- Beranda
- Stories from the Heart
Rumah Terbengkalai (True Story)
...
TS
wedi
Rumah Terbengkalai (True Story)

#The Winner Writer II Horor
#Hot Genre Horor No 3.
#Top Catagori Novel Horor No 2.
#On Kaskus: HT ...

Hai, Readers.
Saya punya cerita yang mungkin menarik untuk kalian baca, kisah ini saya angkat dari kejadian nyata yang saya alami sendiri.
Quote:
Quote:
Cerita Lainnya: Audio Versi:
1. Ekspedisi Arkeologi - Kutukan Desa Mola-Mola
1. Ekspedisi Arkeologi - Kutukan Desa Mola-Mola
Spoiler for Temukan Athor di Sosial Media:
Spoiler for Link Donasi Gan:
Quote:
Dana: 081585512078
Spoiler for Fizzo Novel::
Buat yang mau baca Novel author lainnya bisa ke sini: Nama Pena: D. Eyzha_HR.Di sana bisa tanpa baca alias ada fitur audio baca.
Sebelumnya saya minta maaf jika ada:
-Kesalahan dalam Post saya
-Update ceritanya lama.
-Saltik atau Typo karena cerita belum sempat di Revisi ulang.
Quote:
Untuk Versi REVISI DAN TERUPDATE bisa cek di sini: Mangatoon - Rumah Terbengkalai True Story
Quote:
- WARNING -
Dimohon kerjasamanya bagi siapapun yang sudah tahu menahu tentang lokasi di cerita ini untuk tetap MERAHASIAKANNYA. Dan bagi yang MASIH PENASARAN, TS mohon dengan sangat untuk penasaranlah dari segi ceritanya saja (tidak perlu mencari & menerka). Let mystery be a mystery, untuk kebaikan kita bersama & sisi unik dari cerita ini.
Dimohon kerjasamanya bagi siapapun yang sudah tahu menahu tentang lokasi di cerita ini untuk tetap MERAHASIAKANNYA. Dan bagi yang MASIH PENASARAN, TS mohon dengan sangat untuk penasaranlah dari segi ceritanya saja (tidak perlu mencari & menerka). Let mystery be a mystery, untuk kebaikan kita bersama & sisi unik dari cerita ini.
Quote:
Note: SAYA HANYA MEMPOST CERITA INI DI KASKUS DAN MANGATOON. SELAIN DI DUA PLATFORM INI CERITA DIJAMIN PLAGIAT ..
----------------------------------------------------------------
NovelTool: TAMAT
Index On Kaskus (TAMAT)
0. Author Kembali 2024!
1. Prolog.
2. Perkenalan.
3. Rumah Tua Part 1.
4. Rumah Tua End.
5. Malam Pertama Part 1.
6. Malam Pertama End.
7. Interaksi Astral Part 1.
8. Interaksi Astral End.
9. Malam Penuh Cemas: Bab1 (2024)
10. Malam Penuh Cemas: Bab 2 (2024)
11. Malam Penuh Cemas: Bab 3 (2024)
12. Malam Penuh Cemas: End (2024)
13. Munguji Mental: Bab 1 (2024)
14. Menguji Mental: Bab 2 (2024)
15. Menguji Mental: Bab End (2024)
16. Aku Kembali: Bab 1 (2024)
17. Aku Kembali: Bab 2 (2024)
18. Aku Kembali: Bab 3 (2024)
19. Aku Kembali: Bab 4 (2024)
20. Aku Kembali: End (2024)
21. Dia Adik-ku: Bab 1 (2024)
22. Dia Adik-Ku: Bab 2 (2024)
23. Dia Adik-ku: Bab 3 (2024)
24. Dia Adik-Ku: Bab 4 (2024)
25. Dia Adik-Ku: Bab End (2024)
26. Teman Atau Lawan: Bab 1 (2024)
27. Teman Atau Lawan: Bab 1² (2024)
28. Teman Atau Lawan: Bab 2 (2024)
29. Teman Atau Lawan: Bab 3 (2024)
30. Teman Atau Lawan: Bab 4 (2024)
31. Teman Atau Lawan: Bab 5 (2024) ]
32. Teman Atau Lawan: Bab End¹ (2024)
32. Teman Atau Lawan: Bab End (2024)
33. Penderitaan: Bab 1 (2024)
34. POV Kevin: Penderitaan Bab 2 (2024)
35. Pov Kevin: Penderitaan: Bab 3¹ (2024)
36. POV Kevin: Penderitaan: Bab 3² (2024)
37. POV Kevin: Penderitaan: Bab 4¹
38. POV Kevin: Penderitaan: Bab 4²
39. Pov Kevin: Penderitaan bab 5
40. Pov Kevin: Penderitaan bab 6
41. Pov Kevin: Penderitaan Bab 7
42. Pov Kevin: Penderitaan End
43. Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP1
44. Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP2-3
45. Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP4-5
46. Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP6-7
47. Pov Kevin: Mengungkap Misteri End
48. Pov kevin: Perjuangan Akhir EP1-2
49. Perjuangan Akhir EP3
50. Perjuangan Akhir: TAMAT
>>>TAMAT<<<<
----------------------------------------------------------------
Quote:
Plot Story:
Cerita diangkat berdasarkan kisah nyata yang dialami oleh lima Pria remaja asal Bogor Jawa Barat.
Kejadian Bermula ketika Yudi membeli sebuah rumah tua peninggalan belanda yang hendak ia renovasi menjadi bangunan mewah berlantai empat.
Seiring pembangunan berjalan, kejadian aneh kerap dialami oleh para-pekerja yang membuat meraka merasa tidak nyaman, interaksi keberadaan makhluk tak kesat mata terasa kental ketika malam menjelang. Deni dan empat kawannya yang diberi tugas mengawasi pekerja tak luput dari gangguan yang sulit diterima oleh nalar.
Hingga detik ini pembangun telah terhenti, yang tinggal hanya menyisakan rumah besar yang terbengkalai.
Gangguan seperti apa yang mereka rasakan? lalu adakah kisah kelam dibalik berdirinya bangunan besar ini? mari ikuti pengakuannya dalam cerita "Rumah Terbengkalai"
dan pastikan anda tidak membacanya seorang diri.
Diubah oleh wedi 22-10-2024 19:47
iwanridwanmks dan 59 lainnya memberi reputasi
56
57.1K
Kutip
371
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
wedi
#281
PoV Kevin: Penderitaan BAB 4¹
Quote:
Kamar ini terasa sempit dan mencekik, seolah dinding-dindingnya semakin mendekat dengan setiap detik yang berlalu. Udara di dalam ruangan terasa berat, dipenuhi aroma keringat, darah, dan sesuatu yang tak kasat mata—seperti bau lembab yang menggantung di udara, mengisyaratkan bahaya yang tidak terlihat.
