Quote:
Bulu kuduk-ku serentak berdiri, sesaat mendengar suara berdehem yang tak jelas darimana sumbernya, dengan langkah cepat aku berjalan menuruni anak tangga.
"Abis ngapain, Mas?" sapa mang Tohir, yang melihatku turun dari lantai atas.
"Nggak, Mang," singkatku. "Mau pulang sekarang, Mang?"
"Iya Mas, gimana enaknya?"
"Anter teman-teman Mamang dulu aja ke Gg. Rantai, terus kembali lagi ke rumah ini," jawabku, yang tiba di lantai bawah. "Oya Mang, nanti beli Nasi Goreng, ya? Empat bungkus." Aku membuka dompet dan memberikan sejumlah uang padanya. "ini Mang uangnya."
Mang Tohir mengangguk, sambil mengambil uang yang aku sodorkan padanya. "Oke, siap Mas," sahutnya, lantas berjalan penuh semangat ke arah ruang tamu yang diikuti olehku hendak kembali ke kamar untuk bergabung dengan Rifaldy dan Edi.
"Die, mau mandi nggak?" kataku, berdiri di ambang pintu kamar.
"Nggak, ah, A," singkat Edi, tak berpaling sedikitpun dari layar monitor.
"Emang nggak seru, Abang lu, mah, Die, abaikan saja itu orang," celoteh Rifaldy yang mengejekku, membuat Edi menahan tawa.
"Jangan dengerin, Die, dia aja gak pernah mandi!" balasku.
"Sue, banget tuh, Orang."
"Mas," aku berbalik badan, dan terlihat mang Tohir berdiri dengan dua temannya, "kita permisi pulang dulu Mas," katanya.
"Oke, siap, Mang, hati-hati di jalannya," jawabku.
"Mari, Mas ...." Tambah mang Ento memanggut ramah, diikuti mang Janang.
"Oke, Mang!"
Dan akhirnya para pekerja pun mulai meninggalkan rumah, hingga yang tersisa hanya kami bertiga. Hari sudah sudah mulai terlihat murung, dengan cahaya yang kian meredup. Jam pun sudah menunjukan pukul 17.20 sore.
Traataanggggg ... Tanggg ... Tangg ...~
Seketika aku menoleh ke arah tangga dan nampak sebuah kaleng cat berukuran kecil yang terjatuh disekitar anak tangga. Entah dari mana asalnya.
Aku berdecak malas, melihat setiap ruangan yang sudah mulai gelap gulita, membuatku tergerak untuk menyalakan beberapa lampu.
Satu per satu aku memasukin ruangan, dari kamar pertama hingga kamar nomor tiga dan terhenti di di ruang dapur.
Entah mengapa udara di sini selalu terasa berbeda jika dibandingkan dengan ruangan lainnya. Lantai di sini terasa jauh lebih dingin dan lembab. Ditambah udaranya yang terasa panas—meskipun dekat dengan pintu dapur. Bahkan saat malam hari kerap tercium aroma aneh yang meliputi ruang ini, terutama dibagian bawah tangga.
Tranggg ... Tanggg ...
Wajahku tertunduk, menatap kakiku, Kaleng ini ... dan menarik lirik pada mesin air yang berada di bawah tangga.
Aku menoleh ke arah anak-tangga, mengedarkan pandangan di sekitarnya. Tak mungkin jika Edi dan Rifaldy yang melakukan ini, karena suara riang mereka masih terdengar jelas dari dalam kamar. Lalu bagaimana bisa kaleng cat ini bergulir begitu saja hingga menyentuh kakiku.
Aku menghela nafas panjang, mencoba mengabaikan kejadian kecil ini. Kepalaku sudah cukup lelah, untuk memikirkan kejadian aneh yang sering aku alami di rumah ini.
Sebaiknya aku beristirahat di kamar, sembari menunggu mang Tohir kembali dengan pesanan yang aku titip padanya.
"Pada lapar nggak, hey?" tanyaku, yang baru tiba di kamar.
"Duh, lumayan, Den! Tohir udah pulang lagi, ya?" sahut Rifaldy, sesaat menghentikan permainannya.
Aku duduk pada tepi tempat tidur, "Kalau gue ngikutin lu ... Kita bisa mati kelaparan! dari tadi main Game doang kerjaan, lu. Mandi aja kaga inget," ujarku, sambil merobohkan diri di atas kasur.
"Lagi seru-serunya, nih, gw duel sama Edi, Apa gue telpon Aidan buat nganterin makan?" sahutnya.
"Entah itu anak ke mana! Tapi gue udah nitip mang Tohir buat beli nasi goreng."
"Uh-uy ... Mantap! abang lu, Die!" seru Rifaldy.
"Oya, A ... Ini orangnya bales, kata dia jam 10 ada di rumah," pangkas Edi.
Aku menatap langit-langit, melepas letih di bawah hembusan AC. "Au-ah! Bilang besok aja, Di! Jalannya bikin males."
"Serem, ya, A? Ya, udah, deh, Edi bilang ke orangnya."
"Minta alamatnya, Die!"
"Emang orang mana, Den?"
"Ngakunya sih, orang Gg. Rantai, tapi nggak tau sebelah mananya."
"Deket atuh kalau orang situ, mah!"
"He-he-he. Makanya Edi mau ke sini, A."
Cukup lama kami menanti hingga akhirnya terdengar suara motor yang perlahan memasuki ruang parkir.
