- Beranda
- Stories from the Heart
Rumah Terbengkalai (True Story)
...
TS
wedi
Rumah Terbengkalai (True Story)

#The Winner Writer II Horor
#Hot Genre Horor No 3.
#Top Catagori Novel Horor No 2.
#On Kaskus: HT ...

Hai, Readers.
Saya punya cerita yang mungkin menarik untuk kalian baca, kisah ini saya angkat dari kejadian nyata yang saya alami sendiri.
Quote:
Quote:
Cerita Lainnya: Audio Versi:
1. Ekspedisi Arkeologi - Kutukan Desa Mola-Mola
1. Ekspedisi Arkeologi - Kutukan Desa Mola-Mola
Spoiler for Temukan Athor di Sosial Media:
Spoiler for Link Donasi Gan:
Quote:
Dana: 081585512078
Spoiler for Fizzo Novel::
Buat yang mau baca Novel author lainnya bisa ke sini: Nama Pena: D. Eyzha_HR.Di sana bisa tanpa baca alias ada fitur audio baca.
Sebelumnya saya minta maaf jika ada:
-Kesalahan dalam Post saya
-Update ceritanya lama.
-Saltik atau Typo karena cerita belum sempat di Revisi ulang.
Quote:
Untuk Versi REVISI DAN TERUPDATE bisa cek di sini: Mangatoon - Rumah Terbengkalai True Story
Quote:
- WARNING -
Dimohon kerjasamanya bagi siapapun yang sudah tahu menahu tentang lokasi di cerita ini untuk tetap MERAHASIAKANNYA. Dan bagi yang MASIH PENASARAN, TS mohon dengan sangat untuk penasaranlah dari segi ceritanya saja (tidak perlu mencari & menerka). Let mystery be a mystery, untuk kebaikan kita bersama & sisi unik dari cerita ini.
Dimohon kerjasamanya bagi siapapun yang sudah tahu menahu tentang lokasi di cerita ini untuk tetap MERAHASIAKANNYA. Dan bagi yang MASIH PENASARAN, TS mohon dengan sangat untuk penasaranlah dari segi ceritanya saja (tidak perlu mencari & menerka). Let mystery be a mystery, untuk kebaikan kita bersama & sisi unik dari cerita ini.
Quote:
Note: SAYA HANYA MEMPOST CERITA INI DI KASKUS DAN MANGATOON. SELAIN DI DUA PLATFORM INI CERITA DIJAMIN PLAGIAT ..
----------------------------------------------------------------
NovelTool: TAMAT
Index On Kaskus (TAMAT)
0. Author Kembali 2024!
1. Prolog.
2. Perkenalan.
3. Rumah Tua Part 1.
4. Rumah Tua End.
5. Malam Pertama Part 1.
6. Malam Pertama End.
7. Interaksi Astral Part 1.
8. Interaksi Astral End.
9. Malam Penuh Cemas: Bab1 (2024)
10. Malam Penuh Cemas: Bab 2 (2024)
11. Malam Penuh Cemas: Bab 3 (2024)
12. Malam Penuh Cemas: End (2024)
13. Munguji Mental: Bab 1 (2024)
14. Menguji Mental: Bab 2 (2024)
15. Menguji Mental: Bab End (2024)
16. Aku Kembali: Bab 1 (2024)
17. Aku Kembali: Bab 2 (2024)
18. Aku Kembali: Bab 3 (2024)
19. Aku Kembali: Bab 4 (2024)
20. Aku Kembali: End (2024)
21. Dia Adik-ku: Bab 1 (2024)
22. Dia Adik-Ku: Bab 2 (2024)
23. Dia Adik-ku: Bab 3 (2024)
24. Dia Adik-Ku: Bab 4 (2024)
25. Dia Adik-Ku: Bab End (2024)
26. Teman Atau Lawan: Bab 1 (2024)
27. Teman Atau Lawan: Bab 1² (2024)
28. Teman Atau Lawan: Bab 2 (2024)
29. Teman Atau Lawan: Bab 3 (2024)
30. Teman Atau Lawan: Bab 4 (2024)
31. Teman Atau Lawan: Bab 5 (2024) ]
32. Teman Atau Lawan: Bab End¹ (2024)
32. Teman Atau Lawan: Bab End (2024)
33. Penderitaan: Bab 1 (2024)
34. POV Kevin: Penderitaan Bab 2 (2024)
35. Pov Kevin: Penderitaan: Bab 3¹ (2024)
36. POV Kevin: Penderitaan: Bab 3² (2024)
37. POV Kevin: Penderitaan: Bab 4¹
38. POV Kevin: Penderitaan: Bab 4²
39. Pov Kevin: Penderitaan bab 5
40. Pov Kevin: Penderitaan bab 6
41. Pov Kevin: Penderitaan Bab 7
42. Pov Kevin: Penderitaan End
43. Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP1
44. Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP2-3
45. Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP4-5
46. Pov Kevin: Mengungkap Misteri EP6-7
47. Pov Kevin: Mengungkap Misteri End
48. Pov kevin: Perjuangan Akhir EP1-2
49. Perjuangan Akhir EP3
50. Perjuangan Akhir: TAMAT
>>>TAMAT<<<<
----------------------------------------------------------------
Quote:
Plot Story:
Cerita diangkat berdasarkan kisah nyata yang dialami oleh lima Pria remaja asal Bogor Jawa Barat.
Kejadian Bermula ketika Yudi membeli sebuah rumah tua peninggalan belanda yang hendak ia renovasi menjadi bangunan mewah berlantai empat.
Seiring pembangunan berjalan, kejadian aneh kerap dialami oleh para-pekerja yang membuat meraka merasa tidak nyaman, interaksi keberadaan makhluk tak kesat mata terasa kental ketika malam menjelang. Deni dan empat kawannya yang diberi tugas mengawasi pekerja tak luput dari gangguan yang sulit diterima oleh nalar.
Hingga detik ini pembangun telah terhenti, yang tinggal hanya menyisakan rumah besar yang terbengkalai.
Gangguan seperti apa yang mereka rasakan? lalu adakah kisah kelam dibalik berdirinya bangunan besar ini? mari ikuti pengakuannya dalam cerita "Rumah Terbengkalai"
dan pastikan anda tidak membacanya seorang diri.
