- Beranda
- Stories from the Heart
Dalam Dekapan Kabut
...
TS
meta.morfosis
Dalam Dekapan Kabut

Izinkan saya kembali bercerita tentang sebuah kejadian di masa lalu
dalam dekapan kabut, aku terhangatkan oleh kalimat cintamu, kalimat sederhana penuh makna yang terucap diantara hamparan bunga bunga edelweis yang menjadi simbol keabadian...
Chapter :
Chapter :
DDK - Chapter 1
DDK - Chapter 2
DDK - Chapter 3
DDK - Chapter 4
DDK - Chapter 5
DDK - Chapter 6
DDK - Chapter 7
DDK - Chapter 8
DDK - Chapter 9
DDK - Chapter 10
DDK - Chapter 11
DDK - Chapter 12
DDK - Chapter 13
DDK - Chapter 14
DDK - Chapter 15
DDK - Chapter 16
Diubah oleh meta.morfosis 03-09-2024 12:35
indrag057 dan 13 lainnya memberi reputasi
14
1.8K
48
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
meta.morfosis
#20
Chapter 12
Mimpi Anindia
Mimpi Anindia
“ apa mungkin sob, bapaknya sanusi itu kembali ke bapak angkatnya ? ”
“ entahlah pang bisa jadi seperti itu tapi yang pasti selepas dari menghilangnya bapaknya sanusi, warga kampung di kampung tetangga kita itu enggak mau mempunyai permasalahan dengan sanusi dan hal itu kini telah membuat sanusi merasa bebas untuk melakukan apapun yang dia mau ”
Bijaksana, sepertinya hanya kata itulah yang tepat untuk aku terapkan kepada diriku ini selepas dari informasi yang telah aku dapatkan dari sobari, rasa kebencianku kepada sanusi karena aku menduga sanusi adalah tersangka utama dari kehamilan anti kini sebisa mungkin akan aku kendalikan agar aku terhindar dari hal hal yang tidak aku inginkan dan kini dikarenakan hari telah beranjak semakin siang, aku memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan ini.
Suara deru dari mesin mesin produksi yang berada di ruangan tempatku bekerja terdengar diantara suara hiruk pikuk buruh yang tengah tersibukan oleh aktifitasnya masing masing, mendapati saat ini waktu telah menunjukan pukul empat sore hari, aku yang pada awalnya masih tersibukan oleh pekerjaan beratku kini mulai mengalihkan kesibukanku ini pada pekerjaan yang lebih ringan, diantara aktifitasku yang saat ini tengah merapihkan kardus kardus yang akan dipergunakan untuk menampung barang barang hasil produksi, seorang rekan kerjaku yang bernama satya menghampiriku lalu memberikan amplop berisikan uang yang ternyata adalah uang yang diperuntukan bagi keluargaku yang saat ini tengah dalam keadaan berduka.
“ yaa ampun sat, kalian itu mengetahui dari mana kalau keluargaku itu tengah dalam keadaan berduka ? ”
“ dari rekan kerja kita pang yang tinggalnya itu enggak jauh dari perkampunganmu itu ” aku terdiam, terlihat saat ini satya menduduki kursi kosong yang bersebelahan dengan kursi yang aku duduki.
Cukup lama juga aku dan satya terlibat dalam perbincangan yang membahas tentang seputar dunia kerja, menyadari saat ini waktu telah menunjukan pukul lima sore hari, aku langsung bergegas merapihkan tasku lalu beranjak pergi meninggalkan ruangan tempaku berkerja, dalam posisiku yang saat ini telah berada di parkiran motor, kebimbanganku untuk menentukan apakah saat ini aku harus pulang ataukah aku harus mengikuti perkuliahanku yang dalam beberapa hari ini telah aku tinggalkan kini telah membuatku terdiam untuk beberapa saat dan pada akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti perkuliahan.
“ astaga pang, wajahmu itu kenapa ? ” tanya ida menyambut kehadiranku yang saat ini baru saja memarkirkan sepeda motorku di parkiran kampus dan kini begitu aku mendapati pertanyaan ida itu, aku langsung menyadari bahwa saat ini aku harus menyembunyikan ekspresi rasa dukaku atas kehilangan anti.
