidur di atas kasur yang nyaman.
Sepanjang perjalanan mang Tohir terus menggerutu, jika dirinya harus segera kembali bekerja. Itu membuatku sulit terpejam yang duduk disampingnya.
Namun rasa lelah sepertinya tidak berlaku untuk Deni, meski aku tau ia juga tak tertidur disepanjang jalan, kantung hitam di bawa matanya menyiratkan ia sangat kelelahan dan kurang tidur. Tapi saat ini ia sudah kembali bersiap untuk mengantarkan ketiga orang itu ke rumahnya masing-masing.
Entah apa yang dipikiran oleh Rifaldy ia nampak tak perduli dengan mereka bertiga, ia justru berjalan menuju kamar, sepertinya akan melanjutkan tidurnya.
"Ngga istirahat dulu lu, Pa?" tanyaku, membuat Deni melirik dengan pandangan letih.
"Pada mau buru-buru balik!" cibirnya, terdengar terpaksa.
"Iya, ah!" timpal A Asep. "Saya langsung pulang aja, tidur di rumah."
Akhirnya mereka berempat pun pergi dari rumah loji dengan mengendari satu sepeda motor.
Tak kulihat mang Tohir pun menjalani pekerjaannya, ia hanya duduk dengan kepala bersadar pada dinding.
"Capee saya," gumamnya.
"Istirahat dulu aja, Mang," ajakku, sambil melangkah masuk ke dalam kamar.
******
Selanjutnya aku dan yang lain kembali tertidur, bahkan aku tak menyadari sejak kapan Deni tertidur di samping-ku.
Aku melirik jam dan kudapati hari telah menjelang sore, suasana rumah masih nampak sepi, dengan kicauan burung sesekali terdengar.
Dengan perlahan aku bangkit dari tidur, dan mendapati bekal makan siang yang sudah diletakan di ruang tamu. Sepertinya Deni yang mengambilnya dari rumah Rifaldy.
Aku tersenyum kecil, seraya menggelengkan kepala samar. Tak habis pikir melihat mang Tohir masih terkapar lelap dengan dengkurannya. Padahal ketika dalam perjalanan semangat bekerjanya sangat menggebu, namun berbanding terbalik dengan kenyataan ini.
Aroma semen dari pembangunan masih kental terendus di hidungku, suasana sunyi dengan semilir angin sejuk memberikan kesan lain di rumah ini.
"Kopi, Vin," Aku menoleh, nampak Deni sedang bersandar di bibir pintu kamar. Wajahnya masih terlihat kusut, dan malas.
Idenya mungkin sependapat denganku, mungkin dengan kopi hangat bisa menimbulkan kembali semangat di hari ini.
"Vin, bagian lu... " Deni menyodorkan sejumlah uang, sepertinya ini buah dari ikut sertaku ke rumah bang Ferdy. Tentu saja dengan senang hati aku menerimanya.
"Wah! Kebagian juga... makasih, Pa!" seruku. Namun, sesaat aku teringat saat aku berada di rumah bang Ferdy. "Den," tanyaku lagi, membuat Deni menghentikan langkahnya.
"Kemarin lu nyadar ngga kalau ada yang ga beres di rumah bang Ferdy?" lanjutku.
"Oh, itu.. Kayaknya istrinya kambuh lagi, Vin," jawabnya dengan santai, lalu kembali melangkah ke ruang tamu.
"Emang sakit apaan, Den?" tanyaku yang semakin penasaran.
Deni menghela nafas, seakan tak ingin membahasnya, "Ia.. Gitu.. Kadang-kadang suka ngamuk ngga jelas."
Aku meletakan jari didagu, mencoba bergelut dengan pikiranku, seolah ada patongan kisah yang bisa disatukan. Tapi aku tak yakin dengan semua dugaan ini, bagaimana pun aku baru mengenal keluarga Bang Ferdy, terasa tak sopan jika membicarakan mereka.
Entah apa yang dipikiran Deni, sikapnya mendadak menjadi begitu dingin. Ia menyandarkan kepala ke dinding, dengan mata menatap langit-langit.
"Vin, " suaranya terdengar serius dan rendah. "Jika, gw kambuh.. Kurung gw di kamar ya.. "
Aku memberikan perhatian lebih atas perkataannya, seolah ia tahu jika sesuatu akan terjadi padanya. "Kenapa emang, Den?" tanyaku.
"Nggaa.. " Tiba-tiba Deni terkesiap dari lamunannya, memberikan sinyal agar aku melupakan perkataannya. "Ngopi, ngopi..." lanjutnya, mengangkat gelas kopi dan meniupinya lalu menyeruputnya.
Walau begitu aku bisa mengerti apa yang Deni katakan. Perintah secara tidak langsung namun cukup jelas aku dengar.
Disela percakapan kecil kami, mang Tohir mengalihkan segalanya. Ia terdengar menggerutu di dalam kamarnya, sesaat kemudia keluar dari kamarnya.
"Ah! Jam berapa ini, Mas!" pekik panik mang Tohir mencari jam dinding dengan rakusnya. Tak hayal ia menepuk keningnya, saat mendapati jam menujukan pukul tiga sore.
"Udah, lah, Mang. Hari ini anggap libur," komentar Deni sedikit terdengar mengejek, "Lagian saya udah bilang ke Bang Ferdy. " Tutupnya.
"Oh gitu, ya, Mas!" jawab mang Tohir terdengar lega. "makasih, Mas.. Saya takut kena salahan." lanjutnya, Deni hanya membalas dengan gelengan kepala pelan mengisyaratkan jika semua baik-baik saja.
