- Beranda
- Stories from the Heart
Rumah Terbengkalai (True Story)
...
TS
wedi
Rumah Terbengkalai (True Story)

#The Winner Writer II Horor
#Hot Genre Horor No 3.
#Top Catagori Novel Horor No 2.
#On Kaskus: HT ...

Hai, Readers.
Saya punya cerita yang mungkin menarik untuk kalian baca, kisah ini saya angkat dari kejadian nyata yang saya alami sendiri.
Quote:
Quote:
Cerita Lainnya: Audio Versi:
1. Ekspedisi Arkeologi - Kutukan Desa Mola-Mola
1. Ekspedisi Arkeologi - Kutukan Desa Mola-Mola
Spoiler for Temukan Athor di Sosial Media:
Spoiler for Link Donasi Gan:
Quote:
Dana: 081585512078
Spoiler for Fizzo Novel::
Buat yang mau baca Novel author lainnya bisa ke sini: Nama Pena: D. Eyzha_HR.Di sana bisa tanpa baca alias ada fitur audio baca.
Sebelumnya saya minta maaf jika ada:
-Kesalahan dalam Post saya
-Update ceritanya lama.
-Saltik atau Typo karena cerita belum sempat di Revisi ulang.
Quote:
Untuk Versi REVISI DAN TERUPDATE bisa cek di sini: Mangatoon - Rumah Terbengkalai True Story
Quote:
- WARNING -
Dimohon kerjasamanya bagi siapapun yang sudah tahu menahu tentang lokasi di cerita ini untuk tetap MERAHASIAKANNYA. Dan bagi yang MASIH PENASARAN, TS mohon dengan sangat untuk penasaranlah dari segi ceritanya saja (tidak perlu mencari & menerka). Let mystery be a mystery, untuk kebaikan kita bersama & sisi unik dari cerita ini.
Dimohon kerjasamanya bagi siapapun yang sudah tahu menahu tentang lokasi di cerita ini untuk tetap MERAHASIAKANNYA. Dan bagi yang MASIH PENASARAN, TS mohon dengan sangat untuk penasaranlah dari segi ceritanya saja (tidak perlu mencari & menerka). Let mystery be a mystery, untuk kebaikan kita bersama & sisi unik dari cerita ini.
Quote:
Note: SAYA HANYA MEMPOST CERITA INI DI KASKUS DAN MANGATOON. SELAIN DI DUA PLATFORM INI CERITA DIJAMIN PLAGIAT ..
----------------------------------------------------------------
NovelTool: TAMAT
Index On Kaskus (TAMAT)
0. Author Kembali 2024!
1. Prolog.
2. Perkenalan.
3. Rumah Tua Part 1.
4. Rumah Tua End.
5. Malam Pertama Part 1.
6. Malam Pertama End.
7. Interaksi Astral Part 1.
8. Interaksi Astral End.
9. Malam Penuh Cemas: Bab1 (2024)
10. Malam Penuh Cemas: Bab 2 (2024)
11. Malam Penuh Cemas: Bab 3 (2024)
12. Malam Penuh Cemas: End (2024)
13. Munguji Mental: Bab 1 (2024)
14. Menguji Mental: Bab 2 (2024)
15. Menguji Mental: Bab End (2024)
16. Aku Kembali: Bab 1 (2024)
17. Aku Kembali: Bab 2 (2024)
18. Aku Kembali: Bab 3 (2024)
19. Aku Kembali: Bab 4 (2024)
20. Aku Kembali: End (2024)
21. Dia Adik-ku: Bab 1 (2024)
22. Dia Adik-Ku: Bab 2 (2024)
23. Dia Adik-ku: Bab 3 (2024)
24. Dia Adik-Ku: Bab 4 (2024)
25. Dia Adik-Ku: Bab End (2024)
26. Teman Atau Lawan: Bab 1 (2024)
27. Teman Atau Lawan: Bab 1² (2024)
28. Teman Atau Lawan: Bab 2 (2024)
29. Teman Atau Lawan: Bab 3 (2024)
30. Teman Atau Lawan: Bab 4 (2024)
31. Teman Atau Lawan: Bab 5 (2024) ]
32. Teman Atau Lawan: Bab End¹ (2024)
32. Teman Atau Lawan: Bab End (2024)
33. Penderitaan: Bab 1 (2024)
34. POV Kevin: Penderitaan Bab 2 (2024)
35. Pov Kevin: Penderitaan: Bab 3¹ (2024)
36. POV Kevin: Penderitaan: Bab 3² (2024)
37. POV Kevin: Penderitaan: Bab 4¹
38. POV Kevin: Penderitaan: Bab 4²
39. Pov Kevin: Penderitaan bab 5
40. Pov Kevin: Penderitaan bab 6
41. Pov Kevin: Penderitaan Bab 7
42. Pov Kevin: Penderitaan End
43. Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP1
44. Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP2-3
45. Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP4-5
46. Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP6-7
47. Pov Kevin: Mengungkap Misteri End
48. Pov kevin: Perjuangan Akhir EP1-2
49. Perjuangan Akhir EP3
50. Perjuangan Akhir: TAMAT
>>>TAMAT<<<<
----------------------------------------------------------------
Quote:
Plot Story:
Cerita diangkat berdasarkan kisah nyata yang dialami oleh lima Pria remaja asal Bogor Jawa Barat.
Kejadian Bermula ketika Yudi membeli sebuah rumah tua peninggalan belanda yang hendak ia renovasi menjadi bangunan mewah berlantai empat.
Seiring pembangunan berjalan, kejadian aneh kerap dialami oleh para-pekerja yang membuat meraka merasa tidak nyaman, interaksi keberadaan makhluk tak kesat mata terasa kental ketika malam menjelang. Deni dan empat kawannya yang diberi tugas mengawasi pekerja tak luput dari gangguan yang sulit diterima oleh nalar.
Hingga detik ini pembangun telah terhenti, yang tinggal hanya menyisakan rumah besar yang terbengkalai.
Gangguan seperti apa yang mereka rasakan? lalu adakah kisah kelam dibalik berdirinya bangunan besar ini? mari ikuti pengakuannya dalam cerita "Rumah Terbengkalai"
dan pastikan anda tidak membacanya seorang diri.
Diubah oleh wedi 22-10-2024 19:47
iwanridwanmks dan 59 lainnya memberi reputasi
56
57.1K
Kutip
371
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
wedi
#264
Dia Adik-ku - Bab 4
Quote:
Rasa cemas yang berkecamuk dalam hati ini, membuatku tak bisa berpikir dengan jernih. Aku melangkah cepat dan berlari sekuat mungkin untuk menyisir setiap lantai di rumah ini. Aku tak peduli akan apa yang menghadang-ku di atas sana.
Nampaknya Rifaldy dan mang Tohir masih belum juga mengerti atas apa yang tengah terjadi. Mereka hanya terpaku menyaksikan aku kalang kabut, "Woi! Den! ... "
"Mas!"
