- Beranda
- Stories from the Heart
Akasia And The Secret Door [A2TSD]
...
TS
blank.code
Akasia And The Secret Door [A2TSD]
![Akasia And The Secret Door [A2TSD]](https://s.kaskus.id/images/2024/09/07/2875008_20240907105249.png)
# PROLOGUE -
Jakarta, Juni 2021
Mentari pagi menyusup malu-malu melalui celah ventilasi, membelai lembut kelopak mata Akasia yang masih terlelap. Pemuda berusia dua puluh enam tahun itu, dengan rambut hitam yang menjuntai satu sentimeter di bawah telinga, menggeliat malas. Tangannya meraba-raba, mencari guling di atas kasur lantai berbalut seprai bergambar lambang Juventus. Dengan gerakan lamban, ia menutupi wajahnya, menghalau serbuan cahaya yang kian mengganggu.
Melody ponsel memecah keheningan. "Tang ting tung tang ting tung..." Nada dering itu menggema, seolah menari-nari di sekitar telinga Akasia.
"Cih!" decaknya kesal.
Dengan enggan, Akasia meraih gawai hitamnya. Dari balik guling, ia mengintip layar yang menampilkan dua panggilan tak terjawab dari kontak bernama "Hitler" - julukan untuk manajer divisinya. Jemarinya bergerak cepat, membuka kunci layar, lalu mengaktifkan mode hening. Setelah itu, ponsel itu pun terlempar pelan, mendarat entah di mana.
Entah berapa lama waktu berlalu ketika Akasia akhirnya bangkit. Ia mendudukkan diri, bersandar pada dinding putih kamar berukuran empat kali empat meter persegi itu. Kakinya menyeret ponsel mendekat, lalu jemarinya menekan tombol di sisi kanan atas. Angka digital menunjukkan pukul sepuluh pagi.
Dengan langkah gontai, Akasia menuju wastafel dapur. Ia meraih cairan pembersih wajah, memutar keran, lalu membasuh mukanya yang masih kusut. Sikat gigi menjadi ritual berikutnya. Usai itu, handuk biru tua yang tergantung di sisi kiri wastafel menjadi sasaran untuk mengeringkan wajah dan rambutnya. Bagi Akasia, ini adalah rutinitas pagi yang tak pernah absen. Ia bukan tipe yang gemar mandi pagi; satu kali mandi sehari, sore atau menjelang malam, sudah cukup baginya. Dalam benaknya, ini adalah wujud nyata kepeduliannya terhadap bumi - menghemat penggunaan air.
Setelah berganti pakaian dan menyemprotkan parfum ke sudut-sudut tubuhnya, Akasia beranjak ke dapur sederhana. Ia mengambil gelas bening, mengisinya dengan air dari dispenser, lalu meneguknya perlahan. Matanya tertuju pada poster dua tokoh idolanya: Nikola Tesla dan Einstein.
"Morning, Sir! Have a nice day!" sapanya pada kedua poster itu, mengacungkan gelas yang kini hanya berisi air setinggi ruas jari kelingking. Senyum tipis tersungging di bibirnya sebelum meletakkan gelas itu kembali ke meja dapur.
Langkahnya mantap menuju meja kerja di tengah ruangan, sejajar dengan dua daun jendela berkusen aluminium. Laptop putih dinyalakan, sementara Akasia mendudukkan diri di kursi putar hitam yang empuk. Sambil menunggu sistem operasi memuat, ia berputar 360 derajat, menikmati sensasi kebebasan sesaat. Kabel printer dihubungkan, Microsoft Word dibuka, dan selembar kertas berisi format surat pengunduran diri dicetak. Ya, hari ini adalah hari dimana Akasia memutuskan untuk mengakhiri karirnya di perusahaan telekomunikasi ternama di Jakarta. Itulah alasan di balik bangun siangnya - hanya untuk datang ke kantor terakhir kali, menyerahkan surat resign.
Tiga puluh menit berlalu. Setelah menempuh perjalanan dengan kereta komuter, Akasia tiba di depan gedung kantornya. Namun, perjalanannya belum berakhir. Ruang kerjanya berada di antara lantai 10 hingga 15. Mengenakan kemeja navy polos yang dipadukan dengan celana jeans hitam belel dan sneakers putih berstrip hitam, ia melangkah mantap.
Begitu tiba di lobi lantai 10, pandangan Akasia tertuju pada seorang gadis berparas anggun. Rambut hitamnya yang seleher dengan poni rapi membingkai wajahnya dengan sempurna. Tag nama di seragamnya tertulis "Arini P".
"Psst... psst..." Akasia berbisik, berusaha menarik perhatian Arini yang tengah sibuk menerima panggilan telepon.
Arini tak menggubris. Akasia menunggu dengan sabar hingga rekan kerjanya itu mengakhiri percakapan teleponnya.
"Aka! Lo gila ya? Jam segini baru nongol?" cerca Arini, nada suaranya campuran antara kaget dan geli.
Akasia menanggapi dengan santai, senyum jenaka tersungging di bibirnya. "Santai dong, Rin. Gue ke sini cuma mau nitip ini," ucapnya enteng sambil menyodorkan amplop putih. "Nanti tolong kasih ke mbak Yuni di personalia ya?"
"Nih, sekalian buat lo. Gue nggak lupa kok," lanjutnya, memberikan sebatang cokelat berbungkus biru tua.