Lampu masih padam, menyisakan kegelapan pekat yang hanya diterangi oleh sinar ponsel di tangan Rifaldy. Cahaya itu tak cukup untuk menerangi seluruh ruangan, hanya membentuk lingkaran samar di sekitar tubuh Deni yang terbaring tak sadarkan diri di atas kasur. Tubuh Deni kaku, kulitnya semakin pucat. Walau tak ada yang mengkhawatirkan dari kondisi Mang Tohir namun jelas ini menambah suasana memburuk.
Dari luar, suara angin menderu cukup kuat, menerpa apa saja yang ada di depan rumah , seakan menciptakan suara bising di tengah keheningan.
Rifaldy berdiri di sudut ruangan, kedua tangannya menggenggam ponsel erat-erat, wajahnya tegang bercampur ke cemasan melihat dua tubuh sudah tak berdaya.
Aku hanya menelan ludah, mencoba menenangkan diri dari ketakutan yang terus menjalari pikiranku. Sesekali aku menatap Deni dan Mang Tohir yang masih tak bergerak, dengan berjuta pertanyaan yang kian menggulung di dalam kepalaku.
"Rif," tanyaku, mengedarkan mata ke langit-langit kamar, "ngga ada solusi ini listrik?" lanjutku.
"Ia, mau di apain, Vin? Nanti juga nyala," jawab Rifaldy, sepertinya ia sudah enggan untuk membahas apapun.
Aku terhentak, seketika mematung, mataku mulai melebar, "Riff... Denger?" ucapku, menaikan 1 jari meminta Rifaldy untuk meningkatkan pendengarannya.
Lirih, suara seorang wanita memanggil nama Deni dengan sangat panjang. Suaranya, terdengar jauh, namun semakin jelas.
"Di depan?" gumam Rifaldy, meyakini jika suara itu berasal dari depan rumah.
Semakin aku perjelas suara itu terasa semakin nyata, seketika sekujur tubuhku bergetar seraya bulu kuduku berdiri hingga kepala. Mustahil seorang wanita normal selarut ini berada di depan rumah Loji.
"Mending tutup telinga, lalu kita tidur!" saran Rifaldy, ia mengambil selimut, lalu berisap tidur di depan TV beralas karpet tipis.
Aku tak ingin ketinggalan, segera ikut bersamanya lalu bersembunyi di dalam selimut tebal. Wajahku masih terasa tegang, seolah kami tengah di intai untuk diburu.
********
Suara sendok dan gelas yang beradu, menyiratkan jika seseorang tengah membuat segelas kopi. Aku mendengus, masih terasa malas untuk tergugah, namun hawa dingin ini terasa sangat menggangu, membuatku membuka mata sayu.
Akhirnya aku sadari, hawa dingin ini berasal dari pintu kamar yang sudah terbuka lebar. Kicauan burung-burung yang bernyanyi membuka cahaya pagi dari balik jendela.
Aku menghela nafas lega, merasakan kepuasan yang mendalam—akhirnya malam pun telah berlalu, membuka sedikit celah ketenangan dalam hati ini.
Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Aku mencoba bangkit untuk memastikan siapa diantara kedua pasien itu yang telah terbangun. Aku menaikan kedua alis, mataku berkedip-kedip, saat melihat tak ada satu orang pun di atas kasur.
"Tumben udah bangun," aku menoleh pada sumber suara, dan nampak Deni berdiri lugas di ambang pintu kamar dengan segelas kopi panas di tangannya.
Aku melirik kesegala arah, mencoba mencari arti dari semua ini. Masih terekam jelas di benak-ku, seberapa parah kondisi Deni saat malam tadi.
"Lu, udah sehat?" tanyaku, penuh keraguan. Ia masih kekal berdiri menatapku dengan senyum hangatnya.
"Mandi sana, biar seger kayak gw," jawab Deni terdengar nada riang dan penuh semangat, seolah ia tak merasakan apa yang terjadi sebelumnya.
Merasa tak mendapatkan jawaban, aku pun bangkit dan memperhatikan gerak tubuh Deni dari jarak dekat.
"Kenapa si lu?" tanyanya, sambil mengernyitkan alis, nampak heran melihat sikapku.
Masih tak percaya dengan apa yang kudapati, aku mencoba mencubit lenganku berharap ini mimpi. Namun, jelas ini sangat nyata.
Entah aku harus cemas atau bahagia, semua kejadian yang aku alami semalam bercampur aduk menyatu menjadi sebuah misteri yang sulit aku terima.
Aku menghela nafas lelah, wajahku datar melirik ke arah Deni yang kini sedang menikmati kopi hangatnya. Seakan menyajikan kisah yang bereda denganku.
Aku masih mematung di ruang tamu, menoleh ke arah dapur yang nampak mang Tohir sedang berisap untuk bekerja. Tanpa banyak tanya aku pun menghampirinya.
"Bentarr.. Bentar.." tahanku, menghentikan kegiatan mang Tohir. Tentu ia menatap kearahku juga. "Masih ingat kejadian semalam, Mang?" lanjutku.
Rau wajah bersinar berubah menjadi datar tak berwarna. Sepertinya mang Tohir ingat dengan apa yang kami lalui saat malam.
Ia kembali menatapku, menunjuk dengan dagunya kearah belakang rumah, tepat pada sebuah pohon rambutan. "Di sana saya liat kaki.. Besaaaarr banget!" ungkapnya, ia menghela nafas, lalu duduk di atas lantai. "Awalnya saya kira itu pohon rambutan, tapi pas saya tegesin lagi.. kenapa pohonnya berbulu."
Wajahnya kaku, melukiskan teroma yang ia rasakan, "Tapi yang membuat saya ngga tahanitu," ia menunjuk ke arah jendela, menegaskan sesuatu dimaksudnya berasal dari luar rumah, turun dari atas. "Awalnya rambut, mas.. Ngga lama kepala yang keluar."
Aku menghela nafas panjang, sedikit melirik Deni yang masih berada di ruang tamu, lalu kembali ke mang Tohir.
"Sebenarnya saya sudah bangun dari jam berapa itu lupa.. Karena ngantuk, jadi saya lanjut," tambahnya dengan tertawa, seolah merasa tidak enak.
"Ngga apa-apa, Mang. Penting mang Tohir sehat," tutupku. Lalu terhening.
"Saya bangun udah ad di kamar, pasti Mas Kevin sama Mas Rifaldy yang angkat saya," ucapnya, lantas menoleh kearahku dengan raut wajah bangga, "Makasih ya Mas, udah nolong saya."
Aku hanya menganguk samar, membiarkan semua ini berlalu dan terlupakan. Namun, bagaimana pun juga, jelas semua ini akan menjadi pengalaman yang mustahil aku lupakan.
Apa yang terjadi semalam berhasil membuat sekujur tubuhku terasa berat dan lelah, sebenarnya ingin sekali aku kembali ke kamar—membiarkan tubuh ini beristirahat. Namun, rasa masih ada pertanyaan yang belum usai.
Aku pun memutuskan untuk menghampiri Deni yang tengah bersantai di ruang tamu, untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.
