Quote:
Sosok gadis kecil itu nampak melayang-layang—seperti kapas yang terhembus angin. Bahkan jempol kakinya tak sampai menyentuh lantai.
Kilatan petir yang menyambar, memberi kilasan sesaat akan raut wajah datar nan pucat dari gumpalan daging yang nampak rusak ini.
Lututku bergetar hebat tak mampu berkata apapun—selain terpaku menatap gadis kecil itu dengan nafas yang kian bertambah cepat.
"Bukankah kau sudah berjanji padaku?" Mataku membesar sejadi-jadinya, ketika mahkluk ini bersuara.
Bukan karena suaranya yang membuatku semakin gemetar, tapi dari cara ia bicara—tanpa menggerakkan bibirnya sedikitpun. Sungguh hal yang tak masuk akal, namun ini benar terjadi di depan mataku.
Aku memejamkan mata, dengan jemari mendekap kedua daun telinga dengan erat-erat, berharap tipuan ini segera sirna dalam benakku.
Sadar Den .... Tenang .... Semua ini tidaklah nyata! Ini tidak nyata!
Berulangkali aku meyakinkan diri, jika semua ini hanyalah halusinasi semata. Namun bau bangkai dan aroma melati yang begitu menusuk, mematahkan itu semua.
"Kau tidak sedang bermimpi ... Ibu memintaku untuk bermain denganmu."
Sekejap lututku terasa begitu lemas, saat perlahan aku membuka mata. Tak khayal kulihat tubuh gadis Kecil itu masih menghadap ke arahku dengan kaku. Hingga aku sadar ini tidak akan berakhir jika aku hanya berdiam diri tanpa melakukan apapun.
Dengan nafas terpenggal-penggal aku mencoba membuka suara, masih dengan bibir yang tak henti bergetar. "A ... A-apa yang kau inginkan.. dariku!!"
Mahkluk ini tak bergeming sedikitpun, hanya menatapku dengan wajah datarnya. Namun perlahan gumpalan daging pucat itu nampak melayang menjauh tanpa sepatah katapun. Semakin lama sosok gadis kecil itupun semakin samar, dan hilang dibalik dinding.
Walaupun sosok aneh itu tak lagi nampak, namun tidak dengan perasaan was-was yang masih mencengkram kuat diri ini. Aku menoleh kesegala arah dengan penuh nafsu—memastikan jika sosok itu benar-benar telah pergi.
Di tengah ruang yang gelap, perlahan aku berusaha bangkit dari dudukku. Tapi Lutut ini masih terasa begitu lemas—lemah tak berdaya. Dengan kondisi seperti ini untuk berdiri saja aku harus mencari tempat bertumpu. Beruntung tidak jauh dariku terdapat tembok yang mengitari sisi anak tangga.
Oke ... Tenang, Den... Tenangkan diri sejenak.
Beberapa kali aku menghela nafas panjang, berharap bisa jauh lebih tenang. Walau sosok itu telah pergi, namun bau bangkai dan semerbak melati masih kental terendus di hidungku.
Mataku tak henti melirik ke segala penjuru dengan penuh perasaan was-was. Tak pernah terbayang sebelumnya, aku bisa sepanik ini. Tak ingin membuang kesempatan yang ada. Dengan Langkah cepat, aku menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa.
Bulu kuduk-ku tak henti bergejolak hebat meliputi ingatan akan gumpalan daging pucat yang menyerupai seorang Gadis Kecil yang semula kukira ia manusia biasa.
Namun langkahku kembali melambat hingga kemudian terhenti, saat aku tiba di lantai gelap yang dipenuh bambu dan balok yang menjadi penopang atap. Entah mengapa di lantai dua ini, aku kembali merasakan sesuatu. Aku begitu yakin jika ada seseorang yang tengah memperhatikanku pada suatu sudut di antara balok-balok yang memadati ruangan.
