- Beranda
- Stories from the Heart
Rumah Terbengkalai (True Story)
...
TS
wedi
Rumah Terbengkalai (True Story)

#The Winner Writer II Horor
#Hot Genre Horor No 3.
#Top Catagori Novel Horor No 2.
#On Kaskus: HT ...

Hai, Readers.
Saya punya cerita yang mungkin menarik untuk kalian baca, kisah ini saya angkat dari kejadian nyata yang saya alami sendiri.
Quote:
Quote:
Cerita Lainnya: Audio Versi:
1. Ekspedisi Arkeologi - Kutukan Desa Mola-Mola
1. Ekspedisi Arkeologi - Kutukan Desa Mola-Mola
Spoiler for Temukan Athor di Sosial Media:
Spoiler for Link Donasi Gan:
Quote:
Dana: 081585512078
Spoiler for Fizzo Novel::
Buat yang mau baca Novel author lainnya bisa ke sini: Nama Pena: D. Eyzha_HR.Di sana bisa tanpa baca alias ada fitur audio baca.
Sebelumnya saya minta maaf jika ada:
-Kesalahan dalam Post saya
-Update ceritanya lama.
-Saltik atau Typo karena cerita belum sempat di Revisi ulang.
Quote:
Untuk Versi REVISI DAN TERUPDATE bisa cek di sini: Mangatoon - Rumah Terbengkalai True Story
Quote:
- WARNING -
Dimohon kerjasamanya bagi siapapun yang sudah tahu menahu tentang lokasi di cerita ini untuk tetap MERAHASIAKANNYA. Dan bagi yang MASIH PENASARAN, TS mohon dengan sangat untuk penasaranlah dari segi ceritanya saja (tidak perlu mencari & menerka). Let mystery be a mystery, untuk kebaikan kita bersama & sisi unik dari cerita ini.
Dimohon kerjasamanya bagi siapapun yang sudah tahu menahu tentang lokasi di cerita ini untuk tetap MERAHASIAKANNYA. Dan bagi yang MASIH PENASARAN, TS mohon dengan sangat untuk penasaranlah dari segi ceritanya saja (tidak perlu mencari & menerka). Let mystery be a mystery, untuk kebaikan kita bersama & sisi unik dari cerita ini.
Quote:
Note: SAYA HANYA MEMPOST CERITA INI DI KASKUS DAN MANGATOON. SELAIN DI DUA PLATFORM INI CERITA DIJAMIN PLAGIAT ..
----------------------------------------------------------------
NovelTool: TAMAT
Index On Kaskus (TAMAT)
0. Author Kembali 2024!
1. Prolog.
2. Perkenalan.
3. Rumah Tua Part 1.
4. Rumah Tua End.
5. Malam Pertama Part 1.
6. Malam Pertama End.
7. Interaksi Astral Part 1.
8. Interaksi Astral End.
9. Malam Penuh Cemas: Bab1 (2024)
10. Malam Penuh Cemas: Bab 2 (2024)
11. Malam Penuh Cemas: Bab 3 (2024)
12. Malam Penuh Cemas: End (2024)
13. Munguji Mental: Bab 1 (2024)
14. Menguji Mental: Bab 2 (2024)
15. Menguji Mental: Bab End (2024)
16. Aku Kembali: Bab 1 (2024)
17. Aku Kembali: Bab 2 (2024)
18. Aku Kembali: Bab 3 (2024)
19. Aku Kembali: Bab 4 (2024)
20. Aku Kembali: End (2024)
21. Dia Adik-ku: Bab 1 (2024)
22. Dia Adik-Ku: Bab 2 (2024)
23. Dia Adik-ku: Bab 3 (2024)
24. Dia Adik-Ku: Bab 4 (2024)
25. Dia Adik-Ku: Bab End (2024)
26. Teman Atau Lawan: Bab 1 (2024)
27. Teman Atau Lawan: Bab 1² (2024)
28. Teman Atau Lawan: Bab 2 (2024)
29. Teman Atau Lawan: Bab 3 (2024)
30. Teman Atau Lawan: Bab 4 (2024)
31. Teman Atau Lawan: Bab 5 (2024) ]
32. Teman Atau Lawan: Bab End¹ (2024)
32. Teman Atau Lawan: Bab End (2024)
33. Penderitaan: Bab 1 (2024)
34. POV Kevin: Penderitaan Bab 2 (2024)
35. Pov Kevin: Penderitaan: Bab 3¹ (2024)
36. POV Kevin: Penderitaan: Bab 3² (2024)
37. POV Kevin: Penderitaan: Bab 4¹
38. POV Kevin: Penderitaan: Bab 4²
39. Pov Kevin: Penderitaan bab 5
40. Pov Kevin: Penderitaan bab 6
41. Pov Kevin: Penderitaan Bab 7
42. Pov Kevin: Penderitaan End
43. Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP1
44. Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP2-3
45. Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP4-5
46. Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP6-7
47. Pov Kevin: Mengungkap Misteri End
48. Pov kevin: Perjuangan Akhir EP1-2
49. Perjuangan Akhir EP3
50. Perjuangan Akhir: TAMAT
>>>TAMAT<<<<
----------------------------------------------------------------
Quote:
Plot Story:
Cerita diangkat berdasarkan kisah nyata yang dialami oleh lima Pria remaja asal Bogor Jawa Barat.
Kejadian Bermula ketika Yudi membeli sebuah rumah tua peninggalan belanda yang hendak ia renovasi menjadi bangunan mewah berlantai empat.
Seiring pembangunan berjalan, kejadian aneh kerap dialami oleh para-pekerja yang membuat meraka merasa tidak nyaman, interaksi keberadaan makhluk tak kesat mata terasa kental ketika malam menjelang. Deni dan empat kawannya yang diberi tugas mengawasi pekerja tak luput dari gangguan yang sulit diterima oleh nalar.
Hingga detik ini pembangun telah terhenti, yang tinggal hanya menyisakan rumah besar yang terbengkalai.
Gangguan seperti apa yang mereka rasakan? lalu adakah kisah kelam dibalik berdirinya bangunan besar ini? mari ikuti pengakuannya dalam cerita "Rumah Terbengkalai"
dan pastikan anda tidak membacanya seorang diri.
Diubah oleh wedi 22-10-2024 19:47
iwanridwanmks dan 59 lainnya memberi reputasi
56
57.1K
Kutip
371
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
wedi
#272
Lawan Atau Kawan: Bab 6¹ (2024)
Quote:
Kami duduk bersantai bersama diatas sebuah tikar coklat lengkap dengan perlengkapan makan yang telah kosong tak tersisa. Namun suasana terasa sangat kaku dikala mang Ento akan menceritakan apa yang ia alami saat tadi malam. Tapi begitulah situasi di rumah ini, seakan tidak ingin ada kebahagiaan yang terjalin diantara penghuni rumah.
"Boleh saya lanjutkan ceritanya, Mas?" sambar mang Ento. Sepertinya ia begitu yakin dengan apa yang akan ia sampaikan.
