Quote:
Aku terhentak, kedua alisku hampir bertemu menatap tajam sebuah kepala dengan rambut panjang yang menjuntai hampir menyentuh lantai. Tubuh Gadis kecil itu masih menggantung pada langit-langit rumah─bagai kelelawar malam.
Aku tidak tahu mengapa mahkluk kecil ini mengikutiku dan apa tujuannya. Namun mendengar apa yang ia ucapkan, sontak membuatku bangkit dari duduk dan melangkah cepat menghampirinya.
"Apa maksud dari perkataanmu itu, Iblis kecil!" sergahku, tanpa rasa ragu sedikitpun.
"Apa aku salah? Mereka tak peduli lagi padamu!"
"Lantas apa urusanmu? Aku bahkan
tidak tahu apa tujuanmu berada di rumah kami!"
"Aku hanya ingin membantumu!"
"Membantu? Aku tidak butuh—" Namun sesuatu terjadi, tiba-tiba saja seluruh ruangan menjadi gelap gulita. Suasana terasa begitu hening—hanya gemericik air hujan yang terdengar mengiringi udara dingin dan lembab.
Entah mengapa kali ini terasa begitu berbeda, tidak seperti sebelumnya di mana Rifaldy dan yang lain merasakan kepanikan yang luar biasa karena padamnya listrik di rumah ini.
"Bukan aku yang melakuka ...." Kepalaku memutar, mataku mengedar ke segala penjuru mencari suara Gadis kecil yang terdengar kian menjauh dariku.
Tubuhku seketika terasa dingin, detak jantung ini semakin meninggi, ketika tiupan angin kencang menerpa wajahku begitu saja dari ruang dapur. Angin itu sangat tidak lazim, berhembus cukup kuat dengan sasaran tertuju pada suatu titik—yaitu diriku.
Belum usai aku bercengkrama dengan suasana mencekam, aku kembali dikejutkan oleh suara yang terdengar tak asing lagi ditelinga ini. "Ibu tidak menyukainya!"
Aku tahu jika mahkluk kecil itu kini berada jauh dariku, dapat kurasakan dari suaranya yang terdengar samar. "Apa kau bisa melihatnya?"
Bagaimanapun juga, ruangan ini tanpa penerangan sedikitpun. Jangankan untuk melihat apa yang ada di sekitarku, untuk melihat jempol kakiku saja aku tidak bisa.
Namun entah mengapa batin ini tertuju pada suatu sudut, setelah aku mendengar ucapannya. "Tidak, aku hanya merasakan jika ada sesuatu di arah sana .... Apa itu?"
Entah mengapa mataku enggan berpaling dari deretan anak tangga yang menuju lantai dua. Aku sangat yakin jika ada sesuatu yang tengah berdiri di sana.
"Kau takut?"
Keadaan semakin terasa memburuk, ketika terdengar erangan berat dari seorang pria tua yang tak jelas asalnya.
Belum lagi mahkluk kecil ini tak henti berbisik pada daun telingaku, hanya menambah buruk suasana.
"Bisakah kau diam! Aku tak butuh ocehanmu!"
Tubuh ini terasa semakin melemah ketika aku menyadari jika ada pergerakan yang tak biasa diantara deretan anak tangga yang tertuju pada lantai dua.
Netraku terbuka lebar saat tubuh tinggi, besar berbulu hitam nan lebat samar terlihat oleh kedua mataku. Nafasku terengah-engah menyaksikan mahkluk hitam dengan bola mata merah menyala berdiri tegap menatap ke arahku. Tubuhnya sangat besar, bahkan ukurannya hampir menutupi semua bagian anak tangga.
Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh mahkluk itu, tapi yang jelas─saat ini ia sedang merangkak perlahan menuruni anak tangga.
Meskipun sosok itu bergerak lamban, tapi mengapa lutut ini tak bisa aku gerakkan. Diri ini seakan mematung dengan mata mendelik sejadi-jadinya menatap tajam sosok yang menyerupai gorilla besar itu semakin mendekat.
"Ia merasa terusik dengan kehadiran kalian di rumah ini! Dan dia pun ingin merasuki tubuhmu! Membuatmu terjun dari lantai tiga!"