Langkah ini tercekat, tepat pada anak tangga terakhir. Dengan nafas terpenggal-penggal, aku memutar kepala dengan tergesa—bagaikan orang yang tak tau arah—saat aku tiba di lantai dua yang gelap gulita. Bahkan Aku tak bisa melihat dengan jelas di sini.
"Di ... " Nadaku semakin meninggi namun terdengar bergetar, mengiringi nafasku yang terasa semakin berat. Aku sadar jika teriakan ini tidak akan cukup untuk menemukan adikku.
"Dii ... " Aku mulai melangkah, berjalan melewati balok dan bambu sempit yang menjadi penopang atap di lantai ini. Sebegitu paniknya aku, hingga tak bisa melangkah dengan baik, bahkan tak jarang lutut ini membentur susunan balok dan bambu kering yang melintang—memenuhi seisi ruangan.
Derap kaki mendekat cepat, mengantarkan mang Tohir tiba di lantai dua, "Mas ... " Ia terhenti sejenak, untuk mengatur nafasnya yang terengah-engah, "Mas, senter ...." Mang Tohir menjulurkan lengannya, memberikan sebuah senter yang lalu aku sambar dengan cepat.
Tak ingin berpikir panjang lagi, aku pun mengedarkan cahaya di semua sudut ruangan.

"Di ... !! "
"Hati-hati, Mas, banyak paku."
"Den, santai aja Den, santai ...."
Aku berbalik dan melirik Rifaldy dengan tatapan tajam, "Apa kata lu! Santai? Edi ilang Rif! Terus lu suruh gue, santai?" Wajah Rifaldy terlihat sangat jelas, ketika aku menunjuknya dengan senter, "lu waras, Rif!"
"Ma-maksud gue ... Demi keselamatan lu juga, Den," Rifaldy mengelak, suaranya terdengar kaku dan terputus-putus.
"Lu nggak bakal ngerti apa yang gue rasain, Rif!" Nadaku semakin tinggi, emosiku begitu mudah terpancing. Seakan Rifaldy menjadi sasaran empuk untuk bahan pelampiasan amarahku, "Karena lu nggak pernah punya adik!" Aku mendekat satu langkah ke arahnya. "Gue nggak butuh saran dari lu!"
"Den ... " Lagi-lagi Rifaldy hendak menjawab, namun aku memenggal ucapannya.
"Kalau lu takut! ... Lu nggak perlu bantu, gue, Rif!" lantangku, lalu berpaling wajah darinya, untuk kembali melakukan pencarian.
Aku melangkah masuk lebih dalam lagi, hingga aku terhenti pada sebuah balkon yang tak berpagar. Aku mengedarkan cahaya senter ke setiap penjuru ruangan, namun tak kudapati seorang pun, selain Rifaldy dan mang Tohir yang menantiku di penghujung tangga.
Lirik-ku bergeser pada barisan anak tangga tepat di sisi kanan Rifaldy dan mang Tohir.
Lantai tiga dan empat!
Saat ini aku tak bisa mengendalikan tubuhku dengan baik. Jemari lengan ini terasa dingin seraya keringat yang mulai bercucuran dari keningku. Bahkan, ke-dua belah pipiku terasa begitu hangat, masih dengan nafas boros. Kini aku tenggelam oleh lautan emosi yang begitu menggebu.
Suara balok dan bambu kering yang tersapu kaki, seakan menggambarkan situasi genting dalam ruangan ini.
"Mas ..."
"Den ... "
Entah apa yang mereka pikirkan. Membantu tidak, hanya memajang wajah dungu sambil memanggil-manggil namaku setiap kali berpapasan denganku. Namun itu semua tak memperlambat langkah ini menaiki anak tangga untuk menuju lantai tiga.
"Mas ...."
Aku menghela nafas tak sabar, dan menoleh cepat pada mang Tohir yang mengekor di belakangku, "Ngapain! Mending bantu di tempat lain!"
"I-iyaa ... Mas ... " Mang Tohir kembali menuruni anak tangga dan hilang ditelan kegelapan.
Semerbak bau aneh seketika membius hidungku, saat aku tiba di lantai yang aku tuju.
Jelas lantai ini sangat berbeda dari yang lain. Ruangan terasa begitu panas dan pengap, meski tak mempunyai pintu dan jendela. Lantainya terasa begitu lembab—oleh genangan air yang terlihat di setiap sudut ruangan—dan dipenuhi tumpukan balok yang tak tersusun rapi, tergeletak begitu saja di atas lantai.
Kurasa tak mungkin Edi berani menginjakan kaki di lantai ini, karena aku tahu betul jika ia bukan tipikal orang yang bernyali besar.
Sejenak aku terdiam tepat di bibir tangga, mencoba mengatur nafas ini yang mulai terasa mencekik leherku. Sesekali aku mengamati anak tangga yang merujuk pada lantai dua, dan menerawang semua bagian di lantai ini. Hanya perasaanku saja!
Aku menarik nafas dalam-dalam, dan kembali bergema, "Di ... "
Derit kaki melewati kubangan air, terdengar jelas memecah ruang hening dan gelap. Perlahan tapi pasti, aku malai menyusuri semua bagian yang ada di lantai ini. Nampak di hadapanku, sebuah ruang yang terhimpit oleh tiga kamar yang masih tak berpintu.
"Di! ... " Aku sangat yakin suara ini cukup terdengar jelas, jika ia memang berada di lantai ini pasti akan meresponnya.
Duuuuuggg!!
Aku tersentak dan menoleh cepat, saat kudengar sesuatu terjatuh dari arah anak tangga yang menuju lantai empat, "Di?" Aku mengernyitkan alis, mencoba memperhatikan suara tersebut.
Duuuuuggg!!
Dan suara itu kembali terdengar, tapi kali ini di tempat yang berbeda.
Duuuuuggg!!
Aku sedikit tersenyum dan menaikan satu alisku, Dasar bocah bengal! Suara itu terdengar ganjil—seakan dibuat-buat—aku yakin, pasti pelakunya orang yang tengah aku cari, tidak lain dan tidak bukan, ialah adikku.
Baru Aku bisa menghela nafas lega, meskipun membuatku panik setengah mati, paling tidak ia baik-baik saja.
Duuuuuggg!!
"Oi! Keluar ... Udah main-mainnya, lah!" Lantangku, berjalan menghampiri tangga dan menjulurkan kepala mendongak ke atas, "Di ... Turun! ... "
Duuuuuggg!!
Aku berdecak malas, lalu menapaki anak tangga satu per satu dengan cahaya senter menerangi penghujung lorong yang gelap. "Di ...."
Mataku membesar, saat tiba di lantai empat, dan tak kudapati seorang pun di ruangan terbuka ini. Hanya ada tumpukan kayu yang telah mengering dan basah—terguyur air hujan. Aku sedikit menaikan dagu, terdiam dan hening, menantikan suara yang kudengar tadi.