"Udah ngopi sana, Mang," selaku, lalu menggeser bekal yang ada di meja, "Ini Mang, makan." Hal ini disambut baik mang Tohir, ia lantas membawa bekal nasinya ke dapur.
Waktu terus berlalu, malam pun jelang. Aku dan yang lain tengah bermain kartu di teras tengah. Pakaian kami telah berganti, sudah nampak segar dari sebelumnya.
"Jalan, lu, Pa!" seruku, merasa puas berhasil mematikan langkah kartu Rifaldy. Tapi ia tak menyerah begitu saja.
"Salah buang, selesai, Mas!" seru mang Tohir lalu tertawa lepas.
"Jangan seneng dulu, Mang! Awas lupa kalau lagi diintai," timpal Deni mengingatkan mang Tohir jika posisinya juga tidak lebih baik dari Rifaldy.
"Aaahh! Pusing, Gw!" seru Rifaldy, seraya menyerah dan membereskan semua kartu yang lalu ia kocok kembali. "Was, lu, Vin." Wajahnya sudah tak cukup ruang untuk menggoreskan cairan biru pekat yang kini memenuhi wajahnya.
Kami benar-benar luput oleh suasana gembira, hingga sesuatu terjadi. Suara tawa Rifaldy mendadak hilang, sebelum akhirnya ia berkata. "Den?"
Mataku berpindah ke arah Deni, yang tengah disibukan oleh cairan merah yang terus keluar dari dalam hidungnya. Ia mencoba menyekanya dengan kedua telapak tangannya, namun usahanya sia-sia. Darah itu terus mengalir tanpa henti, membuat suasana berubah seketika.
Rasa panik mulai terasa, aku dan yang lain berusaha membantu Deni dengan segala cara.
"Mang.. Mang.. Bantu ambil apa gitu di dapur!" titah Rifaldy yang membuat mang Tohir berlari kedapur.
Aku tetap di samping Deni, yang kini menujukan wajahnya semakin memudar dan pucat. Aku tak tahu harus berbuat apa, yang bisa aku lakukan hanya membantu menopang tubuhnya yang kini perlahan melemas.
Rifaldy nampak frustasi, ia membanting semua kartu yang baru kami mainkan, ia bangkit masuk ke dalam kamar.
"Bawa ke kamar dah, Vin!" pekik Rifaldy. Sepertinya ia hendak mempersiapkan tempat tidur.
"Den... !!!" Aku mengoyang tubuhnya yang mulai kehilangan kesadaran.
"Ini, Mas!" mang Tohir yang kembali dengan handuk kecil yang sudah ia basahi. Kemudian aku membersihkan noda darah yang ada di lengan dan hidungnya.
"Rif....!!!" teriak-ku, saat teringat permintaan Deni waktu lalu. "Deni tidur di kamar mang Tohir aja malam ini!"
Tanpa banyak komentar aku dan yang lain segera memapah tubuh Deni masuk ke dalam kamar mang Tohir. Kamar ini cukup luas untuk satu orang, namun tak cukup hangat. Di kamar ini juga terdapat kamar mandi di dalamnya. Kami membaringkan tubuh Deni yang terus memucat pada sebuah karpet lantai.
"Yakin mau di sini, Mas?" tanya mang Tohir seolah ia tak tega, "Di sini dingin, lho kalau malam."
"Ini dia sendiri yang minta," ungkapku, dengan nafas yang masih terengah-engah. "Kita semua tidur di kamar Rifaldy." tutupku.
"Jujur ngga tega, gw!" timpal Rifaldy.
"Gw juga sama!" sahutku dengan cepat. "Tapi gw yakin, besok Deni udah pulih," tutupku, walau aku sendiripun merasa tidak yakin.
Situasi terasa semakin memburuk saat kulihat tubuh Deni mengalami kejang-kejang hebat. Seluruh ototnya nampak tegang dan kaku, seolah sedang menahan derita yang hebat.
Aku, Rifaldy dan mang Tohir saling bertukar pandang, merasa tak berguna menghadapi situasi ini. Dengan berat hati, aku mengajak yang lain untuk segera meninggal Deni sendiri di dalam kamar ini. Bukan hanya aku yang merasa berat, Rifaldy juga seakan enggan untuk berpaling, hingga aku menarik lengannya lebih kuat.
"Gw yakin, lu bisa lalui ini, Den... " lirihku, menutup pintu kamar perlahan. Kami berkumpul di depan kamar Deni, dengan raut wajah pasrah dan tak berdaya.
"Silih berganti, nanti cek kondisi Deni tiap jam," dengan senang hati, aku dan mang Tohir menerima saran Rifaldy.
Aku mengerti alasan Deni memilih kamar ini, karena memudahkan kami untuk melihat kondisinya dari balik jendela. Berbeda dengan kamar Rifaldy, yang tak memiliki jendala sedikitpun.
Tubuh Deni masih mengalami kejang hebat, mulutnya terbuka memperlihatkan deretan gigi yang saling menekan—menahan rasa sakit yang ia rasakan.
Aku menghela nafas, beralih pandang kesegala penjuru rumah yang mulai terasa aura negatif mulai berdatangan. Entah dosa apa yang Deni perbuat, hingga semua ini bisa terjadi.
"Rif.. " tanyaku, membangunkan Rifaldy dari lamunannya. "Kita harus cari solusi!"
"Apa?"
"Cari dukun, Rif," Rifaldy melirik cepat, seolah ingin mengomentari pendapatku.