"Den," tanyaku, lalu duduk pada bangku, ia menoleh sesaat, seolah menanti kalimat selanjutnya, "Gw serius mau tanya, tapi jawab jujur?"
Mendengar itu Deni meletekan ponselnya, lalu menyeruput kopi hangatnya, "Tanya aja, Vin."
Aku menghela nafas, wajahku tertunduk mencari kalimat yang tepat untuk memulai perkataan.
"Apa yang lu inget," tanyaku, bernada datar berharap ia mengerti jika ini bukanlah sebuah candaan. "Dari sore sampe malem," lanjutku, berhasil membuatnya jatuh ke dalam ingatan.
Wajahnya serius, terlihat dari dua alis-nya yang nyaris bertemu. "Saat lu pergi sama Rifaldy.. Gw tidur di kamar," jawabnya, dengan lantang. Sorot matanya tak memancarkan jika ia sedang berbohong.
Singkat namun tak bisa aku patahkan, tapi tentu aku tak bisa berhenti sampai di sini, seakan belum puas untuk mencari tahu.
"Lu ngga ngerasain apa pun semalaman?" tambahku, ia hanya menggeleng dibalik lamunannya yang masih mencoba mengingat-ingat. "Atau apa yang lu rasain pas bangun tidur?"
Ia terhentak, lalu menunjuk ke arah bibirnya, "Bangun tidur, bibir sama lidah gw berasa kasar, sakit pula!" ungkapnya, sambil memperlihatkan lidahnya. "Tenggorokan gw juga berasa perih banget," lanjutnya.
Bagaimana tidak, bibir dan lidahnya nampak merah, itu disebabkan oleh air panas yang ia tenggak semalam. Mendengar jawaban atas pertanyaanku, membuat tersadar jika ia benar-benar tak merasakan apapun.
"Emang ada apaan, si?" tanya Deni, dengan mulai terdengar curiga dengan sikapku.
Aku menggeleng samar, berpikir bahwa tak mungkin untuk menceritakan semua kejadian semalam kepadanya. Lebih baik, aku menunggu waktu yang tepat untuk memberitahunya.
"Ngga ada apa-apa, Pa," jawabku, lalu bangkit. Sebaiknya aku pergi mandi, berharap bisa lebih segar dari ini. Sayang rasanya jika harus membiarkan udara pagi yang segar berlalu begitu saja.
Namun langkahku tercekat, ketika aku terhentak oleh sebuah ingatan. Aku menoleh kearah Deni. "Den, nanti kalau ada dokter yang datang, lu pura-pura sakit, ya!"
"Dokter?" Ia bertanya balik, berusaha menangkap perkataanku. "Gw udah sembuh kok."
Aku kembali memutar otak untuk mencari alasan yang tepat. "Bang Ferdy sewa dokter buat periksa kondisi lu, tiap pagi katanya dokter itu dateng," jawabku, lalu melanjutkan langkah.
Terlihat ia kembali mengambil ponselnya, mungkin untuk menanyakan hal itu langsung ke bang Ferdy. Tapi aku tak peduli akan hal itu, melihat ia baik-baik saja pun sudah cukup membuatku lega.
Singkat cerita, siang pun tiba. Saat ini kami sedang berkumpul di ruang tamu untuk menyantap makanan yang Rifaldy ambil dari rumahnya.
Seperti biasa kami duduk bersama pada sebuah tikar, dengan menu makan siang tersusun rapi ditengah.
Aku masih terus mencari cela untuk menceritakan semua itu, dan aku tahu setelah makan siang ini adalah waktu yang paling tepat. Setidaknya Rifaldy dan mang Tohir akan mendukung semua cerita yang akan aku sampaikan.
Hingga kami pun selesai menghabiskan semua santapan sampai tak tersisa, hanya tinggal teh hangat yang berada di gelas masing-masing.
Aku mendekat pada telinga Rifaldy lalu berbisik kepadanya, "Rif, ceritain kejadian semalam," pintaku, namun ia menujuk dengan dagunya kearahku.
"Rif," suara Deni berhasil membuat buyar rencanaku, "Tadi Bang Ferdy telp, dia bilang ada bisnis buat kita."
"Bisnis apaan?" sahut Rifaldy, terdengar ia sangat tertarik. Membuatku mengurungkan niat untuk bercerita.Tapi bukan hanya Rifaldy, jujur saja itu pasti akan membawa angin segar untukku.
"Dia minta cariin rental mobil, buat sewa lima unit," lanjutnya, membuat aku dan Rifaldy saling bertukar pandang.
Aku menyerah dengan itu, karena tak satu pun dari temanku yang melakukan bisnis rental mobil. Tapi sepertinya tidak dengan Rifaldy.
Ia banyak memiliki teman diluar, yang mungkin memiliki hubungan dengan bisnis itu.
"Buat apaan dia nyewa lima mobil," gumam Rifaldy, terlihat memikirkan sesuatu.
"Katanya buat jemput teman bisnis dia yang dari singapura," timpal Deni, membuka pikiran Rifaldy yang sebelumnya meragu.
"Coba entar, gw tanya dulu sama si Rani, waktu itu dia pernah mau sewa mobil sama gw, siapa tau dia nyari ke orang lain," jawab Rifaldy lalu sibuk dengan layar ponselnya.
"Ya udah coba aja, Rif.. Buat nanti sore gitu," tambah Deni.
"Sore? Buru-buru banget, mana dadakan lagi," komentar Rifaldy. Lalu ia bangkit, sepertinya ia akan berbicara dengan seseorang di ponselnya.
Nampaknya semua orang telah melupakan kejadian hebat yang kami alami semalam. Ataukah hanya diriku yang menyikapinya dengan berlebihan.
Mang Tohir juga kembali melanjutkan pekerjaannya, seolah ia tak pernah terkapar di lantai dapur.
Sedangkan Rifaldy jauh lebih perah lagi, ia bahkan tak ingin jika aku membahas akan kejadi semalam. Mungkin itu juga yang harus aku lakukan, agar tidak terlalu paranoid saat menjelang malam.
"Ada nih!" seru Rifaldy, kembali dari ruang dapur. Sepertinya ia mendapatkan apa yang ia cari dan itu membuat Deni terlihat senang.
"Mantap!!" timpal Deni mengacungkan jempolnya, "Ya udah lu telp Bang Ferdy."
Aku tak bisa masuk pada situasi ini, terasa kaku bagiku. Karena aku tidak begitu dekat dengan Kakak Rifaldy. Bahkan bertemu pun baru beberapa kali saja.
"Gilaa!!" terdengar nada tinggi Rifaldy seusai ia berbicara dengan bang Ferdy. "Dia minta kita bawa mobilnya sore ini juga!"
"Ya, kan. Tadi udah gw bilang," sahut Deni yang tak terkejut mendengarnya.
"Lima mobil, yang bisa bawa mobil di sini, lu sama Deni doang," ucapku, berlaga menimpali.