Sangat mustahil seseorang bersembunyi di ruangan ini, karena hanya dengan satu kali pandang saja aku sudah bisa melihat dinding pembatas yang memagari setiap sudut ruangan—pagar dinding itu hanya setinggi pinggang pria dewasa—dengan lima pilar yang menyangga atap di setiap ujung perseginya.
Aku menarik lirik pada sebuah tangga berukuran mini—mungkin hanya cukup untuk satu orang—yang mengarah ke lantai berikutnya. Namun tangga itu nampak begitu rapuh, karena belum sepenuhnya selesai dikerjakan—terlihat dari deretan bambu yang menopang tangga tersebut dari bawah—bahkan masih ditutupi oleh ranting kering dan karung goni. Tak mungkin Edi menerobos itu semua.
Perasa yang mula tenang, kini kembali terguncang. Hembusan nafasku bertambah cepat, seraya jantung ini berdebar semakin tak karuan. Aku tak mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi, kemana lagi aku harus mencarinya.
Aku menoleh ke arah dinding pembatas, dan memikirkan sesuatu. Hanya ada satu tempat yang luput dari mata ini yaitu. Halaman depan! Mungkin akan sangat baik mengamati sekitar rumah dari jarak setinggi ini.
Aku menjulurkan setengah badan—melewati dinding pembatas—dan mengedarkan cahaya senter ke segala penjuru.
Di depan rumah nampak begitu sepi, hanya ada pepohonan liar yang bergoyang oleh angin yang berhembus sedang.
Aku meletakkan jemariku pada pipi dan menarik nafas panjang, "Di ... " Seketika suaraku terdengar menggema di tengah sunyinya malam.
Tubuhku semakin terasa lemas, termakan oleh pikiran negatif akan kondisi adikku. Aku tak tahu harus mencarinya di mana lagi. Semua ruangan di rumah ini sudah aku sisir, tanpa satupun yang luput dari mataku. Tapi mengapa tak ada satupun petunjuk yang kutemui.
Hingga sesuatu menarik perhatianku. Aku menyipitkan mata, mengamati pekarangan depan dengan sangat hati-hati. Entah mengapa firasatku begitu kuat tertuju pada sebuah gundukan pasir yang berada di halaman depan rumah.
"Oi! Rif! ... Mang! ... " Aku berusaha memanggil mereka dengan tidak sabarnya, "Mang! ... Rif! ..."
Tak lama terlihat mang Tohir keluar, ia berputar-putar mencari sumber suaraku. "Mang!"
"Ketemu, Mas?" pekiknya, ia mendongak menatap ke arah dari bawah.
"Coba buka itu terpal ... " Ia kembali memutar tubuhnya, mencari sesuatu yang aku maksudkan, "Het-dah. Itu! ... Yang buat nutupin pasir!" Aku mengangkat tangan—memintanya membuka terpal tersebut.
Tak banyak bicara ia pun menarik terpal berwarna biru dari tempatnya, dan sesuatu pun kami temukan.
"Mas ... Edi, Mas!"
Tanpa berpikir panjang Aku berbalik dan berlari secepat mungkin untuk segera menuju lantai dasar. Namun sungguh sial, rasa panik yang terlalu besar membuatku tak memperdulikan apapun, hingga aku tak menyadari jika ada sebongkah balok yang melintang tepat di tengah ruangan yang membuat tubuhku terpelanting, jatuh tersungkur.
Aku merintih berguling-guling, menekap Dadaku yang terbentur kuat oleh benda tumpul yang tergeletak di atas lantai. Aku tak mampu menghembuskan nafas panjang.
Dengan tergagap-gagap, aku mencoba meraih sebongkah balok yang tergeletak tidak jauh dariku, untuk membantu bangkit dari cidera yang hampir membuatku tak berdaya.
Hilir terdengar derap kaki tergesa-gesa menaiki anak tangga, "Mas! Mas ... " Sepertinya Mang Tohir dan Rifaldy tengah mencariku di setiap lantai.
Hingga mereka pun tiba di bibir tangga lantai ini, "Den ... " Rifaldy yang menyadari aku dalam kesulitan, sigap menghampiriku dengan langkah cepat, lalu berlutut meraihku, "Lu, kenapa?"
"Gu-guuuee ... Gue nggak apa-apa, Rif ... " Bahkan untuk mengucapkan sepatah katapun masih sangat sulit.
Aku mencengkeram bahu Rifaldy dengan kuat, "Edi ... "
"Edi udah di bawah, Den ... " Rifaldy menundukkan wajahnya, "Dia ... Tak sadarkan diri!"
Aku terdegup hatiku terasa tercabik-cabik saat mendengar perkataan Rifaldy. Seakan semua firasat buruk yang aku rasakan menjadi semakin nyata.
Anj*** ... !!! Amarahku tak terbendungkan lagi, bahkan lantai pun menjadi bulan-bulanan kepal jemariku. "Siapa yang berbuat itu!" Namun Rifaldy dan mang Tohir hanya membisu.
"SIAPA YANG BERBUAT ITUUUU!"
"Mas ... Sabar, mas ...."
"Y ... Iya, gue nggak tau, Den ...."
"I-iya, Mas ... Mana mungkin kami melakukan itu pada adik, Mas."
"Jika bukan kalian! Lantas SIAPAAA!!!"
"ka-kami—"
"Den, lu tau, kan. Cuma ada kita di rumah ini, tapi berani sumpah. Demi apapun! Bukan Gue dan mang Tohir yang melakukan itu!"
"Be-betul, Mas. Lagipula kita semalaman berbincang bareng. Dan Edi pun berada di kamar bersama mas Rifaldy."
Aku menyambar kerah baju Rifaldy, dan menatapnya tajam. "Bawa Edi dari sini!" Detak jantungku berdebar semakin cepat.
"Ta ... Tapi. Lu gimana?"
Aku mengeritkan gigi, nafasku kembali tak beraturan, "Bawa Edi dari sini!" Aku bangkit, walau masih terhuyung-huyung dan bertumpu pada sebongkah balok.
"Mang! ... Ikut bersama Rifaldy! Mungkin tenaga kau jauh lebih berguna!"
"Ba-Baik, Mas ... "
"O-oke, Gue balik lagi nanti, Den! ...." Rifaldy mulai bergerak cepat, berbalik lalu berlari. "Ayo, Mang!"
"Ya ... Ya, sudah ... K-kami duluan, ya. Mas."
Langkahku tertatih-tatih, dengan telapak lengan menyikap dada, aku menghampiri sisi dinding untuk melihat Edi dan yang lain pergi dari rumah ini.
Betapa tak kuasanya hati ini, ketika melihat sang adik terkulai lemas tak berdaya, bahkan aku tak tahu kondisinya saat ini. Rasa cemas yang mendalam, cukup membuat mata ini berkaca-kaca.
Usai menaikan adikku di atas kendaraan bermotor, Rifaldy melambai ke arahku dan berseru, "Gue ... Nggakkk lamaaa! Tungguu!" Mereka pun pergi meninggalkan aku seorang diri di rumah ini. Kini aku hanya bisa berharap jika Edi akan baik-baik saja.