"Dukun apa?" jawab sinis Rifaldy. Sepertinya ia meremehkan gagasanku. "Masih percaya sama hal gituan, lu?"
"Benar kata, Mas Rifaldy," timpal Mang Tohir. "Mending minta pendapat Ustad, Mas," tambahnya, memberi saran lain.
Rifaldy terdiam, matanya bermengedar mempertimbangkan gagasan yang diberikan mang Tohir. Terlihat ia menggeleng samar, lalu berkata. "Ngga ada kendal Pak Ustad, gw. "
Aku menoleh ke arah mang Tohir, lalu ia juga menggeleng pelan, berhasil mematahkan gagasannya sendiri.
"Apa ngga kita coba Mang Rudi?" tambahku, sekilas teringat jika Mang Rudi pernah menangani Deni sebelumnya.
Rifaldy dan Mang Tohir mengangguk, kali ini mereka menerima saran dariku. Setidaknya ada sedikit harapan yang bisa kami lakukan untuk Deni.
Duuuggg.. Duuuggg..
Suara dentuman keras menggema, seolah-olah seluruh rumah bergetar. Seketika, keheningan malam yang mencekam hancur berkeping-keping. Jantungku serasa berhenti berdetak. Kami semua saling berpandangan, mata terbuka lebar, sebelum menoleh cepat ke arah kamar Deni.
Tanpa banyak berkata, kami melangkah dengan cepat untuk memastikan apa yang terjadi. Rasa khawatir dan mencekam bercampur aduk dalam diriku.
Langkah cepat Rifaldy berhasil tiba lebih awal, tanpa rasa ragu ia meraih gagang pintu lalu membukanya. Kami tertegun, saat mendapati Deni tengah berdiri menghadap dinding. Kedua telapak tangannya nampak menempel pada permukanan dinding—seakan ingin mendorongnya.
Ddduuggg!!!
Sungguh tak kami bayangkan, suara keras itu berasal dari benturan kepalanya. Aku dan Rifaldy segara meraihnya, untuk menahan aksinya itu.
Akan tetapi dikala aku dan Rifaldy hendak memapahnya tiba-tiba mata Deni terbuka dengan lebar, namun tatapannya kosong. Mulutnya menganga, seraya suara tawa yang aneh terdengar darinya.
Tubuhnya terasa begitu kaku dan keras, seolah tak ingin kami menggangunya. Ia bersih-kukuh untuk kembali membenturkan kapalanya pada dinding kamar.
Aku, Rifaldy dan mang Tohir berkerja sama untuk membawa Deni menjauh dari dinding, karena kami tahu keningnya sudah sangat terluka—dapat terlihat jelas luka lebam yang mulai meneteskan darah segar.
Entah bagaimana bisa, tiga tenaga yang kami kerahkan seolah tak berarti apa-apa, tenaganya begitu kuat hingga mampu menghempas Aku dan Rifaldy. Bahkan Mang Tohir yang terbiasa kerja keras pun, tak sebanding dengan kekuatannya.
Ia terus tertawa puas dengan mata sangarnya, ketika berhasil membuat suara menggelegar dari dentuman keras kepalanya.
"Yaaa Allaaaahh!!!" terkak panik mang Tohir melukiskan ketidak berdayaan kami, yang hanya menyaksikannya melakukan hal itu berulang kali.
Kini bukan hanya keningnya saja yang terlula, percikan darah pun ikut menempel pada dinding kamar.
"Lagi!!!" pekik Rifaldy. Ia memintaku untuk menangkap bagian tubuh sebalah kiri dan Rifaldy dibagian kanan. Sedangkan mang Tohir harus bisa mengangkat kakinya. "Satu.. Dua.. Tiga!!!"
Kami kembali pergulat, tak perduli jika tubuh Deni harus terpelanting akibat terjangan kuat yang dilayangkan oleh mang Tohir tepat dikedua kakinya.
"Angkaat, Mang Mang!" aku berseru, saat berhasil memeluk erat dada Deni.
Dia tak tinggal diam, terus meronta-ronta membuat kami sangat kuwalahan. Walau begitu kini aku dan yang lain berhasil membuatnya terdesak.
Aku menahannya dengan penuh tenaga, menekan punggung Deni yang kini tertelungkup. Sedangkan mang Tohir menahan pada bagian kakinya. Walau terdesak, ia masih saja tertawa lepas, seolah sedang menikmati kekacauan ini.
"Lu tahan bisa, Vin?" gusar Rifaldy, nampaknya ia memiliki Ide untuk mengatasi ini. Karena tidak mungkin kami menahan tubuh Deni semalaman suntuk.
Aku berpindah—duduk di atas punggungnya. Dan meminta mang Tohir untuk membantu menahan lengannya yang sedari tadi hendak menangkapku.
Rifaldy yang merasa semua sudah terkendali lantas bergegas keluar kamar, dan kembali dengan kain seprai yang ia bawa.
Kami mencoba mengingat tubuh Deni kuat-kuat, dengan melilitkan seprai ke sekujur tubuhnya.
"Lebih kuat, Mang!" komentar Rifaldy membiarkan mang Tohir membelit kakinya hingga kedua lututnya bersatu ke dada.
Dengan begini kami berhasil meredam, kekacauan. Walau Deni masih terus tertawa dan teriak tanpa terkendali.
Nafasku benar-benar terasa hampir habis, untuk berkatapun aku sulit, aku hanya bisa berpikir—siapa orang yang kami ikat ini. Ia tak seperti Deni yang kami kenal.