Diubah oleh wedi 22-10-2024 19:47
iwanridwanmks dan 59 lainnya memberi reputasi
56
57.1K
Kutip
371
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
wedi
#259
Aku Membali: End
Quote:
Suara aktifitas dari para pekerja sudah mulai terdengar mengisi pagi hari yang cerah ini. Sungguh suasana yang jauh berbeda jika dibandingkan saat malam tiba. Andai saja setiap malam bisa seperti ini, tentu akan sangat tenang bagi siapapun yang menempati rumah megah ini.
Air yang segar membasuh kulit layu dari rasa kantuk yang masih melekat kuat. Usai mandi aku segera menuju dapur hendak membuat secangkir kopi, dan bertemu oleh salah satu pekerja yang bernama Ento. Nampaknya ia sedang sibuk membersihkan sendok Sement yang sedikit dipenuhi kerek kering.
Aku menghampirinya dan berdiri di ambang pintu, "Gimana, Mang. Nyaman tidur di Gg. Rantai?"
Sontak ia menoleh dan mengangkat dagunya. "Eh. Mas ... Nyaman, Mas, bisa tidur pulas saya," jawabnya, seraya tersenyum. "Nggak kayak di sini, banyak hal anehnya, Mas." Ia kembali melanjutkan aktifitasnya.
"Maksudnya?" tanyaku, melangkah menghampiri meja dapur.
"Ya ... Gangguan aneh gitu, deh, Mas," sahut ragu mang Ento.
"Oh, itu ... Ya, ada si, Mang." Aku sambil mencoba mengingat sesuatu, "pernah nggak, Mang Ento mengalami tidak bisa bergerak saat tidur?"
Mendengar perkataan-ku, mang Ento menghentikan aktifitasnya, dan berseru, "Wah! Ngalamin juga, Mas?" Kedengarnya mang Ento sedikit terkejut dan lalu berdiri dari jongkoknya. "Saya sering begitu Mas, hampir tiap malam!"
"Tadi malam badan saya terasa kaku, tidak bisa digerakkan sama sekali," sanggahku.
"Itu dia Mas! Kenapa saya males kalau harus tidur di rumah ini ... Serem Mas."
"Ah, sudahlah, Mang, jangan terlalu terbawa suasana." Melihat gelagat mang Ento yang begitu mudah percaya, aku jadi tak ingin melanjutkan pembahasan ini, kerena khawatir itu akan membuatnya semakin takut. "Saya juga belum tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi."
"Kalau di tempat saya itu namanya Rep-repan, Mas, konon katanya, badan kita ditindih oleh makhluk halus," ungkap Mang Ento.
Aku mengernyitkan alis, dan membeo, "Rep-repan?"
"Iya, Mas!"
Aku mengusap dagu, mencoba mengingat sesuatu, seakan pernah mendengar istilah itu tapi entah di mana, "Ah, sudahlah, Mang, tak perlu dibahas." Aku menuang air panas ke dalam gelas putih yang terisi gula dan kopi. "Oya, mang Tohir sudah mencatat bahan yang kurang?" lanjutku, sambil mengaduk kopi yang aku buat.
Mang Ento terlihat berpikir dengan jari-jarinya yang nampak sedang menghitung sesuatu, dan berkata terpenggal-pengal, "Sement, batako, pasir, Sama cat dinding, Mas."
"Itu saja?" balasku, diiringi mang Ento mengangguk samar, "oke, saya akan sampaikan pada pak Ferdy," lanjutku, lantas berjalan ke ruang tamu.
"Siap, Mas."
Setibanya di kamar, Aku segera mengangkat ponsel genggam untuk menghubungi Ferdy.
"Bang, maaf ganggu. Ini di Loji bahan bangunan menipis, gimana?" Namun aku menangkap sesuatu yang berbeda dari lawan bicaraku, "lagi ada pengajian, Bang?" lanjutku, mendengar lantunan Ayat Suci Al-Quran yang bergema. Mungkin Ferdy sedang menghadiri suatu pengajian.
"Den, maaf, Babang lagi sibuk banget nggak bisa urusin itu hari ini, coba Deni bilang ke Wa Wati dulu, nanti biar Babang yang jelasin semuanya," lugas Ferdy, seakan ingin cepat mengakhiri panggilan.
"Oh, ya udah Bang, Deni ke Wa Wati sekarang," balasku, dan panggilan berakhir.
Jika aku perhatikan akhir-akhir ini. Setiap kali aku menghubunginya, pasti ia sedang berada di lokasi pengajian. Tapi memang sudah seharusnya seperti itu, mengingat ia memiliki beberapa rumah yang baru selesai dibangun. Puji syukur haruslah ia lakukan atas semua rezeki yang ia miliki.
"Mang, kalau Rifaldy tanya, bilang aku sedang menyiapkan makan siang di Gg. Rantai," kataku, pada mang Tohir yang sedang mengaduk Sement di halaman depan rumah.
"Oh iya Mas, siap," singkatnya, mengangkat lengan kanan, menunjukan hormat sambil melempar senyum.
Tak membuang waktu lama, aku segera mengenakan Helm dan menyalakan kendaraan, bergegas meluncur ke rumah Rifaldy untuk mengkonfirmasikan Stok bahan bangunan yang semakin menipis.
Berapa menit kemudian, aku telah tiba di rumah Rifaldy. Dan terlihat Wa Wati membuka pintu depan rumah.
Ia melongok keluar, "Rifaldy tidak ikut pulang, Den?" tanya Wa Wati, berdiri di ambang pintu.
"Ngga Wa, Masih tidur di Loji," sahutku, sambil membuka Helm.
Beliau mendengus, dan sedikit menggumam, "Itu anak kebiasaan bangun siang melulu ... Masuk, Den, bikin kopi, gih."
"Iya Wa, biar Deni di depan aja," kataku, duduk di kursi depan. "Oya, Wa Andy ada, Wa?"
"Ada, Den ... Bentar Uwa panggil," balas Wa Wati dan berlalu. "Kopinya jadi tidak, Den?"
"Deni udah ngopi, Wa, di Loji."
Tak lama Wa Andy menemuiku, dan kami pun berbincang sesaat sebelum akhirnya menghubungi Ferdy dari ponsel genggamku.
Walau sempat ada berdebatan diantara Ferdy dan Wa Hasan, namun akhirnya Wa Andy sepakat untuk meminjamkan sejumlah dana, demi kepentingan pembangungan rumah Loji, dan akhirnya aku pun bergerak meninggalkan rumah yang berada di Gg. Rantai, bersama Ayah Rifaldy untuk menuju Toko Material.