Nafasku bertambah berat, telapak tangan ini bergetar hebat. Aku tak sanggup lagi membendung arus emosi yang semakin menjadi-jadi. Aku berbalik badan, menatap tajam ke arah ruangan yang gelap gulita. Bahkan aku mematikan sumber cahaya satu-satunya.
"Entah makhluk apa kalian! ... Alien, kah! Hantu, kah! Jin, kah! Apapun kalian yang ada di sini!" Aku membentangkan balok ke arah belakang. "Keluar kalian semuaaa!!!" Dan melemparnya hingga melesat cepat, dan menghantam balok-balok yang tertumpuk di sebuah sudut, menimbulkan dentuman yang begitu keras.
Aku memutar lirik, sesaat merasakan angin kasar yang menerpa tengkuk leherku. Aku menyeringai tersenyum, ketika merasakan bulu roma ini mulai meremang.
"Siapa yang melakukan itu!" gusarku. Berbalik dengan sikut mengincar. "Siapa yang melukainya!" Mataku mengitari ruangan, namun tak ada seorang pun di belakangku, selain suara balok yang berjatuhan pada salah satu lantai di bawahku.
"Oiii!!! KELUAR!"
Bruuuuaaaakkk ... !!
Balok-balok yang tersusun tercerai-berai di atas lantai, saat telapak kaki melesat cepat menghantamnya.
"POCONG! KUNTILANAK! KELUAR KALIAN!!"
Aku menyambar sebongkah balok yang cukup panjang, dan menyeretnya menuruni anak tangga hingga ke lantai tiga. Suasana dan bau tak sedap jelas terasa di sini, membuat lantai ini memiliki kesan yang sangat berbeda.
"Kalau itu perbuatan kalian!" Nada ini terdengar gemetar, tak kuasa manahan emosi yang tak bertuan. "Keluar ... Ayo nampak kalian!"
BRUAAAAKKKKK!
Tak kusangka jika mereka benar-benar menanggapiku. Suara isak tangis seorang wanita, semilir terdengar lirih, setelah aku melempar balok secara brutal mengarah pada suatu sudut ruangan.
Suaranya begitu halus. Jauh namun terdengar jelas. Aku yakin itu seorang wanita. Kuharap aku bisa menghantamnya dengan telak.
"Cuma nangis! ... ANAK KECIL JUGA BISA!!" Aku mengikuti suara tangisan itu dengan langkah cepat, Tapi ini sedikit aneh. Semakin aku mencarinya, suara itu kian menjauh, namun masih terdengar dengan jelas.
"Sampai nampak! Gue lucuti pakaian lu!"
Brraaakkkkk!!!
Aku memukul dinding dengan sebongkah balok dengan keras, "Keluar! Wedus!"
Seketika aku berlari secepat mungkin, saat aku yakin jika suara tangisan itu berada di salah satu kamar di lantai ini.
Kamar yang kutuju tak begitu luas, dan masih morat-marit. Dinding dan lantainya saja masih sangat kasar, dan tanpa pintu maupun jendela.
Namun tetap tak kulihat seorang pun di dalam kamar ini. Hanya saja suara tangisan itu tak lagi terdengar olehku.
Gbbruuukkkkk!
Aku tertegun, saat suara bantingan pintu yang berada di lantai dasar menggelegar, menggema hingga lantai ini.
Pintu depan, kah!
Aku segara menuruni anak tangga dengan tergesa. Aku yakin jika itu bukan perbuatan Rifaldy dan mang Tohir, karena tak ada tanda-tanda dari suara kendaraan yang mendekat.
Langkahku tersentak, sebelum aku tiba di dapur—masih ditengah anak tangga, antara lantai dasar dan dua—Aku dikejutkan oleh sesosok bayangan hitam pekat, tengah menuruni anak tangga berlari menuju depan rumah dengan sangat cepat. Tentu saja aku mempercepat langkah untuk mengejarnya.
Namun setibanya aku di lantai dasar—tepat di ruang dapur—aku memandang ke segala arah, tapi anehnya tak ada seorangpun di sini, bahkan pintu dapur dan pintu depan masih tertutup rapat.
Krreeeekkkk ....
Pelataran gelap dan sunyi, nampak jelas saat aku membuka pintu utama. Aku melangkah melewati pintu, hingga terhenti tepat di tengah teras depan.
Pohon-pohon seakan menari-nari seraya semilir angin meraba halus tengkuk leherku. Mataku memutar—mengamati setiap penjuru pekarangan rumah—namun tak kulihat siapa pun di sini.
Hingga netra ini terhenti pada sebuah rumah putih yang megah—berada di sisi kiri rumah kami—dan dapatlah sesuatu yang nampak janggal di sana.
Aku tertegun, saat kudapati seutas kain putih, yang menjuntai di tengah balkon tersebut.
Merasa kurang yakin dengan apa yang kulihat—karena bisa saja itu hanya sebuah selimut atau sejenisnya—Aku mempertajam penglihatan untuk mengamatinya dalam-dalam.
Dan, hal pertama yang kuamati adalah. Bagaimana caranya kain itu bisa tergantung di sana. Serta bentuknya seperti apa.
Lama aku pandangi, tapi tetap saja aku tak menemukan adanya seutas tali pun yang berada di sekitarnya. Tegak lurus, sedikit membungkuk dan bergerak samar. Memperkuat dugaan-ku, jika yang sedang aku amati itu. Adalah seorang manusia normal—mungkin itu wanita. Karena nampak mengenakan Mukena.

Bukan mustahil jika ia sang Pemilik rumah yang merasa terganggu oleh keributan yang aku timbulkan tadi.
Aku masih memandanginya tanpa berpaling sedikit pun. Ia terlihat hanya sepenggal badan—dari kepala hingga pinggang—kerena terhalang oleh pagar balkon.
Ah, sudahlah. Lebih baik aku mencari yang lain, ketimbang menambah masalah.
Akan tetapi. Baru sedikit saja aku berpaling dari sosok itu, seketika ia menyusut dan melesat dengan sangat cepat, diiringi lengkingan tawa cekikikan dan hilang di balik rimbunnya pepohonan dan gelapnya malam.
"Ciih!"
Aku masih tidak habis pikir dengan hal seperti itu. Mereka mampu menggoyangkan daun dan dahan, seakan ia memiliki fisik yang nyata.
Tak lama terdengar tangisan seorang wanita tersedu-sedu dari dalam rumah. Nah! Dengan sigap aku berbalik untuk mengikuti sumber suara itu berasal.
"Nangis lagi! ... Keluar bisa tidak! ...."
Langkahku terhenti tepat di mana suara tangisnya terdengar kuat.
"Kalian bisa bersuara! Tapi mengapa tidak menampakkan diri kalian!" gusarku, seraya mata yang terus mengamati pada setiap sudut ruang.