Wajahnya begitu garang, seraya cucuran darah mengalir melewati pelipis matanya. Aku dan yang lain baru bisa terduduk mengitari tubuh Deni yang terikat kuat.
"Mang... " nada berat Rifaldy sambil mengatur nafasnya. "Ada lap basah ngga?" Mang Tohir memanggut, mengerti apa yang di maksud Rifaldy.
"Hahaha... Mati kalian!!! Mati kalian!! Hahaha. " gumaman Deni terdengar begitu mengancam. Aku dan Rifaldy terus menatapnya tajam, dengan penuh tandanya besar.
"Ini udah makin parah, Rif," ucapku, sambil menelan ludah. "Lu ada nomor mang Rudi?"
Rifaldy terhening, lalu ia bangkit. "Tunggu gw ambil ponsel dulu," ucapnya dan ia pun berlalu.
"Mas.. " Mang Tohir kembali, dengan membawa baskom dan handuk kecil yang ia sodorkan ke arahku.
Dengan gerakan lambat, aku mengambilnya, lalu kubersihkan wajah Deni dengan perlahan. Ia terus mengerang, bola matanya tak henti mengedar ke segala arah.
Sejujurnya, di dalam batin ini, aku merasa tak tega melihat dirinya terikat dengan sangat kuat. Aku tak bisa membayangkan betapa sesak dan sakitnya, jika aku jadi dirinya. Walau begitu aku yakin, ini yang terbaik.
Aku masih sibuk dengan lap basah di tanganku, sedangkan Rifaldy terlihat kembali dengan ponsel ditelinganya.
"Ngga di angkat-angkat!" gusarnya, tak sabar menanti panggilannya dijawab.
"Pasti udah tidur, Mas," komentar Mang Tohir.
"Terus gimana?" tanya Rifaldy seolah menunggu gagasan dari aku dan Mang Tohir.
"Tugas ngga dia?" tanyaku lagi, mengingat pekerjaan mang Rudi yang tak jarang mendapatkan tugas malam.
Rifaldy menggeleng pelan, tergambar raut wajahnya sudah pasrah dengan semua ini. "Ngga tau gw. " Ia mengurungkan niatnya, lalu merobohkan diri duduk di samping mang Tohir.
"Ngga tega, Mas. Liatnya," lirih mang Tohir.
"Mau gimana lagi, Mang? Tau sendiri kaya apa tadi."
"Ngga tau.. nanti pagi harus bilang apa sama dia," selaku, masih membersihkan luka pada kening Deni.
"Udah jelas, Mas... Ini bukan sakit." ucapan Mang Tohir membuat kami terdiam, karena itu sudah cukup mewakili pemikiranku.
"Terus?" cecar Rifaldy berharap ada yang memperjelas kalimat mang Tohir.
"Ini sih kayaknya ada yang gangguin, Mas Deni," jelas mang Tohir. "Ngga mungkin orang sadar mukulin kepala ke dinding!"
"Besok coba lagi, telp mang Rudi," timpalku yang masih menggantungkan harapan. "Angkat ke karpet?" lanjutku, meminta agar Deni di pindahkan ke atas karpet.
Malam itu, setelah aku dan yang lain berhasil memindahkan tubuh Deni, kami bertiga kembali ke ruang tamu—membiarkannya terikat di dalam kamar.
Di ruang tamu, kami terus memperluas percakapan, mencari solusi terbaik untuk menolongnya. Namun, semua gagasan seolah tak ada yang lebih baik, selain meminta mang Rudi datang ke rumah ini.
Atas pertimbangan yang berat, kami yang merasa lelah, lantas memutuskan untuk pergi tertidur. Berharap kondisi Deni dapat pulih di pagi hari.
Tak butuh waktu lama, aku pun tertidur, hingga suara dentuman keras membuatku terkesiap. Aku terhening, memperkuat pendengaran, menanti suara yang kini tak terdengar lagi.
Seketika perasaan khawatir akan kondisi Deni mengganjal di hati, mengingat sudah hampir empat jam aku tertidur. Mataku melirik, Kulihat Rifaldy dan Mang Tohir masih terlelap dalam tidurnya. Aku tak tega untuk membangunkan mereka.
Aku yang telah membulatkan tekat, perlahan bangkit walau rasa ragu semakin besar aku rasakan. Udara dingin sekita menusuk tulangku, saat aku membuka pintu kamar. Suasana sepi dan hening seakan membuat langkah ini terasa semakin berat.
Perlahan aku menjulurkan kepala, pada sebuah jendela yang terdapat di sisi pintu kamar. Jendala ini tak lebar, namun memiliki ukuran panjang—satu jengkal dari lantai. Tapi sudah cukup untuk memantau seisi kamar.
Aku mengernyitkan alis, dengan tergesa-gesa mataku mengitari setiap sudut yang bisa terlihat, namun jelas karpet tidurnya telah kosong. Deni luput dari penglihatanku.
"Hee!"
Tubuhku membeku seketika, saat terdengar suara berat dan serak seorang pria dari bawah jendela. Aku menoleh cepat, dan nampak raut wajah pucat, kosong, dan dingin tengah mengintaiku dibalik jendela.
Matanya gelap, menembus pandanganku tanpa ekspresi. Guratan senyum miring yang tak wajar, seakan penuh ancaman. Sekujur tubuhku bergetar, napas ini seolah tertahan di tenggorokan, melihat kini ia menatapku dengan tajam.