Arini menerima amplop dan cokelat itu dengan alis terangkat. "Apaan nih, Ka? Jangan bilang..."
"Udah, kasih aja. Nggak usah nanya-nanya," potong Akasia, masih dengan nada santainya.
Arini membelalakkan mata, paham akan maksud amplop tersebut. "Serius lo, Ka? Duh, berarti nggak ada lagi dong yang suka traktir gue cokelat." godanya, pura-pura sedih.
"Jadi, cuma segitu harga gue di mata lo?" balas Akasia, pura-pura tersinggung.
Keduanya tertawa lepas, mengundang tatapan heran dari orang-orang yang berlalu-lalang di lobi.
"Sukses ya, Ka," ujar Arini setelah tawa mereka mereda. "Ngomong-ngomong, lo mau cabut ke mana sih?"
"Duh, kepo banget sih lo, Rin," Akasia terkekeh. "Nanti gue kabarin deh. Gue chat lo infonya."
"Oke deh, bos!" Arini mengangguk. "Tapi gue sedih beneran lho, Ka."
"Sedih karena nggak ada lagi cowok ganteng di kantor, ya?" goda Akasia, memasang ekspresi narsis.
Arini memutar bola matanya. "Ih, mendadak dari sedih jadi pengen muntah gue!"
Tawa mereka kembali pecah, kali ini lebih keras hingga beberapa orang di sekitar lobi menoleh ke arah mereka.
"Udah ah, gue cabut dulu ya, Rin," kata Akasia, mulai meredakan tawanya. "Gue minta maaf ya, kalo selama di kantor ada salah atau becandaan gue yang kelewatan."
"Aelah, lebay lo. Emangnya gue nggak tau lo gimana?" balas Arini, tersenyum lembut. "Eh, lo nggak mau pamitan sama yang lain di dalam?"
Akasia menggeleng. "Nggak usah deh, ribet. Nanti gue pamitan di grup chat aja."
"Ya udah kalo gitu. Sukses ya, Ka. Sampai ketemu di luar sana kapan-kapan."
Akasia mengangguk, tersenyum tulus pada Arini sebelum berbalik menuju lift. Di dalam lift, ia mengeluarkan ponselnya, mengetik beberapa kalimat perpisahan yang terkesan klise di grup chat kantor. Jemarinya lalu bergerak cepat, memilih untuk keluar dari grup tersebut.
Begitu pintu lift terbuka di lantai dasar, Akasia melangkah keluar dengan perlahan. Gawainya dinonaktifkan; ia paham betul bahwa keputusannya yang mendadak pasti akan memancing banjir pertanyaan dari rekan kerja dan atasan. Namun, ia tak berminat menjawabnya saat ini. Di luar gedung, ia menghirup udara dalam-dalam, seolah menyesap kebebasan yang baru saja diraihnya, sebelum memanggil tukang ojek untuk mengantarnya ke stasiun komuter terdekat.
Stasiun Gondangdia menjadi perhentian berikutnya. Setelah membayar ongkos ojek, Akasia melangkah masuk, mengetapkan kartu elektronik berlogo KRL yang terselip di bagian belakang casing ponselnya. Lima menit menunggu, dan kereta tujuannya tiba. Decit roda baja yang beradu dengan rel cumiakkan telinga sebelum akhirnya melambat dan berhenti tepat di hadapannya.
Di dalam gerbong yang lengang, Akasia memilih duduk di bangku kosong. Earphone wireless dan iPod hitam dikeluarkan dari tas katun abu-abunya. Tak lama kemudian, intro lagu "Fake Plastic Trees" milik Radiohead mengalun, meredam suara-suara di sekitarnya. Siang itu, suasana gerbong tampak sepi. Hanya ada dua anak lelaki berseragam SMP dan seorang wanita paruh baya yang memeluk kantong plastik putih.
Bersandar dengan kedua tangan sebagai tumpuan di belakang kepala, Akasia memejamkan mata. Seketika, kenangan-kenangan selama bekerja berkelebat dalam benaknya. Teman-teman dan rekan kerjanya tak pernah tahu bahwa keputusan untuk mengundurkan diri ini telah ia rencanakan jauh-jauh hari, tepatnya empat bulan lalu.
Keputusan besar ini, salah satunya, dipicu oleh sebuah peristiwa yang ia saksikan suatu malam. Sebagai seorang yang ahli dalam piranti komputer, ia tak sengaja menemukan sebuah file terenkripsi. Setelah melalui proses rumit, file tersebut akhirnya terbuka. Namun, alangkah terkejutnya Akasia saat melihat isinya: sebuah video berdurasi dua menit dan satu paragraf tulisan berformat .txt. Penemuan ini membentuk jurang penasaran yang begitu dalam di pikiran serta hatinya, sekaligus menjadi titik awal dari kisah yang akan mengubah hidupnya selamanya.
Mentari pagi menyusup malu-malu melalui celah ventilasi, membelai lembut kelopak mata Akasia yang masih terlelap. Pemuda berusia dua puluh enam tahun itu, dengan rambut hitam yang menjuntai satu sentimeter di bawah telinga, menggeliat malas. Tangannya meraba-raba, mencari guling di atas kasur lantai berbalut seprai bergambar lambang Juventus. Dengan gerakan lamban, ia menutupi wajahnya, menghalau serbuan cahaya yang kian mengganggu.