"Keluar kalian! ...."
Aku terus mengikuti sumber suara itu, namun aku hanya berputar-putar di ruang tamu, seakan dipermainkan oleh suara tersebut. Acapkali aku semakin dekat, suara itu berpindah ke ruang lainnya.
Najis!
Hingga aku terhenti dekat tangga yang menuju lantai dua. Suasana mendadak hening, saat tangisan wanita itu tak lagi terdengar olehku.
Dengan waspada aku menoleh ke segala penjuru, namun tak ada suara atau pergerakan apapun yang bisa aku rasakan di sini.
Aku menghela nafas letih, dan menatap sekujur tubuhku. Tanpa sadar, baju yang kugunakan telah basah oleh keringat yang tak henti bercucuran. Ditambah cidera pada betis dan paha, membuatku tak bisa berjalan dengan sempurna.
Sebaiknya aku menghubungi Rifaldy, untuk menanyakan kondisi Edi.
Namun sesuatu aneh telah terjadi di belakangku. Aku terperangah, ketika berbalik haluan hendak menuju kamar nomor dua. Ruangan tamu kini telah dipenuhi asap putih kebiruan yang mengepul pekat—seperti ada benda yang terbakar—Namun aku yakin jika asap ini bukan disebabkan oleh sesuatu yang terbakar. Mustahil jika asap dari bakaran bisa seputih ini.
Asap ini jelas tak lazim!
Entah perasaan apa yang menusuk di batinku, namun firasat ini mengatakan, jika aku dalam masalah besar, dan ada sesuatu yang tak nampak tengah mengintai-ku.

Aku mendekap hidung dengan jemariku, saat semerbak bau aneh terasa sangat menusuk. Bau ini sangat tidak karuan. Terkadang barbau bangkai menyengat dan berubah menjadi bau hangit—bak rambut yang terbakar.
"Kalau berani sini! Nampak kalian!"
Tak ayal kepalaku terasa pusing disertai perutku bergejolak—terasa mual, tak tahan dengan bau yang menusuk hingga kerongkongan-ku.
Brruukkkkk...
Aku menoleh cepat pada pintu dapur yang tiba-tiba terbuka begitu saja—seperti ada sesuatu yang mendobraknya—. Entah apa yang menghantamnya, hingga menimbulkan suara sekeras itu, bahkan kunci Slot pada pintu tersebut sampai terpental mengenai badan lemari jati.
Tentu saja itu membuat jantungku berdebar kencang. Bahkan balok yang ada di lenganku tak hentinya bergetar, mengiringi langkah perlahan penuh waspada mendekat pintu dapur.
Semilir angin sedang mulai menyelimuti tubuhku, saat aku tiba tidak jauh dari ambang pintu. Sebisa mata memandang, hanya menyajikan kegelapan yang menyelimuti luasnya pekarangan belakang.
Suasana di sini terasa lebih hening, dan dingin. Semak belukar dan tumpukan bahan bangunan yang tak digunakan lagi menambah suasana semakin terasa mencekam. Di sudut kiri dan tengah, masih terdapat dua pohon rambutan kering yang dipenuhi debu Sement yang melekat pada daun-daunnya.
Bola mataku membesar. Aku merenggangkan kedua kakiku membentuk kuda-kuda, dengan jemari mengepal balok sekuat tenaga—bersiap dalam pertempuran.
Nampaknya Rifaldy dan mang Tohir masih belum juga mengerti atas apa yang tengah terjadi. Mereka hanya terpaku menyaksikan aku kalang kabut, "Woi! Den! ... "
"Mas!"
Langkah ini tercekat, tepat pada anak tangga terakhir. Dengan nafas terpenggal-penggal, aku memutar kepala dengan tergesa—bagaikan orang yang tak tau arah—saat aku tiba di lantai dua yang gelap gulita. Bahkan Aku tak bisa melihat dengan jelas di sini.
"Di ... " Nadaku semakin meninggi namun terdengar bergetar, mengiringi nafasku yang terasa semakin berat. Aku sadar jika teriakan ini tidak akan cukup untuk menemukan adikku.
"Dii ... " Aku mulai melangkah, berjalan melewati balok dan bambu sempit yang menjadi penopang atap di lantai ini. Sebegitu paniknya aku, hingga tak bisa melangkah dengan baik, bahkan tak jarang lutut ini membentur susunan balok dan bambu kering yang melintang—memenuhi seisi ruangan.
Derap kaki mendekat cepat, mengantarkan mang Tohir tiba di lantai dua, "Mas ... " Ia terhenti sejenak, untuk mengatur nafasnya yang terengah-engah, "Mas, senter ...." Mang Tohir menjulurkan lengannya, memberikan sebuah senter yang lalu aku sambar dengan cepat.
Tak ingin berpikir panjang lagi, aku pun mengedarkan cahaya di semua sudut ruangan.

"Di ... !! "
"Hati-hati, Mas, banyak paku."
"Den, santai aja Den, santai ...."
Aku berbalik dan melirik Rifaldy dengan tatapan tajam, "Apa kata lu! Santai? Edi ilang Rif! Terus lu suruh gue, santai?" Wajah Rifaldy terlihat sangat jelas, ketika aku menunjuknya dengan senter, "lu waras, Rif!"
"Ma-maksud gue ... Demi keselamatan lu juga, Den," Rifaldy mengelak, suaranya terdengar kaku dan terputus-putus.
"Lu nggak bakal ngerti apa yang gue rasain, Rif!" Nadaku semakin tinggi, emosiku begitu mudah terpancing. Seakan Rifaldy menjadi sasaran empuk untuk bahan pelampiasan amarahku, "Karena lu nggak pernah punya adik!" Aku mendekat satu langkah ke arahnya. "Gue nggak butuh saran dari lu!"
"Den ... " Lagi-lagi Rifaldy hendak menjawab, namun aku memenggal ucapannya.
"Kalau lu takut! ... Lu nggak perlu bantu, gue, Rif!" lantangku, lalu berpaling wajah darinya, untuk kembali melakukan pencarian.
Aku melangkah masuk lebih dalam lagi, hingga aku terhenti pada sebuah balkon yang tak berpagar. Aku mengedarkan cahaya senter ke setiap penjuru ruangan, namun tak kudapati seorang pun, selain Rifaldy dan mang Tohir yang menantiku di penghujung tangga.
Lirik-ku bergeser pada barisan anak tangga tepat di sisi kanan Rifaldy dan mang Tohir.
Lantai tiga dan empat!
Saat ini aku tak bisa mengendalikan tubuhku dengan baik. Jemari lengan ini terasa dingin seraya keringat yang mulai bercucuran dari keningku. Bahkan, ke-dua belah pipiku terasa begitu hangat, masih dengan nafas boros. Kini aku tenggelam oleh lautan emosi yang begitu menggebu.
Suara balok dan bambu kering yang tersapu kaki, seakan menggambarkan situasi genting dalam ruangan ini.
"Mas ..."