Rifaldy berusaha keras mencari daftar nama temannya yang ia tahu bisa mengemudikan mobil. "Gw, Deni, Budi, Arya... Satu lagi sapa ini?" gumamnya.
Ia, saat ini kami justru disibukan dengan pekerjaan dadakan yang diberikan Bang Ferdy. Rifaldy mencoba menghubungi teman yang ia maksud. Hingga akhirnya Rifaldy berhasil mengumpulkan semuanya.
Siang hari ini, udara terasa sedikit sejuk dikala mata hari tertutup awan hitam. Sepertinya akan turun hujan di sore hari. Aku duduk di teras depan berasama ketiga kawan Rifaldy yang baru aku kenal.
Mengingat Rifaldy dan Deni sedang dalam perjalanan menuju rental mobil yang ia dapat dari teman wanitanya.
Tak banyak yang aku bicarakan dengan ketiga orang ini, hanya duduk sambil menikmati kopi. Sesekali aku memperhatikan mang Tohir yang sibuk seorang diri menyusun potongan keramik untuk mempercantik tanga rumah.
Singkat cerita Deni dan Rifaldy telah kembali dengan dua mobil yang mereka kendarai, mobil itu berwarna biru dan merah yang diparkir di sisi jalan.
"Vin, ayo!" Ajakan Deni tak mungkin aku tolak, namun aku memikirkan bagaimana kondisi mang Tohir jika kami semua pergi bersama. Selain itu aku juga tak ingin jika hanya berdua dengan Mang Tohir di rumah aneh ini.
"Semua pergi, mang Tohir gimana, Den?" tanyaku, dengan raut wajah bingung.
Deni tersenyum, tak mengurangi raut wajah senangnya, "Bawa dia juga, masa ia ditinggal di sini.. Kita ngga lama kok, besok sore juga udah balik," jelas Deni, membuatku lega. Namun tetap saja masih ada yang aku cemaskan. Bagaimana jika ada orang yang membobol rumah ini saat tahu kami semua pergi.
"Yakin lu, Den?" aku membiarkan Deni agar menimbang keputusannya.
"Udah tenang, aja! Bang Ferdy juga udah tau, kok, " jawabnya dengan santai. "Selama kita di sini ngga pernah liat orang malem-malem lewat," lanjutnya, memberi alasan yanh sangat tak meyakinkan.
Tapi siapa peduli, jika tuan rumah sudah mengizinkan kami semua pergi. Tak banyak cerita, aku dan yang lain segera berkemas, berisap-siap. Tak lupa juga menutup rapat semua pintu dan jendela.
Lima mobil yang terparkir menyuguhkan pemandangan ramai dan meriah, seolah mengubur semua misteri yang tersimpan dibalik bangunan ini.
Aku berada di mobil bersama Deni, ini titah dari Rifaldy kepadaku—untuk berjaga-jaga jika hal buruk kembali Deni rasakan. Selain itu aku juga berencana untuk menceritakan semua yang terjadi padanya. Mungkin dalam perjalan ini kami bisa saling mempercayai.
Mobil terus melaju, tujuan kami saat ini ke rumah Bang Ferdy yang berada di Serang Banten. Ini kali pertamaku berkunjung ke sana, bahkan aku tak mengerti untuk apa aku mengikuti mereka, semua ini juga masih pinta dari Rifaldy.
Suasana begitu terkendali, sesekali aku dan Deni tertawa kecil dari gurauan percakapan. Aku bisa merasakan kondisi Deni dalam keadaan yang sangat baik.
"Den," Aku mencoba membuka pembahasan lain. "Gw mau cerita, sesuatu yang mungkin harus lu tau," lanjutku, membuat Deni menoleh sesaat lalu kembali fokus ke depan.
"Cerita apa, Vin," jawab Deni, lalu terdiam seakan ingin menebak isi kepalaku, "Oh, gw tau! Lu mau cerita si Budi, ya?" lanjutnya, lalu tertawa terkekeh, aku pun ikut menahan tawa saat teringat kejadian di mana Budi terpeleset akibat adukan Mang Tohir. Bukan tingkahnya yang membuat kami tertawa, tapi ekspresi wajah kocaknya saat ia terjatuh.
Aku menghela nafas, mencoba mengalihkan suasana, "Bukan.. Bukan.. Ini yang terjadi sama lu waktu malem tadi," lanjutku, membuat Deni terhenti dari tawanya.
"Kenapa si gw, Vin? Ada yang aneh?"
"Bukan cuma aneh, Pa! Tapi ngeri!"
"Ngeri?"
"Lu benaran ngga inget?"
"Ya'elah! Apaan, si?"
"Lu tau? Sebenernya lu itu ngga tidur semalaman!" ungkapku, membuat Deni terhening. "Lu pasti ngga percaya, kalau gw ceritaan. Tapi lu boleh tanya sama Rifaldy dan Mang Tohir nanti!"
"Emang apa yang terjadi sama gw, Vin?"
"Itu di mulai waktu sore sampai mau subuh.. Dari lu berdiri kaya orang kerasukan, terus pingsan ga jelas, parahnya lu sampai mutab darah!" Ucapanku berhasil mendapatkan perhariannya, ia terperangah menoleh cepat. "Lu benar-bener menderita, Den," tutupku.
Deni terhening, matanya tak bergerak menatap jalan raya dengan kosong, seolah membiarkan semua cerita ini terungkap.
"Luka di mulut lu, jadi bukti, kalau gw ngga ngarang!" Deni tak menjawab, masih bertahan dengan raut wajah datarnya. "Gw ngga ngerti, lu sakit atau apa... Tapi jangan lu tutup-tutupi sendiri! Gw ngga pengen lu kayak kemarin lagi."
Nampak jelas raut wajahnya berubah, seolah i tenggelam dalam pemikiran yang dalam. "Gw bener-bener ngga ngerti apa yang lu omongi, Vin. Tapi kalau boleh jujur, emang ada sesuatu yang terjadi sama gw!" Aku melirik cepat kearahnya, seolah menemukan sesuatu yang ia sembunyikan.
"Apa, Den?"
"Tapi gw juga belum sepenuhnya yakin!" Deni menghela nafas, nampak sangat berat untuk berkata. "Lu orang kedua yang bilang gitu setelah Mang Rudi."
Aku tersedar dan teringat kejadian yang lalu, bisa jadi mang Rudi juga mengalami hal yang sama saat ia merawat Deni waktu lalu.
"Gw pernah lakuin kesalahan, Vin!"
"Kesalahan? Maksud lu, Den?"
"Itu terjadi, saat Ade gw main ke loji, Vin." Ia menggaruk kepalanya kasar, menggambarkan dirinya dilanda keraguan atau penyesalan. "Gw pernah bersikap sompral, dengan memaki hal yang menurut gw ngga nyata! Tapi anehnya.. Setelah itu, banyak kejadian aneh yang kerap gw alami."
Mendengar perkataannya berhasil membuat bulu-kuduk ini meremang. Aku tak bisa menemukan ilustrasi yang baik dari perkataan Deni.