Melody ponsel memecah keheningan. "Tang ting tung tang ting tung..." Nada dering itu menggema, seolah menari-nari di sekitar telinga Akasia.
"Cih!" decaknya kesal.
Dengan enggan, Akasia meraih gawai hitamnya. Dari balik guling, ia mengintip layar yang menampilkan dua panggilan tak terjawab dari kontak bernama "Hitler" - julukan untuk manajer divisinya. Jemarinya bergerak cepat, membuka kunci layar, lalu mengaktifkan mode hening. Setelah itu, ponsel itu pun terlempar pelan, mendarat entah di mana.
Entah berapa lama waktu berlalu ketika Akasia akhirnya bangkit. Ia mendudukkan diri, bersandar pada dinding putih kamar berukuran empat kali empat meter persegi itu. Kakinya menyeret ponsel mendekat, lalu jemarinya menekan tombol di sisi kanan atas. Angka digital menunjukkan pukul sepuluh pagi.
Dengan langkah gontai, Akasia menuju wastafel dapur. Ia meraih cairan pembersih wajah, memutar keran, lalu membasuh mukanya yang masih kusut. Sikat gigi menjadi ritual berikutnya. Usai itu, handuk biru tua yang tergantung di sisi kiri wastafel menjadi sasaran untuk mengeringkan wajah dan rambutnya. Bagi Akasia, ini adalah rutinitas pagi yang tak pernah absen. Ia bukan tipe yang gemar mandi pagi; satu kali mandi sehari, sore atau menjelang malam, sudah cukup baginya. Dalam benaknya, ini adalah wujud nyata kepeduliannya terhadap bumi - menghemat penggunaan air.
Setelah berganti pakaian dan menyemprotkan parfum ke sudut-sudut tubuhnya, Akasia beranjak ke dapur sederhana. Ia mengambil gelas bening, mengisinya dengan air dari dispenser, lalu meneguknya perlahan. Matanya tertuju pada poster dua tokoh idolanya: Nikola Tesla dan Einstein.
"Morning, Sir! Have a nice day!" sapanya pada kedua poster itu, mengacungkan gelas yang kini hanya berisi air setinggi ruas jari kelingking. Senyum tipis tersungging di bibirnya sebelum meletakkan gelas itu kembali ke meja dapur.
Langkahnya mantap menuju meja kerja di tengah ruangan, sejajar dengan dua daun jendela berkusen aluminium. Laptop putih dinyalakan, sementara Akasia mendudukkan diri di kursi putar hitam yang empuk. Sambil menunggu sistem operasi memuat, ia berputar 360 derajat, menikmati sensasi kebebasan sesaat. Kabel printer dihubungkan, Microsoft Word dibuka, dan selembar kertas berisi format surat pengunduran diri dicetak. Ya, hari ini adalah hari dimana Akasia memutuskan untuk mengakhiri karirnya di perusahaan telekomunikasi ternama di Jakarta. Itulah alasan di balik bangun siangnya - hanya untuk datang ke kantor terakhir kali, menyerahkan surat resign.
Tiga puluh menit berlalu. Setelah menempuh perjalanan dengan kereta komuter, Akasia tiba di depan gedung kantornya. Namun, perjalanannya belum berakhir. Ruang kerjanya berada di antara lantai 10 hingga 15. Mengenakan kemeja navy polos yang dipadukan dengan celana jeans hitam belel dan sneakers putih berstrip hitam, ia melangkah mantap.
Begitu tiba di lobi lantai 10, pandangan Akasia tertuju pada seorang gadis berparas anggun. Rambut hitamnya yang seleher dengan poni rapi membingkai wajahnya dengan sempurna. Tag nama di seragamnya tertulis "Arini P".
"Psst... psst..." Akasia berbisik, berusaha menarik perhatian Arini yang tengah sibuk menerima panggilan telepon.
Arini tak menggubris. Akasia menunggu dengan sabar hingga rekan kerjanya itu mengakhiri percakapan teleponnya.
"Aka! Lo gila ya? Jam segini baru nongol?" cerca Arini, nada suaranya campuran antara kaget dan geli.
Akasia menanggapi dengan santai, senyum jenaka tersungging di bibirnya. "Santai dong, Rin. Gue ke sini cuma mau nitip ini," ucapnya enteng sambil menyodorkan amplop putih. "Nanti tolong kasih ke mbak Yuni di personalia ya?"
"Nih, sekalian buat lo. Gue nggak lupa kok," lanjutnya, memberikan sebatang cokelat berbungkus biru tua.
Arini menerima amplop dan cokelat itu dengan alis terangkat. "Apaan nih, Ka? Jangan bilang..."
"Udah, kasih aja. Nggak usah nanya-nanya," potong Akasia, masih dengan nada santainya.
Arini membelalakkan mata, paham akan maksud amplop tersebut. "Serius lo, Ka? Duh, berarti nggak ada lagi dong yang suka traktir gue cokelat." godanya, pura-pura sedih.
"Jadi, cuma segitu harga gue di mata lo?" balas Akasia, pura-pura tersinggung.
Keduanya tertawa lepas, mengundang tatapan heran dari orang-orang yang berlalu-lalang di lobi.
"Sukses ya, Ka," ujar Arini setelah tawa mereka mereda. "Ngomong-ngomong, lo mau cabut ke mana sih?"
"Duh, kepo banget sih lo, Rin," Akasia terkekeh. "Nanti gue kabarin deh. Gue chat lo infonya."