"Den ... "
Entah apa yang mereka pikirkan. Membantu tidak, hanya memajang wajah dungu sambil memanggil-manggil namaku setiap kali berpapasan denganku. Namun itu semua tak memperlambat langkah ini menaiki anak tangga untuk menuju lantai tiga.
"Mas ...."
Aku menghela nafas tak sabar, dan menoleh cepat pada mang Tohir yang mengekor di belakangku, "Ngapain! Mending bantu di tempat lain!"
"I-iyaa ... Mas ... " Mang Tohir kembali menuruni anak tangga dan hilang ditelan kegelapan.
Semerbak bau aneh seketika membius hidungku, saat aku tiba di lantai yang aku tuju.
Jelas lantai ini sangat berbeda dari yang lain. Ruangan terasa begitu panas dan pengap, meski tak mempunyai pintu dan jendela. Lantainya terasa begitu lembab—oleh genangan air yang terlihat di setiap sudut ruangan—dan dipenuhi tumpukan balok yang tak tersusun rapi, tergeletak begitu saja di atas lantai.
Kurasa tak mungkin Edi berani menginjakan kaki di lantai ini, karena aku tahu betul jika ia bukan tipikal orang yang bernyali besar.
Sejenak aku terdiam tepat di bibir tangga, mencoba mengatur nafas ini yang mulai terasa mencekik leherku. Sesekali aku mengamati anak tangga yang merujuk pada lantai dua, dan menerawang semua bagian di lantai ini. Hanya perasaanku saja!
Aku menarik nafas dalam-dalam, dan kembali bergema, "Di ... "
Derit kaki melewati kubangan air, terdengar jelas memecah ruang hening dan gelap. Perlahan tapi pasti, aku malai menyusuri semua bagian yang ada di lantai ini. Nampak di hadapanku, sebuah ruang yang terhimpit oleh tiga kamar yang masih tak berpintu.
"Di! ... " Aku sangat yakin suara ini cukup terdengar jelas, jika ia memang berada di lantai ini pasti akan meresponnya.
Duuuuuggg!!
Aku tersentak dan menoleh cepat, saat kudengar sesuatu terjatuh dari arah anak tangga yang menuju lantai empat, "Di?" Aku mengernyitkan alis, mencoba memperhatikan suara tersebut.
Duuuuuggg!!
Dan suara itu kembali terdengar, tapi kali ini di tempat yang berbeda.
Duuuuuggg!!
Aku sedikit tersenyum dan menaikan satu alisku, Dasar bocah bengal! Suara itu terdengar ganjil—seakan dibuat-buat—aku yakin, pasti pelakunya orang yang tengah aku cari, tidak lain dan tidak bukan, ialah adikku.
Baru Aku bisa menghela nafas lega, meskipun membuatku panik setengah mati, paling tidak ia baik-baik saja.
Duuuuuggg!!
"Oi! Keluar ... Udah main-mainnya, lah!" Lantangku, berjalan menghampiri tangga dan menjulurkan kepala mendongak ke atas, "Di ... Turun! ... "
Duuuuuggg!!
Aku berdecak malas, lalu menapaki anak tangga satu per satu dengan cahaya senter menerangi penghujung lorong yang gelap. "Di ...."
Mataku membesar, saat tiba di lantai empat, dan tak kudapati seorang pun di ruangan terbuka ini. Hanya ada tumpukan kayu yang telah mengering dan basah—terguyur air hujan. Aku sedikit menaikan dagu, terdiam dan hening, menantikan suara yang kudengar tadi.
Sangat mustahil seseorang bersembunyi di ruangan ini, karena hanya dengan satu kali pandang saja aku sudah bisa melihat dinding pembatas yang memagari setiap sudut ruangan—pagar dinding itu hanya setinggi pinggang pria dewasa—dengan lima pilar yang menyangga atap di setiap ujung perseginya.
Aku menarik lirik pada sebuah tangga berukuran mini—mungkin hanya cukup untuk satu orang—yang mengarah ke lantai berikutnya. Namun tangga itu nampak begitu rapuh, karena belum sepenuhnya selesai dikerjakan—terlihat dari deretan bambu yang menopang tangga tersebut dari bawah—bahkan masih ditutupi oleh ranting kering dan karung goni. Tak mungkin Edi menerobos itu semua.
Perasa yang mula tenang, kini kembali terguncang. Hembusan nafasku bertambah cepat, seraya jantung ini berdebar semakin tak karuan. Aku tak mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi, kemana lagi aku harus mencarinya.
Aku menoleh ke arah dinding pembatas, dan memikirkan sesuatu. Hanya ada satu tempat yang luput dari mata ini yaitu. Halaman depan! Mungkin akan sangat baik mengamati sekitar rumah dari jarak setinggi ini.
Aku menjulurkan setengah badan—melewati dinding pembatas—dan mengedarkan cahaya senter ke segala penjuru.
Di depan rumah nampak begitu sepi, hanya ada pepohonan liar yang bergoyang oleh angin yang berhembus sedang.
Aku meletakkan jemariku pada pipi dan menarik nafas panjang, "Di ... " Seketika suaraku terdengar menggema di tengah sunyinya malam.
Tubuhku semakin terasa lemas, termakan oleh pikiran negatif akan kondisi adikku. Aku tak tahu harus mencarinya di mana lagi. Semua ruangan di rumah ini sudah aku sisir, tanpa satupun yang luput dari mataku. Tapi mengapa tak ada satupun petunjuk yang kutemui.
Hingga sesuatu menarik perhatianku. Aku menyipitkan mata, mengamati pekarangan depan dengan sangat hati-hati. Entah mengapa firasatku begitu kuat tertuju pada sebuah gundukan pasir yang berada di halaman depan rumah.
"Oi! Rif! ... Mang! ... " Aku berusaha memanggil mereka dengan tidak sabarnya, "Mang! ... Rif! ..."
Tak lama terlihat mang Tohir keluar, ia berputar-putar mencari sumber suaraku. "Mang!"
"Ketemu, Mas?" pekiknya, ia mendongak menatap ke arah dari bawah.
"Coba buka itu terpal ... " Ia kembali memutar tubuhnya, mencari sesuatu yang aku maksudkan, "Het-dah. Itu! ... Yang buat nutupin pasir!" Aku mengangkat tangan—memintanya membuka terpal tersebut.
Tak banyak bicara ia pun menarik terpal berwarna biru dari tempatnya, dan sesuatu pun kami temukan.
"Mas ... Edi, Mas!"
Tanpa berpikir panjang Aku berbalik dan berlari secepat mungkin untuk segera menuju lantai dasar. Namun sungguh sial, rasa panik yang terlalu besar membuatku tak memperdulikan apapun, hingga aku tak menyadari jika ada sebongkah balok yang melintang tepat di tengah ruangan yang membuat tubuhku terpelanting, jatuh tersungkur.