“ ehh da, aku kirain siapa, sudah lama kamu di kampus da ? ”
“ kamu tuh yaa pang kebiasaan, ditanyanya apa kok menjawabnya apa “ ujar ida merajuk yang berbalas dengan senyumanku, mendapati saat ini waktu sholat magrib akan segera tiba, aku mengajak ida ke masjid.
“ ehh pang jawab dulu tuh pertanyaanku, wajahmu itu kenapa ?, kamu itu habis berkelahi yaa ? ”
“ panjang ceritanya da dan aku malas untuk menceritakannya ”
Bukannya ida kalau dirinya itu mudah menyerah ketika menginginkan sesuatu, mendapati saat ini aku hanya menanggapi pertanyaannya itu dengan kalimat yang sama sekali tidak memuaskan hatinya, dari mulut ida kembali terucap pertanyaan yang menanyakan alasan mengapa dalam beberapa hari ini aku tidak mengikuti perkulian dan kini begitu aku mendapati pertanyaannya itu, aku memberikan jawaban yang mana jawabanku itu tidaklah menggambarkan apa yang sebenarnya telah terjadi pada diriku, di dalam jawabanku itu aku mengatakan bahwa aku dalam beberapa hari ini tengah tersibukan oleh pekerjaanku yang mengharuskanku untuk pulang malam.
“ wah kalau begitu uang lemburanmu banyak dong pang ” canda ida sambil mengembangkan senyumnya.
“ yaa lumayan da, bisa menutupi pendapatan ibuku yang saat ini sudah enggak bekerja lagi ”
Mendapati perkataanku itu ida terdiam, ekspresi wajahnya memperlihatkan bahwa saat ini ida sangat menyesali telah melontarkan candaan yang membuatku harus mengucapkan perkataan seperti itu dan kini begitu aku mendapati ekspresi wajahnya itu, aku meminta kepada ida untuk melupakan apa yang telah aku katakan.
“ kondisi kesehatan ibumu saat ini bagaimana pang ? ”
“ semakin memburuk da, aku pesimis kondisi kesehatan ibuku itu akan membaik lagi, yang ada di dalam pikiranku saat ini hanyalah memikirkan bagaimana caranya aku bisa memenuhi keinginan ibuku di saat ibuku itu masih ada ”
“ astaga pang, kamu jangan berkata seperti itu, hidup dan matinya manusia itu hanya— ”
“ hanya tuhan yang menentukan da, aku tahu itu tapi aku ini hanyalah manusia yang sudah pasti memiliki rasa kekhawatiran dan rasa kekhawatiranku itu adalah aku enggak bisa memenuhi permintaan ibuku di saat ibuku itu masih ada ”
Untuk sejenak kami terdiam, dalam posisi kami yang saat ini telah berada di halaman masjid, ida menepuk nepuk pungggungku seraya mengatakan bahwa dirinya merasa yakin aku akan bisa memenuhi permintaan ibuku di saat ibuku masih ada.
“ aku ingin memajukan jadwal rencana mendaki gunungku itu da “
“ kapan pang ? ”
“ mungkin bulan depan, jadi mulai sekarang kita bisa meminta izin kepada pihak perusahaan tempat kita bekerja agar kita bisa mendapatkan libur di tanggal yang telah kita tentukan ” ida menganggukan kepalanya, dari mulutnya kita terucap perkataan yang menginformasikan bahwa dirinya telah memberitahukan anindia mengenai rencanaku untuk mendaki gunung.
“ apakah anin tertarik da untuk ikut dalam pendakian itu ? ”
“ anin tertarik pang, semoaga saja di saat mendaki gunung nanti kondisi kesehatan anin sudah membaik ”
“ loh… memangnya anin sakit apa da ? ”
“ sulit untuk menjelaskannya pang dan aku enggak bisa menceritakannya kepadamu, sebaiknya kamu menanyakannya sendiri kepada— ”
Perkataan ida terhenti seiring dengan terdengar suara ismed yang tanpa aku sadari kini telah berdiri di belakangku, dalam ekspresi wajahnya yang menunjukan rasa kebahagiaannya karena telah berhasil mengejutkanku dan ida, ismed merangkul bahuku dan ida lalu mengembangkan senyumnya.