Sekitar jam 11:00 siang, kami tiba di toko material yang cukup besar. Toko ini di kelilingi oleh pagar tembok yang setengah pagar besi. Terdapat gudang penyimpanan yang besar di sudut kanan toko. Pipa Paralon, dan Pipa Galvanis tersusun rapih dari barbagai macam ukuran. Dan tepat di atasnya, tersusun pula tumpukan Asbes yang terlihat seperti kartu yang disejajarkan.
Pada sisi kiri terdapat dua truk besar yang terparkir rapih nampak bersiaga untuk mengantarkan pesanan para konsumen di Material ini.
Di sini biasanya Ferdy memesan berbagai macam bahan bangunan yang dibutuhkan untuk pembangunan rumah Loji, dan Ferdy merekomendasikan kami untuk ke Toko ini.
Motor telah menepi tepat di depan ruang Office, seluruh bagian depannya tertutup oleh kaca. Lebih terlihat seperti kantor ketimbang Toko Material.
Aku tak banyak bicara di sini, hanya membuntuti Wa Andy yang telah berjalan masuk ke dalam ruang Office.
Namun aku dan WA Andy sempat kebingungan setelah mengetahui harga yang dibandrol oleh toko ini terbilang cukup mahal. Tentu saja raut wajah Wa Andy berubah kecut.
"Si, Ferdy teh gimana! Toko serba mahal begini dilirik," gusar Wa Hasan, yang baru mendapatkan kwitansi atas semua barang yang kami pesan.
"Iya, Wa. Buat apa jauh-jauh datang ke sini, kalau mau mahal, di depan Gunung Batu juga banyak," timpal-ku.
"Ini alamat pak Ferdy yang di Loji, ya, Pak?" tanya pekerja yang sedang melayani kami.
"Iya, betul" singkat Wa Hasan, dan pekerja itu lantas meninggalkan kami memberikan kwitansi yang berisi alamat kepada seorang pria yang di panggil Koko yang sedang duduk di balik meja kasir.
Pria itu bertubuh ideal, tingginya mungkin 170. Ia berkulit putih agak kemerahan, dengan mata sipit dan rambut bergaya tentara. Sangat terlihat jika ia berasal dari Cina. Mungkin usianya tidak jauh berbeda dengan Ferdy. Entah apa yang mereka sedang bicarakan, namun sepertinya hal yang cukup serius.
Tak lama Pria Cina itu menemui kami, "Bapak orang, siapanya Ferdy?" tanya si Koko.
"Saya, Ayah, Ferdy," singkat Wa Andy membalas perkataanya.
"Kita orang dibuat pusing, Pak! oleh anak Bapak," cetusnya, berlogat khas, ia lalu duduk di belakang Etalase kaca yang memisahkan kedua jarak.
"Dia orang belum bayar, bahan bangunan yang terakhir kita kirim ke rumah Loji," lanjutnya, membuat Wa Andy tertegun mendengar itu semua, raut wajahnya terlihat bingung dan gugup.
"Untuk perihal ini, saya selaku Ayah Ferdy, tidak mengetahui akan hal itu," jelas Wa Hasan, terdengar bergetar dari nadanya, "Intinya sekarang, saya ingin membeli bahan bangunan, dan ini di bayar Cash," lanjut Wa Hasan.
Mendengar itu sang pemilik toko terdiam sesaat, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. "Baiklah, Tapi tolong Bapak bantu kami, sampaikan salam saya kepada pak Ferdy, karena anak Bapak tidak pernah menjawab panggilan telpon saya," tutupnya, memberikan kwitansi kepada salah satu pekerja, untuk segera diproses.
Setelah semuanya jelas, dengan menggunakan sepeda motor, kami pun segera meninggalkan Toko ini untuk kembali ke Gg Rantai.
Cuaca siang hari terasa begitu panas, bagaikan matahri tepat di atas kepalaku. Angin yang bercampur debu, nampak berterbangan pada badan jalan. Beruntung aku menggunakan Helm, jadi tidak terlalu terkena imbasnya.
Saat di perjalanan pulang aku dan Wa Andy tidak banyak bicara, sepertinya beliau sangat fokus dalam berkendara. Wajar saja ia sangat berhati-hati dalam berkemudi, selain usianya yang rentan ditambah jalur yang kami tempuh nampak begitu padat.
Aku membuka kaca Helm dan sedikit menjulurkan leher ke bahu Wa Hasan."Wa ... Nanti Deni turun di Pasar Gunung Batu, ya?"
"Tidak ke Gg. Rantai, dahulu?"
"Biar nggak bolak-balik, Wa," tambahku.
Dan tak lama Wa Andy menepikan kendaraan tepat di depan pasar Gunung Batu. "Nanti minta jemput atuh kalau sudah beres, mah," ujarnya, memberikan secarik kertas—daftar belanjaan yang harus aku beli.
"Nggak perlu, Wa. Biar Deni pulang naik ojek aja," sahutku.
"Oh, begitu, Uwa duluan, ya, Den," tutupnya, aku mengangguk samar dan ia pun berlalu.
Suasana pasar yang sudah tidak begitu ramai lagi, membuatku cemas
akan toko yang akan aku tuju. Aku mempercepat langkahku, memasuki pasar melewati ruko-ruko yang berbaris menghimpit jalan yang sempit—oleh barang dagangan.
Tujuanku hanya satu yaitu untuk menemui mang Bedi, ia memiliki toko sembako yang cukup lengkap di pasar ini, selain itu ia pun masih terbilang saudara dari Nenek-ku.
Sudah dua kali aku memesan semua keperluan bahan pokok darinya, dan yang membuatnya berbeda dari toko lain. Selain harganya yang jauh lebih hemat, aku juga tidak harus pusing memikirkan cara membawa semua barang belanjaan, karena ia mengantarnya langsung ke rumah Rifaldy yang berada di Gg. Rantai.
Dari kejauhan aku melongok-longok ke arah tokonya yang nampak ramai seperti biasa. "Assalamualaikum, Mang," Ia terhentak, lalu mencari sumber suaraku di antara barisan orang lain yang memenuhi tokonya.
"Wa'allaikumsalam. .... Eh.. si, Ganteng," serunya, sedikit berteriak dari dalam toko. "Sini atuh! Masuk ...."