"Oke deh, bos!" Arini mengangguk. "Tapi gue sedih beneran lho, Ka."
"Sedih karena nggak ada lagi cowok ganteng di kantor, ya?" goda Akasia, memasang ekspresi narsis.
Arini memutar bola matanya. "Ih, mendadak dari sedih jadi pengen muntah gue!"
Tawa mereka kembali pecah, kali ini lebih keras hingga beberapa orang di sekitar lobi menoleh ke arah mereka.
"Udah ah, gue cabut dulu ya, Rin," kata Akasia, mulai meredakan tawanya. "Gue minta maaf ya, kalo selama di kantor ada salah atau becandaan gue yang kelewatan."
"Aelah, lebay lo. Emangnya gue nggak tau lo gimana?" balas Arini, tersenyum lembut. "Eh, lo nggak mau pamitan sama yang lain di dalam?"
Akasia menggeleng. "Nggak usah deh, ribet. Nanti gue pamitan di grup chat aja."
"Ya udah kalo gitu. Sukses ya, Ka. Sampai ketemu di luar sana kapan-kapan."
Akasia mengangguk, tersenyum tulus pada Arini sebelum berbalik menuju lift. Di dalam lift, ia mengeluarkan ponselnya, mengetik beberapa kalimat perpisahan yang terkesan klise di grup chat kantor. Jemarinya lalu bergerak cepat, memilih untuk keluar dari grup tersebut.
Begitu pintu lift terbuka di lantai dasar, Akasia melangkah keluar dengan perlahan. Gawainya dinonaktifkan; ia paham betul bahwa keputusannya yang mendadak pasti akan memancing banjir pertanyaan dari rekan kerja dan atasan. Namun, ia tak berminat menjawabnya saat ini. Di luar gedung, ia menghirup udara dalam-dalam, seolah menyesap kebebasan yang baru saja diraihnya, sebelum memanggil tukang ojek untuk mengantarnya ke stasiun komuter terdekat.
Stasiun Gondangdia menjadi perhentian berikutnya. Setelah membayar ongkos ojek, Akasia melangkah masuk, mengetapkan kartu elektronik berlogo KRL yang terselip di bagian belakang casing ponselnya. Lima menit menunggu, dan kereta tujuannya tiba. Decit roda baja yang beradu dengan rel cumiakkan telinga sebelum akhirnya melambat dan berhenti tepat di hadapannya.
Di dalam gerbong yang lengang, Akasia memilih duduk di bangku kosong. Earphone wireless dan iPod hitam dikeluarkan dari tas katun abu-abunya. Tak lama kemudian, intro lagu "Fake Plastic Trees" milik Radiohead mengalun, meredam suara-suara di sekitarnya. Siang itu, suasana gerbong tampak sepi. Hanya ada dua anak lelaki berseragam SMP dan seorang wanita paruh baya yang memeluk kantong plastik putih.
Bersandar dengan kedua tangan sebagai tumpuan di belakang kepala, Akasia memejamkan mata. Seketika, kenangan-kenangan selama bekerja berkelebat dalam benaknya. Teman-teman dan rekan kerjanya tak pernah tahu bahwa keputusan untuk mengundurkan diri ini telah ia rencanakan jauh-jauh hari, tepatnya empat bulan lalu.
Keputusan besar ini, salah satunya, dipicu oleh sebuah peristiwa yang ia saksikan suatu malam. Sebagai seorang yang ahli dalam piranti komputer, ia tak sengaja menemukan sebuah file terenkripsi. Setelah melalui proses rumit, file tersebut akhirnya terbuka. Namun, alangkah terkejutnya Akasia saat melihat isinya: sebuah video berdurasi dua menit dan satu paragraf tulisan berformat .txt. Penemuan ini membentuk jurang penasaran yang begitu dalam di pikiran serta hatinya, sekaligus menjadi titik awal dari kisah yang akan mengubah hidupnya selamanya.
And 
Diubah oleh blank.code 07-09-2024 10:53
ikcaerma711 dan 10 lainnya memberi reputasi
9
3.6K
53
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
blank.code
#21
(AKASIA AND THE SECRET DOOR)
# Bagian Empat
Beberapa waktu lalu sebelum pendakian.
Malam telah merambat naik di atas kota Jakarta, menyelimuti setiap sudut dengan kesunyian yang menyesakkan. Kamar kost Akasia terasa seperti penjara, dengan dinding-dinding yang seakan semakin menyempit setiap kali ia mencoba meraih ketenangan. Pijar redup dari lampu biru yang menggantung di langit-langit hanya mampu memberikan secercah cahaya yang samar, beradu dengan bayang-bayang gelap yang menyelubungi ruangan. Detak jam dinding terdengar seperti detak jantung yang lelah, menyeret waktu ke dalam jurang ketidakpastian.
Di meja kayu yang penuh dengan tumpukan kertas, Akasia duduk dengan tubuh yang terasa semakin berat oleh beban misteri yang ia pikul. Mata lelahnya masih terpaku pada layar laptop yang memancarkan cahaya dingin, membawa serta cerita dari dunia yang tidak ia kenal sebelumnya. Dunia yang gelap dan misterius, penuh dengan teka-teki yang seakan memanggilnya untuk menyelami lebih dalam, meski setiap langkah membawanya lebih jauh dari kenyataan.
