Quote:
Dengan langkah waspada, pandangan tajam menatap deretan anak tangga menuju lantai atas, aku melangkah dengan penuh percaya diri.
Ingar-bingar tawa dari sekumpulan manusia yang bernaung di bawah rumah ini, semakin memicu amarahku. Entah mengapa aku merasa terkucilkan di rumah ini.
Hingga akhirnya aku pun tiba di lantai dua, baru satu langkah aku menginjakkan kaki di ruangan ini bulu kuduk-ku serentak berdiri tak karuan.
Lantai ini begitu gelap, bahkan aku ragu untuk masuk lebih dalam lagi melewati bongkahan kayu dan balok. Hanya ada cahaya dari kilatan petir yang menyambar, menerangi sesaat setiap sudut dari ruangan ini.
Sesaat aku terdiam hening, mata ini tak henti mengedar dengan tatapan tajam. Aku bisa merasakan jika ada sesuatu yang tengah mengawasi-ku di balik gelapnya ruang.
"Kau mencariku?"
Degup jantung serasa terhenti seketika, bulu kuduk-ku merambat cepat—dari kaki hingga ubun-ubun. Walau aku sadari jika sosok itu ada di balik bahuku. Namun mengapa begitu berat untuk menoleh ke arah suara itu berasal.
Kenapa gampang banget nyari makhluk ini, sial!
Aku mencoba menenangkan diri, mengatur hembusan nafas yang mulai terasa sesak sembari mengingat wajah seram dari sosok gadis kecil itu. Agar aku tak lagi terkejut saat aku menatapnya kembali.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan," kembali suara Gadis kecil itu bergema dengan jelas di telingaku. "Kau ingin aku melakukan sesuatu pada mereka?"
Ingin berseru namun mulutku serasa membisu, aku hanya mengangguk samar, dengan setengah senyum terukir pada wajahku yang semakin menegang. Mungkin dengan sepemikiran dengannya bisa menimbulkan sedikit keberanian dalam diri ini.
"Kau ingin membuat mereka terluka?"
Seketika mataku terbelalak, dan menoleh cepat pada sumber suara yang bersembunyi dibalik gelapnya malam.
"Ti-tidak ... Tidak separah itu!" sergahku, diiringi butiran keringat yang mulai membasahi dahi. Kapalku memutar mencari sosok gadis itu yang semula kukira ia berada di belakangku. "Di mana kau?"
"Pejamkan matamu, rasakan dengan batinmu."
"U-untuk apa?"
Tak ada salahnya aku sedikit bermain dengannya. Akupun mengikuti perkataannya dengan memejamkan mata, mencoba merasakan suasana yang semakin mencekam di sekitarku.
"Kau tidak perlu takut, biarkan perasaan itu tumbuh dalam dirimu."
Entah bagaimana ia bisa mengetahui apa yang aku rasakan. Memang saat ini aku begitu diselimuti oleh rasa ketakutan yang luar biasa, bahkan kakiku tak henti bergetar.
"Jika kau sudah tenang ... Buka matamu perlahan."
Seiring mata ini terbuka, perlahan nampak kain putih lusuh dengan jemari kakinya yang terapung di atas lantai. Bajunya memiliki khas tersendiri, seperti anak ini dari kalangan bangsawan. Namun tetap saja, aku tak mampu menatap raut wajahnya yang hancur itu.
"Mengapa kau berpaling dari wajahku?"
Aku tak ingin menjawabnya, hanya melambai samar ke arahnya. Tapi entah mengapa emosiku kini berangsur mereda. Kini aku merasa jauh lebih tenang dari sebelumnya.
Terlebih, mengapa aku sampai berani berkomunikasi dengan gadis kecil ini. Padahal beberapa waktu lalu, aku dibuat tak berdaya oleh gumpalan daging aneh ini.
Jika aku lihat dari keseluruhan tubuhnya, meskipun terdepat luka menganga yang dalam, namun kulit itu terlihat begitu nyata—bahkan tak jauh berbeda dengan kulitku.
"Siapa kau sebenarnya? Dan apa yang kau laukan di sini?" lugasku, masih tak menatap wajahnya.
"Ibu menyuruhku untuk bermain denganmu!"
"Ibu?" aku membeo dengan kerutan pada alisku, "aku tak mengenal siapa orang yang kau maksudkan itu."
"Ibu bersamamu, aku bisa merasakannya."
Mendengar itu, aku menoleh ke segela arah dengan tergesa, memastikan perkataan Gadis kecil itu. Namun tak juga aku lihat seorangpun disekitar sini—selain aku dan tubuh kecil yang masih melayang tidak jauh dariku.
Aku menghela nafas panjang, dan berbalik pada sosok Gadis kecil yang tak lagi nampak pada tempatnya semula. Kini ia berpindah tempat di suatu sudut ruangan yang tergeletak gelas dan sendok bekas kopi dari para pekerja yang tertinggal.