"Iya, Mang, biasa mau naro pesanan lagi," tambah-ku, sambil mencari secarik kertas dalam saku celanaku.
"Oh, sok atuh, mana sini catatannya," sahut mang Bedi, menyambut kertas yang kuberikan padanya. "Lengkap! Ada semua ini ... Nanti Mamang antar, Den."
"Oke, siap! Terima kasih, Mang," balasku. "Di jalan kepikiran. Masih buka nggak toko Mamang, dan Alhamdulillah, ternyata masih ...."
"Eh, makanya gaul dikit atuh, Den! nih, simpan nomor Mamang, yeuh!" tukas Mang Bedi, memberika kartu namanya, "Tinggal 'Halo' di kirim ku-Mamang belanjaannya."
"Nah! Coba dari kemarin-kemarin, Mang ... Kalau ada nomor, kan, jadi enak," sahutku, tertawa kecil, sambil mengantongi kartu yang di berikannya. "Ya, udah, Deni permisi dulu, ya, Mang," balasku. Namun mang Bedi malah mengernyitkan alis.
"Mau ke mana, sih? Nggak ada! Ngopi dulu, sini!" ujarnya, ia hendak menarik lenganku. Tapi aku berhasil menghindar.
"Iya, Mang! Makasih ... Lain waktu aja, ya, Mang," sahutku, perlahan melangkah menjauh.
"Payah!. Ya udah atuh ... nanti abis ini Mamang antar pesanan Deni ke rumah Wa Wati," balasnya.
"Oke Mang, Deni permisi dulu Mang, Wassalamu'alaikum."
"Wa'allaikumsalam. Hati-hati, Den."
"Siap," sahutku, melanjutkan langkah.
Saat itu aku lantas pergi dari toko mang Bedi, dengan menggunakan ojek kembali ke rumah Rifaldy untuk mengambil makan siang pekerja.
"Mang, ke Gg Rantai ya." kataku pada seorang tukang ojek di depan pasar.
"Oh, siap," sahut tukang ojek.
30 menit kemudian aku tiba di rumah Rifaldy, di sana aku disambut oleh Wa Wati yang tengah menyapu halaman depan rumahnya.
"Yeh! kok naik Ojek, Den?" kata Wa Wati, melihatku yang baru turun dari motor. "Bukan minta jemput."
"Iya, Wa biar cepat, jadi nggak bolak-balik." sahutku.
"Ya, udah masuk, gih ... Apa mau Uwa siapkan makan di dalam?"
"Nanti aja Wa bareng sama yang lain, Rifaldy juga masih di Loji," balasku.
"Kenapa atuh bukan ikut pulang si Rifaldy teh, jadi Deni yang ngurusin semuanya."
"Ngga apa-apa Wa, capek kayaknya dia."
"Masuk atuh, Uwa bikinin kopi di dalam," kata Wa Wati, lantas masuk ke dalam rumah.
***
Singkat cerita.
Tak lama berada di rumah Rifaldy, aku mendapat panggilan telpon dari Ferdy yang meminta tolong untuk mengambil uang dari salah satu temannya yang berada di Ciomas, tak jelas uang apa itu, namun jumlahnya tidaklah sedikit.
Pertemuan aku dan teman Ferdy pun terbilang sangat singkat, ia hanya menanyakan siapa namaku, setelah itu memberikan amplop coklat yang sangat tebal dan memperbolehkanku pergi. Usai aku melakukan setor tunai di suatu Bank ternama, aku segara meluncur ke rumah Loji.
Hingga Tepat jam tiga sore aku tiba di rumah loji. Baru aku memasuki lahan parkir rumah, ponselku sudah kembali berdering. Edi pasti, nih!
"Halo ... Udah sampai mana?" tanyaku, menjawab panggilan Edi, sambil turun dari motor.
"Masih di Stasiun Cilebut A, Naik angkot turun di mana A." jawab Edi.
"Naik angkot 07, bilang aja turun di Loji, depan Yoniv 315," balasku. Masuk ke dalam rumah.
"Oh, Oke A, nanti Edi SMS kalau udah di angkot A."
"Oke. Hati-hati, Di," singkatku, mengakhiri panggilan.
Setibanya di dalam rumah, kulihat pintu kamar yang setengah terbuka dan nampak Rifaldy masih disibukan oleh Video Game yang ia mainkan.
"Ah, payah amat," cetusku.
Rifaldy menoleh cepat ke arahku, "Wes, gimana, Den, beres?" serunya, mengakhiri permainan game-nya.
"Beres, lah," singkatku, duduk di sisi tempat tidur, "Kasihan Wa Hasan, Rif, jadi dia yang material."
"Lu juga sih, asal jalan aja, bukan bangunin gue dulu," tukas Rifaldy.
Aku mendengus dan menatap wajahnya, "lu aja tidur kayak kebo!" gurauku. Dan ia tertawa sedang. "Oya ... Lu tau sesuatu terjadi tadi malam?"
Raut wajahnya kebingungan, sepertinya ia tidak menyadari apa yang terjadi pada dirinya saat tadi malam. "Nggak, deh, lupakan."
"Emang apaan, sih?"
"Nggak ... Nggak ada apa-apa!"
"Iya, iya ... Sorry, deh, nggak bantuin, lu, nanti kalau Babang transfer uang gw bagi dua sama, lu, deh," celoteh Rifaldy, sambil nyengir kuda.
"Hah? yang ada Babang, noh! yang gw kirimin duit," lugas-ku, sambil memberikan buku tabungan padanya. "Tapi, kalau ngomongin masalah uang, kayaknya, Babang lagi ada masalah, deh, Rif."
Iya membuka tiap lembar dari buku tabungan-ku, lalu berseru, "Waduh! ... 18jt?" Rifaldy terkejut saat melihat struk dan buku tabungan yang ia pegang. "Banyak duit gini, lu bilang banyak masalah?"
"Entahlah, tadi juga tagihan bahan bangunan ditalangin Wa Andy dulu." sahutku, menyambar buku tabungan, "Itu juga uang nggak jelas hasil apa! Gue ambil dari teman bang Ferdy. Di Ciomas."
Rifaldy menoleh cepat dengan sorot mata curiga, "Wah! Mulai gak beres, nih, orang! Ujung-ujungnya nanti main ungkit masalah lain. Gue yakin ini duit hasil utang. Males kalau dia udah kayak gini, Den!" cetus Rifaldy, nampaknya ia khawatir terhadap sikap Ferdy saati ini.