“ kamu kenapa da ? kok melihat aku seperti melihat setan sih ”
“ aku jadi merasa curiga nih, jangan jangan kalian itu habis pukul pukulan yaa, kok wajah kalian itu— ”
“ kami ini kembar identik da jadi wajarlah wajah kami ini memiliki bentuk yang sama ”
“ memang sudah enggak waras kamu med, wajah babak belur seperti itu kok dibilang kembar identik ” ujar ida yang berbalas dengan gelak tawaku dan ismed.
“ ehh da, pang… tadi itu kalian sedang membicarakan apa sih ? kok sampai ada perkataan menanyakannya sendiri ”
“ anin sakit med, bisa kacau nih pendakian gunung yang aku rencanakan itu ”
“ sakit ? sakit apa pang ”
“ entahlah med ? ida enggak mau memberitahukannya malah menyuruhku untuk menanyakannya langsung kepada anin ”
“ astaga da… kamu itu sahabat macam apa sih masa hal sepele itu saja harus— ”
“ diam kamu med, sekali aku katakan enggak yaa enggak, kalau kalian memang merasa penasaran untuk mengetahuinya, cari tahu sendiri dan jangan membawa bawa namaku ”
Melalui menit demi menit yang terus berjalan, sulit rasanya bagiku untuk menyerap materi perkuliahan diantara pikiranku yang saat ini dipenuhi oleh berbagai macam dugaan yang terkait dengan penyakit yang diderita anindia dan kini seiring dengan jam perkuliahan yang telah berakhir, aku segera menghampiri anindia untuk memberitahukan tentang rencanaku yang ingin mengajaknya mendaki gunung dan tanpa aku duga apa yang aku lakukan ini kini telah bersambut dengan keramahan anindia, sepertinya anindia sudah bisa melupakan tingkah lakuku yang sangat menyebalkan ketika aku ingin menjauhinya.
“ sudah lama juga yaa pang kita enggak berbicara seperti ini, kamu itu sedang sibuk apa sih ? ” tanya anindia seraya melambaikan tangannya ke arah ida dan ismed yang saat ini lebih memilih untuk meninggalkan ruangan perkuliahan daripada bergabung denganku yang hendak mengutarakan keinginanku mengajak anindia mendaki gunung dan kini selepas dari pertanyaannya itu, anindia memintaku untuk duduk di sebelahnya.
“ beberapa hari belakangan ini aku tersibukan dengan pekerjaanku nin dan baru hari aku bisa kuliah lagi ”
“ ohh begitu… ” gumam anindia sambil memasukan buku catatannya ke dalam tas dan tanpa anindia sadari tatapan mataku ini kini memperhatikan rona wajahnya yang terlihat sedikit pucat hal itu mengindikasikan besar kemungkinannya kondisi kesehatan anindia memanglah seperti apa yang telah diinformasikan oleh ida.
“ kamu sedang sakit yaa nin ? wajahmu itu terlihat sedikit pucat ” anindia terdiam, melihat dari ekspresi wajah yang diperlihatkan oleh anindia saat ini sepertinya anindia ingin mengatakan sesuatu yang sulit untuk dikatakannya dan dikarenakan aku tidak ingin memaksa anindia untuk mengatakan apa yang ingin dikatakannya, aku kini memilih untuk terdiam daripada harus berkata kata yang nantinya akan menyinggung perasaan anindia, hingga akhirnya kini selepas dari beberapa saat lamanya anindia terdiam, mengiringi menghilangnya ekspresi keraguan di wajah anindia yang menandakan bahwa anindia sudah siap untuk mengatakan apa yang ingin dikatakannya, dari mulut anindia mulai mengalir sebuah cerita yang mana ceritanya itu kini membuatku terperangah karena aku tidak menyangka anindia telah mengalami sebuah kejadian menyeramkan yang menurutku tidak kalah menyeramkan dengan kejadian menyeramkan yang telah aku alami, di dalam kejadian menyeramkan yang telah anindia alami itu, anindia mengatakan bahwa dirinya telah bermimpi disetubuhi oleh mahluk ghaib yang mendiami salah satu benda pusaka koleksi bapaknya dan mimpi yang dialaminya itu telah terjadi semenjak dirinya mendapatkan informasi dari teman bapaknya yang mengatakan bahwa dirinya disukai oleh sesosok mahluk ghaib yang memiliki kekuatan yang cukup besar yang mana kekuatannya itu bisa memberikan limpahan kekayaan bagi siapapun yang bersekutu dengannya.