"Sok, coba! Saya pengen denger ceritamu, To," komentar mang Tohir, sembari menyuluh sebatang rokok miliknya.
Aku mulai melirik kearah mang Ento. Raut wajahnya nampak datar dengan tatapan kosong. "Silahkan, Mang. lanjutkan ceritanya," mendengar perkataanku mang Ento menghelakan nafas panjang lalu menghembuskannya.
"Mamang sih bukan mau nakut-nakutin, tapi cuma penasaran aja," matanya nampak menyisir kesegala penjuru rumah. "Saya sih aneh, kenapa setiap malam rumah ini bisa menjadi sangat mencekam!"
Aku masih menatap kearah meng Ento dan sangat mengerti apa yang mang Ento rasakan saat ini, karena hal itu juga yang kerap-kali aku rasakan. Netra-ku bergulir menatap bergantian kepada Rifaldy dan Kevin yang nampak memperhatikan mang Ento dengan serius, tergambar dari cara mereka memandang.
"Kalau saya boleh sebut, mungkin rumah ini lebih cocok dipanggil rumah hantu!" sambung mang Ento yang tentu membuat kami serentak saling bertukar pandang. "Malam tadi saya mengalami hal yang sangat aneh! Sudah diluar nalar saya, Mas!"
"Maksud mang Ento semalam ketemu setan?" sahut datar Rifaldy.
"Kalau ketemu sih ngga Mas, tapi kalau diganggu iya!" lanjutnya, ia meraih bungkus rokok yang terletak tidak jauh darinya dan mulai menyuluh sebatang rokok. Mungkin untuk membuatnya merasa tenang. Tindakan mang Ento pun diikuti oleh Rifaldy dan Kevin yang mulai menyalakan sebatang rokoknya. "Gangguan kayak apa, Mang?" tambah Kevin, seraya Rifaldy menggeser duduknya ke belakang dan menyandarkan punggungnya pada dinding rumah.
"Setelah lampu padam sepontan saya berniat untuk cek NCB, takutnya turun atau apa. Tapi ketika saya buka pintu kamar aroma aneh dan banyak asap yang menyelimuti langit-langit rumah. Saya merasa panik takut terjadi konsleting listrik, tanpa pikir panjang saya lari menuju pintu tengah. Nah! sebelum saya sampai di depan pintu tengah, jendala inikan ngga ditutup—" mang Ento menujuk salah satu jendala yang berada di belakangku. "Entah kenapa perasaan saya ingin sekali melihat ke arah luar dari jendala itu, setelah lama saya perhatikan, kok. Ada asap putih kebiruan yang terus berdatangan, asap itu menggumpal menjadi satu. Sampai akhirnya saya baru sadar kalau gumpalan asap itu lama-kelamaan berbentuk menyerupai sesosok wanita dengan rambut yang coklat lesu, karena semakin merasa ngga beres saya pun mundur dari jendala." jelas mang Ento seketika melirik ke arahku.
"Dan saya lihat kalau, Mas. Sedang jongkok ditangga tapi anehnya, dibelakang, Mas. Ada sosok wanita dan rambutnya itu hampir menutupi wajah sampai bahu, Mas."
Mendengar ucapan mang Ento membuatku tertegun dan nyaris saja tersedak. "Maksud mang Ento dibelakang saya ada setan wanita?" tambahku yang direspon anggukan samar oleh mang Ento.
"Bentar, bentar! Ini aneh nih!" Sambut Kevin, ia sedikit menggeser duduknya ke depan seakan sangat tertarik dengan percakapan ini. "Kalau omongan, Mamang itu bener. Terus lu dimana waktu malem, pa?" cecar Kevin kepadaku.
Entah aku harus menjawab apa, karena seingatku saat malam aku hanya berbincang dengan bocah aneh itu. Aku tidak merasa melakukan hal seperti apa yang diucapkan mang Ento.
"Semalaman gue emang di lantai dua, tepatnya dekat ke balkon depan." sahutku, "Tapi gue nggak merasa duduk di anak tangga itu!"
Perkataanku pun disanggah kembali oleh mang Ento, "saya yakin 100% itu mas Deni!" ujar mang Ento penuh keyakinan. "Setelah itu saya berniat untuk menarik mas Deni dari sana.Tapi apalah daya, lutut saya sangat sulit digerakan, seakan saya terkunci diam tak bergerak. Jangankan untuk berjalan, teriak pun sulit sekali!" lanjutnya, sekujur tubuhnya terlihat bergidig saat ia mencoba mengingat sesuatu. "Hih!! Sampai akhirnya saya merasa ada rambut yang berjatuhan diatas kepala. Rambut itu mulai menutupi kepala saya dan terus merambat sampai dada, setelah itu saya tidak ingat lagi, pas sadar sudah ada di dalam kamar." tutupnya.
"Ya, kan! Berarti mang Ento lagi mimpi itu!" pangkas Rifaldy yang kemudian direspon oleh mang Tohir.
"Tapi benar, Mas kalau itu, Mas. Waktu saya bangun subuh saya liat si Ento sama Mas Deni tidur di atas lantai." timpal mang Tohir. "Saya langsung seret si Ento ke kamar, abis itu saya kembali untuk membangunkan Mas Deni," Tutup mang Tohir, berhasil membungkam Rifaldy hingga terdiam.
Sejujurnya percakapan seperti ini sangat mustahil bisa aku terima dan aku percayai. Akan tetapi semenjak aku menginjakan kaki di rumah ini mengapa hal seperti itu terasa sangat nyata. Pertama Kevin yang mengangku jika ia melihat sosok yang tengah berdiri diambang pintu depan dan menghilang begitu saja. Kedua, mang Ento yang melihatku tengah didekap oleh sesosok mahluk yang menyerupai seorang wanita mengerikan. Bahkan aku pun mengalami hal yang sama! Ini jelas mereka berdua tidak sedang mengarang cerita, walau terdengar saling bertentangan namun cerita mereka memiliki fenomena yang sama, yaitu adanya gumpalan asap yang mereka lihat diruang tamu itu sama persis dengan apa yang aku alami. Apakah ini saat yang tepat untuk menceritakan semua yang aku rasakan selama aku tinggal di rumah ini?
Namun jika aku menceritakan apa yang aku alami malam itu apakah mungkin mereka bisa menerimanya dengan tenang? Atau bisa saja ceritaku justru akan menambah gaduh situasi dan membuat kami tak memiliki nyali lagi untuk bermalam di rumah ini. Jika hal itu sampai terjadi tentu hanya akan membuka peluang bagi orang-orang berlangan panjang untuk menggasak semua material yang tersimpan di rumah ini, mengingat rumah ini sangat terbukan kalau harus ditinggalkan tanpa penghuni. Belum lagi jika kabar gaduh ini terdengar hingga keluarga lain tahu tentu Bang Ferdy akan sangat menyalahkanku dan mungkin akan membuatnya kecewa.