"Maksud lu?" aku berpikir keras, mencoba merangkai kemungkinan yang bisa terjadi. "Lu, nantangin setan yang ada di loji?"
Deni mengangguk samar, sesaat melirik dengan tegas. Sorot matanya penuh keyakinan, berhasil membuatku melongo.
Bagaimana bisa Anak ini bertingkah sebodoh itu, jangankan untuk memaki, baru mendengar suara-suara aneh pun, sudah cukup membuatku seketika mati rasa.
"Vin," aku menggeret lirik perlahan. "Ngga usah cerita hal ini ke yang lain. Gw takut jadi bahan olok-olokan."
"Gw juga ngerasa begitu awalnya," Aku berniat mengimbangi situasi agar ia tidak meresa sendiri. "Tapi semakin ke sini, rumah itu semakin terasa aura negatifnya! Bahkan bukan gw sama lu aja, Den.. Tapi Rifaldy dan Mang Tohir."
"Ardian.. " gumam Deni membuatku mengkerutkan kedua alis, sekilas membuka ingatan yang hampir terlupakan.
Bagaimana bisa, kami semua melupakan sosok Ardian yang biasa berbaur bersama, hampir satu bulan kami tak berjumpa dengannya. Terakhir terdengar kabar jika ia sedang sakit, tapi hanya sekedar sakit gigi biasa.
"Semoga tak ada yang salah dibalik sakitnya," lanjut Deni, terdengar seperti menduga, jika ada suatu hal yang lebih serius menimpa Ardian.
"Nanti kita jenguk, Yuk, " ajaku, Deni pun Setuju dengan gagasan ini.
Perjalanan yang cukup panjang kami lalui, jalan yang berkelok terbentang disebuah perdesaan. Kami memilih Rute perdesaan untuk menghindari kemacetan kota.
Rute ini yang menghubungkan beberapa wilayah diantaranya: Bogor, Leuwiliang, Jasinga, Tanggerang dan Bantan.
Walau awalnya aku kira kami akan lewat jalan tol yang bisa mempercepat perjalanan.
Sepanjang jalan aku terus waspada, melirik jam dan sesekali melirik kearah Deni, memastikan akan kondisinya. Walau mata hari sudah mulai terbenam, tapi anehnya tidak ada gelaja atau perubahan dengan kondisinya.
Iring-iringan mobil kami pun tiba pada sebuah perumahan yang cukup mewah, namun diantara rumah itu hanya satu yang terlihat berbeda.
Dari kejauhan aku sudah dapat mengira jika itu rumah Bang Ferdy, karena dari ciri bangunannya hampir sama seperti di rumah Loji. Namun tentu rumah ini sudah sepenuhnya selesai.
Mobil terparkir rapih di depan rumah, dan nampak Bang Ferdy keluar dari dalam rumah menyadari kedatangan kami.
Lelahnya perjalanan membuat kami semua tak banyak cerita, kami hanya membuntut dibelakang Deni dan Rifaldy. Sepertnya mereka sudah sering berkunjung ke sini.
Di depan rumah, nampak kolam renang yang penuh estetika, dengan ukiran naga yang menciptakan semburan air pada setiap sisi. Selain itu, di sebalah kanan ada pelataran hijau yang cukup luas lengkap dengan gazebo beratapkan jerami—terlihat nyaman untuk beristirahat di sana.
Lampu masih padam, menyisakan kegelapan pekat yang hanya diterangi oleh sinar ponsel di tangan Rifaldy. Cahaya itu tak cukup untuk menerangi seluruh ruangan, hanya membentuk lingkaran samar di sekitar tubuh Deni yang terbaring tak sadarkan diri di atas kasur. Tubuh Deni kaku, kulitnya semakin pucat. Walau tak ada yang mengkhawatirkan dari kondisi Mang Tohir namun jelas ini menambah suasana memburuk.
Dari luar, suara angin menderu cukup kuat, menerpa apa saja yang ada di depan rumah , seakan menciptakan suara bising di tengah keheningan.
Rifaldy berdiri di sudut ruangan, kedua tangannya menggenggam ponsel erat-erat, wajahnya tegang bercampur ke cemasan melihat dua tubuh sudah tak berdaya.
Aku hanya menelan ludah, mencoba menenangkan diri dari ketakutan yang terus menjalari pikiranku. Sesekali aku menatap Deni dan Mang Tohir yang masih tak bergerak, dengan berjuta pertanyaan yang kian menggulung di dalam kepalaku.
"Rif," tanyaku, mengedarkan mata ke langit-langit kamar, "ngga ada solusi ini listrik?" lanjutku.
"Ia, mau di apain, Vin? Nanti juga nyala," jawab Rifaldy, sepertinya ia sudah enggan untuk membahas apapun.
Aku terhentak, seketika mematung, mataku mulai melebar, "Riff... Denger?" ucapku, menaikan 1 jari meminta Rifaldy untuk meningkatkan pendengarannya.
Lirih, suara seorang wanita memanggil nama Deni dengan sangat panjang. Suaranya, terdengar jauh, namun semakin jelas.
"Di depan?" gumam Rifaldy, meyakini jika suara itu berasal dari depan rumah.
Semakin aku perjelas suara itu terasa semakin nyata, seketika sekujur tubuhku bergetar seraya bulu kuduku berdiri hingga kepala. Mustahil seorang wanita normal selarut ini berada di depan rumah Loji.
"Mending tutup telinga, lalu kita tidur!" saran Rifaldy, ia mengambil selimut, lalu berisap tidur di depan TV beralas karpet tipis.
Aku tak ingin ketinggalan, segera ikut bersamanya lalu bersembunyi di dalam selimut tebal. Wajahku masih terasa tegang, seolah kami tengah di intai untuk diburu.
********
Suara sendok dan gelas yang beradu, menyiratkan jika seseorang tengah membuat segelas kopi. Aku mendengus, masih terasa malas untuk tergugah, namun hawa dingin ini terasa sangat menggangu, membuatku membuka mata sayu.
Akhirnya aku sadari, hawa dingin ini berasal dari pintu kamar yang sudah terbuka lebar. Kicauan burung-burung yang bernyanyi membuka cahaya pagi dari balik jendela.
Aku menghela nafas lega, merasakan kepuasan yang mendalam—akhirnya malam pun telah berlalu, membuka sedikit celah ketenangan dalam hati ini.
Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Aku mencoba bangkit untuk memastikan siapa diantara kedua pasien itu yang telah terbangun. Aku menaikan kedua alis, mataku berkedip-kedip, saat melihat tak ada satu orang pun di atas kasur.
"Tumben udah bangun," aku menoleh pada sumber suara, dan nampak Deni berdiri lugas di ambang pintu kamar dengan segelas kopi panas di tangannya.
Aku melirik kesegala arah, mencoba mencari arti dari semua ini. Masih terekam jelas di benak-ku, seberapa parah kondisi Deni saat malam tadi.