Aku berdecak malas, dan merobohkan diri di atas tempat tidur, "Yaa, mau gimana lagi, Rif ... Kita ikuti aja gimana kedepannya. Mudah-mudahan lancar," balasku, kemudian bangkit dari tempat tidur.
"Mandi?" tanya Rifaldy.
"Iya, lah! Debu semua kulit, gue," lanjutku, berjalan keluar kamar.
Aku pikir lebih baik membersihkan tubuh, Selagi menunggu kedatangan adik-ku, dari pada harus berdebat dengan Rifaldy, ia pasti bicara panjang lebar jika menyangkut keburukan Ferdy.
Namun baru saja aku membasuh tubuh dengan beberapa kali kayuhan gayung, lirih suara ponsel terdengar berdering.
"Den, ade lo telpon, nih!" teriak Rifaldy, terdengar menghampiri.
"Iya, iya ... Bilang nanti gue telp balik, bentar lagi beres, nih!" jawabku, tergesa-gesa menyelesaikan mandi.
Tak lama aku membuka pintu toilet dan bergegas menuju kamar, "Edi, telpon tadi, tuh," kata Rifaldy memberikan ponsel-ku.
"Hallo! Di. Udah sampai mana?" tanyaku, dengan me-loudspeaker percakapan.
"Ini udah di depan Gg Loji, terus kemana lagi, A?"
"Masih ada tukang ojek nggak di situ."
"Masih, A ... Dari tadi juga pada nawarin, tapi bingung bilangnya apa ke tukang Ojek," tanya Edi, membuatku mencoba mengingat alamat lengkap rumah ini.
"Ah! lupa Di ... Udah tunggu di situ, biar, Aa, jemput aja," aku mengakhiri panggilan, karena tak ingin membuang banyak waktu. Tahu sendiri betapa suramnya jalan Loji jika hari sudah mulai gelap.
Bruumm... Brum..
Aku segera meluncur ke depan Gg. Loji, untuk menjemput adikku. Terasa begitu banyak hal yang ingin aku ceritakan padanya, mengingat kami jarang bertemu semenjak aku sering mondar-mandir ke Bogor.
Namun aku terdiam, sesaat mesin kendaraan yang menyala, aku mengedarkan pandang keseluruh penjuru rumah dengan tatapan tajam seakan penuh kekhawatiran.
Kalian boleh menggangguku, tapi tidak untuk adik-ku!
Bruummm ...
Aku menarik pedal Gas, dan melesat meninggalkan rumah Loji.
*****************
Bersambung ...
*****************
Untuk pembaca tercintaku ...
#Note:
Jumlah keseluruhan Chapter ada 46.
Namun aku sedang melakukan
revisi. Jadi, mohon maaf
jika Update sedikit lebih lama. 🙏
-Mohon maaf jika ada tutur kata yang kurang berkenan. 🙏
-Jika kalian suka dengan cerita ini, dukung kami dengan memberikan:
Vote dan komenter yang positif, selama masih ada permintaan,
cerita akan terus aku update.
-Terima kasih telah membaca,
semoga bisa menghibur dan
mengisi kekosongan waktu kalian.
-Sampai berjumpa lagi di-Episode berikutnya. 👋👏 secepat mungkin kami menyelesaikan lanjutannya. Insyaallah.
Air yang segar membasuh kulit layu dari rasa kantuk yang masih melekat kuat. Usai mandi aku segera menuju dapur hendak membuat secangkir kopi, dan bertemu oleh salah satu pekerja yang bernama Ento. Nampaknya ia sedang sibuk membersihkan sendok Sement yang sedikit dipenuhi kerek kering.
Aku menghampirinya dan berdiri di ambang pintu, "Gimana, Mang. Nyaman tidur di Gg. Rantai?"
Sontak ia menoleh dan mengangkat dagunya. "Eh. Mas ... Nyaman, Mas, bisa tidur pulas saya," jawabnya, seraya tersenyum. "Nggak kayak di sini, banyak hal anehnya, Mas." Ia kembali melanjutkan aktifitasnya.
"Maksudnya?" tanyaku, melangkah menghampiri meja dapur.
"Ya ... Gangguan aneh gitu, deh, Mas," sahut ragu mang Ento.
"Oh, itu ... Ya, ada si, Mang." Aku sambil mencoba mengingat sesuatu, "pernah nggak, Mang Ento mengalami tidak bisa bergerak saat tidur?"
Mendengar perkataan-ku, mang Ento menghentikan aktifitasnya, dan berseru, "Wah! Ngalamin juga, Mas?" Kedengarnya mang Ento sedikit terkejut dan lalu berdiri dari jongkoknya. "Saya sering begitu Mas, hampir tiap malam!"
"Tadi malam badan saya terasa kaku, tidak bisa digerakkan sama sekali," sanggahku.
"Itu dia Mas! Kenapa saya males kalau harus tidur di rumah ini ... Serem Mas."
"Ah, sudahlah, Mang, jangan terlalu terbawa suasana." Melihat gelagat mang Ento yang begitu mudah percaya, aku jadi tak ingin melanjutkan pembahasan ini, kerena khawatir itu akan membuatnya semakin takut. "Saya juga belum tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi."
"Kalau di tempat saya itu namanya Rep-repan, Mas, konon katanya, badan kita ditindih oleh makhluk halus," ungkap Mang Ento.
Aku mengernyitkan alis, dan membeo, "Rep-repan?"
"Iya, Mas!"
Aku mengusap dagu, mencoba mengingat sesuatu, seakan pernah mendengar istilah itu tapi entah di mana, "Ah, sudahlah, Mang, tak perlu dibahas." Aku menuang air panas ke dalam gelas putih yang terisi gula dan kopi. "Oya, mang Tohir sudah mencatat bahan yang kurang?" lanjutku, sambil mengaduk kopi yang aku buat.
Mang Ento terlihat berpikir dengan jari-jarinya yang nampak sedang menghitung sesuatu, dan berkata terpenggal-pengal, "Sement, batako, pasir, Sama cat dinding, Mas."
"Itu saja?" balasku, diiringi mang Ento mengangguk samar, "oke, saya akan sampaikan pada pak Ferdy," lanjutku, lantas berjalan ke ruang tamu.
"Siap, Mas."