"Paa!!" Hentak Kevin, berhasil membuatku terperanjat. "Jangan malah melamun, pa! Nanti kerasukan baru tau!" gurau Kevin. "Jawab dong! Malah sibuk ngelamun!"
Aku menoleh kepada semuanya yang tengah melihat kearahku, seakan menantikan penjelasan dariku. "Jawab apaan?" sahutku, dengan rasa linglung.
"Yaelah! Itu mang Tohir tanya, lu kenapa bisa tiduran di lantai?" tambah Kevin.
Aku berdecak halus, "Kemarin, kan. Gue udah bilang kalau perut gue itu sakit. Entah masuk angin atau apa. Kalau masalah rebahan di lantai gue ga inget jam berapanya, yang jelas gue belum liat mang Ento atau lu keluar kamar." tandasku.
"Padahal saya ngga liat mas Deni tiduran, malah saya liat... Ya, itu lagi jongkok di tengah tangga," tambah mang Ento.
"Udah.. Udah! Ga usah dibahas lagi," sela Rifaldy, lalu beranjak dari duduknya. "Lebih baik sekerang kembali kerja, Mang. Ngobrolnya ditahan dulu, nanti keburu sore," tutup Rifaldy kemudian ia pun melangkah menuju kamarnya.
Kami pun berhenti dan saling bertukar pandang untuk mengisyaratkan setuju dengan gagasan Rifaldy.
Meng Tohir pun bangkit dan menatap meng Ento, "sudah! sana kerjakan keramik bagian tangga! Biar saya yang buat adukannya," lanjut meng Tohir kemudian berlalu.
Raut wajah mang Ento nampak murung dan datar, kobaran api semangat yang biasa terpancar dari seorang pekerja tak lagi nampak darinya. Entah apa yang ia rasakan hingga membuatnya begitu tertekan.
"Mang?" sapaku, mengikuti mang Ento yang mulai bangkit dari duduknya. "Mungkin bukan hanya mang Ento yang merasakan hal itu, kami semua juga sama, Mang." ucapku sembari merangkulnya dari sisi kiri dengan lengan memijat halus bahu kanannya, berharap dapat memicu semangatnya kembali. "Tenang aja, Mang. Kita di sini bersama-sama, jadi tidak perlu terlalu cemas!" lanjutku, dan mang Ento pun merespon perkataanku dengan menganggukan samar kapalanya.
"Mau main game ngga, pa?" seru Kevin, ia hendak menyusul Rifaldy. Aku hanya merespon dengan gelengkan kepala halus. "Dari pada suntuk, pa!" lanjutnya kemudian masuk ke dalam kamar.
Hingga akhirnya jam makan siang yang ternoda tanpa adanya aura kebahagia pun berlalu. Mang Ento dan mang Tohir nampak mulai sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Aku pun bergegas merapihkan perlengkapan makan yang masih berceceran di atas tikar.
Makan nomor satu, tapi mana ada yang inget buat rapih-rapih, haduh...
Seusai aku merapihkan semua itu, aku melanjutkan untuk mengcek bahan material yang tersisa, dikhawatirkan jika ada bahan yang kurang. Seperti biasa aku hanya membawa alat tulis untuk mencatat semua yang telah aku hitung dan melaporkannya ke pada Bang Ferdy melalu pesan singkat SMS.
Kringg!! Kring!!
"Hallo, Bang."
"Bahan masih aman, ya, Den?"
"Buat lantai satu, sih aman, Bang."
"Oke, mantap Ganteng. Deni masih di loji, kan?"
"Masih, Bang."
"Oke, Babang nitip, ya Den. Pantau pekerja, kalau ada apa-apa langsung kabarin."
"Oke, Bang. Oya, gimana kabar 'Teteh' Bang?"
"Alhamdullilah, sekarang mah udah sehat, malah udah lanjut kuliah lagi biar ada kegiatan katanya."
"Alhamdullilah, kalau udah sehat, Bang. Babang kapan ke Bogor lagi?"
"Haduh! Lagi sibuk-sibuknya sekarang, mah, Den. Nanti Babang kirim uang aja, yah!"
"Oke, deh kalau begitu, Bang."
"Ya, udah gitu aja, ya Den! Babang mau lanjut kerja lagi. Inget pesen Babang!"
Panggilan pun berakhir, aku yang merasa bosan lalu merobohkan diri pada sebuah bangku di halaman tengah rumah. Tiba-tiba saja aku teringat keluargaku di rumah, rasa rindu akan kehangat keluarga seakan memintaku untuk segera meninggalkan rumah ini. Akan tetapi semua itu menjadi hal yang mustahil aku lakukan sekarang.
"Oy! Den." sapa Rifaldy, berdiri pada bibir pintu kamarnya. "Yang telp tadi, si Baso bukan, Den?" lanjutnya, sepertinya percakapanku dengan Bang Ferdy berhasil mengundangnya. Karena memang untuk hal komunikasi bang Ferdy lebih sering memilihku ketibang adik kandungnya itu.
"Iya, Bang, Ferdy. Dia cuma mau konfirmasi stok bahan bangunan aja, kok," jawabku, dengan nada datar, lalu meletakan ponel di atas meja. Aku melirik kearah Rifaldy dengan raut wajah yang nampak sedikit kecewa. "Oya! Bang Ferdy juga bilang kalau dia mau kirim uang lagi."
Bagai melihat taman bunga yang indah, wajah yang semula nampak kecewa pun berubah seketika menjadi sangat senang. "Nah! Itu yang penting!" Seru Rifaldy Ia menghampiriku dengan cepat lalu duduk di kuris sebalah. "Akhirnya jadi juga gue jalan sama Icha. Dia ngajakin gue nonton."
Aku menoleh santai kearahnya. "Udah baikan lu sama dia?" Karena yang aku denger kedua pasangan ini sedang bertengkar hebat waktu lalu. Rifaldy pun merespon perkataanku dengan senyum senangnya.
"Dia lagi, mana tahan lama-lama ga ketemu, diakan kayak cacing kepanasan!" pangkas Kevin lalu tertawa kecil sembari bersadar pada bibir pintu kamar. "Jam berapa sih sekarang, pa?" tambahnya.
"Aleh! Kaya orang kantoran aja lu, segala tanya-tanya jam," cetus Rifaldy, sembari melihat handphone miliknya. "Jam setengah lima, kenapa? Mau balik, lu? Balik aja sendiri!" lanjut Rifaldy sedikit bernada cepat. Mungkin ia kikuk atas perkataan Kevin yang menyinggung hubungannya dengan Icha.
Menanggapi itu, Kevin mengelus-eluskan kedua telapak tangannya. "Hah, balik? terus kiriman duit tadi gimana? Bisa dong, kecipratan. Dikit gitu!" gurau Kevin.