Di antara tumpukan kertas yang berserakan, satu file telah menarik perhatiannya lebih dari yang lain. File itu ia dapatkan setelah menjelajah Black Web, sebuah sudut gelap dari dunia maya yang hanya diketahui oleh segelintir orang. Di sana, para peretas dari berbagai belahan dunia berkumpul, berbagi rahasia yang tidak pernah terungkap ke permukaan. Akasia telah berjuang selama dua hari penuh untuk memecahkan enkripsi yang melindungi file tersebut, dan ketika akhirnya ia berhasil membukanya, yang ia temukan bukan hanya sekadar informasi biasa.
Di dalam file tersebut, terdapat sebuah video pendek berdurasi kurang dari dua menit, serta gambar sebuah prasasti yang terbuat dari kulit hewan. Prasasti itu memuat naskah kuno yang ditulis dalam bahasa Aram, bahasa yang sudah lama terlupakan oleh peradaban modern. Akasia memandang prasasti itu dengan takjub, seakan-akan ia tengah melihat ke dalam masa lalu yang jauh, masa lalu yang penuh dengan misteri dan rahasia yang belum terungkap.
Video itu sendiri dimulai dengan seorang pria muda yang merekam dirinya dengan kamera depan ponsel. Pria itu berbicara dengan aksen Latin yang khas, dan meskipun Akasia awalnya kesulitan memahami kata-katanya, ia segera menyadari bahwa pria itu berbicara dalam bahasa Brazil. "Pergi! Pergilah sejauh mungkin jika kamu melihat ini, dan jangan pernah percaya siapapun. Karena dimanapun kamu berada setelah ini, kamu tidak akan pernah aman lagi! Jangan berusaha mencari tahu apapun tentang ini, pergi!" kata pria itu dengan nada panik yang membuat bulu kuduk Akasia meremang.
Awalnya, Akasia hanya terkekeh pelan. Bagaimana mungkin sebuah video seperti ini bisa dianggap serius? Namun, tawa kecilnya segera hilang ketika video itu memperlihatkan seorang lelaki paruh baya yang jatuh ditikam belati. Darah merah menyembur keluar dari tubuh pria itu, membasahi tanah di bawahnya. Adegan itu begitu nyata, begitu brutal, hingga Akasia merasa mual. Pria yang merekam kejadian itu berlari, kamera bergetar mengikuti langkah kakinya yang tergesa-gesa. Di kejauhan, seorang pria berseragam militer mengejarnya, dan video itu berakhir dengan gambar mulut gua yang gelap, seakan menjadi pintu gerbang menuju kegelapan abadi.
Akasia terdiam sejenak, mencerna apa yang baru saja ia lihat. Jika ini hanya lelucon, mengapa filenya dienkripsi dengan begitu rumit? Dan darah yang mengucur itu, bukan darah palsu dari efek khusus murahan, tapi darah yang nyata, yang mengalir dengan beratnya kehidupan yang direnggut. Pikirannya mulai berputar, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang terus mengganggunya.
Rasa penasaran yang membara dalam diri Akasia menuntunnya untuk terus menggali lebih dalam. Prasasti kuno yang ia temukan dalam file itu adalah kunci, dan setelah berhari-hari mencoba mengartikan tulisan-tulisan yang hampir terlupakan, ia akhirnya berhasil memecahkan sebagian dari misteri tersebut. Tulisan itu berbicara tentang dunia dan kefanaan, tentang bagaimana segala sesuatu di dunia ini saling terhubung dalam keseimbangan yang rapuh. Semakin dalam seseorang masuk ke dalam misteri ini, semakin ia akan menyadari bahwa apa yang tampak di permukaan hanyalah ilusi, dan yang nyata tersembunyi di balik tabir pikiran yang samar.
Empat bulan telah berlalu sejak hari itu, dan kini Akasia telah mengumpulkan cukup banyak informasi untuk mulai melihat gambaran besar dari semua ini. Potongan-potongan informasi yang sebelumnya terasa terpisah, kini mulai menyatu seperti potongan puzzle yang tersusun dengan sempurna. Salah satu dari potongan puzzle itu adalah artikel yang merujuk pada kisah dari masa Sulaiman AS, seorang nabi yang dikenal Akasia hanya melalui cerita-cerita dari sekolah dasar. Namun, artikel itu membuka pintu menuju pemahaman yang lebih dalam, pemahaman tentang kekuatan-kekuatan yang melampaui nalar manusia.
Dalam artikel itu, disebutkan bahwa Sulaiman AS memiliki pengikut dari kalangan manusia dan jin, dan di antara mereka, ada seorang pria bernama Asif Bin Barkhiya. Pria ini, dalam sekejap mata, mampu memindahkan istana Ratu Balqis dari negeri yang jauh ke hadapan Sulaiman AS, bukan dengan sihir, tetapi dengan pengetahuan dan hikmah yang diberikan oleh Sang Maha Kuasa. Akasia tersentak ketika menyadari bahwa Asif Bin Barkhiya mungkin adalah manusia pertama yang dianugerahi kemampuan teleportasi, sebuah kemampuan yang melampaui batas-batas dunia fisik yang kita kenal.