Setibanya di kamar, Aku segera mengangkat ponsel genggam untuk menghubungi Ferdy.
"Bang, maaf ganggu. Ini di Loji bahan bangunan menipis, gimana?" Namun aku menangkap sesuatu yang berbeda dari lawan bicaraku, "lagi ada pengajian, Bang?" lanjutku, mendengar lantunan Ayat Suci Al-Quran yang bergema. Mungkin Ferdy sedang menghadiri suatu pengajian.
"Den, maaf, Babang lagi sibuk banget nggak bisa urusin itu hari ini, coba Deni bilang ke Wa Wati dulu, nanti biar Babang yang jelasin semuanya," lugas Ferdy, seakan ingin cepat mengakhiri panggilan.
"Oh, ya udah Bang, Deni ke Wa Wati sekarang," balasku, dan panggilan berakhir.
Jika aku perhatikan akhir-akhir ini. Setiap kali aku menghubunginya, pasti ia sedang berada di lokasi pengajian. Tapi memang sudah seharusnya seperti itu, mengingat ia memiliki beberapa rumah yang baru selesai dibangun. Puji syukur haruslah ia lakukan atas semua rezeki yang ia miliki.
"Mang, kalau Rifaldy tanya, bilang aku sedang menyiapkan makan siang di Gg. Rantai," kataku, pada mang Tohir yang sedang mengaduk Sement di halaman depan rumah.
"Oh iya Mas, siap," singkatnya, mengangkat lengan kanan, menunjukan hormat sambil melempar senyum.
Tak membuang waktu lama, aku segera mengenakan Helm dan menyalakan kendaraan, bergegas meluncur ke rumah Rifaldy untuk mengkonfirmasikan Stok bahan bangunan yang semakin menipis.
Berapa menit kemudian, aku telah tiba di rumah Rifaldy. Dan terlihat Wa Wati membuka pintu depan rumah.
Ia melongok keluar, "Rifaldy tidak ikut pulang, Den?" tanya Wa Wati, berdiri di ambang pintu.
"Ngga Wa, Masih tidur di Loji," sahutku, sambil membuka Helm.
Beliau mendengus, dan sedikit menggumam, "Itu anak kebiasaan bangun siang melulu ... Masuk, Den, bikin kopi, gih."
"Iya Wa, biar Deni di depan aja," kataku, duduk di kursi depan. "Oya, Wa Andy ada, Wa?"
"Ada, Den ... Bentar Uwa panggil," balas Wa Wati dan berlalu. "Kopinya jadi tidak, Den?"
"Deni udah ngopi, Wa, di Loji."
Tak lama Wa Andy menemuiku, dan kami pun berbincang sesaat sebelum akhirnya menghubungi Ferdy dari ponsel genggamku.
Walau sempat ada berdebatan diantara Ferdy dan Wa Hasan, namun akhirnya Wa Andy sepakat untuk meminjamkan sejumlah dana, demi kepentingan pembangungan rumah Loji, dan akhirnya aku pun bergerak meninggalkan rumah yang berada di Gg. Rantai, bersama Ayah Rifaldy untuk menuju Toko Material.
Sekitar jam 11:00 siang, kami tiba di toko material yang cukup besar. Toko ini di kelilingi oleh pagar tembok yang setengah pagar besi. Terdapat gudang penyimpanan yang besar di sudut kanan toko. Pipa Paralon, dan Pipa Galvanis tersusun rapih dari barbagai macam ukuran. Dan tepat di atasnya, tersusun pula tumpukan Asbes yang terlihat seperti kartu yang disejajarkan.
Pada sisi kiri terdapat dua truk besar yang terparkir rapih nampak bersiaga untuk mengantarkan pesanan para konsumen di Material ini.
Di sini biasanya Ferdy memesan berbagai macam bahan bangunan yang dibutuhkan untuk pembangunan rumah Loji, dan Ferdy merekomendasikan kami untuk ke Toko ini.
Motor telah menepi tepat di depan ruang Office, seluruh bagian depannya tertutup oleh kaca. Lebih terlihat seperti kantor ketimbang Toko Material.
Aku tak banyak bicara di sini, hanya membuntuti Wa Andy yang telah berjalan masuk ke dalam ruang Office.
Namun aku dan WA Andy sempat kebingungan setelah mengetahui harga yang dibandrol oleh toko ini terbilang cukup mahal. Tentu saja raut wajah Wa Andy berubah kecut.
"Si, Ferdy teh gimana! Toko serba mahal begini dilirik," gusar Wa Hasan, yang baru mendapatkan kwitansi atas semua barang yang kami pesan.
"Iya, Wa. Buat apa jauh-jauh datang ke sini, kalau mau mahal, di depan Gunung Batu juga banyak," timpal-ku.
"Ini alamat pak Ferdy yang di Loji, ya, Pak?" tanya pekerja yang sedang melayani kami.
"Iya, betul" singkat Wa Hasan, dan pekerja itu lantas meninggalkan kami memberikan kwitansi yang berisi alamat kepada seorang pria yang di panggil Koko yang sedang duduk di balik meja kasir.
Pria itu bertubuh ideal, tingginya mungkin 170. Ia berkulit putih agak kemerahan, dengan mata sipit dan rambut bergaya tentara. Sangat terlihat jika ia berasal dari Cina. Mungkin usianya tidak jauh berbeda dengan Ferdy. Entah apa yang mereka sedang bicarakan, namun sepertinya hal yang cukup serius.
Tak lama Pria Cina itu menemui kami, "Bapak orang, siapanya Ferdy?" tanya si Koko.
"Saya, Ayah, Ferdy," singkat Wa Andy membalas perkataanya.
"Kita orang dibuat pusing, Pak! oleh anak Bapak," cetusnya, berlogat khas, ia lalu duduk di belakang Etalase kaca yang memisahkan kedua jarak.
"Dia orang belum bayar, bahan bangunan yang terakhir kita kirim ke rumah Loji," lanjutnya, membuat Wa Andy tertegun mendengar itu semua, raut wajahnya terlihat bingung dan gugup.
"Untuk perihal ini, saya selaku Ayah Ferdy, tidak mengetahui akan hal itu," jelas Wa Hasan, terdengar bergetar dari nadanya, "Intinya sekarang, saya ingin membeli bahan bangunan, dan ini di bayar Cash," lanjut Wa Hasan.