"Lu, udah sehat?" tanyaku, penuh keraguan. Ia masih kekal berdiri menatapku dengan senyum hangatnya.
"Mandi sana, biar seger kayak gw," jawab Deni terdengar nada riang dan penuh semangat, seolah ia tak merasakan apa yang terjadi sebelumnya.
Merasa tak mendapatkan jawaban, aku pun bangkit dan memperhatikan gerak tubuh Deni dari jarak dekat.
"Kenapa si lu?" tanyanya, sambil mengernyitkan alis, nampak heran melihat sikapku.
Masih tak percaya dengan apa yang kudapati, aku mencoba mencubit lenganku berharap ini mimpi. Namun, jelas ini sangat nyata.
Entah aku harus cemas atau bahagia, semua kejadian yang aku alami semalam bercampur aduk menyatu menjadi sebuah misteri yang sulit aku terima.
Aku menghela nafas lelah, wajahku datar melirik ke arah Deni yang kini sedang menikmati kopi hangatnya. Seakan menyajikan kisah yang bereda denganku.
Aku masih mematung di ruang tamu, menoleh ke arah dapur yang nampak mang Tohir sedang berisap untuk bekerja. Tanpa banyak tanya aku pun menghampirinya.
"Bentarr.. Bentar.." tahanku, menghentikan kegiatan mang Tohir. Tentu ia menatap kearahku juga. "Masih ingat kejadian semalam, Mang?" lanjutku.
Rau wajah bersinar berubah menjadi datar tak berwarna. Sepertinya mang Tohir ingat dengan apa yang kami lalui saat malam.
Ia kembali menatapku, menunjuk dengan dagunya kearah belakang rumah, tepat pada sebuah pohon rambutan. "Di sana saya liat kaki.. Besaaaarr banget!" ungkapnya, ia menghela nafas, lalu duduk di atas lantai. "Awalnya saya kira itu pohon rambutan, tapi pas saya tegesin lagi.. kenapa pohonnya berbulu."
Wajahnya kaku, melukiskan teroma yang ia rasakan, "Tapi yang membuat saya ngga tahanitu," ia menunjuk ke arah jendela, menegaskan sesuatu dimaksudnya berasal dari luar rumah, turun dari atas. "Awalnya rambut, mas.. Ngga lama kepala yang keluar."
Aku menghela nafas panjang, sedikit melirik Deni yang masih berada di ruang tamu, lalu kembali ke mang Tohir.
"Sebenarnya saya sudah bangun dari jam berapa itu lupa.. Karena ngantuk, jadi saya lanjut," tambahnya dengan tertawa, seolah merasa tidak enak.
"Ngga apa-apa, Mang. Penting mang Tohir sehat," tutupku. Lalu terhening.
"Saya bangun udah ad di kamar, pasti Mas Kevin sama Mas Rifaldy yang angkat saya," ucapnya, lantas menoleh kearahku dengan raut wajah bangga, "Makasih ya Mas, udah nolong saya."
Aku hanya menganguk samar, membiarkan semua ini berlalu dan terlupakan. Namun, bagaimana pun juga, jelas semua ini akan menjadi pengalaman yang mustahil aku lupakan.
Apa yang terjadi semalam berhasil membuat sekujur tubuhku terasa berat dan lelah, sebenarnya ingin sekali aku kembali ke kamar—membiarkan tubuh ini beristirahat. Namun, rasa masih ada pertanyaan yang belum usai.
Aku pun memutuskan untuk menghampiri Deni yang tengah bersantai di ruang tamu, untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.
"Den," tanyaku, lalu duduk pada bangku, ia menoleh sesaat, seolah menanti kalimat selanjutnya, "Gw serius mau tanya, tapi jawab jujur?"
Mendengar itu Deni meletekan ponselnya, lalu menyeruput kopi hangatnya, "Tanya aja, Vin."
Aku menghela nafas, wajahku tertunduk mencari kalimat yang tepat untuk memulai perkataan.
"Apa yang lu inget," tanyaku, bernada datar berharap ia mengerti jika ini bukanlah sebuah candaan. "Dari sore sampe malem," lanjutku, berhasil membuatnya jatuh ke dalam ingatan.
Wajahnya serius, terlihat dari dua alis-nya yang nyaris bertemu. "Saat lu pergi sama Rifaldy.. Gw tidur di kamar," jawabnya, dengan lantang. Sorot matanya tak memancarkan jika ia sedang berbohong.
Singkat namun tak bisa aku patahkan, tapi tentu aku tak bisa berhenti sampai di sini, seakan belum puas untuk mencari tahu.
"Lu ngga ngerasain apa pun semalaman?" tambahku, ia hanya menggeleng dibalik lamunannya yang masih mencoba mengingat-ingat. "Atau apa yang lu rasain pas bangun tidur?"
Ia terhentak, lalu menunjuk ke arah bibirnya, "Bangun tidur, bibir sama lidah gw berasa kasar, sakit pula!" ungkapnya, sambil memperlihatkan lidahnya. "Tenggorokan gw juga berasa perih banget," lanjutnya.
Bagaimana tidak, bibir dan lidahnya nampak merah, itu disebabkan oleh air panas yang ia tenggak semalam. Mendengar jawaban atas pertanyaanku, membuat tersadar jika ia benar-benar tak merasakan apapun.
"Emang ada apaan, si?" tanya Deni, dengan mulai terdengar curiga dengan sikapku.
Aku menggeleng samar, berpikir bahwa tak mungkin untuk menceritakan semua kejadian semalam kepadanya. Lebih baik, aku menunggu waktu yang tepat untuk memberitahunya.
"Ngga ada apa-apa, Pa," jawabku, lalu bangkit. Sebaiknya aku pergi mandi, berharap bisa lebih segar dari ini. Sayang rasanya jika harus membiarkan udara pagi yang segar berlalu begitu saja.
Namun langkahku tercekat, ketika aku terhentak oleh sebuah ingatan. Aku menoleh kearah Deni. "Den, nanti kalau ada dokter yang datang, lu pura-pura sakit, ya!"
"Dokter?" Ia bertanya balik, berusaha menangkap perkataanku. "Gw udah sembuh kok."
Aku kembali memutar otak untuk mencari alasan yang tepat. "Bang Ferdy sewa dokter buat periksa kondisi lu, tiap pagi katanya dokter itu dateng," jawabku, lalu melanjutkan langkah.
Terlihat ia kembali mengambil ponselnya, mungkin untuk menanyakan hal itu langsung ke bang Ferdy. Tapi aku tak peduli akan hal itu, melihat ia baik-baik saja pun sudah cukup membuatku lega.
Singkat cerita, siang pun tiba. Saat ini kami sedang berkumpul di ruang tamu untuk menyantap makanan yang Rifaldy ambil dari rumahnya.
Seperti biasa kami duduk bersama pada sebuah tikar, dengan menu makan siang tersusun rapi ditengah.