Sepanjang perjalanan mang Tohir terus menggerutu, jika dirinya harus segera kembali bekerja. Itu membuatku sulit terpejam yang duduk disampingnya.
Namun rasa lelah sepertinya tidak berlaku untuk Deni, meski aku tau ia juga tak tertidur disepanjang jalan, kantung hitam di bawa matanya menyiratkan ia sangat kelelahan dan kurang tidur. Tapi saat ini ia sudah kembali bersiap untuk mengantarkan ketiga orang itu ke rumahnya masing-masing.
Entah apa yang dipikiran oleh Rifaldy ia nampak tak perduli dengan mereka bertiga, ia justru berjalan menuju kamar, sepertinya akan melanjutkan tidurnya.
"Ngga istirahat dulu lu, Pa?" tanyaku, membuat Deni melirik dengan pandangan letih.
"Pada mau buru-buru balik!" cibirnya, terdengar terpaksa.
"Iya, ah!" timpal A Asep. "Saya langsung pulang aja, tidur di rumah."
Akhirnya mereka berempat pun pergi dari rumah loji dengan mengendari satu sepeda motor.
Tak kulihat mang Tohir pun menjalani pekerjaannya, ia hanya duduk dengan kepala bersadar pada dinding.
"Capee saya," gumamnya.
"Istirahat dulu aja, Mang," ajakku, sambil melangkah masuk ke dalam kamar.
******
Selanjutnya aku dan yang lain kembali tertidur, bahkan aku tak menyadari sejak kapan Deni tertidur di samping-ku.
Aku melirik jam dan kudapati hari telah menjelang sore, suasana rumah masih nampak sepi, dengan kicauan burung sesekali terdengar.
Dengan perlahan aku bangkit dari tidur, dan mendapati bekal makan siang yang sudah diletakan di ruang tamu. Sepertinya Deni yang mengambilnya dari rumah Rifaldy.
Aku tersenyum kecil, seraya menggelengkan kepala samar. Tak habis pikir melihat mang Tohir masih terkapar lelap dengan dengkurannya. Padahal ketika dalam perjalanan semangat bekerjanya sangat menggebu, namun berbanding terbalik dengan kenyataan ini.
Aroma semen dari pembangunan masih kental terendus di hidungku, suasana sunyi dengan semilir angin sejuk memberikan kesan lain di rumah ini.
"Kopi, Vin," Aku menoleh, nampak Deni sedang bersandar di bibir pintu kamar. Wajahnya masih terlihat kusut, dan malas.
Idenya mungkin sependapat denganku, mungkin dengan kopi hangat bisa menimbulkan kembali semangat di hari ini.
"Vin, bagian lu... " Deni menyodorkan sejumlah uang, sepertinya ini buah dari ikut sertaku ke rumah bang Ferdy. Tentu saja dengan senang hati aku menerimanya.
"Wah! Kebagian juga... makasih, Pa!" seruku. Namun, sesaat aku teringat saat aku berada di rumah bang Ferdy. "Den," tanyaku lagi, membuat Deni menghentikan langkahnya.
"Kemarin lu nyadar ngga kalau ada yang ga beres di rumah bang Ferdy?" lanjutku.
"Oh, itu.. Kayaknya istrinya kambuh lagi, Vin," jawabnya dengan santai, lalu kembali melangkah ke ruang tamu.
"Emang sakit apaan, Den?" tanyaku yang semakin penasaran.
Deni menghela nafas, seakan tak ingin membahasnya, "Ia.. Gitu.. Kadang-kadang suka ngamuk ngga jelas."
Aku meletakan jari didagu, mencoba bergelut dengan pikiranku, seolah ada patongan kisah yang bisa disatukan. Tapi aku tak yakin dengan semua dugaan ini, bagaimana pun aku baru mengenal keluarga Bang Ferdy, terasa tak sopan jika membicarakan mereka.
Entah apa yang dipikiran Deni, sikapnya mendadak menjadi begitu dingin. Ia menyandarkan kepala ke dinding, dengan mata menatap langit-langit.
"Vin, " suaranya terdengar serius dan rendah. "Jika, gw kambuh.. Kurung gw di kamar ya.. "
Aku memberikan perhatian lebih atas perkataannya, seolah ia tahu jika sesuatu akan terjadi padanya. "Kenapa emang, Den?" tanyaku.
"Nggaa.. " Tiba-tiba Deni terkesiap dari lamunannya, memberikan sinyal agar aku melupakan perkataannya. "Ngopi, ngopi..." lanjutnya, mengangkat gelas kopi dan meniupinya lalu menyeruputnya.
Walau begitu aku bisa mengerti apa yang Deni katakan. Perintah secara tidak langsung namun cukup jelas aku dengar.
Disela percakapan kecil kami, mang Tohir mengalihkan segalanya. Ia terdengar menggerutu di dalam kamarnya, sesaat kemudia keluar dari kamarnya.
"Ah! Jam berapa ini, Mas!" pekik panik mang Tohir mencari jam dinding dengan rakusnya. Tak hayal ia menepuk keningnya, saat mendapati jam menujukan pukul tiga sore.
"Udah, lah, Mang. Hari ini anggap libur," komentar Deni sedikit terdengar mengejek, "Lagian saya udah bilang ke Bang Ferdy. " Tutupnya.
"Oh gitu, ya, Mas!" jawab mang Tohir terdengar lega. "makasih, Mas.. Saya takut kena salahan." lanjutnya, Deni hanya membalas dengan gelengan kepala pelan mengisyaratkan jika semua baik-baik saja.