Perkataan gadis kecil membuatku tertegun menelan ludah. Nafasku semakin tak beraturan seiring rasa panik yang kian menjadi aku rasakan. Aku terus berusaha bergerak dengan menarik lutut ini sebisa mungkin untuk menjauh dari sosok hitam yang terus mendekat ke arahku. Namun mengapa kaki ini seakan melekat kuat pada permukaan lantai.
"Entah apa yang kau inginkan!!! Enyah dari hadapanku!!!"
Tak kubayangkan sosok itu merespon perkataan ini. Kini ia tak lagi bergerak, hanya memandang ke arahku dengan kedua bola mata merahnya.
Tentu saja itu membuat nyaliku semakin menciut, bagaimanapun juga wajahnya terlihat sangat menyeramkan. Mirip dengan wajah kera, namun ia memiliki dua taring bawah yang mencuat keluar hampir menyentuh kedua matanya.
Aku terhentak ketika sesuatu yang aneh terasa menghantam tubuhku, tak lama setelah itu perutku terasa begitu mual dan sangat sakit. Otot di sekitar perut ini, seakan mengeras dan semakin mengeras!
Tak mampu menahan nyeri yang luar biasa, aku pun roboh dengan kedua lutut membentur lantai. Lenganku menekan perut yang terasa panas bergejolak.
"Ri-iff .... Vin ...." Sungguh sangat aku harapkan, jika ada sesorang yang mendengar suara menyediakan ini.
Leherku seakan tercekik, tak lagi bisa bersuara dengan lantang. Sekujur tubuhku terasa menggigil seiring mata ini semakin memudar, hingga kemudian semua menjadi sangat gelap dan hening.
Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah itu, yang kuingat tubuhku begitu terasa dingin─tergeletak di atas lantai.
Hingga samar suara dari seorang pria paruh baya, membuatku tersadar dari ruang gelap dan hampa.
"Mas .... Bangun, Mas ...."
Aku membuka mata perlahan dan nampak seraut wajah yang dipenuhi tandanya besar sedang menatap menyaksikan kondisiku.
"Mas, ngapain tidur di sini? Nggak dingin?" ucap Mang Tohir, sambil membantuku berdiri.
Pertanyaan semudah itu pun aku tak bisa menjawabnya, bahkan aku sendiripun merasa aneh, mengapa aku bisa terkapar di atas lantai keramik yang dingin ini.
"Sa-saya juga nggak tahu, Mang!" gumamku, dengan kerutan di kedua alis—mencoba mengingat apa yang telah terjadi.
Kepalaku memutar melihat suasana luar yang masih nampak gelap. "Jam berapa ini, Mang?"
"Hampir jam 5 pagi, Mas ...." Kurasa mang Tohir menyadari jika sesuatu yang tak biasa telah menimpaku, tergambar dari sorot matanya yang dipenuhi tanda tanya besar. "Ada apa sebenarnya, Mas?"
Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba saja perut ini terasa begitu panas, hingga membuatku meringis mendekap perut dengan kedua lengan.
"Mas! Kenapa, Mas?"
"Perut saya sakit, Mang!!"
"Saya bantu pindah ke kamar, Mas." mang Tohir mencoba meraihku, namun aku menjulurkan lengan untuk menolaknya.
"Nggak perlu, Mang!" sergahku.
"Takut kenapa-kenapa, Mas."
"Cuma sakit perut, nanti juga hilang!"
Tak pernah aku rasakan rasa sakit seperti ini sebelumnya, bagai ada seekor ular yang mencengkram lambungku dengan kuat.
Pada akhirnya aku pun teringat dengan apa yang telah aku alami waktu lalu, dan mengapa aku bisa terkapar di sini, bahkan mungkin ini masih ada kaitannya dengan mahkluk hitam besar, yang kujumpai tadi malam.
"Mas? Saya permisi dulu ya. Hendak bersiap untuk kerja," ucap mang Tohir, namun aku tak menghiraukannya hingga ia berlalu begitu saja.
Rasa nyeri yang tak kunjung mereda membuatku semakin yakin, jika ada sesuatu yang terjadi pada tubuhku. Tak ingin menunggu keadaan semakin memburuk, aku memutuskan untuk melangkah menuju pintu kamar—berniat meminta pertolongan dari Rifaldy dan Kevin.
Dengan langkah tertatih lemas, aku tiba di ambang pintu kamar yang masih tertutup rapat.