"Giliran duit aja, lu pada ijo, cepet banget nyambernya," aku bangkit dari duduk, berniat membuat secangkir kopi untuk menghilangkan rasa kantuk yang mulai terasa. "Coba, aja, Telp Babang, Rif. Tanya benar atau ngga mau kirim uang." Tutupku kemudia berjalan ke arah dapur.
"Yeh! Tapi serius ngga dia bilang mau kirim uang?" ucap Rifaldy, dengan nada sedikit keras agar terdenger jelas olehku yang kini berada di dapur.
"Serius! Makanya tanya," sahutku, sambil meletakan gelas dan mulai membuat kopi. "Lagian mau ngapain nonton, udah jam segini juga! Mau nonton film panas, lu?" gurauku, di sambut riang oleh tawa Kevin.
"Bioskop mana yang mau lu datengin emang, pa? Bau pesing semua!" timpal Kevin yang kemudia kemabli tertawa.
"Ah! Lu mah terlalu kuper! Norak!" sergah Rifaldy, membuat pembelaan untuk dirinya sendiri, walau terdengar itu masih belum setimpal. "Geu telp, nih si, Baso!"
Ia pun lantas melakuannya, dan benar saja Bang Ferdy segera mengirimkan sejumlah uang yang masuk ke rekening Rifaldy, namun tak jelas untuk siapa dan untuk keperluan apa uang itu. Karena aku tidak mendengar ucapan Bang Ferdy. Kalau sudah begitu aku tak ingin mengambil pusing untuk menanyakan masalah uang kepada Rifaldy, karena ia sangat sensitif akan hal itu. Sebaiknya aku diam dan cukup memberikan sindirian halus kepada bang Ferdy. Biasanya ia langsung membalas pesanku untuk memberitahu jika uang telah di kirim lengkap dengan nominal dan untuk siapa saja uang tersebut. Bahkan terkadang ada titipan uang untuk membali bahan bangunan.
Hampir satu jam kami berada diruang tamu, bahkan kini sudah mulai terlihat mang Ento dan mang Tohir membereskan peralatan yang telah mereka gunakan.
"Mandi, Mang!" seruku sedikit berteriak kepada mang Tohir dan mang Ento yang berada di samping rumah. "Habis itu kita bantai main kartu sambil ngopi!" tambahku.
"Ooohh!! Boleh! Siapa takut!!" seru mang Tohir.
Senyumku memudar, bola mataku membesar, darahku seketika membeku tak kala aku melihat sesosok anak kecil yang berlari sangat cepat menaiki anak tangga. Aku menghela nafas panjang dan menghembuskannya, mencoba meredam rasa sesak di dada yang datang begitu saja.
Masih dengan tubuh yang bergetar, aku mencoba melirik jam pada ponselku yang menunjukan Pukul 17:45 dimana ini akan menjadi titik awal dari segala teror yang akan menghantui kami disepanjang malam.
Ada apa dengan tubuh-ku?
Entah apa yang terjadi, tubuhku tak hentinya bergetar hebat, aliran darahku seakan mendidih. Bahkan kedua telapak tangan ini mulai terasa lembab. Aku merasa sekujur tubuhku seperti terbakar oleh api yang tak terlihat. Keringat yang mulai membasahi dahi dan tengkuk leherku seakan tak mampu menggambarkan hawa panas yang aku rasa.
Aku masih terduduk, dengan bola mata menatap kosong kearah telapak tangan yang terbuka dan bergetar kuat.
Kenapa lagi dengan tubuhku ini?
"Den?" lirih suara yang tak asing terdengar dari arah kiri pendengaranku. "Oy! Lu kenapa, Den..."
Indra pendengaranku semakin menjauh, bahkan aku tidak tahu siapa yang berbicara disekitarku, walau aku sadar jika semua orang sedang menghampiriku tapi aku tak mampu menjawab mereka. Tubuhku seakan kaku tak berdaya hingga kesadaranku mulai memudar.
"Rif..! Mang..! Ini anak kenapa?"
"Apa si! rusuh banget lu, Vin!"
"Ada apa, Mas?"
"Waduh!! Mas Deni kenapa? pucet banget... Mas?"
"Angkat aja bawa ke kam...
..
Hampa.. Itulah yang aku rasakan saat ini. Semua nampak gelap dan hening hanya menyisakan derap langkah dari kedua kaki ini. Aku tidak mengerti arah dan tujuan, bahkan entah apa yang aku cari di tengah kegelapan ini.
Di mana aku? Sedang apa aku di sini? Wooooyy!!! Adakah orang di sini? Tolooong!!!
Sekeras apapun aku berteriak, yang ada hanya mengembalikan suara ini melalui ruang yang bergema.
"Ccuu.. Cuuu... " Aku terbelalak, seraya tubuhku memutar kesegala arah, mencari sumber suara yang terdengar lirih bergetar. Suara yang hanya dimiliki oleh seorang Nenek. "Jangan kotori tempat Nenek, Cuu!!"
Suaranya dapat aku dengar dengan baik, seakan pemilik suara itu tidak begitu jauh dariku. Namun tetap saja tidak terlihat siapa pun di sini. "Aku tidak mengerti maksudmu, Nek!" Sahutku, dengan menoleh kesegala arah.
"Kalian telah menghancurkan segalanya! Mengusik semuanya!" Nada sang Nenek kini terdengar halus, seperti menahan kesedihan yang mendalam. Namun setelah itu berubah bernada keras, penuh amarah. "Enyah kau dari tempatku!"
Aku terdiam Sesaat mencoba memahami apa yang dimaksud sang Nenek, namun tetap saja aku tidak mengerti. Bagaimana bisa ia begitu menyalahkan-ku, sedangkan aku tidak merasa telah berbuat suatu hal yang salah terhadapnya. "Mungkin Nenek salah orang.. Aku tidak pernah melakukan hal itu pada siapapun!" jelasku, membantah halus perkataan sang Nenek yang terdengar menuduhku.
Terdengar tawa dari sang Nenek sebelum kemudian ia bicara. "Jika bukan kalian, lalu siapa lagi, Cu," jawab Sang Nenek kemudia ia terdiam sesaat hingga kembali terdengar dengan nada cepat. "Kedatangan kalian hanya untuk mengusik kami!!!"
Aku masih terpaku dengan kedua lengan menekan kedua lututku menahan tubuh ini yang terasa semakin lemas. Aku merasa sangat lelah dan nafasku terasa semakin berat.
"Aku bersumpah, Nek. Aku tidak mengerti apa yang Nenek Maksud!"
"Kalian datang hanya untuk merusak semuanya! Ketenangan itu telah kalian usik!" lirih suara sang Nenek tertawa cekikikan. "Sekarang kamu harus menerima kenyataan pahit, Cu!"
"Kenyataan pahit?"
"Kau yang harus menanggung semuanya, Cu! Kau!" Kembali terdengar sang Nenek tertawa.
"Kenapa harus aku? Apa salahku, Nek?"