"Udah ngopi sana, Mang," selaku, lalu menggeser bekal yang ada di meja, "Ini Mang, makan." Hal ini disambut baik mang Tohir, ia lantas membawa bekal nasinya ke dapur.
Waktu terus berlalu, malam pun jelang. Aku dan yang lain tengah bermain kartu di teras tengah. Pakaian kami telah berganti, sudah nampak segar dari sebelumnya.
"Jalan, lu, Pa!" seruku, merasa puas berhasil mematikan langkah kartu Rifaldy. Tapi ia tak menyerah begitu saja.
"Salah buang, selesai, Mas!" seru mang Tohir lalu tertawa lepas.
"Jangan seneng dulu, Mang! Awas lupa kalau lagi diintai," timpal Deni mengingatkan mang Tohir jika posisinya juga tidak lebih baik dari Rifaldy.
"Aaahh! Pusing, Gw!" seru Rifaldy, seraya menyerah dan membereskan semua kartu yang lalu ia kocok kembali. "Was, lu, Vin." Wajahnya sudah tak cukup ruang untuk menggoreskan cairan biru pekat yang kini memenuhi wajahnya.
Kami benar-benar luput oleh suasana gembira, hingga sesuatu terjadi. Suara tawa Rifaldy mendadak hilang, sebelum akhirnya ia berkata. "Den?"
Mataku berpindah ke arah Deni, yang tengah disibukan oleh cairan merah yang terus keluar dari dalam hidungnya. Ia mencoba menyekanya dengan kedua telapak tangannya, namun usahanya sia-sia. Darah itu terus mengalir tanpa henti, membuat suasana berubah seketika.
Rasa panik mulai terasa, aku dan yang lain berusaha membantu Deni dengan segala cara.
"Mang.. Mang.. Bantu ambil apa gitu di dapur!" titah Rifaldy yang membuat mang Tohir berlari kedapur.
Aku tetap di samping Deni, yang kini menujukan wajahnya semakin memudar dan pucat. Aku tak tahu harus berbuat apa, yang bisa aku lakukan hanya membantu menopang tubuhnya yang kini perlahan melemas.
Rifaldy nampak frustasi, ia membanting semua kartu yang baru kami mainkan, ia bangkit masuk ke dalam kamar.
"Bawa ke kamar dah, Vin!" pekik Rifaldy. Sepertinya ia hendak mempersiapkan tempat tidur.
"Den... !!!" Aku mengoyang tubuhnya yang mulai kehilangan kesadaran.
"Ini, Mas!" mang Tohir yang kembali dengan handuk kecil yang sudah ia basahi. Kemudian aku membersihkan noda darah yang ada di lengan dan hidungnya.
"Rif....!!!" teriak-ku, saat teringat permintaan Deni waktu lalu. "Deni tidur di kamar mang Tohir aja malam ini!"
Tanpa banyak komentar aku dan yang lain segera memapah tubuh Deni masuk ke dalam kamar mang Tohir. Kamar ini cukup luas untuk satu orang, namun tak cukup hangat. Di kamar ini juga terdapat kamar mandi di dalamnya. Kami membaringkan tubuh Deni yang terus memucat pada sebuah karpet lantai.
"Yakin mau di sini, Mas?" tanya mang Tohir seolah ia tak tega, "Di sini dingin, lho kalau malam."
"Ini dia sendiri yang minta," ungkapku, dengan nafas yang masih terengah-engah. "Kita semua tidur di kamar Rifaldy." tutupku.
"Jujur ngga tega, gw!" timpal Rifaldy.
"Gw juga sama!" sahutku dengan cepat. "Tapi gw yakin, besok Deni udah pulih," tutupku, walau aku sendiripun merasa tidak yakin.
Situasi terasa semakin memburuk saat kulihat tubuh Deni mengalami kejang-kejang hebat. Seluruh ototnya nampak tegang dan kaku, seolah sedang menahan derita yang hebat.
Aku, Rifaldy dan mang Tohir saling bertukar pandang, merasa tak berguna menghadapi situasi ini. Dengan berat hati, aku mengajak yang lain untuk segera meninggal Deni sendiri di dalam kamar ini. Bukan hanya aku yang merasa berat, Rifaldy juga seakan enggan untuk berpaling, hingga aku menarik lengannya lebih kuat.
"Gw yakin, lu bisa lalui ini, Den... " lirihku, menutup pintu kamar perlahan. Kami berkumpul di depan kamar Deni, dengan raut wajah pasrah dan tak berdaya.
"Silih berganti, nanti cek kondisi Deni tiap jam," dengan senang hati, aku dan mang Tohir menerima saran Rifaldy.
Aku mengerti alasan Deni memilih kamar ini, karena memudahkan kami untuk melihat kondisinya dari balik jendela. Berbeda dengan kamar Rifaldy, yang tak memiliki jendala sedikitpun.
Tubuh Deni masih mengalami kejang hebat, mulutnya terbuka memperlihatkan deretan gigi yang saling menekan—menahan rasa sakit yang ia rasakan.
Aku menghela nafas, beralih pandang kesegala penjuru rumah yang mulai terasa aura negatif mulai berdatangan. Entah dosa apa yang Deni perbuat, hingga semua ini bisa terjadi.
"Rif.. " tanyaku, membangunkan Rifaldy dari lamunannya. "Kita harus cari solusi!"
"Apa?"
"Cari dukun, Rif," Rifaldy melirik cepat, seolah ingin mengomentari pendapatku.