Aku merintih berguling-guling, menekap Dadaku yang terbentur kuat oleh benda tumpul yang tergeletak di atas lantai. Aku tak mampu menghembuskan nafas panjang.
Dengan tergagap-gagap, aku mencoba meraih sebongkah balok yang tergeletak tidak jauh dariku, untuk membantu bangkit dari cidera yang hampir membuatku tak berdaya.
Hilir terdengar derap kaki tergesa-gesa menaiki anak tangga, "Mas! Mas ... " Sepertinya Mang Tohir dan Rifaldy tengah mencariku di setiap lantai.
Hingga mereka pun tiba di bibir tangga lantai ini, "Den ... " Rifaldy yang menyadari aku dalam kesulitan, sigap menghampiriku dengan langkah cepat, lalu berlutut meraihku, "Lu, kenapa?"
"Gu-guuuee ... Gue nggak apa-apa, Rif ... " Bahkan untuk mengucapkan sepatah katapun masih sangat sulit.
Aku mencengkeram bahu Rifaldy dengan kuat, "Edi ... "
"Edi udah di bawah, Den ... " Rifaldy menundukkan wajahnya, "Dia ... Tak sadarkan diri!"
Aku terdegup hatiku terasa tercabik-cabik saat mendengar perkataan Rifaldy. Seakan semua firasat buruk yang aku rasakan menjadi semakin nyata.
Anj*** ... !!! Amarahku tak terbendungkan lagi, bahkan lantai pun menjadi bulan-bulanan kepal jemariku. "Siapa yang berbuat itu!" Namun Rifaldy dan mang Tohir hanya membisu.
"SIAPA YANG BERBUAT ITUUUU!"
"Mas ... Sabar, mas ...."
"Y ... Iya, gue nggak tau, Den ...."
"I-iya, Mas ... Mana mungkin kami melakukan itu pada adik, Mas."
"Jika bukan kalian! Lantas SIAPAAA!!!"
"ka-kami—"
"Den, lu tau, kan. Cuma ada kita di rumah ini, tapi berani sumpah. Demi apapun! Bukan Gue dan mang Tohir yang melakukan itu!"
"Be-betul, Mas. Lagipula kita semalaman berbincang bareng. Dan Edi pun berada di kamar bersama mas Rifaldy."
Aku menyambar kerah baju Rifaldy, dan menatapnya tajam. "Bawa Edi dari sini!" Detak jantungku berdebar semakin cepat.
"Ta ... Tapi. Lu gimana?"
Aku mengeritkan gigi, nafasku kembali tak beraturan, "Bawa Edi dari sini!" Aku bangkit, walau masih terhuyung-huyung dan bertumpu pada sebongkah balok.
"Mang! ... Ikut bersama Rifaldy! Mungkin tenaga kau jauh lebih berguna!"
"Ba-Baik, Mas ... "
"O-oke, Gue balik lagi nanti, Den! ...." Rifaldy mulai bergerak cepat, berbalik lalu berlari. "Ayo, Mang!"
"Ya ... Ya, sudah ... K-kami duluan, ya. Mas."
Langkahku tertatih-tatih, dengan telapak lengan menyikap dada, aku menghampiri sisi dinding untuk melihat Edi dan yang lain pergi dari rumah ini.
Betapa tak kuasanya hati ini, ketika melihat sang adik terkulai lemas tak berdaya, bahkan aku tak tahu kondisinya saat ini. Rasa cemas yang mendalam, cukup membuat mata ini berkaca-kaca.
Usai menaikan adikku di atas kendaraan bermotor, Rifaldy melambai ke arahku dan berseru, "Gue ... Nggakkk lamaaa! Tungguu!" Mereka pun pergi meninggalkan aku seorang diri di rumah ini. Kini aku hanya bisa berharap jika Edi akan baik-baik saja.
Nafasku bertambah berat, telapak tangan ini bergetar hebat. Aku tak sanggup lagi membendung arus emosi yang semakin menjadi-jadi. Aku berbalik badan, menatap tajam ke arah ruangan yang gelap gulita. Bahkan aku mematikan sumber cahaya satu-satunya.
"Entah makhluk apa kalian! ... Alien, kah! Hantu, kah! Jin, kah! Apapun kalian yang ada di sini!" Aku membentangkan balok ke arah belakang. "Keluar kalian semuaaa!!!" Dan melemparnya hingga melesat cepat, dan menghantam balok-balok yang tertumpuk di sebuah sudut, menimbulkan dentuman yang begitu keras.
Aku memutar lirik, sesaat merasakan angin kasar yang menerpa tengkuk leherku. Aku menyeringai tersenyum, ketika merasakan bulu roma ini mulai meremang.
"Siapa yang melakukan itu!" gusarku. Berbalik dengan sikut mengincar. "Siapa yang melukainya!" Mataku mengitari ruangan, namun tak ada seorang pun di belakangku, selain suara balok yang berjatuhan pada salah satu lantai di bawahku.
"Oiii!!! KELUAR!"
Bruuuuaaaakkk ... !!
Balok-balok yang tersusun tercerai-berai di atas lantai, saat telapak kaki melesat cepat menghantamnya.
"POCONG! KUNTILANAK! KELUAR KALIAN!!"
Aku menyambar sebongkah balok yang cukup panjang, dan menyeretnya menuruni anak tangga hingga ke lantai tiga. Suasana dan bau tak sedap jelas terasa di sini, membuat lantai ini memiliki kesan yang sangat berbeda.
"Kalau itu perbuatan kalian!" Nada ini terdengar gemetar, tak kuasa manahan emosi yang tak bertuan. "Keluar ... Ayo nampak kalian!"
BRUAAAAKKKKK!
Tak kusangka jika mereka benar-benar menanggapiku. Suara isak tangis seorang wanita, semilir terdengar lirih, setelah aku melempar balok secara brutal mengarah pada suatu sudut ruangan.
Suaranya begitu halus. Jauh namun terdengar jelas. Aku yakin itu seorang wanita. Kuharap aku bisa menghantamnya dengan telak.
"Cuma nangis! ... ANAK KECIL JUGA BISA!!" Aku mengikuti suara tangisan itu dengan langkah cepat, Tapi ini sedikit aneh. Semakin aku mencarinya, suara itu kian menjauh, namun masih terdengar dengan jelas.
"Sampai nampak! Gue lucuti pakaian lu!"
Brraaakkkkk!!!
Aku memukul dinding dengan sebongkah balok dengan keras, "Keluar! Wedus!"
Seketika aku berlari secepat mungkin, saat aku yakin jika suara tangisan itu berada di salah satu kamar di lantai ini.
Kamar yang kutuju tak begitu luas, dan masih morat-marit. Dinding dan lantainya saja masih sangat kasar, dan tanpa pintu maupun jendela.
Namun tetap tak kulihat seorang pun di dalam kamar ini. Hanya saja suara tangisan itu tak lagi terdengar olehku.
Gbbruuukkkkk!
Aku tertegun, saat suara bantingan pintu yang berada di lantai dasar menggelegar, menggema hingga lantai ini.