Pengetahuan ini, meski mengejutkan, hanyalah permulaan. Akasia terus menggali lebih dalam, menemukan lebih banyak artikel yang membahas tentang teori-teori kuantum, eksperimen Double-Slit, dan bahkan sebuah rahasia yang "hilang" dari pertemuan para fisikawan di Brussel pada tahun 1927. Pertemuan itu, yang melahirkan perdebatan antara Einstein dan Niels Bohr, menyimpan kunci-kunci untuk memahami anomali yang tersembunyi di dunia ini.
Di antara tumpukan kertas yang berserakan di meja kerjanya, Akasia menemukan sebuah peta kuno yang berbeda dari peta dunia yang biasa ia lihat. Peta itu tampak jauh lebih tua, dengan garis-garis yang sudah mulai pudar, tetapi masih jelas menunjukkan beberapa titik merah yang tersebar di seluruh dunia. Ada tiga puluh tiga titik merah, dan sembilan di antaranya berada di Indonesia. Satu titik khusus menarik perhatian Akasia, titik yang berada tidak jauh dari Gunung Ciremai, tempat asalnya. Hanya satu jam perjalanan dengan kendaraan bermotor.
Peta itu bukan sekadar peta, tetapi sebuah penuntun menuju sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang telah tersembunyi selama berabad-abad. Akasia merasakan dorongan yang kuat untuk kembali ke tempat asalnya, bukan untuk sekadar reuni dengan teman-teman sekolah, tetapi untuk menemukan kebenaran yang tersembunyi di balik titik merah di peta itu. Takdir seakan-akan telah menuntunnya ke titik ini, dan Akasia tahu bahwa ia tidak bisa lagi mengabaikan panggilan ini.
Malam semakin larut, dan keheningan semakin dalam. Akasia menyesap kopi hitamnya yang mulai hangat, mencoba menenangkan pikiran yang terus berputar. Matanya beralih ke gawai di sisi meja, dan dengan ibu jari yang gemetar, ia membuka aplikasi pesan. Setelah mencari nama Riri di daftar kontak, ia mengirimkan sebuah gambar tiket kereta yang telah ia pesan secara online. Tak lama kemudian, sebuah balasan masuk, menghentikan aliran waktu yang terasa lambat.
"Besok jadi balik, Ka? Oke, gue jemput di stasiun ya besok?" suara Riri seakan terdengar di telinga Akasia, meski hanya melalui layar kecil di genggamannya.
Akasia tersenyum, meski senyum itu tidak sepenuhnya cerah. "Iya, besok fix. Makasih ya, gak ngerepotin?"
"Sans aja, bestie. Wisuda adik gue masih beberapa hari lagi kok."
Percakapan itu berlanjut, ringan namun penuh makna. Di balik kata-kata yang tampak sederhana, terselip rasa rindu yang mendalam, kerinduan pada persahabatan yang telah teruji oleh waktu. Akasia menutup percakapan dengan sebuah senyuman yang samar, sebelum matanya tertuju pada buku kenangan SMP yang tergeletak di meja. Buku itu penuh dengan kenangan, tetapi ada satu foto yang menarik perhatian Akasia lebih dari yang lain. Foto Riri, sahabat yang selalu ada di saat-saat tersulit dalam hidupnya.
Riri, dengan senyum yang cerah dan mata yang penuh semangat, selalu mampu membuat Akasia merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, di balik senyum itu, Akasia tahu bahwa Riri adalah sosok yang kompleks, seseorang yang tampak kuat di luar tetapi menyimpan kelembutan dan kerapuhan di dalam. Mereka telah melalui banyak hal bersama, dan meskipun banyak yang mengatakan bahwa persahabatan antara laki-laki dan perempuan tidak mungkin tanpa perasaan lebih, Akasia dan Riri membuktikan bahwa ada hubungan yang lebih dalam dari sekadar cinta romantis.
Di bawah foto itu, tertulis sebuah kalimat yang membuat Akasia terdiam sejenak, Sederet kata mutiara yang biasanya tersemat di buku kenangan sekolah. “Semua kenang kelak akan lekat di kening; kebersamaan adalah cerita yang lahir dan tumbuh bersama waktu, dan bagian terbaik dari itu semua adalah kita pernah terikat oleh sebuah takdir.” Kalimat itu, meski sederhana, mengandung kebenaran yang dalam, kebenaran yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang telah melalui perjalanan panjang bersama.
Akasia menutup buku kenangan itu dengan perlahan, menyadari bahwa perjalanan hidupnya telah membawanya kembali ke titik awal, namun dengan pemahaman yang jauh lebih dalam. Esok, ia akan kembali ke tempat asalnya, bukan hanya untuk reuni, tetapi untuk menemukan kebenaran yang telah lama tersembunyi. Dan di sana, di bawah bayang-bayang Gunung Ciremai, Akasia tahu bahwa ia akan menemukan lebih dari sekadar jawaban atas pertanyaannya, tetapi juga bagian dari dirinya yang telah hilang selama ini.
Malam telah merambat naik di atas kota Jakarta, menyelimuti setiap sudut dengan kesunyian yang menyesakkan. Kamar kost Akasia terasa seperti penjara, dengan dinding-dinding yang seakan semakin menyempit setiap kali ia mencoba meraih ketenangan. Pijar redup dari lampu biru yang menggantung di langit-langit hanya mampu memberikan secercah cahaya yang samar, beradu dengan bayang-bayang gelap yang menyelubungi ruangan. Detak jam dinding terdengar seperti detak jantung yang lelah, menyeret waktu ke dalam jurang ketidakpastian.