Aku masih terus mencari cela untuk menceritakan semua itu, dan aku tahu setelah makan siang ini adalah waktu yang paling tepat. Setidaknya Rifaldy dan mang Tohir akan mendukung semua cerita yang akan aku sampaikan.
Hingga kami pun selesai menghabiskan semua santapan sampai tak tersisa, hanya tinggal teh hangat yang berada di gelas masing-masing.
Aku mendekat pada telinga Rifaldy lalu berbisik kepadanya, "Rif, ceritain kejadian semalam," pintaku, namun ia menujuk dengan dagunya kearahku.
"Rif," suara Deni berhasil membuat buyar rencanaku, "Tadi Bang Ferdy telp, dia bilang ada bisnis buat kita."
"Bisnis apaan?" sahut Rifaldy, terdengar ia sangat tertarik. Membuatku mengurungkan niat untuk bercerita.Tapi bukan hanya Rifaldy, jujur saja itu pasti akan membawa angin segar untukku.
"Dia minta cariin rental mobil, buat sewa lima unit," lanjutnya, membuat aku dan Rifaldy saling bertukar pandang.
Aku menyerah dengan itu, karena tak satu pun dari temanku yang melakukan bisnis rental mobil. Tapi sepertinya tidak dengan Rifaldy.
Ia banyak memiliki teman diluar, yang mungkin memiliki hubungan dengan bisnis itu.
"Buat apaan dia nyewa lima mobil," gumam Rifaldy, terlihat memikirkan sesuatu.
"Katanya buat jemput teman bisnis dia yang dari singapura," timpal Deni, membuka pikiran Rifaldy yang sebelumnya meragu.
"Coba entar, gw tanya dulu sama si Rani, waktu itu dia pernah mau sewa mobil sama gw, siapa tau dia nyari ke orang lain," jawab Rifaldy lalu sibuk dengan layar ponselnya.
"Ya udah coba aja, Rif.. Buat nanti sore gitu," tambah Deni.
"Sore? Buru-buru banget, mana dadakan lagi," komentar Rifaldy. Lalu ia bangkit, sepertinya ia akan berbicara dengan seseorang di ponselnya.
Nampaknya semua orang telah melupakan kejadian hebat yang kami alami semalam. Ataukah hanya diriku yang menyikapinya dengan berlebihan.
Mang Tohir juga kembali melanjutkan pekerjaannya, seolah ia tak pernah terkapar di lantai dapur.
Sedangkan Rifaldy jauh lebih perah lagi, ia bahkan tak ingin jika aku membahas akan kejadi semalam. Mungkin itu juga yang harus aku lakukan, agar tidak terlalu paranoid saat menjelang malam.
"Ada nih!" seru Rifaldy, kembali dari ruang dapur. Sepertinya ia mendapatkan apa yang ia cari dan itu membuat Deni terlihat senang.
"Mantap!!" timpal Deni mengacungkan jempolnya, "Ya udah lu telp Bang Ferdy."
Aku tak bisa masuk pada situasi ini, terasa kaku bagiku. Karena aku tidak begitu dekat dengan Kakak Rifaldy. Bahkan bertemu pun baru beberapa kali saja.
"Gilaa!!" terdengar nada tinggi Rifaldy seusai ia berbicara dengan bang Ferdy. "Dia minta kita bawa mobilnya sore ini juga!"
"Ya, kan. Tadi udah gw bilang," sahut Deni yang tak terkejut mendengarnya.
"Lima mobil, yang bisa bawa mobil di sini, lu sama Deni doang," ucapku, berlaga menimpali.
Rifaldy berusaha keras mencari daftar nama temannya yang ia tahu bisa mengemudikan mobil. "Gw, Deni, Budi, Arya... Satu lagi sapa ini?" gumamnya.
Ia, saat ini kami justru disibukan dengan pekerjaan dadakan yang diberikan Bang Ferdy. Rifaldy mencoba menghubungi teman yang ia maksud. Hingga akhirnya Rifaldy berhasil mengumpulkan semuanya.
Siang hari ini, udara terasa sedikit sejuk dikala mata hari tertutup awan hitam. Sepertinya akan turun hujan di sore hari. Aku duduk di teras depan berasama ketiga kawan Rifaldy yang baru aku kenal.
Mengingat Rifaldy dan Deni sedang dalam perjalanan menuju rental mobil yang ia dapat dari teman wanitanya.
Tak banyak yang aku bicarakan dengan ketiga orang ini, hanya duduk sambil menikmati kopi. Sesekali aku memperhatikan mang Tohir yang sibuk seorang diri menyusun potongan keramik untuk mempercantik tanga rumah.
Singkat cerita Deni dan Rifaldy telah kembali dengan dua mobil yang mereka kendarai, mobil itu berwarna biru dan merah yang diparkir di sisi jalan.
"Vin, ayo!" Ajakan Deni tak mungkin aku tolak, namun aku memikirkan bagaimana kondisi mang Tohir jika kami semua pergi bersama. Selain itu aku juga tak ingin jika hanya berdua dengan Mang Tohir di rumah aneh ini.
"Semua pergi, mang Tohir gimana, Den?" tanyaku, dengan raut wajah bingung.
Deni tersenyum, tak mengurangi raut wajah senangnya, "Bawa dia juga, masa ia ditinggal di sini.. Kita ngga lama kok, besok sore juga udah balik," jelas Deni, membuatku lega. Namun tetap saja masih ada yang aku cemaskan. Bagaimana jika ada orang yang membobol rumah ini saat tahu kami semua pergi.
"Yakin lu, Den?" aku membiarkan Deni agar menimbang keputusannya.
"Udah tenang, aja! Bang Ferdy juga udah tau, kok, " jawabnya dengan santai. "Selama kita di sini ngga pernah liat orang malem-malem lewat," lanjutnya, memberi alasan yanh sangat tak meyakinkan.
Tapi siapa peduli, jika tuan rumah sudah mengizinkan kami semua pergi. Tak banyak cerita, aku dan yang lain segera berkemas, berisap-siap. Tak lupa juga menutup rapat semua pintu dan jendela.
Lima mobil yang terparkir menyuguhkan pemandangan ramai dan meriah, seolah mengubur semua misteri yang tersimpan dibalik bangunan ini.
Aku berada di mobil bersama Deni, ini titah dari Rifaldy kepadaku—untuk berjaga-jaga jika hal buruk kembali Deni rasakan. Selain itu aku juga berencana untuk menceritakan semua yang terjadi padanya. Mungkin dalam perjalan ini kami bisa saling mempercayai.
Mobil terus melaju, tujuan kami saat ini ke rumah Bang Ferdy yang berada di Serang Banten. Ini kali pertamaku berkunjung ke sana, bahkan aku tak mengerti untuk apa aku mengikuti mereka, semua ini juga masih pinta dari Rifaldy.
Suasana begitu terkendali, sesekali aku dan Deni tertawa kecil dari gurauan percakapan. Aku bisa merasakan kondisi Deni dalam keadaan yang sangat baik.