Aku menggelengkan kepala, lalu membuang nafas kasar, tak ingin terjebak untuk kedua kalinya dalam situasi serupa. Aku pun berbalik dan melanjutkan langkah menuruni anak tangga, hingga aku tiba di lantai dasar.
"Mas—"
Aku menoleh cepat, "astaga! Bikin kaget aja!"
"Maaf, Mas," ujar mang Tohir sambil menggaruk pala dan nyengir kuda, hingga ia mengerutkan kedua alisnya sambil menggeret lirik ke lentai dua, "dari lantai atas, Mas? Kenapa, pada basah?"
"Abis ngecek sesuatu, Mang .... Oh ... I-ini ... Aku terpeleset di lantai tiga waktu akan turun."
"Iya pasti, atuh. Di sana belum ada lampu, apa lagi udah gelap gini. Salin, Mas ... Nanti masuk angin."
Aku berdecak ringan, menaikan kedua alis sesaat, "Ah, gampang ini."
"Mas .... Saya izin untuk pulang, ya?"
Aku melirik pada jendela, nampak hujan masih sangat deras, "Masih hujan, Mang ...."
"Tidak apa, Mas. Saya bawa mantel hujan, Mas."
"Ohh ... Ya, terserah, Mamang saja kalau begitu."
Entahlah, tiga pekerja ini memang sudah tertangkap aneh, bahkan sejak pertama kali kami bertemu. Keanehan sikap mereka sangat jelas terlihat.
Tak ada satupun dari para pekerja ini yang tidak merasa gelisah dan was-was saat malam mulai menjelang. Sampai-sampai mereka enggan untuk menginap di rumah ini. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan mereka seperti itu. Mungkinkah ini ada kaitannya dengan penghuni lain yang ikut bernaung di rumah ini.
Apakah mereka pernah berhadapan dengan Mahkluk yang tadi aku temui?
"Mari, Mas ...."
Aku terkesiap, saat mang Tohir berpamitan. "Oh, I-iya, Mang ... Silahkan."
Setelah berpamitan denganku, para pekerja pun lantas pergi, namun mereka menyempatkan untuk berpamitan dengan Rifaldy di kamarnya sebelum akhirnya mereka beriringan keluar melalui pintu utama.
Nampaknya malam ini akan terasa sangat dingin. Bahkan tak kulihat AC di dalam kamar Rifaldy menyala. Padahal biasanya ia sangat tidak senang jika pendingin ruangan itu mati.
"Duh.. yang takut cekernya diminta!" cibir Kevin, matanya tak bergerak sedikitpun dari layar monitor. Ia sedang asyik bermain Game bersama Rifaldy.
"Vin ... Biar dikasih juga! Gue nggak akan mau, tuh!" timpal Rifaldy, membuatku melirik tajam ke arahnya.
Hatiku terasa terbakar oleh ucapan mereka berdua, "Apa maksud kalian?!" gusarku, menatap mereka silih berganti, dan menunjuk muka Rifaldy. "Liat, Rif! Nggak sudi gue bantu, lu lagi!"
Tentu saja itu membuat Rifaldy tersentak, hingga menghentikan kegiatannya, "Den?" Ia bertukar pandang dengan Kevin dan bertanya, "Dianggap serius ...."
"Slow, Den ... Gue cuma be—"
"Gue tau Vin! Lu berdua mau cari gara-gara sama gue, kan!"
"Elah, Den. Lu kenapa, sih?"
"Ah! Udahlah! Males gue!"
Rasa dingin yang tadi aku rasakan hilang termakan oleh kobaran amarah yang semakin menggebu. Tak ingin mendengar penjelasan mereka. Aku pun lantas berbalik dari kamar muram ini untuk menuju terasa depan. Berharap bisa menenangkan pikiranku di sana.
Tiba pada teras depan rumah, aku berdiri tepat di ambang pintu, termenung dengan kepala bersandar tiang—menatap sayup gerbang besi hitam yang berlinang air hujan.