Mendengar itu sang pemilik toko terdiam sesaat, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. "Baiklah, Tapi tolong Bapak bantu kami, sampaikan salam saya kepada pak Ferdy, karena anak Bapak tidak pernah menjawab panggilan telpon saya," tutupnya, memberikan kwitansi kepada salah satu pekerja, untuk segera diproses.
Setelah semuanya jelas, dengan menggunakan sepeda motor, kami pun segera meninggalkan Toko ini untuk kembali ke Gg Rantai.
Cuaca siang hari terasa begitu panas, bagaikan matahri tepat di atas kepalaku. Angin yang bercampur debu, nampak berterbangan pada badan jalan. Beruntung aku menggunakan Helm, jadi tidak terlalu terkena imbasnya.
Saat di perjalanan pulang aku dan Wa Andy tidak banyak bicara, sepertinya beliau sangat fokus dalam berkendara. Wajar saja ia sangat berhati-hati dalam berkemudi, selain usianya yang rentan ditambah jalur yang kami tempuh nampak begitu padat.
Aku membuka kaca Helm dan sedikit menjulurkan leher ke bahu Wa Hasan."Wa ... Nanti Deni turun di Pasar Gunung Batu, ya?"
"Tidak ke Gg. Rantai, dahulu?"
"Biar nggak bolak-balik, Wa," tambahku.
Dan tak lama Wa Andy menepikan kendaraan tepat di depan pasar Gunung Batu. "Nanti minta jemput atuh kalau sudah beres, mah," ujarnya, memberikan secarik kertas—daftar belanjaan yang harus aku beli.
"Nggak perlu, Wa. Biar Deni pulang naik ojek aja," sahutku.
"Oh, begitu, Uwa duluan, ya, Den," tutupnya, aku mengangguk samar dan ia pun berlalu.
Suasana pasar yang sudah tidak begitu ramai lagi, membuatku cemas
akan toko yang akan aku tuju. Aku mempercepat langkahku, memasuki pasar melewati ruko-ruko yang berbaris menghimpit jalan yang sempit—oleh barang dagangan.
Tujuanku hanya satu yaitu untuk menemui mang Bedi, ia memiliki toko sembako yang cukup lengkap di pasar ini, selain itu ia pun masih terbilang saudara dari Nenek-ku.
Sudah dua kali aku memesan semua keperluan bahan pokok darinya, dan yang membuatnya berbeda dari toko lain. Selain harganya yang jauh lebih hemat, aku juga tidak harus pusing memikirkan cara membawa semua barang belanjaan, karena ia mengantarnya langsung ke rumah Rifaldy yang berada di Gg. Rantai.
Dari kejauhan aku melongok-longok ke arah tokonya yang nampak ramai seperti biasa. "Assalamualaikum, Mang," Ia terhentak, lalu mencari sumber suaraku di antara barisan orang lain yang memenuhi tokonya.
"Wa'allaikumsalam. .... Eh.. si, Ganteng," serunya, sedikit berteriak dari dalam toko. "Sini atuh! Masuk ...."
"Iya, Mang, biasa mau naro pesanan lagi," tambah-ku, sambil mencari secarik kertas dalam saku celanaku.
"Oh, sok atuh, mana sini catatannya," sahut mang Bedi, menyambut kertas yang kuberikan padanya. "Lengkap! Ada semua ini ... Nanti Mamang antar, Den."
"Oke, siap! Terima kasih, Mang," balasku. "Di jalan kepikiran. Masih buka nggak toko Mamang, dan Alhamdulillah, ternyata masih ...."
"Eh, makanya gaul dikit atuh, Den! nih, simpan nomor Mamang, yeuh!" tukas Mang Bedi, memberika kartu namanya, "Tinggal 'Halo' di kirim ku-Mamang belanjaannya."
"Nah! Coba dari kemarin-kemarin, Mang ... Kalau ada nomor, kan, jadi enak," sahutku, tertawa kecil, sambil mengantongi kartu yang di berikannya. "Ya, udah, Deni permisi dulu, ya, Mang," balasku. Namun mang Bedi malah mengernyitkan alis.
"Mau ke mana, sih? Nggak ada! Ngopi dulu, sini!" ujarnya, ia hendak menarik lenganku. Tapi aku berhasil menghindar.
"Iya, Mang! Makasih ... Lain waktu aja, ya, Mang," sahutku, perlahan melangkah menjauh.
"Payah!. Ya udah atuh ... nanti abis ini Mamang antar pesanan Deni ke rumah Wa Wati," balasnya.
"Oke Mang, Deni permisi dulu Mang, Wassalamu'alaikum."
"Wa'allaikumsalam. Hati-hati, Den."
"Siap," sahutku, melanjutkan langkah.
Saat itu aku lantas pergi dari toko mang Bedi, dengan menggunakan ojek kembali ke rumah Rifaldy untuk mengambil makan siang pekerja.
"Mang, ke Gg Rantai ya." kataku pada seorang tukang ojek di depan pasar.
"Oh, siap," sahut tukang ojek.
30 menit kemudian aku tiba di rumah Rifaldy, di sana aku disambut oleh Wa Wati yang tengah menyapu halaman depan rumahnya.
"Yeh! kok naik Ojek, Den?" kata Wa Wati, melihatku yang baru turun dari motor. "Bukan minta jemput."
"Iya, Wa biar cepat, jadi nggak bolak-balik." sahutku.
"Ya, udah masuk, gih ... Apa mau Uwa siapkan makan di dalam?"
"Nanti aja Wa bareng sama yang lain, Rifaldy juga masih di Loji," balasku.
"Kenapa atuh bukan ikut pulang si Rifaldy teh, jadi Deni yang ngurusin semuanya."
"Ngga apa-apa Wa, capek kayaknya dia."
"Masuk atuh, Uwa bikinin kopi di dalam," kata Wa Wati, lantas masuk ke dalam rumah.
***
Singkat cerita.
Tak lama berada di rumah Rifaldy, aku mendapat panggilan telpon dari Ferdy yang meminta tolong untuk mengambil uang dari salah satu temannya yang berada di Ciomas, tak jelas uang apa itu, namun jumlahnya tidaklah sedikit.
Pertemuan aku dan teman Ferdy pun terbilang sangat singkat, ia hanya menanyakan siapa namaku, setelah itu memberikan amplop coklat yang sangat tebal dan memperbolehkanku pergi. Usai aku melakukan setor tunai di suatu Bank ternama, aku segara meluncur ke rumah Loji.