Kembali terdengar suara tawa yang sangat menggangu telinga, suara tawa dari sang Nenek terasa begitu dekat, namun tak nampak dari kedua bola mataku.
"Jika sudah saatnya tiba, kau akan menemukan kenyataan pahit, Cu!"
Aku terdiam, memikiran segala hal yang mungkin pernah aku lakukan tanpa aku sadari. Hingga aku teringat akan suatu kejadian yang mungkin menjadi penyebabnya. "Apa karena aku pernah bersikap kasar terhadap kalian, lantas semua ini terjadi? Saat itu kalian yang memulainya, kalian mempermainkan adiku!"
"Cu! Sikapmu tak berarti bagi meraka! Mereka datang silih berganti, dari segala penjuru! Mereka tertarik padamu, Cu!"
Aku menggelengkan kepala, alisku mengkerut hinga nyaris bertemu. Netra ini tak berhenti bergerak mencoba memahami apa yang diucapkan sang Nenek. Aku mengusap wajahku ketika rasa frustasi dan lelah semakin berkecamuk dalam diri ini.
Aku pun roboh dengan lutut menahan tubuhku, ingin rasanya aku berteriak sekuat tenaga, melepas semua emosi yang membara di dalam batin ini. Namun aku tahu itu semua tidak akan merubah apapun hanya akan sia-sia.
Aku menarik nafas dalam-dalam, "Neekkk!!!" suaraku seakan menggelegar memecah ruang yang sunyi. "Aku tak perduli denganmu! Aku tak perduli dengan duniamu! Bahkan aku tak perduli akan tempatmu itu! Persetan dangan kalian, Neekk!!" Aku pun tertawa puas namun penuh dengan kepalsuan.
Akan tetap itu hanya sesaat tak kala aku mulai mengendus aroma yang sangat berbau busuk hingga membuat nafasku sesak.
"Cara bicaramu! Kesombongan kalian, seakan kalian yang lebih berkuasa!" Mata ini terbuka lebar, dengan segera aku merobohkan diri ke belakang untuk menjauh dari fenomena yang sedang terjadi di depan mataku. Aku terpaku menyaksikan sebuah bayangan yang mulai bergelombang seperti mencoba membentuk sesuatu.
Nafasku mulai terengah-engah, leher ini seakan tercekik, dengan susah payah aku berusaha berkata. "Nek?"
Bayangan itu mulai bersatu dan mulai terlihat jelas. Saat ini tempat itu telah berdiri sosok mahkluk yang menyerupai seorang anak kecil, ia memiliki wajah yang aneh, matanya terlihat bulat, seakan tak memiliki kelopak mata. Sinar merah yang terpancar dari mata menyalanya, sudah cukup membuatku mengerti jika ia tidak bersahabat. Rambut panjang menjulur hingga melewati kedua kaki hitam yang melayang bagai kapas halus. Namun aku merasa tidak asing dengan sosok ini.
"Ka.. Kau?"
"Jaga ucapan dan tingkah laku kalian! Karena itu hanya akan membuat mereka lebih murka terhadapmu!" Nadanya begitu keras, terdengar penuh amarah.
"Ke.. Kenapa kau memiliki suara seperti seorang Nenek? Atau selama ini memang kau yang selalu menggangu dalam mimpiku?"
Semakin tak dapat aku pahami, mengapa bisa arwah gadis kecil yang pernah aku jumpai kini berada di sini? Dan mengapa ia memiliki suara layaknya seorang Nenek-Nenek.
"Boleh saya lanjutkan ceritanya, Mas?" sambar mang Ento. Sepertinya ia begitu yakin dengan apa yang akan ia sampaikan.
"Sok, coba! Saya pengen denger ceritamu, To," komentar mang Tohir, sembari menyuluh sebatang rokok miliknya.
Aku mulai melirik kearah mang Ento. Raut wajahnya nampak datar dengan tatapan kosong. "Silahkan, Mang. lanjutkan ceritanya," mendengar perkataanku mang Ento menghelakan nafas panjang lalu menghembuskannya.
"Mamang sih bukan mau nakut-nakutin, tapi cuma penasaran aja," matanya nampak menyisir kesegala penjuru rumah. "Saya sih aneh, kenapa setiap malam rumah ini bisa menjadi sangat mencekam!"
Aku masih menatap kearah meng Ento dan sangat mengerti apa yang mang Ento rasakan saat ini, karena hal itu juga yang kerap-kali aku rasakan. Netra-ku bergulir menatap bergantian kepada Rifaldy dan Kevin yang nampak memperhatikan mang Ento dengan serius, tergambar dari cara mereka memandang.
"Kalau saya boleh sebut, mungkin rumah ini lebih cocok dipanggil rumah hantu!" sambung mang Ento yang tentu membuat kami serentak saling bertukar pandang. "Malam tadi saya mengalami hal yang sangat aneh! Sudah diluar nalar saya, Mas!"
"Maksud mang Ento semalam ketemu setan?" sahut datar Rifaldy.
"Kalau ketemu sih ngga Mas, tapi kalau diganggu iya!" lanjutnya, ia meraih bungkus rokok yang terletak tidak jauh darinya dan mulai menyuluh sebatang rokok. Mungkin untuk membuatnya merasa tenang. Tindakan mang Ento pun diikuti oleh Rifaldy dan Kevin yang mulai menyalakan sebatang rokoknya. "Gangguan kayak apa, Mang?" tambah Kevin, seraya Rifaldy menggeser duduknya ke belakang dan menyandarkan punggungnya pada dinding rumah.
"Setelah lampu padam sepontan saya berniat untuk cek NCB, takutnya turun atau apa. Tapi ketika saya buka pintu kamar aroma aneh dan banyak asap yang menyelimuti langit-langit rumah. Saya merasa panik takut terjadi konsleting listrik, tanpa pikir panjang saya lari menuju pintu tengah. Nah! sebelum saya sampai di depan pintu tengah, jendala inikan ngga ditutup—" mang Ento menujuk salah satu jendala yang berada di belakangku. "Entah kenapa perasaan saya ingin sekali melihat ke arah luar dari jendala itu, setelah lama saya perhatikan, kok. Ada asap putih kebiruan yang terus berdatangan, asap itu menggumpal menjadi satu. Sampai akhirnya saya baru sadar kalau gumpalan asap itu lama-kelamaan berbentuk menyerupai sesosok wanita dengan rambut yang coklat lesu, karena semakin merasa ngga beres saya pun mundur dari jendala." jelas mang Ento seketika melirik ke arahku.
"Dan saya lihat kalau, Mas. Sedang jongkok ditangga tapi anehnya, dibelakang, Mas. Ada sosok wanita dan rambutnya itu hampir menutupi wajah sampai bahu, Mas."
Mendengar ucapan mang Ento membuatku tertegun dan nyaris saja tersedak. "Maksud mang Ento dibelakang saya ada setan wanita?" tambahku yang direspon anggukan samar oleh mang Ento.