"Rif ...." Berulang kali aku mengetuk pintu kamar dengan segenap tenaga yang tersisa. Hingga sautan Rifaldy terdengar dari dalam.
"Iya ... Tunggu!"
Serentak pintu terbuka, tubuhku yang bersandar lemas pada daun pintu seketika tersungkur, beruntung Rifaldy sigap menangkap bahuku.
"Eh! kenapa, Den!"
"Perut .... Gue, Rif!" sahutku, sembari menahan nyeri yang masih bergejolak kuat dalam perut ini.
Melihat kondisiku yang tengah payah, Rifaldy lantas memapahku menuju tempat tidur dan dibaringkannya aku di sana tepat di sisi Kevin yang mulai terganggu oleh kehadiranku.
"Lu, pucet banget, Den?" gumam Kevin yang juga ikut terbangun. Aku hanya menggeleng samar menjawabnya.
Namun Rifaldy menimpalinya, "katanya, sih. Sakit perutnya."
"Bawa ke dokter aja, Rif. Takutnya parah, liat aja mukanya udah pucet gitu."
"Lo benar, Vin. Yuk, deh. Siap-siap."
Tentu saja aku tak menolak saran baik dari Kevin, karena sesungguhnya aku juga ingin meminta mereka agar membawaku ke dokter. Namun mengingat apa yang telah terjadi diantara kami, itu membuatku merasa canggung untuk memintanya.
Rasa sakit ini kini tercampur oleh rasa penyesalan akan sikap buruk-ku terhadap mereka. Andai saja Rifaldy atau Kevin menyimpan dendam padaku, mungkin kini mereka tengah tertawa riang menyaksikan aku merintih menahan sakit yang teramat menyiksa.
"Den, tunggu sebentar, ya. Gue pulang ambil mobil," ucap Rifaldy sambil mengenakan jaket kulit hitamnya. "Lu, jaga Deni, Vin. Gue nggak lama," lanjutnya.
"Bukannya motor mogok, Rif?" tanya Kevin.
"Gampang itu, sih!" sahutnya, lantas berlalu dari kamar kami.
Setelah kepergian Rifaldy, aku tak banyak bicara hanya terdiam menahan rasa sakit yang luar biasa. Perut ini bagaikan tercabik-cabik oleh tajamnya silet.
Selang berapa jam, suara mesin mobil terdengar berhenti tepat di depan gerbang depan.
"Ayo, Den. Rifaldy nunggu di depan," ucap Kevin yang lantas membantuku berdiri dan memapahku hingga masuk ke dalam mobil.
Tak ingin membuang waktu, kami pun bergegas meninggalkan rumah Loji untuk menuju rumah sakit dengan kendaraan roda empat. Hingga tepat pukul sembilan, aku, Rifaldy dan Kevin telah tiba di tempat yang kami tujuan.
Di sini perutku masih terasa begitu sakit, sampai-sampai sekujur tubuhku terasa dingin, terutama pada kepalaku.
"Tunggu, Den. Gue ambil nomor antrian."
Aku dibantu Kevin duduk pada sebuah kursi alumunium untuk menunggu antrian. Karena melihat kondisiku yang nampak mencemaskan, aku pun dibawa oleh seorang perawat untuk mendapatkan ruang di mana aku bisa berbaring—menunggu sang Dokter datang memeriksa.
"Silahkan berbaring dahulu, Mas. Sebentar lagi Dokter akan memeriksa," ucap perawat, dan kulihat ia sibuk menyiapkan perlengkapan infus.
"Mbak! Saya tidak perlu di infus!"
Mendengar itu sang Perawat pun berbalik dan melempar senyum ke arahku, "Kondisinya saja sudah pucat seperti itu, harus di infus, biar ada asupan, ya. Mas."
"Nggak, Mbak! Biar nanti saudara saya beli makan di luar!"
Bukan aku takut pada jarum suntik, namun aku tak ingin jika nanti harus bermalam di rumah sakit ini, dan tentu saja ini akan membuat cemas Ibuku.
Beruntung tak lama seorang wanita dengan dikawal dua perawat nampak menghampiri tempat tidurku.
"Selamat siang, Mas. Saya periksa sebentar, ya, Mas." ujar sang Dokter. "Apa saja yang dirasa, Mas?"
"Lambungku, Dok. Terasa begitu perih dan melilit."
"Dari kapan?"