Langit tak menampakkan senja, tertutup oleh gumpalan awan hitam nan padat yang membawa desiran angin dingin terasa begitu lembab. Apa yang aku pikirkan bukanlah perkataan Rifaldy dan Kevin. Namun yang aku sesali adalah sikap ini, mengapa akhir-akhir ini aku tak mampu menahan amarah, padahal kami senantiasa bercanda gurau bersama.
Baru aku hendak menghela nafas mataku tertarik pada suatu sudut, tepat di balik gerbang depan. Nampak dua orang pria—tengah menuntun sepeda motor di tengah derasnya hujan.
Aku menarik senyum saat kulihat sekujur tubuh mang Ento dan mang Tohir basah kuyup. Semoga saja itu menjadi pelajaran bagi mereka jika tidak perlu tergesa-gesa untuk meninggalkan rumah ini.
Usai memasuki lahar parkir kedua Pria itu berjalan cepat menghampiriku, lalu mengusap wajahnya dan mengeluh, "Aduh ... Mogok motornya, Mas! Untung kita belum terlalu jauh dari sini, Mas."
"Katanya pakai mantel?—" Aku mengarahkan dagu ke arah kamar Rifaldy, "tanya Majikan kalian, ngapain dia bawa motor bobrok itu lagi."
Mendengar itu, mang Tohir bergerak menuju kamar, diikutin mang Ento yang hanya mengangguk samar padaku kemudian berlalu. Tak lama percakapan mereka terdengar riuh membahas akan masalah motor. Sepertinya mang Tohir tetap bersikeras untuk tetap meninggalkan rumah ini. Namun Rifaldy pun tak ingin terganggu dengan keluhan mereka, ia lebih memilih mengatakan tidak tahu, walau sejatinya ia sudah terbiasa menangani mesin motor tuanya yang sering mati jika terlalu dingin. Hingga mang Tohir berlaga mengerti dan kembali ke depan rumah—hendak mengoprek mesin bermotor itu.
"Saya sedikit mengerti kalau masalah motor. Biar saya yang cek," ucap mang Tohir, sesaat melintas di sisiku.
Aku tak ingin ikut campur dalam masalah ini, lebih baik aku membuat secangkir kopi untuk menghangatkan tubuh.
"Den ...." sapa Rifaldy, saat mendapati aku tengah melintas di pintu kamarnya.
Aku tak ingin bicara ataupun melihat wajahnya. Bukan karena aku enggan memaafkan perkataannya, tapi aku lebih cemas jika sikap itu akan terjadi lagi padaku—sikap yang membuatku tak bisa mengendalikan lidah dan emosi.
Keanehan ini aku sadari ketika aku memaki para pekerja yang jelas-jelas telah menolongku. Entah mengapa kala itu aku tak bisa merasakan wajahku, bahkan aku tak bisa memprediksi kata yang akan terlontar dari bibir ini. Tragisnya lagi itu terjadi dalam kondisi tersadar.
Tidak bisa, Mas ...
Masa, Mang? Tadi waktu saya jemput Kevin lancar kok.
Sudah saya kick starter tetap saja tidak mau menyala, Mas.
Aku tersenyum menang, sambil berjalan mendekati ruang tamu, dengan menenteng secangkir kopi panas yang sesekali aku endus.
"Coba, Vin. Di cek."
"Apa lagi gue, Rif! Nggak ngerti mesin."
"Nah! Mas, Deni bisa betulkan motor?"
"Apa susahnya bermalam di sini." tukasku, duduk santai sambil menyeruput kopi.
"Tapi gimana kita pulang besok, Den?" lanjut Kevin.
"Jangan cemas, esok hari juga motor sudah bisa digunakan," nadaku, sedikit meninggi.
"Sok tahu lu, Den!" sahut Rifaldy, nadanya mungkin datar, tapi wajahnya melukiskan jika ia sedang tidak suka terhadapku.
"Kalau pawang yang mau pulang baru itu motor nyala ...." sahutku, sedikit mengejek.
Aku tak perlu repot-repot memikirkan mereka, lebih baik duduk santai sembari menikmati secangkir kopi. Helaan nafas dalam terdengar tidak jauh dariku mengiring Pria paruh baya membungkuk lalu duduk.