Gelas itu berputar dengan hebat, tanpa ia menyentuhnya, sendok yang berada di dalam gelas pun ikut menari-nari, tak tentu arah.
"Apa kau yang melakukan itu?" ujarku, mengerutkan kedua alis dengan mata terbuka lebar.
Ia tertawa sesaat dan melempar wajah pucatnya ke arahku. "Apa kau menyukainya?"
"Mengapa kau bisa melakukan itu?"
"Seperti yang tengah kau rasakan saat ini," raut wajahnya berubah seketika menjadi begitu datar, "apa kau takut padaku?"
Aku melangkah mundur, menjaga jarak dengannya seiring firasat buruk yang mulai mencuat. "Apa tujuanmu sebanarnya?"
Sosok itu hanya terdiam, diikuti oleh gelas dan sendok yang berhenti serentak. Mendengar ucapanku wajahnya menatap kasar ke arahku. Dan tanpa terduga arus listrik pun meredup—bagai kekurangan daya terlihat dari celah tangga yang menuju dapur.
Bahkan kejadian ini sampai menimbulkan kepanikan dari penghuni rumah lainnya, terutama Rifaldy dan Kevin yang terdengar bertanya-tanya.
Lampu kenapa ini!
Spaneng, Rif?
Petir mungkin Mas.
Petirnya jauh-jauh Mang! Lagian denger ada petir nyamber nggak? Nggak ada, kan!
Menghindari kecurigaan mereka, aku memutuskan untuk turun dari lantai dua, dan menghampiri mereka yang ternyata tengah berkumpul di ruang tamu.
"He! Berisik amat kalian ini! baru listrik hebohnya setengah mati!" tukasku, melangkah cepat menuruni anak tangga.
"Ini anak dari tadi," timpal Rifaldy menunjuk ke arahku, nampaknya ia merasa tersinggung dengan nada bicaraku. Itu sangat terlihat dari raut wajahnya seakan mencerminkan emosi yang mulai meluap, meskipun ada garis senyum yang terpaksa. "Gw cuman takut korsleting listrik, paham lu?"
Aku hanya tersenyum kecil, menanggapi perkataan Rifaldy yang mulai meninggi. "Lantas apa yang bisa dilakukan anak manja kayak, lu?" cibirku, membuat Rifaldy tertegun menelan ludah, "walaupun rumah ini terbakar, apa yang bisa lu perbuat Rifaldy? Kerjaan lu cuma main game, mana peduli sama pembangunan rumah ini?"
"Lu bisa jaga omongan gak!" sahut Rifaldy, dan ia melangkah cepat ke arahku, namun Kevin menarik lengan kirinya, "dari tadi nada bicara lu nyolot terus sumpah!"
"Kenapa?" datarku, sambil memasang dada. "Sebelum mengkritik orang, lebih baik urus kelakuan lu ... Lu malah melimpahkan semua tanggung jawab ke gue, seharusnya lu yang ngurus segala macem yang dibutukan di sini. Buka gue!"
"Oh ... Jadi lu nggak ikhlas bantu gue tadi pagi? Lu sakit hati?"
"Lah! Yang adik Ferdy, lu apa gue? Mikir, Rif! Gue orang lain di sini!"
"Eh, eh ... Ini kok malah jadi pake urat gini ngomongnya?" tukas Kevin. "Den, lu jangan berlebihan, lah. Lagian listriknya juga udah normal lagi."
"Sudah Mas, sudah. Jangan bertengkar ... Mas Rifaldy, kan cuma kaget saja sama lampu seperti ini," komentar mang Tohir, mencoba menenangkanku, namun justru ocehannya membuatku bertambah muak.
"Kenapa kalian!" ucapku, melirik satu persatu wajah para pekerja dengan penuh amarah. "Bela aja si Rifaldy, emang dia majikan lu semua, gue bukan apa-apa di rumah ini ... Dasar pengecut!"
"Lo sakit Den?" tukas Kevin, menghampiriku. "Apa masalah lo?"
"Cih ... " Aku memalingkan wajah, dan berjalan cepat kembali menaiki anak tangga untuk menuju lantai dua.
Kenapa semua orang menganggap aku ini salah? Apa yang salah! Di mana salahnya!
Aku tiba di lantai dua, dan menghampiri salah satu jendela yang masih tak berkaca, menatap redup langit hitam dengan butiran hujan yang berjatuhan.
Helaan nafas nan panjang, mewakili ratapanku akan keadaan yang tengah terjadi saat ini. Aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Aku merasa sangat kesal dadaku seketika dipenuhi lautan api yang berkobar hebat.