“ yaa tuhan… sudah berapa lama kamu mengalami kejadian seperti itu nin ? ”
“ sudah cukup lama pang dan di beberapa bulan belakangan ini aku semakin sering mengalaminya terutama di saat aku tengah datang bulan, sumpah pang… mimpi buruk yang aku alami itu telah membuat tubuhku ini semakin hari semain terasa kurang enak ”
“ apakah bapakmu mengetahui mimpi buruk yang kamu alami itu nin ? ” anindia menganggukan kepalanya, helaan nafasnya yang begitu dalam mengisyaratkan adanya rasa kekecewaan yang anindia rasakan dan kini begitu aku mendapati reaksinya itu, aku meminta anindia untuk melupakan pertanyaanku itu karena aku khawatir pertanyaanku itu hanya akan membuat anindia berlarut larut dalam mengingat kejadian menyeramkan yang telah dialaminya itu.
“ kamu masih ingat kan pang dengan perkataanku ketika kita berkunjung ke museum, aku telah tersugesti oleh perkataan teman bapakku dan itulah tanggapan bapakku di saat aku menceritakan mimpi yang aku alami itu ”
“ hanya seperti itu saja nin tanggapan bapakmu itu ? ”
“ iya pang, sebenarnya bapakku itu memiliki intuisi yang kuat tapi untuk mimpi yang aku alami itu sepertinya bapakku enggak melihat adanya penyebab yang membuatku bermimpi seperti itu ”
“ adanya penyebab ? ”
“ jujur saja pang, aku juga pernah mengalami mimpi buruk lainnya, di dalam mimpiku itu aku dianiaya oleh seorang lelaki yang wajahnya itu enggak bisa aku lihat, dikarenakan aku mendapati adanya bekas cekikan di leherku ini setelah mimpi buruk yang aku alami itu, bapakku berusaha untuk mencari tahu penyebab mengapa aku mengalami mimpi seperti itu dan pada akhirnya intuisi bapakku mengatakan adanya benda jahat yang dikirimkan oleh seseorang untuk mencelakaiku ” aku terdiam, mencoba untuk memahami setiap perkataan yang terucap dari mulut anindia, hingga akhirnya kini diantara keterdiamanku, anindia mengatakan sesuatu yang membuatku kembali teringat dengan kejadian menyeramkan yang telah aku alami di rumah sakit, di dalam perkataannya itu anindia mengatakan bahwa bapaknya telah menemukan sebuah paku berkarat yang terbungkus oleh kain hitam di atap rumahnya dan paku berkarat itulah yang menjadi penyebab mengapa anindia mengalami mimpi buruk yang melukai tubuhnya.
“ sakti juga bapakmu itu nin ”
“ sakti apanya sih pang, kekuatan intuisi itu bukanlah kesaktian karena semua orang itu bisa saja mengalaminya ”
“ tapi nin kalau aku rasa bapakmu itu berbeda karena— ”
“ sudahlah pang jangan membahas hal itu lagi, aku sudah lelah membahas hal hal yang seharusnya enggak aku percayai ”
“ maaf nin, aku enggak bermaksud— ”
“ ohh iya…kata ida kamu memiliki rencana untuk mendaki gunung yaa pang ? ”
“ iya nin dan rencananya aku ingin memajukan jadwal pendakiannya, apakah kamu tertarik untuk ikut serta ? ”
“ duh… aku sudah pasti tertarik pang, perkiraannya dimajukannya itu kapan pang ? ”
“ kemungkinan besar bulan depan nin, bertepatan dengan libur semester kita ”
Untuk sejenak anindia terdiam dan hal itu kini telah menghadirkan rasa kekhawatiran di hatiku atas kemungkinan anindia tidak bisa ikut serta dalam pendakian gunung yang akan aku lakukan itu, hanya saja kini belum sempat aku memastikan apakah rasa kekhawatiranku itu akan berbuah dengan sesuatu yang nyata atau tidak, dari mulut anindia terucap perkataan yang mengisyaratkan bahwa dirinya akan mencari sebuah alasan agar kantor tempatnya bekerja bisa memberikan izin cuti sesuai dengan tanggal pendakian yang aku rencanakan dan kini begitu aku mendapati perkataannya itu, tanpa bisa menyembunyikan rasa kegembiraanku karena besar kemungkinannya anindia akan mengikuti pendakian gunung yang akan aku lakukan itu, aku langsung menyebutkan tanggal pasti dari pendakian gunung yang akan aku lakukan dan hal itu kini telah berbalas dengan senyuman anindia yang mengisyaratkan bahwa dirinya merasa gembira melihat kegembiraanku ini.