Di meja kayu yang penuh dengan tumpukan kertas, Akasia duduk dengan tubuh yang terasa semakin berat oleh beban misteri yang ia pikul. Mata lelahnya masih terpaku pada layar laptop yang memancarkan cahaya dingin, membawa serta cerita dari dunia yang tidak ia kenal sebelumnya. Dunia yang gelap dan misterius, penuh dengan teka-teki yang seakan memanggilnya untuk menyelami lebih dalam, meski setiap langkah membawanya lebih jauh dari kenyataan.
Di antara tumpukan kertas yang berserakan, satu file telah menarik perhatiannya lebih dari yang lain. File itu ia dapatkan setelah menjelajah Black Web, sebuah sudut gelap dari dunia maya yang hanya diketahui oleh segelintir orang. Di sana, para peretas dari berbagai belahan dunia berkumpul, berbagi rahasia yang tidak pernah terungkap ke permukaan. Akasia telah berjuang selama dua hari penuh untuk memecahkan enkripsi yang melindungi file tersebut, dan ketika akhirnya ia berhasil membukanya, yang ia temukan bukan hanya sekadar informasi biasa.
Di dalam file tersebut, terdapat sebuah video pendek berdurasi kurang dari dua menit, serta gambar sebuah prasasti yang terbuat dari kulit hewan. Prasasti itu memuat naskah kuno yang ditulis dalam bahasa Aram, bahasa yang sudah lama terlupakan oleh peradaban modern. Akasia memandang prasasti itu dengan takjub, seakan-akan ia tengah melihat ke dalam masa lalu yang jauh, masa lalu yang penuh dengan misteri dan rahasia yang belum terungkap.
Video itu sendiri dimulai dengan seorang pria muda yang merekam dirinya dengan kamera depan ponsel. Pria itu berbicara dengan aksen Latin yang khas, dan meskipun Akasia awalnya kesulitan memahami kata-katanya, ia segera menyadari bahwa pria itu berbicara dalam bahasa Brazil. "Pergi! Pergilah sejauh mungkin jika kamu melihat ini, dan jangan pernah percaya siapapun. Karena dimanapun kamu berada setelah ini, kamu tidak akan pernah aman lagi! Jangan berusaha mencari tahu apapun tentang ini, pergi!" kata pria itu dengan nada panik yang membuat bulu kuduk Akasia meremang.
Awalnya, Akasia hanya terkekeh pelan. Bagaimana mungkin sebuah video seperti ini bisa dianggap serius? Namun, tawa kecilnya segera hilang ketika video itu memperlihatkan seorang lelaki paruh baya yang jatuh ditikam belati. Darah merah menyembur keluar dari tubuh pria itu, membasahi tanah di bawahnya. Adegan itu begitu nyata, begitu brutal, hingga Akasia merasa mual. Pria yang merekam kejadian itu berlari, kamera bergetar mengikuti langkah kakinya yang tergesa-gesa. Di kejauhan, seorang pria berseragam militer mengejarnya, dan video itu berakhir dengan gambar mulut gua yang gelap, seakan menjadi pintu gerbang menuju kegelapan abadi.
Akasia terdiam sejenak, mencerna apa yang baru saja ia lihat. Jika ini hanya lelucon, mengapa filenya dienkripsi dengan begitu rumit? Dan darah yang mengucur itu, bukan darah palsu dari efek khusus murahan, tapi darah yang nyata, yang mengalir dengan beratnya kehidupan yang direnggut. Pikirannya mulai berputar, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang terus mengganggunya.
Rasa penasaran yang membara dalam diri Akasia menuntunnya untuk terus menggali lebih dalam. Prasasti kuno yang ia temukan dalam file itu adalah kunci, dan setelah berhari-hari mencoba mengartikan tulisan-tulisan yang hampir terlupakan, ia akhirnya berhasil memecahkan sebagian dari misteri tersebut. Tulisan itu berbicara tentang dunia dan kefanaan, tentang bagaimana segala sesuatu di dunia ini saling terhubung dalam keseimbangan yang rapuh. Semakin dalam seseorang masuk ke dalam misteri ini, semakin ia akan menyadari bahwa apa yang tampak di permukaan hanyalah ilusi, dan yang nyata tersembunyi di balik tabir pikiran yang samar.
Empat bulan telah berlalu sejak hari itu, dan kini Akasia telah mengumpulkan cukup banyak informasi untuk mulai melihat gambaran besar dari semua ini. Potongan-potongan informasi yang sebelumnya terasa terpisah, kini mulai menyatu seperti potongan puzzle yang tersusun dengan sempurna. Salah satu dari potongan puzzle itu adalah artikel yang merujuk pada kisah dari masa Sulaiman AS, seorang nabi yang dikenal Akasia hanya melalui cerita-cerita dari sekolah dasar. Namun, artikel itu membuka pintu menuju pemahaman yang lebih dalam, pemahaman tentang kekuatan-kekuatan yang melampaui nalar manusia.
Dalam artikel itu, disebutkan bahwa Sulaiman AS memiliki pengikut dari kalangan manusia dan jin, dan di antara mereka, ada seorang pria bernama Asif Bin Barkhiya. Pria ini, dalam sekejap mata, mampu memindahkan istana Ratu Balqis dari negeri yang jauh ke hadapan Sulaiman AS, bukan dengan sihir, tetapi dengan pengetahuan dan hikmah yang diberikan oleh Sang Maha Kuasa. Akasia tersentak ketika menyadari bahwa Asif Bin Barkhiya mungkin adalah manusia pertama yang dianugerahi kemampuan teleportasi, sebuah kemampuan yang melampaui batas-batas dunia fisik yang kita kenal.