"Bentar, bentar! Ini aneh nih!" Sambut Kevin, ia sedikit menggeser duduknya ke depan seakan sangat tertarik dengan percakapan ini. "Kalau omongan, Mamang itu bener. Terus lu dimana waktu malem, pa?" cecar Kevin kepadaku.
Entah aku harus menjawab apa, karena seingatku saat malam aku hanya berbincang dengan bocah aneh itu. Aku tidak merasa melakukan hal seperti apa yang diucapkan mang Ento.
"Semalaman gue emang di lantai dua, tepatnya dekat ke balkon depan." sahutku, "Tapi gue nggak merasa duduk di anak tangga itu!"
Perkataanku pun disanggah kembali oleh mang Ento, "saya yakin 100% itu mas Deni!" ujar mang Ento penuh keyakinan. "Setelah itu saya berniat untuk menarik mas Deni dari sana.Tapi apalah daya, lutut saya sangat sulit digerakan, seakan saya terkunci diam tak bergerak. Jangankan untuk berjalan, teriak pun sulit sekali!" lanjutnya, sekujur tubuhnya terlihat bergidig saat ia mencoba mengingat sesuatu. "Hih!! Sampai akhirnya saya merasa ada rambut yang berjatuhan diatas kepala. Rambut itu mulai menutupi kepala saya dan terus merambat sampai dada, setelah itu saya tidak ingat lagi, pas sadar sudah ada di dalam kamar." tutupnya.
"Ya, kan! Berarti mang Ento lagi mimpi itu!" pangkas Rifaldy yang kemudian direspon oleh mang Tohir.
"Tapi benar, Mas kalau itu, Mas. Waktu saya bangun subuh saya liat si Ento sama Mas Deni tidur di atas lantai." timpal mang Tohir. "Saya langsung seret si Ento ke kamar, abis itu saya kembali untuk membangunkan Mas Deni," Tutup mang Tohir, berhasil membungkam Rifaldy hingga terdiam.
Sejujurnya percakapan seperti ini sangat mustahil bisa aku terima dan aku percayai. Akan tetapi semenjak aku menginjakan kaki di rumah ini mengapa hal seperti itu terasa sangat nyata. Pertama Kevin yang mengangku jika ia melihat sosok yang tengah berdiri diambang pintu depan dan menghilang begitu saja. Kedua, mang Ento yang melihatku tengah didekap oleh sesosok mahluk yang menyerupai seorang wanita mengerikan. Bahkan aku pun mengalami hal yang sama! Ini jelas mereka berdua tidak sedang mengarang cerita, walau terdengar saling bertentangan namun cerita mereka memiliki fenomena yang sama, yaitu adanya gumpalan asap yang mereka lihat diruang tamu itu sama persis dengan apa yang aku alami. Apakah ini saat yang tepat untuk menceritakan semua yang aku rasakan selama aku tinggal di rumah ini?
Namun jika aku menceritakan apa yang aku alami malam itu apakah mungkin mereka bisa menerimanya dengan tenang? Atau bisa saja ceritaku justru akan menambah gaduh situasi dan membuat kami tak memiliki nyali lagi untuk bermalam di rumah ini. Jika hal itu sampai terjadi tentu hanya akan membuka peluang bagi orang-orang berlangan panjang untuk menggasak semua material yang tersimpan di rumah ini, mengingat rumah ini sangat terbukan kalau harus ditinggalkan tanpa penghuni. Belum lagi jika kabar gaduh ini terdengar hingga keluarga lain tahu tentu Bang Ferdy akan sangat menyalahkanku dan mungkin akan membuatnya kecewa.
"Paa!!" Hentak Kevin, berhasil membuatku terperanjat. "Jangan malah melamun, pa! Nanti kerasukan baru tau!" gurau Kevin. "Jawab dong! Malah sibuk ngelamun!"
Aku menoleh kepada semuanya yang tengah melihat kearahku, seakan menantikan penjelasan dariku. "Jawab apaan?" sahutku, dengan rasa linglung.
"Yaelah! Itu mang Tohir tanya, lu kenapa bisa tiduran di lantai?" tambah Kevin.
Aku berdecak halus, "Kemarin, kan. Gue udah bilang kalau perut gue itu sakit. Entah masuk angin atau apa. Kalau masalah rebahan di lantai gue ga inget jam berapanya, yang jelas gue belum liat mang Ento atau lu keluar kamar." tandasku.
"Padahal saya ngga liat mas Deni tiduran, malah saya liat... Ya, itu lagi jongkok di tengah tangga," tambah mang Ento.
"Udah.. Udah! Ga usah dibahas lagi," sela Rifaldy, lalu beranjak dari duduknya. "Lebih baik sekerang kembali kerja, Mang. Ngobrolnya ditahan dulu, nanti keburu sore," tutup Rifaldy kemudian ia pun melangkah menuju kamarnya.
Kami pun berhenti dan saling bertukar pandang untuk mengisyaratkan setuju dengan gagasan Rifaldy.
Meng Tohir pun bangkit dan menatap meng Ento, "sudah! sana kerjakan keramik bagian tangga! Biar saya yang buat adukannya," lanjut meng Tohir kemudian berlalu.
Raut wajah mang Ento nampak murung dan datar, kobaran api semangat yang biasa terpancar dari seorang pekerja tak lagi nampak darinya. Entah apa yang ia rasakan hingga membuatnya begitu tertekan.
"Mang?" sapaku, mengikuti mang Ento yang mulai bangkit dari duduknya. "Mungkin bukan hanya mang Ento yang merasakan hal itu, kami semua juga sama, Mang." ucapku sembari merangkulnya dari sisi kiri dengan lengan memijat halus bahu kanannya, berharap dapat memicu semangatnya kembali. "Tenang aja, Mang. Kita di sini bersama-sama, jadi tidak perlu terlalu cemas!" lanjutku, dan mang Ento pun merespon perkataanku dengan menganggukan samar kapalanya.
"Mau main game ngga, pa?" seru Kevin, ia hendak menyusul Rifaldy. Aku hanya merespon dengan gelengkan kepala halus. "Dari pada suntuk, pa!" lanjutnya kemudian masuk ke dalam kamar.
Hingga akhirnya jam makan siang yang ternoda tanpa adanya aura kebahagia pun berlalu. Mang Ento dan mang Tohir nampak mulai sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Aku pun bergegas merapihkan perlengkapan makan yang masih berceceran di atas tikar.
Makan nomor satu, tapi mana ada yang inget buat rapih-rapih, haduh...
Seusai aku merapihkan semua itu, aku melanjutkan untuk mengcek bahan material yang tersisa, dikhawatirkan jika ada bahan yang kurang. Seperti biasa aku hanya membawa alat tulis untuk mencatat semua yang telah aku hitung dan melaporkannya ke pada Bang Ferdy melalu pesan singkat SMS.
Kringg!! Kring!!
"Hallo, Bang."
"Bahan masih aman, ya, Den?"
"Buat lantai satu, sih aman, Bang."