Hingga Tepat jam tiga sore aku tiba di rumah loji. Baru aku memasuki lahan parkir rumah, ponselku sudah kembali berdering. Edi pasti, nih!
"Halo ... Udah sampai mana?" tanyaku, menjawab panggilan Edi, sambil turun dari motor.
"Masih di Stasiun Cilebut A, Naik angkot turun di mana A." jawab Edi.
"Naik angkot 07, bilang aja turun di Loji, depan Yoniv 315," balasku. Masuk ke dalam rumah.
"Oh, Oke A, nanti Edi SMS kalau udah di angkot A."
"Oke. Hati-hati, Di," singkatku, mengakhiri panggilan.
Setibanya di dalam rumah, kulihat pintu kamar yang setengah terbuka dan nampak Rifaldy masih disibukan oleh Video Game yang ia mainkan.
"Ah, payah amat," cetusku.
Rifaldy menoleh cepat ke arahku, "Wes, gimana, Den, beres?" serunya, mengakhiri permainan game-nya.
"Beres, lah," singkatku, duduk di sisi tempat tidur, "Kasihan Wa Hasan, Rif, jadi dia yang material."
"Lu juga sih, asal jalan aja, bukan bangunin gue dulu," tukas Rifaldy.
Aku mendengus dan menatap wajahnya, "lu aja tidur kayak kebo!" gurauku. Dan ia tertawa sedang. "Oya ... Lu tau sesuatu terjadi tadi malam?"
Raut wajahnya kebingungan, sepertinya ia tidak menyadari apa yang terjadi pada dirinya saat tadi malam. "Nggak, deh, lupakan."
"Emang apaan, sih?"
"Nggak ... Nggak ada apa-apa!"
"Iya, iya ... Sorry, deh, nggak bantuin, lu, nanti kalau Babang transfer uang gw bagi dua sama, lu, deh," celoteh Rifaldy, sambil nyengir kuda.
"Hah? yang ada Babang, noh! yang gw kirimin duit," lugas-ku, sambil memberikan buku tabungan padanya. "Tapi, kalau ngomongin masalah uang, kayaknya, Babang lagi ada masalah, deh, Rif."
Iya membuka tiap lembar dari buku tabungan-ku, lalu berseru, "Waduh! ... 18jt?" Rifaldy terkejut saat melihat struk dan buku tabungan yang ia pegang. "Banyak duit gini, lu bilang banyak masalah?"
"Entahlah, tadi juga tagihan bahan bangunan ditalangin Wa Andy dulu." sahutku, menyambar buku tabungan, "Itu juga uang nggak jelas hasil apa! Gue ambil dari teman bang Ferdy. Di Ciomas."
Rifaldy menoleh cepat dengan sorot mata curiga, "Wah! Mulai gak beres, nih, orang! Ujung-ujungnya nanti main ungkit masalah lain. Gue yakin ini duit hasil utang. Males kalau dia udah kayak gini, Den!" cetus Rifaldy, nampaknya ia khawatir terhadap sikap Ferdy saati ini.
Aku berdecak malas, dan merobohkan diri di atas tempat tidur, "Yaa, mau gimana lagi, Rif ... Kita ikuti aja gimana kedepannya. Mudah-mudahan lancar," balasku, kemudian bangkit dari tempat tidur.
"Mandi?" tanya Rifaldy.
"Iya, lah! Debu semua kulit, gue," lanjutku, berjalan keluar kamar.
Aku pikir lebih baik membersihkan tubuh, Selagi menunggu kedatangan adik-ku, dari pada harus berdebat dengan Rifaldy, ia pasti bicara panjang lebar jika menyangkut keburukan Ferdy.
Namun baru saja aku membasuh tubuh dengan beberapa kali kayuhan gayung, lirih suara ponsel terdengar berdering.
"Den, ade lo telpon, nih!" teriak Rifaldy, terdengar menghampiri.
"Iya, iya ... Bilang nanti gue telp balik, bentar lagi beres, nih!" jawabku, tergesa-gesa menyelesaikan mandi.
Tak lama aku membuka pintu toilet dan bergegas menuju kamar, "Edi, telpon tadi, tuh," kata Rifaldy memberikan ponsel-ku.
"Hallo! Di. Udah sampai mana?" tanyaku, dengan me-loudspeaker percakapan.
"Ini udah di depan Gg Loji, terus kemana lagi, A?"
"Masih ada tukang ojek nggak di situ."
"Masih, A ... Dari tadi juga pada nawarin, tapi bingung bilangnya apa ke tukang Ojek," tanya Edi, membuatku mencoba mengingat alamat lengkap rumah ini.
"Ah! lupa Di ... Udah tunggu di situ, biar, Aa, jemput aja," aku mengakhiri panggilan, karena tak ingin membuang banyak waktu. Tahu sendiri betapa suramnya jalan Loji jika hari sudah mulai gelap.
Bruumm... Brum..
Aku segera meluncur ke depan Gg. Loji, untuk menjemput adikku. Terasa begitu banyak hal yang ingin aku ceritakan padanya, mengingat kami jarang bertemu semenjak aku sering mondar-mandir ke Bogor.
Namun aku terdiam, sesaat mesin kendaraan yang menyala, aku mengedarkan pandang keseluruh penjuru rumah dengan tatapan tajam seakan penuh kekhawatiran.
Kalian boleh menggangguku, tapi tidak untuk adik-ku!
Bruummm ...
Aku menarik pedal Gas, dan melesat meninggalkan rumah Loji.
*****************
Bersambung ...
*****************
Untuk pembaca tercintaku ...
#Note:
Jumlah keseluruhan Chapter ada 46.
Namun aku sedang melakukan
revisi. Jadi, mohon maaf
jika Update sedikit lebih lama. 🙏
-Mohon maaf jika ada tutur kata yang kurang berkenan. 🙏
-Jika kalian suka dengan cerita ini, dukung kami dengan memberikan:
Vote dan komenter yang positif, selama masih ada permintaan,
cerita akan terus aku update.
-Terima kasih telah membaca,
semoga bisa menghibur dan
mengisi kekosongan waktu kalian.
-Sampai berjumpa lagi di-Episode berikutnya. 👋👏 secepat mungkin kami menyelesaikan lanjutannya. Insyaallah.
Diubah oleh wedi 21-09-2024 21:11
sampeuk dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Kutip
Balas