Kedua kepal tanganku mulai terasa bergetar, tapi mengapa? Mengapa aku bisa seperti ini? Rasa yang tak pernah aku alami sebelumnya. Apakah pantas amarah ini aku tujukan kepada orang yang telah aku anggap seperti saudara kandungku sendiri.
Dengan penuh sesal aku menatap kedua telapak tanganku yang telah terbuka, "Siapa aku ...."
"Apa kau masih ingin bermain denganku?"
Mataku terbuka dari lamunan pahit yang memilukan, sekejap pandanganku berubah semakin sinis ketika mendengar suara dari Gadis Kecil itu.
"Apa yang kau mau dari kami?" lugasku, dengan mata mengedar mencari wujud dari pemilik suara yang kudengar.
Kilatan petir menerangi sekitar, membuka ruang gelap walau sesaat. Gadis Kecil itu nampak masih melayang di antara balok-balok penyangga, mengintaiku dari dalam kegelapan.
"Aku nyaman bersamamu."
"Tidak, aku tidak pernah mengenalmu."
"Tapi aku mengenalmu."
"Siapa kau sebenarnya?"
"Aku hanya anak yang berakhir tragis."
"Apa tujuanmu menggangguku?"
"Ibu ... Ibuku menyukaimu, ia ingin aku bermain denganmu."
"Ibu! Ibu!! Aku tidak mengenal siapa Ibu-mu! Ngerti?"
"Kau tak perlu mengenalnya, cukup merasakannya."
"Aku seorang Pria, bukan Ibu-mu, paham? Kau salah orang, bocah!"
Mataku mendelik, saat sosok itu malah tertawa lepas menanggapi perkataanku. Suara tawanya tak berbeda dari seorang anak yang berusia 8 tahunan. Terdengar riang, cukup untuk mengisi kesendirian yang tengah aku rasakan.
"Kau ingin mendengar kisahku?"
Aku hanya menggelengkan kepala samar, dan kembali menatap ke luar jendela. "Apa aku sudah gila?"
"Tentu saja tidak, kau ingin aku berbuat sesuatu untukmu?"
"Untuk apa?"
"Agar kau yakin, jika kau tidak gila."
Ia kembali tertawa lepas di antara suara hujan yang bergemuruh, menantiku yang tengah memikirkan tawarannya.
Hingga aku mendapatkan satu keinginan yang kurasa ini tak mungkin dan sangat aneh. Aku melirik sekitar ruangan dan terhenti pada kaleng cat yang tergeletak di lantai.
"Bisa kau pindahkan itu?"
"Hanya itu? Apa setelah itu kau akan bermain denganku?"
"Tidak!"
Suara getaran kaleng, mengalihkan perhatianku, mataku membesar tak sanggup berkedip menatap sebuah kaleng yang tengah bergetar dengan sangat kuat.
"Cu ... Cukup!"
Aku terhening seketika di saat indra penciumanku menangkap wewangian yang seakan menusuk hidungku. Bau ini seperti bunga melati yang tercampur bau busuk tak sedap. Tentu saja hal itu berhasil membuat suasana terasa mencekam.
Meski aku telah berjumpa dengan sosok ini untuk kesekian kalinya, namun tak bisa aku pungkiri jika rasa was-was dan cemas masih kental aku rasakan.
Kilatan cahaya petir tak lagi menerangi sosok Gadis kecil itu di tempat sebelumnya, aku merasa semakin tak nyaman berada di sini. Hingga memutuskan untuk kembali bergabung dengan Rifaldy dan yang lain.
Mungkin sebaiknya aku meminta maaf pada Rifaldy dan Kevin.
Setibanya aku di ruang tamu suasana nampak sepi, bahkan tak lagi terdengar obrolan dari para pekerja. Langkahku terhenti, wajahku tertunduk lemas ketika mendapati pintu kamar yang telah tertutup rapat. Mungkin mereka tak ingin aku masuk ke dalamnya.
Semua ini terjadi karena kesalahanku ...
Aku berlenggang menjauh dari ambang pintu lalu duduk pada sebuah kursi dengan kedua telapak tangan menutupi wajahku.
Mereka bukan hanya saudaraku, tapi juga kawan terbaikku ... Seharusnya aku bisa mengatasi semua ini.
"Mereka membuangmu!"
Aku mendongak ke arah langit-langit, ketika kembali mendengar suara dari Gadis kecil itu.
Ia tengah menatapku dengan separuh tubuhnya menembus langit-langit rumah. Hanya memperlihatkan pundak dan rambut panjangnya yang terurai.
"Ini tidak nyata!" gusarku, dengan kedua lengan mencengkeram rambut.
"Apa kau ingin aku melukai mereka?" Mendengar ucapan dari mahluk kecil itu, seketika aku melirik sinis ke arahnya.
**************
Bersambung ...
**************