Pengetahuan ini, meski mengejutkan, hanyalah permulaan. Akasia terus menggali lebih dalam, menemukan lebih banyak artikel yang membahas tentang teori-teori kuantum, eksperimen Double-Slit, dan bahkan sebuah rahasia yang "hilang" dari pertemuan para fisikawan di Brussel pada tahun 1927. Pertemuan itu, yang melahirkan perdebatan antara Einstein dan Niels Bohr, menyimpan kunci-kunci untuk memahami anomali yang tersembunyi di dunia ini.
Di antara tumpukan kertas yang berserakan di meja kerjanya, Akasia menemukan sebuah peta kuno yang berbeda dari peta dunia yang biasa ia lihat. Peta itu tampak jauh lebih tua, dengan garis-garis yang sudah mulai pudar, tetapi masih jelas menunjukkan beberapa titik merah yang tersebar di seluruh dunia. Ada tiga puluh tiga titik merah, dan sembilan di antaranya berada di Indonesia. Satu titik khusus menarik perhatian Akasia, titik yang berada tidak jauh dari Gunung Ciremai, tempat asalnya. Hanya satu jam perjalanan dengan kendaraan bermotor.
Peta itu bukan sekadar peta, tetapi sebuah penuntun menuju sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang telah tersembunyi selama berabad-abad. Akasia merasakan dorongan yang kuat untuk kembali ke tempat asalnya, bukan untuk sekadar reuni dengan teman-teman sekolah, tetapi untuk menemukan kebenaran yang tersembunyi di balik titik merah di peta itu. Takdir seakan-akan telah menuntunnya ke titik ini, dan Akasia tahu bahwa ia tidak bisa lagi mengabaikan panggilan ini.
Malam semakin larut, dan keheningan semakin dalam. Akasia menyesap kopi hitamnya yang mulai hangat, mencoba menenangkan pikiran yang terus berputar. Matanya beralih ke gawai di sisi meja, dan dengan ibu jari yang gemetar, ia membuka aplikasi pesan. Setelah mencari nama Riri di daftar kontak, ia mengirimkan sebuah gambar tiket kereta yang telah ia pesan secara online. Tak lama kemudian, sebuah balasan masuk, menghentikan aliran waktu yang terasa lambat.
"Besok jadi balik, Ka? Oke, gue jemput di stasiun ya besok?" suara Riri seakan terdengar di telinga Akasia, meski hanya melalui layar kecil di genggamannya.
Akasia tersenyum, meski senyum itu tidak sepenuhnya cerah. "Iya, besok fix. Makasih ya, gak ngerepotin?"
"Sans aja, bestie. Wisuda adik gue masih beberapa hari lagi kok."
Percakapan itu berlanjut, ringan namun penuh makna. Di balik kata-kata yang tampak sederhana, terselip rasa rindu yang mendalam, kerinduan pada persahabatan yang telah teruji oleh waktu. Akasia menutup percakapan dengan sebuah senyuman yang samar, sebelum matanya tertuju pada buku kenangan SMP yang tergeletak di meja. Buku itu penuh dengan kenangan, tetapi ada satu foto yang menarik perhatian Akasia lebih dari yang lain. Foto Riri, sahabat yang selalu ada di saat-saat tersulit dalam hidupnya.
Riri, dengan senyum yang cerah dan mata yang penuh semangat, selalu mampu membuat Akasia merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, di balik senyum itu, Akasia tahu bahwa Riri adalah sosok yang kompleks, seseorang yang tampak kuat di luar tetapi menyimpan kelembutan dan kerapuhan di dalam. Mereka telah melalui banyak hal bersama, dan meskipun banyak yang mengatakan bahwa persahabatan antara laki-laki dan perempuan tidak mungkin tanpa perasaan lebih, Akasia dan Riri membuktikan bahwa ada hubungan yang lebih dalam dari sekadar cinta romantis.
Di bawah foto itu, tertulis sebuah kalimat yang membuat Akasia terdiam sejenak, Sederet kata mutiara yang biasanya tersemat di buku kenangan sekolah. “Semua kenang kelak akan lekat di kening; kebersamaan adalah cerita yang lahir dan tumbuh bersama waktu, dan bagian terbaik dari itu semua adalah kita pernah terikat oleh sebuah takdir.” Kalimat itu, meski sederhana, mengandung kebenaran yang dalam, kebenaran yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang telah melalui perjalanan panjang bersama.
Akasia menutup buku kenangan itu dengan perlahan, menyadari bahwa perjalanan hidupnya telah membawanya kembali ke titik awal, namun dengan pemahaman yang jauh lebih dalam. Esok, ia akan kembali ke tempat asalnya, bukan hanya untuk reuni, tetapi untuk menemukan kebenaran yang telah lama tersembunyi. Dan di sana, di bawah bayang-bayang Gunung Ciremai, Akasia tahu bahwa ia akan menemukan lebih dari sekadar jawaban atas pertanyaannya, tetapi juga bagian dari dirinya yang telah hilang selama ini.
Diubah oleh blank.code 03-09-2024 02:12
itkgid dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Tutup