"Oke, mantap Ganteng. Deni masih di loji, kan?"
"Masih, Bang."
"Oke, Babang nitip, ya Den. Pantau pekerja, kalau ada apa-apa langsung kabarin."
"Oke, Bang. Oya, gimana kabar 'Teteh' Bang?"
"Alhamdullilah, sekarang mah udah sehat, malah udah lanjut kuliah lagi biar ada kegiatan katanya."
"Alhamdullilah, kalau udah sehat, Bang. Babang kapan ke Bogor lagi?"
"Haduh! Lagi sibuk-sibuknya sekarang, mah, Den. Nanti Babang kirim uang aja, yah!"
"Oke, deh kalau begitu, Bang."
"Ya, udah gitu aja, ya Den! Babang mau lanjut kerja lagi. Inget pesen Babang!"
Panggilan pun berakhir, aku yang merasa bosan lalu merobohkan diri pada sebuah bangku di halaman tengah rumah. Tiba-tiba saja aku teringat keluargaku di rumah, rasa rindu akan kehangat keluarga seakan memintaku untuk segera meninggalkan rumah ini. Akan tetapi semua itu menjadi hal yang mustahil aku lakukan sekarang.
"Oy! Den." sapa Rifaldy, berdiri pada bibir pintu kamarnya. "Yang telp tadi, si Baso bukan, Den?" lanjutnya, sepertinya percakapanku dengan Bang Ferdy berhasil mengundangnya. Karena memang untuk hal komunikasi bang Ferdy lebih sering memilihku ketibang adik kandungnya itu.
"Iya, Bang, Ferdy. Dia cuma mau konfirmasi stok bahan bangunan aja, kok," jawabku, dengan nada datar, lalu meletakan ponel di atas meja. Aku melirik kearah Rifaldy dengan raut wajah yang nampak sedikit kecewa. "Oya! Bang Ferdy juga bilang kalau dia mau kirim uang lagi."
Bagai melihat taman bunga yang indah, wajah yang semula nampak kecewa pun berubah seketika menjadi sangat senang. "Nah! Itu yang penting!" Seru Rifaldy Ia menghampiriku dengan cepat lalu duduk di kuris sebalah. "Akhirnya jadi juga gue jalan sama Icha. Dia ngajakin gue nonton."
Aku menoleh santai kearahnya. "Udah baikan lu sama dia?" Karena yang aku denger kedua pasangan ini sedang bertengkar hebat waktu lalu. Rifaldy pun merespon perkataanku dengan senyum senangnya.
"Dia lagi, mana tahan lama-lama ga ketemu, diakan kayak cacing kepanasan!" pangkas Kevin lalu tertawa kecil sembari bersadar pada bibir pintu kamar. "Jam berapa sih sekarang, pa?" tambahnya.
"Aleh! Kaya orang kantoran aja lu, segala tanya-tanya jam," cetus Rifaldy, sembari melihat handphone miliknya. "Jam setengah lima, kenapa? Mau balik, lu? Balik aja sendiri!" lanjut Rifaldy sedikit bernada cepat. Mungkin ia kikuk atas perkataan Kevin yang menyinggung hubungannya dengan Icha.
Menanggapi itu, Kevin mengelus-eluskan kedua telapak tangannya. "Hah, balik? terus kiriman duit tadi gimana? Bisa dong, kecipratan. Dikit gitu!" gurau Kevin.
"Giliran duit aja, lu pada ijo, cepet banget nyambernya," aku bangkit dari duduk, berniat membuat secangkir kopi untuk menghilangkan rasa kantuk yang mulai terasa. "Coba, aja, Telp Babang, Rif. Tanya benar atau ngga mau kirim uang." Tutupku kemudia berjalan ke arah dapur.
"Yeh! Tapi serius ngga dia bilang mau kirim uang?" ucap Rifaldy, dengan nada sedikit keras agar terdenger jelas olehku yang kini berada di dapur.
"Serius! Makanya tanya," sahutku, sambil meletakan gelas dan mulai membuat kopi. "Lagian mau ngapain nonton, udah jam segini juga! Mau nonton film panas, lu?" gurauku, di sambut riang oleh tawa Kevin.
"Bioskop mana yang mau lu datengin emang, pa? Bau pesing semua!" timpal Kevin yang kemudia kemabli tertawa.
"Ah! Lu mah terlalu kuper! Norak!" sergah Rifaldy, membuat pembelaan untuk dirinya sendiri, walau terdengar itu masih belum setimpal. "Geu telp, nih si, Baso!"
Ia pun lantas melakuannya, dan benar saja Bang Ferdy segera mengirimkan sejumlah uang yang masuk ke rekening Rifaldy, namun tak jelas untuk siapa dan untuk keperluan apa uang itu. Karena aku tidak mendengar ucapan Bang Ferdy. Kalau sudah begitu aku tak ingin mengambil pusing untuk menanyakan masalah uang kepada Rifaldy, karena ia sangat sensitif akan hal itu. Sebaiknya aku diam dan cukup memberikan sindirian halus kepada bang Ferdy. Biasanya ia langsung membalas pesanku untuk memberitahu jika uang telah di kirim lengkap dengan nominal dan untuk siapa saja uang tersebut. Bahkan terkadang ada titipan uang untuk membali bahan bangunan.
Hampir satu jam kami berada diruang tamu, bahkan kini sudah mulai terlihat mang Ento dan mang Tohir membereskan peralatan yang telah mereka gunakan.
"Mandi, Mang!" seruku sedikit berteriak kepada mang Tohir dan mang Ento yang berada di samping rumah. "Habis itu kita bantai main kartu sambil ngopi!" tambahku.
"Ooohh!! Boleh! Siapa takut!!" seru mang Tohir.
Senyumku memudar, bola mataku membesar, darahku seketika membeku tak kala aku melihat sesosok anak kecil yang berlari sangat cepat menaiki anak tangga. Aku menghela nafas panjang dan menghembuskannya, mencoba meredam rasa sesak di dada yang datang begitu saja.
Masih dengan tubuh yang bergetar, aku mencoba melirik jam pada ponselku yang menunjukan Pukul 17:45 dimana ini akan menjadi titik awal dari segala teror yang akan menghantui kami disepanjang malam.
Ada apa dengan tubuh-ku?
Entah apa yang terjadi, tubuhku tak hentinya bergetar hebat, aliran darahku seakan mendidih. Bahkan kedua telapak tangan ini mulai terasa lembab. Aku merasa sekujur tubuhku seperti terbakar oleh api yang tak terlihat. Keringat yang mulai membasahi dahi dan tengkuk leherku seakan tak mampu menggambarkan hawa panas yang aku rasa.
Aku masih terduduk, dengan bola mata menatap kosong kearah telapak tangan yang terbuka dan bergetar kuat.
Kenapa lagi dengan tubuhku ini?
"Den?" lirih suara yang tak asing terdengar dari arah kiri pendengaranku. "Oy! Lu kenapa, Den..."