"Tadi, pagi."
"Sebelumnya ada riwayat nyeri lambung?"
"Tidak ada, Dok. Baru pagi ini terasa begitu sakit."
"Dari pemeriksaan, tekanan darah cukup normal—" sang Dokter menekan perutku perlahan, "apa sakit?"
Aku hanya menggeleng samar, sambil merasakan rasa nyeri yang justru mulai menghilang.
"Sakit?"
"Tidak, Dok."
"Baik, Mas. Mungkin ini baru gejala saja, biarpun seperti itu harus tetap dijaga pola makannya agar tetap teratur dan kurangi minuman yang mengandung kafein, yah?" sang Dokter pun menghentikan pemeriksaannya, dan berkata pada perawat yang mendampinginya, "berikan pasien ini resep, dan sudah boleh pulang."
Aku menghela nafas lega mendengar perkataan sang Dokter, meskipun masih ada sesuatu yang menggangu di pikiranku. Mungkinkah rasa yang begitu menyiksa itu baru gejala saja. Aku bergulir lirik ke arah Rifaldy dan Kevin yang berdiri di sisi lain tempat tidur.
"Makasih banyak, Rif, Vin. Kalian udah mau bantu gue."
"Gue aneh, keliatan pucat tapi nggak kurang darah?" ujar Kevin, menoleh ke Arah Rifaldy.
"Temen sehat bukan seneng malah 'Aneh'," sahut Rifaldy.
"Baik, Mas. Saya permisi."
"Iya, Dok. Terima kasih banyak."
Aku tidak mengerti mengapa fisiku terasa pulih begitu saja, bahkan rasa nyeri yang teramat dahsyat pada perutku pun sudah tak lagi terasa.
"Balik, yuk?" kataku, bangkit dari tempat tidur.
"Syukurlah, kalau lu baik-baik aja, Den. Yok, balik."
Akhirnya kami pun bergegas meninggalkan rumah sakit setelah Rifaldy sempat menebus resep yang diberikan perawat padaku. Aku sangat beruntung memiliki saudara dan teman sepeduli ini padaku.
"Masih sakit perutnya, Den?" tanya Rifaldy, dari kabin depan sambil fokus dengan kendaraan yang tengah ia kemudikan.
"Udah jauh lebih baik, Rif," balasku, berbaring pada kursi belakang.
"Gue baru tahu kalau lu punya penyakit lambung," sahut Rifaldy.
"Iya, sebab baru kali ini lambung gue berasa sakit, sebelumnya mana ada," ucapku.
"Bukannya sakit maag itu bertahap, ya? Ade gue juga punya penyakit maag, tapi nggak meringis kayak lu, Den," timpal Kevin.
"Maag atau bukan gue nggak tahu. Tapi yang jelas nyiksa banget!" balasku, dengan pikiran melayang pada suatu kejadi.
"Oh!! Gue tahu! Mungkin karena ceker yang lu makan kemarin, Den!" seru Rifaldy yang membuatku terperanjat hingga terduduk. "Lu, makan sama tulang-tulangnya, kan?"
"Tahu dari mana?"
Rifaldy berdecak sebelum menjawabnya, "Gue liat piring bekas lu, tanpa sisa tulang sedikitpun."
"Nah! Nusuk perut, lu. Kali tuh tulangnya," gurau Kevin, lalu tertawa lepas.
Mengapa aku tidak sadar telah memakan habis ceker ayam tersebut, bahkan hingga ketulang-tulangnya. Terlebih ceker yang aku santap itu hanya digoreng. Bisa aku bayangkan betapa kerasnya tulang kaki ayam itu.
Apa mungkin perkataan Kevin itu benar, jika tulang ayam yang aku santap telah melukai lambungku.
*****************
Bersambung ...
*****************
Mohon maaf atas keterlambatannya dalam meng-update chapter, itu semua karena kondisi Author sedang tidak baik saat ini. Tapi untuk chapter berikutnya, aku tetap usahakan secepat mungkin.
-Mohon maaf jika ada tutur kata yang
kurang berkenan. 🙏
-Terima kasih telah membaca, semoga
bisa menghibur dan mengisi
kekosongan waktu kalian.
-Sampai berjumpa lagi di episode
berikutnya. 👋👏 secepat mungkin
kami menyelesaikan lanjutannya.
Insyaalla