"Dukun apa?" jawab sinis Rifaldy. Sepertinya ia meremehkan gagasanku. "Masih percaya sama hal gituan, lu?"
"Benar kata, Mas Rifaldy," timpal Mang Tohir. "Mending minta pendapat Ustad, Mas," tambahnya, memberi saran lain.
Rifaldy terdiam, matanya bermengedar mempertimbangkan gagasan yang diberikan mang Tohir. Terlihat ia menggeleng samar, lalu berkata. "Ngga ada kendal Pak Ustad, gw. "
Aku menoleh ke arah mang Tohir, lalu ia juga menggeleng pelan, berhasil mematahkan gagasannya sendiri.
"Apa ngga kita coba Mang Rudi?" tambahku, sekilas teringat jika Mang Rudi pernah menangani Deni sebelumnya.
Rifaldy dan Mang Tohir mengangguk, kali ini mereka menerima saran dariku. Setidaknya ada sedikit harapan yang bisa kami lakukan untuk Deni.
Duuuggg.. Duuuggg..
Suara dentuman keras menggema, seolah-olah seluruh rumah bergetar. Seketika, keheningan malam yang mencekam hancur berkeping-keping. Jantungku serasa berhenti berdetak. Kami semua saling berpandangan, mata terbuka lebar, sebelum menoleh cepat ke arah kamar Deni.
Tanpa banyak berkata, kami melangkah dengan cepat untuk memastikan apa yang terjadi. Rasa khawatir dan mencekam bercampur aduk dalam diriku.
Langkah cepat Rifaldy berhasil tiba lebih awal, tanpa rasa ragu ia meraih gagang pintu lalu membukanya. Kami tertegun, saat mendapati Deni tengah berdiri menghadap dinding. Kedua telapak tangannya nampak menempel pada permukanan dinding—seakan ingin mendorongnya.
Ddduuggg!!!
Sungguh tak kami bayangkan, suara keras itu berasal dari benturan kepalanya. Aku dan Rifaldy segara meraihnya, untuk menahan aksinya itu.
Akan tetapi dikala aku dan Rifaldy hendak memapahnya tiba-tiba mata Deni terbuka dengan lebar, namun tatapannya kosong. Mulutnya menganga, seraya suara tawa yang aneh terdengar darinya.
Tubuhnya terasa begitu kaku dan keras, seolah tak ingin kami menggangunya. Ia bersih-kukuh untuk kembali membenturkan kapalanya pada dinding kamar.
Aku, Rifaldy dan mang Tohir berkerja sama untuk membawa Deni menjauh dari dinding, karena kami tahu keningnya sudah sangat terluka—dapat terlihat jelas luka lebam yang mulai meneteskan darah segar.
Entah bagaimana bisa, tiga tenaga yang kami kerahkan seolah tak berarti apa-apa, tenaganya begitu kuat hingga mampu menghempas Aku dan Rifaldy. Bahkan Mang Tohir yang terbiasa kerja keras pun, tak sebanding dengan kekuatannya.
Ia terus tertawa puas dengan mata sangarnya, ketika berhasil membuat suara menggelegar dari dentuman keras kepalanya.
"Yaaa Allaaaahh!!!" terkak panik mang Tohir melukiskan ketidak berdayaan kami, yang hanya menyaksikannya melakukan hal itu berulang kali.
Kini bukan hanya keningnya saja yang terlula, percikan darah pun ikut menempel pada dinding kamar.
"Lagi!!!" pekik Rifaldy. Ia memintaku untuk menangkap bagian tubuh sebalah kiri dan Rifaldy dibagian kanan. Sedangkan mang Tohir harus bisa mengangkat kakinya. "Satu.. Dua.. Tiga!!!"
Kami kembali pergulat, tak perduli jika tubuh Deni harus terpelanting akibat terjangan kuat yang dilayangkan oleh mang Tohir tepat dikedua kakinya.
"Angkaat, Mang Mang!" aku berseru, saat berhasil memeluk erat dada Deni.
Dia tak tinggal diam, terus meronta-ronta membuat kami sangat kuwalahan. Walau begitu kini aku dan yang lain berhasil membuatnya terdesak.
Aku menahannya dengan penuh tenaga, menekan punggung Deni yang kini tertelungkup. Sedangkan mang Tohir menahan pada bagian kakinya. Walau terdesak, ia masih saja tertawa lepas, seolah sedang menikmati kekacauan ini.
"Lu tahan bisa, Vin?" gusar Rifaldy, nampaknya ia memiliki Ide untuk mengatasi ini. Karena tidak mungkin kami menahan tubuh Deni semalaman suntuk.
Aku berpindah—duduk di atas punggungnya. Dan meminta mang Tohir untuk membantu menahan lengannya yang sedari tadi hendak menangkapku.
Rifaldy yang merasa semua sudah terkendali lantas bergegas keluar kamar, dan kembali dengan kain seprai yang ia bawa.
Kami mencoba mengingat tubuh Deni kuat-kuat, dengan melilitkan seprai ke sekujur tubuhnya.
"Lebih kuat, Mang!" komentar Rifaldy membiarkan mang Tohir membelit kakinya hingga kedua lututnya bersatu ke dada.
Dengan begini kami berhasil meredam, kekacauan. Walau Deni masih terus tertawa dan teriak tanpa terkendali.
Nafasku benar-benar terasa hampir habis, untuk berkatapun aku sulit, aku hanya bisa berpikir—siapa orang yang kami ikat ini. Ia tak seperti Deni yang kami kenal.