Pintu depan, kah!
Aku segara menuruni anak tangga dengan tergesa. Aku yakin jika itu bukan perbuatan Rifaldy dan mang Tohir, karena tak ada tanda-tanda dari suara kendaraan yang mendekat.
Langkahku tersentak, sebelum aku tiba di dapur—masih ditengah anak tangga, antara lantai dasar dan dua—Aku dikejutkan oleh sesosok bayangan hitam pekat, tengah menuruni anak tangga berlari menuju depan rumah dengan sangat cepat. Tentu saja aku mempercepat langkah untuk mengejarnya.
Namun setibanya aku di lantai dasar—tepat di ruang dapur—aku memandang ke segala arah, tapi anehnya tak ada seorangpun di sini, bahkan pintu dapur dan pintu depan masih tertutup rapat.
Krreeeekkkk ....
Pelataran gelap dan sunyi, nampak jelas saat aku membuka pintu utama. Aku melangkah melewati pintu, hingga terhenti tepat di tengah teras depan.
Pohon-pohon seakan menari-nari seraya semilir angin meraba halus tengkuk leherku. Mataku memutar—mengamati setiap penjuru pekarangan rumah—namun tak kulihat siapa pun di sini.
Hingga netra ini terhenti pada sebuah rumah putih yang megah—berada di sisi kiri rumah kami—dan dapatlah sesuatu yang nampak janggal di sana.
Aku tertegun, saat kudapati seutas kain putih, yang menjuntai di tengah balkon tersebut.
Merasa kurang yakin dengan apa yang kulihat—karena bisa saja itu hanya sebuah selimut atau sejenisnya—Aku mempertajam penglihatan untuk mengamatinya dalam-dalam.
Dan, hal pertama yang kuamati adalah. Bagaimana caranya kain itu bisa tergantung di sana. Serta bentuknya seperti apa.
Lama aku pandangi, tapi tetap saja aku tak menemukan adanya seutas tali pun yang berada di sekitarnya. Tegak lurus, sedikit membungkuk dan bergerak samar. Memperkuat dugaan-ku, jika yang sedang aku amati itu. Adalah seorang manusia normal—mungkin itu wanita. Karena nampak mengenakan Mukena.

Bukan mustahil jika ia sang Pemilik rumah yang merasa terganggu oleh keributan yang aku timbulkan tadi.
Aku masih memandanginya tanpa berpaling sedikit pun. Ia terlihat hanya sepenggal badan—dari kepala hingga pinggang—kerena terhalang oleh pagar balkon.
Ah, sudahlah. Lebih baik aku mencari yang lain, ketimbang menambah masalah.
Akan tetapi. Baru sedikit saja aku berpaling dari sosok itu, seketika ia menyusut dan melesat dengan sangat cepat, diiringi lengkingan tawa cekikikan dan hilang di balik rimbunnya pepohonan dan gelapnya malam.
"Ciih!"
Aku masih tidak habis pikir dengan hal seperti itu. Mereka mampu menggoyangkan daun dan dahan, seakan ia memiliki fisik yang nyata.
Tak lama terdengar tangisan seorang wanita tersedu-sedu dari dalam rumah. Nah! Dengan sigap aku berbalik untuk mengikuti sumber suara itu berasal.
"Nangis lagi! ... Keluar bisa tidak! ...."
Langkahku terhenti tepat di mana suara tangisnya terdengar kuat.
"Kalian bisa bersuara! Tapi mengapa tidak menampakkan diri kalian!" gusarku, seraya mata yang terus mengamati pada setiap sudut ruang.
"Keluar kalian! ...."
Aku terus mengikuti sumber suara itu, namun aku hanya berputar-putar di ruang tamu, seakan dipermainkan oleh suara tersebut. Acapkali aku semakin dekat, suara itu berpindah ke ruang lainnya.
Najis!
Hingga aku terhenti dekat tangga yang menuju lantai dua. Suasana mendadak hening, saat tangisan wanita itu tak lagi terdengar olehku.
Dengan waspada aku menoleh ke segala penjuru, namun tak ada suara atau pergerakan apapun yang bisa aku rasakan di sini.
Aku menghela nafas letih, dan menatap sekujur tubuhku. Tanpa sadar, baju yang kugunakan telah basah oleh keringat yang tak henti bercucuran. Ditambah cidera pada betis dan paha, membuatku tak bisa berjalan dengan sempurna.
Sebaiknya aku menghubungi Rifaldy, untuk menanyakan kondisi Edi.
Namun sesuatu aneh telah terjadi di belakangku. Aku terperangah, ketika berbalik haluan hendak menuju kamar nomor dua. Ruangan tamu kini telah dipenuhi asap putih kebiruan yang mengepul pekat—seperti ada benda yang terbakar—Namun aku yakin jika asap ini bukan disebabkan oleh sesuatu yang terbakar. Mustahil jika asap dari bakaran bisa seputih ini.
Asap ini jelas tak lazim!
Entah perasaan apa yang menusuk di batinku, namun firasat ini mengatakan, jika aku dalam masalah besar, dan ada sesuatu yang tak nampak tengah mengintai-ku.

Aku mendekap hidung dengan jemariku, saat semerbak bau aneh terasa sangat menusuk. Bau ini sangat tidak karuan. Terkadang barbau bangkai menyengat dan berubah menjadi bau hangit—bak rambut yang terbakar.
"Kalau berani sini! Nampak kalian!"
Tak ayal kepalaku terasa pusing disertai perutku bergejolak—terasa mual, tak tahan dengan bau yang menusuk hingga kerongkongan-ku.
Brruukkkkk...
Aku menoleh cepat pada pintu dapur yang tiba-tiba terbuka begitu saja—seperti ada sesuatu yang mendobraknya—. Entah apa yang menghantamnya, hingga menimbulkan suara sekeras itu, bahkan kunci Slot pada pintu tersebut sampai terpental mengenai badan lemari jati.
Tentu saja itu membuat jantungku berdebar kencang. Bahkan balok yang ada di lenganku tak hentinya bergetar, mengiringi langkah perlahan penuh waspada mendekat pintu dapur.
Semilir angin sedang mulai menyelimuti tubuhku, saat aku tiba tidak jauh dari ambang pintu. Sebisa mata memandang, hanya menyajikan kegelapan yang menyelimuti luasnya pekarangan belakang.
Suasana di sini terasa lebih hening, dan dingin. Semak belukar dan tumpukan bahan bangunan yang tak digunakan lagi menambah suasana semakin terasa mencekam. Di sudut kiri dan tengah, masih terdapat dua pohon rambutan kering yang dipenuhi debu Sement yang melekat pada daun-daunnya.
Bola mataku membesar. Aku merenggangkan kedua kakiku membentuk kuda-kuda, dengan jemari mengepal balok sekuat tenaga—bersiap dalam pertempuran.
Diubah oleh wedi 22-09-2024 15:01
sampeuk dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Kutip
Balas