"Den," Aku mencoba membuka pembahasan lain. "Gw mau cerita, sesuatu yang mungkin harus lu tau," lanjutku, membuat Deni menoleh sesaat lalu kembali fokus ke depan.
"Cerita apa, Vin," jawab Deni, lalu terdiam seakan ingin menebak isi kepalaku, "Oh, gw tau! Lu mau cerita si Budi, ya?" lanjutnya, lalu tertawa terkekeh, aku pun ikut menahan tawa saat teringat kejadian di mana Budi terpeleset akibat adukan Mang Tohir. Bukan tingkahnya yang membuat kami tertawa, tapi ekspresi wajah kocaknya saat ia terjatuh.
Aku menghela nafas, mencoba mengalihkan suasana, "Bukan.. Bukan.. Ini yang terjadi sama lu waktu malem tadi," lanjutku, membuat Deni terhenti dari tawanya.
"Kenapa si gw, Vin? Ada yang aneh?"
"Bukan cuma aneh, Pa! Tapi ngeri!"
"Ngeri?"
"Lu benaran ngga inget?"
"Ya'elah! Apaan, si?"
"Lu tau? Sebenernya lu itu ngga tidur semalaman!" ungkapku, membuat Deni terhening. "Lu pasti ngga percaya, kalau gw ceritaan. Tapi lu boleh tanya sama Rifaldy dan Mang Tohir nanti!"
"Emang apa yang terjadi sama gw, Vin?"
"Itu di mulai waktu sore sampai mau subuh.. Dari lu berdiri kaya orang kerasukan, terus pingsan ga jelas, parahnya lu sampai mutab darah!" Ucapanku berhasil mendapatkan perhariannya, ia terperangah menoleh cepat. "Lu benar-bener menderita, Den," tutupku.
Deni terhening, matanya tak bergerak menatap jalan raya dengan kosong, seolah membiarkan semua cerita ini terungkap.
"Luka di mulut lu, jadi bukti, kalau gw ngga ngarang!" Deni tak menjawab, masih bertahan dengan raut wajah datarnya. "Gw ngga ngerti, lu sakit atau apa... Tapi jangan lu tutup-tutupi sendiri! Gw ngga pengen lu kayak kemarin lagi."
Nampak jelas raut wajahnya berubah, seolah i tenggelam dalam pemikiran yang dalam. "Gw bener-bener ngga ngerti apa yang lu omongi, Vin. Tapi kalau boleh jujur, emang ada sesuatu yang terjadi sama gw!" Aku melirik cepat kearahnya, seolah menemukan sesuatu yang ia sembunyikan.
"Apa, Den?"
"Tapi gw juga belum sepenuhnya yakin!" Deni menghela nafas, nampak sangat berat untuk berkata. "Lu orang kedua yang bilang gitu setelah Mang Rudi."
Aku tersedar dan teringat kejadian yang lalu, bisa jadi mang Rudi juga mengalami hal yang sama saat ia merawat Deni waktu lalu.
"Gw pernah lakuin kesalahan, Vin!"
"Kesalahan? Maksud lu, Den?"
"Itu terjadi, saat Ade gw main ke loji, Vin." Ia menggaruk kepalanya kasar, menggambarkan dirinya dilanda keraguan atau penyesalan. "Gw pernah bersikap sompral, dengan memaki hal yang menurut gw ngga nyata! Tapi anehnya.. Setelah itu, banyak kejadian aneh yang kerap gw alami."
Mendengar perkataannya berhasil membuat bulu-kuduk ini meremang. Aku tak bisa menemukan ilustrasi yang baik dari perkataan Deni.
"Maksud lu?" aku berpikir keras, mencoba merangkai kemungkinan yang bisa terjadi. "Lu, nantangin setan yang ada di loji?"
Deni mengangguk samar, sesaat melirik dengan tegas. Sorot matanya penuh keyakinan, berhasil membuatku melongo.
Bagaimana bisa Anak ini bertingkah sebodoh itu, jangankan untuk memaki, baru mendengar suara-suara aneh pun, sudah cukup membuatku seketika mati rasa.
"Vin," aku menggeret lirik perlahan. "Ngga usah cerita hal ini ke yang lain. Gw takut jadi bahan olok-olokan."
"Gw juga ngerasa begitu awalnya," Aku berniat mengimbangi situasi agar ia tidak meresa sendiri. "Tapi semakin ke sini, rumah itu semakin terasa aura negatifnya! Bahkan bukan gw sama lu aja, Den.. Tapi Rifaldy dan Mang Tohir."
"Ardian.. " gumam Deni membuatku mengkerutkan kedua alis, sekilas membuka ingatan yang hampir terlupakan.
Bagaimana bisa, kami semua melupakan sosok Ardian yang biasa berbaur bersama, hampir satu bulan kami tak berjumpa dengannya. Terakhir terdengar kabar jika ia sedang sakit, tapi hanya sekedar sakit gigi biasa.
"Semoga tak ada yang salah dibalik sakitnya," lanjut Deni, terdengar seperti menduga, jika ada suatu hal yang lebih serius menimpa Ardian.
"Nanti kita jenguk, Yuk, " ajaku, Deni pun Setuju dengan gagasan ini.
Perjalanan yang cukup panjang kami lalui, jalan yang berkelok terbentang disebuah perdesaan. Kami memilih Rute perdesaan untuk menghindari kemacetan kota.
Rute ini yang menghubungkan beberapa wilayah diantaranya: Bogor, Leuwiliang, Jasinga, Tanggerang dan Bantan.
Walau awalnya aku kira kami akan lewat jalan tol yang bisa mempercepat perjalanan.
Sepanjang jalan aku terus waspada, melirik jam dan sesekali melirik kearah Deni, memastikan akan kondisinya. Walau mata hari sudah mulai terbenam, tapi anehnya tidak ada gelaja atau perubahan dengan kondisinya.
Iring-iringan mobil kami pun tiba pada sebuah perumahan yang cukup mewah, namun diantara rumah itu hanya satu yang terlihat berbeda.
Dari kejauhan aku sudah dapat mengira jika itu rumah Bang Ferdy, karena dari ciri bangunannya hampir sama seperti di rumah Loji. Namun tentu rumah ini sudah sepenuhnya selesai.
Mobil terparkir rapih di depan rumah, dan nampak Bang Ferdy keluar dari dalam rumah menyadari kedatangan kami.
Lelahnya perjalanan membuat kami semua tak banyak cerita, kami hanya membuntut dibelakang Deni dan Rifaldy. Sepertnya mereka sudah sering berkunjung ke sini.
Di depan rumah, nampak kolam renang yang penuh estetika, dengan ukiran naga yang menciptakan semburan air pada setiap sisi. Selain itu, di sebalah kanan ada pelataran hijau yang cukup luas lengkap dengan gazebo beratapkan jerami—terlihat nyaman untuk beristirahat di sana.
Diubah oleh wedi 03-10-2024 10:43
sampeuk dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Kutip
Balas