Wajahnya begitu garang, seraya cucuran darah mengalir melewati pelipis matanya. Aku dan yang lain baru bisa terduduk mengitari tubuh Deni yang terikat kuat.
"Mang... " nada berat Rifaldy sambil mengatur nafasnya. "Ada lap basah ngga?" Mang Tohir memanggut, mengerti apa yang di maksud Rifaldy.
"Hahaha... Mati kalian!!! Mati kalian!! Hahaha. " gumaman Deni terdengar begitu mengancam. Aku dan Rifaldy terus menatapnya tajam, dengan penuh tandanya besar.
"Ini udah makin parah, Rif," ucapku, sambil menelan ludah. "Lu ada nomor mang Rudi?"
Rifaldy terhening, lalu ia bangkit. "Tunggu gw ambil ponsel dulu," ucapnya dan ia pun berlalu.
"Mas.. " Mang Tohir kembali, dengan membawa baskom dan handuk kecil yang ia sodorkan ke arahku.
Dengan gerakan lambat, aku mengambilnya, lalu kubersihkan wajah Deni dengan perlahan. Ia terus mengerang, bola matanya tak henti mengedar ke segala arah.
Sejujurnya, di dalam batin ini, aku merasa tak tega melihat dirinya terikat dengan sangat kuat. Aku tak bisa membayangkan betapa sesak dan sakitnya, jika aku jadi dirinya. Walau begitu aku yakin, ini yang terbaik.
Aku masih sibuk dengan lap basah di tanganku, sedangkan Rifaldy terlihat kembali dengan ponsel ditelinganya.
"Ngga di angkat-angkat!" gusarnya, tak sabar menanti panggilannya dijawab.
"Pasti udah tidur, Mas," komentar Mang Tohir.
"Terus gimana?" tanya Rifaldy seolah menunggu gagasan dari aku dan Mang Tohir.
"Tugas ngga dia?" tanyaku lagi, mengingat pekerjaan mang Rudi yang tak jarang mendapatkan tugas malam.
Rifaldy menggeleng pelan, tergambar raut wajahnya sudah pasrah dengan semua ini. "Ngga tau gw. " Ia mengurungkan niatnya, lalu merobohkan diri duduk di samping mang Tohir.
"Ngga tega, Mas. Liatnya," lirih mang Tohir.
"Mau gimana lagi, Mang? Tau sendiri kaya apa tadi."
"Ngga tau.. nanti pagi harus bilang apa sama dia," selaku, masih membersihkan luka pada kening Deni.
"Udah jelas, Mas... Ini bukan sakit." ucapan Mang Tohir membuat kami terdiam, karena itu sudah cukup mewakili pemikiranku.
"Terus?" cecar Rifaldy berharap ada yang memperjelas kalimat mang Tohir.
"Ini sih kayaknya ada yang gangguin, Mas Deni," jelas mang Tohir. "Ngga mungkin orang sadar mukulin kepala ke dinding!"
"Besok coba lagi, telp mang Rudi," timpalku yang masih menggantungkan harapan. "Angkat ke karpet?" lanjutku, meminta agar Deni di pindahkan ke atas karpet.
Malam itu, setelah aku dan yang lain berhasil memindahkan tubuh Deni, kami bertiga kembali ke ruang tamu—membiarkannya terikat di dalam kamar.
Di ruang tamu, kami terus memperluas percakapan, mencari solusi terbaik untuk menolongnya. Namun, semua gagasan seolah tak ada yang lebih baik, selain meminta mang Rudi datang ke rumah ini.
Atas pertimbangan yang berat, kami yang merasa lelah, lantas memutuskan untuk pergi tertidur. Berharap kondisi Deni dapat pulih di pagi hari.
Tak butuh waktu lama, aku pun tertidur, hingga suara dentuman keras membuatku terkesiap. Aku terhening, memperkuat pendengaran, menanti suara yang kini tak terdengar lagi.
Seketika perasaan khawatir akan kondisi Deni mengganjal di hati, mengingat sudah hampir empat jam aku tertidur. Mataku melirik, Kulihat Rifaldy dan Mang Tohir masih terlelap dalam tidurnya. Aku tak tega untuk membangunkan mereka.
Aku yang telah membulatkan tekat, perlahan bangkit walau rasa ragu semakin besar aku rasakan. Udara dingin sekita menusuk tulangku, saat aku membuka pintu kamar. Suasana sepi dan hening seakan membuat langkah ini terasa semakin berat.
Perlahan aku menjulurkan kepala, pada sebuah jendela yang terdapat di sisi pintu kamar. Jendala ini tak lebar, namun memiliki ukuran panjang—satu jengkal dari lantai. Tapi sudah cukup untuk memantau seisi kamar.
Aku mengernyitkan alis, dengan tergesa-gesa mataku mengitari setiap sudut yang bisa terlihat, namun jelas karpet tidurnya telah kosong. Deni luput dari penglihatanku.
"Hee!"
Tubuhku membeku seketika, saat terdengar suara berat dan serak seorang pria dari bawah jendela. Aku menoleh cepat, dan nampak raut wajah pucat, kosong, dan dingin tengah mengintaiku dibalik jendela.
Matanya gelap, menembus pandanganku tanpa ekspresi. Guratan senyum miring yang tak wajar, seakan penuh ancaman. Sekujur tubuhku bergetar, napas ini seolah tertahan di tenggorokan, melihat kini ia menatapku dengan tajam.
Diubah oleh wedi 07-10-2024 13:17
sampeuk dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Kutip
Balas