"Nah, tuh! Mang Tohir bawa nasi goreng, ambil gih!" seruku, membuat Rifaldy berdiri dan keluar kamar dengan semangat.
"A ...." Aku melirik Edi yang menggerak-gerakkan jempol kakiku. "Ada tapi, A, buat nambahin beli motornya?"
"Emang berapa, sih, harga itu motor?"
"Dia jual 4.500.000, A, tapi Edi cuma ada dua juta," katanya, dengan raut wajah memelas.
Merasa aku baru mendapatkan uang dari bang Ferdy, tak ada salahnya aku memberikan setengahnya, "Iya, udah pegang aja uang, Edi. Biar Aa yang bayarin."
"Serius A?" serunya, terlihat wajah yang berbinar bahgia. "Asikkk!"
"Tapi janji ... Jangan di pake buat kebut-kebutan. Ok?"
"Oke, A. Paling buat mondar-mandir jemput sekolah."
"Ya, udah sana ambil makan dulu gih sama Rifaldy."
"A, Deni nggak makan?"
"Duluan aja, Di ... Belum lapar banget."
"Oke, deh A," singkatnya dan berlalu.
Walau usia kami sudah bukan anak-anak lagi, tapi sifat manja adik-adikku tak pernah berubah sedikitpun. Aku sangat menyayangi mereka, hingga aku teringat akan suatu peristiwa. Saat itu usia Edi masih berusia enam tahun.
Saat itu aku sedang bermain sepeda seorang diri melintas sebuah lapangan bulu tangkis, dan tak sengaja mendapati Adikku tengah menangis dikelilingi oleh lima temannya yang silih berganti melemparinya dengan batu kerikil dan pasir sambil menyoraki adikku. Mungkin saat itu usiaku masih 10 tahunan.
Melihat itu aku begitu murka, emosiku meledak-ledak. Tak banyak berpikir aku mengayuh sepeda dengan sangat cepat, dan berhasil menabrak tiga orang anak. Dua anak mengalami pendarahan hebat di kepalanya karena terbentur Stang Sepeda, dan satu anak terkilir pada pergelangan kakinya.
Akibat ulah bodohku itu, Ibuku dipanggil ketua RT setempat guna dimintai pertanggungjawaban untuk menanggung semua biaya pengobatan anak yang terluka itu.
********
"Den ... Den ... Bangun Oy!" Samar terdengan suara Rifaldy yang sangat menggangu pendengaranku.
"Hmm," gumamku, masih berat untuk membuka mata, "Jam berapa Rif?"
"Jam sembilan! Nasi lu dingin tuh," jawab Rifaldy, yang masih duduk bersama Edi di depan layar monitor.
Aku melirik jam dinding yang sudah menunjukan pukul 21:25. Ternyata aku terlelap cukup lama.
"Mau ngopi nggak, Mas?" aku menoleh ke arah suara itu, terlihat mang Tohir sedang duduk bersantai, pada ruang tamu sambil ditemanin secangkir kopi.
"Kalau tidak merepotkan. Boleh, Mang." Aku bangkit dari tempat tidur beranjak ke ruang tamu, "gimana tadi, Mang? Ada yang nanyain nggak?" lanjutku, sambil duduk di bangku jati.
"Cuma Ibu aja yang tanya, kalau Rifaldy pulang apa tidak," sahut mang Tohir menghentikan sesaat langkahnya.
Aku mengangguk samar. "Maaf Mang, sekalian piring dan sendoknya, Mang," tambahku.
Aku menggeleng kepala samar, "Edi, udah makan belum? Main Game mulu, rusak nanti tuh mata!"
"Udah, A," singkatnya, seakan tak ingin diganggu. Sungguh racun Rifaldy begitu berkerja padanya. "Baru main lagi ini juga!"
Aku menyadarkan kepala pada dinding di belakangku hingga menatap langit-langit rumah, "Eh Rif, si Aidan sama si Kevin nggak ada kabar, ya?" tanyaku.
"Aidan sakit gigi katanya, Den, kalau si Kevin besok dia ke sini," sahut Rifaldy.
"Ouhh, sakit gigi. Pantas aja gue telpon nggak pernah diangkat."
Tak lema mang Tohir menaruh secangkir kopi dan perlengkapan makan pada meja, "Wis ... Terima kasih, Mang."
Mungkin Aku akan menghabiskan waktu di ruang tamu, mencoba membiasakan diri bermalam di rumah ini.
Aku hanya berbincang panjang lebar bersama Mang Tohir, seusai menghabiskan santap malamku. Ternyata sangat menyenangkan mendengar semua cerita yang ia alami saat berkerja diberbagai macam tempat, suasana nampak ceria ketika tawa kami memecah kesunyian malam.
*****************
Bersambung ...
*****************
Untuk pembaca tercintaku ...
#Note:
Jumlah keseluruhan Chapter ada 46.
Namun aku sedang melakukan
revisi. Jadi, mohon maaf
jika Update sedikit lebih lama. 🙏
-Mohon maaf jika ada tutur kata yang kurang berkenan. 🙏
-Jika kalian suka dengan cerita ini, dukung kami dengan memberikan:
Vote dan komenter yang positif, selama masih ada permintaan,
cerita akan terus aku update.
-Terima kasih telah membaca,
semoga bisa menghibur dan
mengisi kekosongan waktu kalian.
-Sampai berjumpa lagi di-Episode berikutnya. 👋👏 secepat mungkin kami menyelesaikan lanjutannya. Insyaallah.