Indra pendengaranku semakin menjauh, bahkan aku tidak tahu siapa yang berbicara disekitarku, walau aku sadar jika semua orang sedang menghampiriku tapi aku tak mampu menjawab mereka. Tubuhku seakan kaku tak berdaya hingga kesadaranku mulai memudar.
"Rif..! Mang..! Ini anak kenapa?"
"Apa si! rusuh banget lu, Vin!"
"Ada apa, Mas?"
"Waduh!! Mas Deni kenapa? pucet banget... Mas?"
"Angkat aja bawa ke kam...
..
Hampa.. Itulah yang aku rasakan saat ini. Semua nampak gelap dan hening hanya menyisakan derap langkah dari kedua kaki ini. Aku tidak mengerti arah dan tujuan, bahkan entah apa yang aku cari di tengah kegelapan ini.
Di mana aku? Sedang apa aku di sini? Wooooyy!!! Adakah orang di sini? Tolooong!!!
Sekeras apapun aku berteriak, yang ada hanya mengembalikan suara ini melalui ruang yang bergema.
"Ccuu.. Cuuu... " Aku terbelalak, seraya tubuhku memutar kesegala arah, mencari sumber suara yang terdengar lirih bergetar. Suara yang hanya dimiliki oleh seorang Nenek. "Jangan kotori tempat Nenek, Cuu!!"
Suaranya dapat aku dengar dengan baik, seakan pemilik suara itu tidak begitu jauh dariku. Namun tetap saja tidak terlihat siapa pun di sini. "Aku tidak mengerti maksudmu, Nek!" Sahutku, dengan menoleh kesegala arah.
"Kalian telah menghancurkan segalanya! Mengusik semuanya!" Nada sang Nenek kini terdengar halus, seperti menahan kesedihan yang mendalam. Namun setelah itu berubah bernada keras, penuh amarah. "Enyah kau dari tempatku!"
Aku terdiam Sesaat mencoba memahami apa yang dimaksud sang Nenek, namun tetap saja aku tidak mengerti. Bagaimana bisa ia begitu menyalahkan-ku, sedangkan aku tidak merasa telah berbuat suatu hal yang salah terhadapnya. "Mungkin Nenek salah orang.. Aku tidak pernah melakukan hal itu pada siapapun!" jelasku, membantah halus perkataan sang Nenek yang terdengar menuduhku.
Terdengar tawa dari sang Nenek sebelum kemudian ia bicara. "Jika bukan kalian, lalu siapa lagi, Cu," jawab Sang Nenek kemudia ia terdiam sesaat hingga kembali terdengar dengan nada cepat. "Kedatangan kalian hanya untuk mengusik kami!!!"
Aku masih terpaku dengan kedua lengan menekan kedua lututku menahan tubuh ini yang terasa semakin lemas. Aku merasa sangat lelah dan nafasku terasa semakin berat.
"Aku bersumpah, Nek. Aku tidak mengerti apa yang Nenek Maksud!"
"Kalian datang hanya untuk merusak semuanya! Ketenangan itu telah kalian usik!" lirih suara sang Nenek tertawa cekikikan. "Sekarang kamu harus menerima kenyataan pahit, Cu!"
"Kenyataan pahit?"
"Kau yang harus menanggung semuanya, Cu! Kau!" Kembali terdengar sang Nenek tertawa.
"Kenapa harus aku? Apa salahku, Nek?"
Kembali terdengar suara tawa yang sangat menggangu telinga, suara tawa dari sang Nenek terasa begitu dekat, namun tak nampak dari kedua bola mataku.
"Jika sudah saatnya tiba, kau akan menemukan kenyataan pahit, Cu!"
Aku terdiam, memikiran segala hal yang mungkin pernah aku lakukan tanpa aku sadari. Hingga aku teringat akan suatu kejadian yang mungkin menjadi penyebabnya. "Apa karena aku pernah bersikap kasar terhadap kalian, lantas semua ini terjadi? Saat itu kalian yang memulainya, kalian mempermainkan adiku!"
"Cu! Sikapmu tak berarti bagi meraka! Mereka datang silih berganti, dari segala penjuru! Mereka tertarik padamu, Cu!"
Aku menggelengkan kepala, alisku mengkerut hinga nyaris bertemu. Netra ini tak berhenti bergerak mencoba memahami apa yang diucapkan sang Nenek. Aku mengusap wajahku ketika rasa frustasi dan lelah semakin berkecamuk dalam diri ini.
Aku pun roboh dengan lutut menahan tubuhku, ingin rasanya aku berteriak sekuat tenaga, melepas semua emosi yang membara di dalam batin ini. Namun aku tahu itu semua tidak akan merubah apapun hanya akan sia-sia.
Aku menarik nafas dalam-dalam, "Neekkk!!!" suaraku seakan menggelegar memecah ruang yang sunyi. "Aku tak perduli denganmu! Aku tak perduli dengan duniamu! Bahkan aku tak perduli akan tempatmu itu! Persetan dangan kalian, Neekk!!" Aku pun tertawa puas namun penuh dengan kepalsuan.
Akan tetap itu hanya sesaat tak kala aku mulai mengendus aroma yang sangat berbau busuk hingga membuat nafasku sesak.
"Cara bicaramu! Kesombongan kalian, seakan kalian yang lebih berkuasa!" Mata ini terbuka lebar, dengan segera aku merobohkan diri ke belakang untuk menjauh dari fenomena yang sedang terjadi di depan mataku. Aku terpaku menyaksikan sebuah bayangan yang mulai bergelombang seperti mencoba membentuk sesuatu.
Nafasku mulai terengah-engah, leher ini seakan tercekik, dengan susah payah aku berusaha berkata. "Nek?"
Bayangan itu mulai bersatu dan mulai terlihat jelas. Saat ini tempat itu telah berdiri sosok mahkluk yang menyerupai seorang anak kecil, ia memiliki wajah yang aneh, matanya terlihat bulat, seakan tak memiliki kelopak mata. Sinar merah yang terpancar dari mata menyalanya, sudah cukup membuatku mengerti jika ia tidak bersahabat. Rambut panjang menjulur hingga melewati kedua kaki hitam yang melayang bagai kapas halus. Namun aku merasa tidak asing dengan sosok ini.
"Ka.. Kau?"
"Jaga ucapan dan tingkah laku kalian! Karena itu hanya akan membuat mereka lebih murka terhadapmu!" Nadanya begitu keras, terdengar penuh amarah.
"Ke.. Kenapa kau memiliki suara seperti seorang Nenek? Atau selama ini memang kau yang selalu menggangu dalam mimpiku?"
Semakin tak dapat aku pahami, mengapa bisa arwah gadis kecil yang pernah aku jumpai kini berada di sini? Dan mengapa ia memiliki suara layaknya seorang Nenek-Nenek.
Diubah oleh wedi 24-09-2024 15:34
sampeuk dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Kutip
Balas