"Semoga tidak ada kejadian aneh-aneh malam ini," gumamnya, hampir tak terdengar. Raut wajahnya nampak gelisah, terlihat dari kerutan kedua alis yang hampir menyatu, dan sepasang mata yang tak henti berkeliling ke segala arah.
"Apa yang kau takuti ... Ento!" ucapku, dengan senyum menyeringai seraya melempar tatapan tajam di balik cangkir yang hampir melekat pada bibirku.
Entah mengapa melihat raut wajah seseorang yang sedang dilanda rasa ketakutan menjadi suatu hal baru untuk bersenang-senang.
"Nggak, Mas," jawabannya, terdengar ragu, menoleh sesaat dan berpaling muka dariku.
Aku menaikan satu alis saat tersirat satu ingatan tentang sebuah cerita yang pernah diungkapkan oleh mang Tohir beberapa hari lalu.
"Oya, Mang! Apa benar Mang Ento pernah berjumpa dengan sosok anak kecil?" Mendengar itu, mang Ento terperanjat dan menoleh ke arahku sesaat lalu tertunduk.
Wajahnya kaku melengkapi gelagat tubuh gugup dalam keraguan yang tak ingin ia ungkapkan.
"Se-sebaiknya ... Jangan dibahas, Mas," singkatnya, dengan mata berkeliling seakan mencari sesuatu di setiap sudut ruangan.
"Lho, kenapa?" timpal-ku, menelaah sekitar ruangan, "Kan, masih sore, baru jam enam, Mang."
Ia menggesek-gesekkan telapak tangan, sesekali meniupnya, "Bahas yang lain saja, Mas."
Aku menghela nafas, dan kembali mengangkat cangkir, "Menggunakan gaun putih. Rambut berponi, dan pipi terkelupas?"
Sontak Mang Ento kembali menoleh cepat ke arahku dengan mulut menganga. Matanya mendelik, sesaat mendengar apa yang aku ungkapkan. Puas dengan yang kukatakan, lalu aku menyeruput kopi hangat, masih dengan tatapan tajam mengarah ke wajahnya.
"I-itu, Mas!" sahutnya, dengan mengusap tengkuk leher. "Pernah liat juga, ya, Mas?"
"Eh! Sini bantu!"
Pandanganku beralih ke arah mang Tohir yang baru saja keluar dari kamar nomor tiga, ia melambaikan tangan pada rekan kerjanya yang kini nampak semakin gelisah. Sepertinya ia sedang menyiapkan tempat untuk mereka beristirahat.
"Sini ... " panggil mang Tohir, yang dianggukan mang Ento.
"Saya permisi dulu, Mas ..."
"Oh iya, nanti kita sambung lagi, ya, Mang?"
Ia menjulurkan lengan seraya senyum getir terukir di wajahnya. "Nggak perlu, Mas. Seram," sahutnya, dan berlalu.
Pengecut kau Ento ...
Aku termenung, meratapi kesendirian ini. Rifaldy dan Kevin masih tertawa gembira bersama di dalam sebuah kamar yang nyaman. Bahkan para pekerja pun tak lagi terlihat, setelah mereka menutup pintu rapat-rapat.
Mengapa aku merasa jika semua seakan menjauhiku, mungkinkah ada yang salah dengan sikap ini. Tapi apa peduliku, untuk apa repot-repot memikirkan mereka.
Hingga sesuatu mengalihkan perhatianku. Mataku menatap lurus pada deretan anak tangga yang menuju lantai dua. Entah mengapa aku justru teringat akan sosok yang baru aku temui di lantai atas.
Anak kecil? Mengapa aku harus takut pada anak-anak.
Gemuruh hujan dan petir mulai terdengar dari luar rumah, mengiringi langkahku menaiki deretan anak tangga yang menuju lantai atas.
Kau benar-benar ingin bermain denganku? Ayo kita lakukan!