“ semoga saja di saat waktu pendakian gunung itu tiba kondisi kesehatanku ini sudah membaik ”
“ entahlah pang bisa jadi seperti itu tapi yang pasti selepas dari menghilangnya bapaknya sanusi, warga kampung di kampung tetangga kita itu enggak mau mempunyai permasalahan dengan sanusi dan hal itu kini telah membuat sanusi merasa bebas untuk melakukan apapun yang dia mau ”
Bijaksana, sepertinya hanya kata itulah yang tepat untuk aku terapkan kepada diriku ini selepas dari informasi yang telah aku dapatkan dari sobari, rasa kebencianku kepada sanusi karena aku menduga sanusi adalah tersangka utama dari kehamilan anti kini sebisa mungkin akan aku kendalikan agar aku terhindar dari hal hal yang tidak aku inginkan dan kini dikarenakan hari telah beranjak semakin siang, aku memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan ini.
Suara deru dari mesin mesin produksi yang berada di ruangan tempatku bekerja terdengar diantara suara hiruk pikuk buruh yang tengah tersibukan oleh aktifitasnya masing masing, mendapati saat ini waktu telah menunjukan pukul empat sore hari, aku yang pada awalnya masih tersibukan oleh pekerjaan beratku kini mulai mengalihkan kesibukanku ini pada pekerjaan yang lebih ringan, diantara aktifitasku yang saat ini tengah merapihkan kardus kardus yang akan dipergunakan untuk menampung barang barang hasil produksi, seorang rekan kerjaku yang bernama satya menghampiriku lalu memberikan amplop berisikan uang yang ternyata adalah uang yang diperuntukan bagi keluargaku yang saat ini tengah dalam keadaan berduka.
“ yaa ampun sat, kalian itu mengetahui dari mana kalau keluargaku itu tengah dalam keadaan berduka ? ”
“ dari rekan kerja kita pang yang tinggalnya itu enggak jauh dari perkampunganmu itu ” aku terdiam, terlihat saat ini satya menduduki kursi kosong yang bersebelahan dengan kursi yang aku duduki.
Cukup lama juga aku dan satya terlibat dalam perbincangan yang membahas tentang seputar dunia kerja, menyadari saat ini waktu telah menunjukan pukul lima sore hari, aku langsung bergegas merapihkan tasku lalu beranjak pergi meninggalkan ruangan tempaku berkerja, dalam posisiku yang saat ini telah berada di parkiran motor, kebimbanganku untuk menentukan apakah saat ini aku harus pulang ataukah aku harus mengikuti perkuliahanku yang dalam beberapa hari ini telah aku tinggalkan kini telah membuatku terdiam untuk beberapa saat dan pada akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti perkuliahan.
“ astaga pang, wajahmu itu kenapa ? ” tanya ida menyambut kehadiranku yang saat ini baru saja memarkirkan sepeda motorku di parkiran kampus dan kini begitu aku mendapati pertanyaan ida itu, aku langsung menyadari bahwa saat ini aku harus menyembunyikan ekspresi rasa dukaku atas kehilangan anti.
“ ehh da, aku kirain siapa, sudah lama kamu di kampus da ? ”
“ kamu tuh yaa pang kebiasaan, ditanyanya apa kok menjawabnya apa “ ujar ida merajuk yang berbalas dengan senyumanku, mendapati saat ini waktu sholat magrib akan segera tiba, aku mengajak ida ke masjid.
“ ehh pang jawab dulu tuh pertanyaanku, wajahmu itu kenapa ?, kamu itu habis berkelahi yaa ? ”
“ panjang ceritanya da dan aku malas untuk menceritakannya ”
Bukannya ida kalau dirinya itu mudah menyerah ketika menginginkan sesuatu, mendapati saat ini aku hanya menanggapi pertanyaannya itu dengan kalimat yang sama sekali tidak memuaskan hatinya, dari mulut ida kembali terucap pertanyaan yang menanyakan alasan mengapa dalam beberapa hari ini aku tidak mengikuti perkulian dan kini begitu aku mendapati pertanyaannya itu, aku memberikan jawaban yang mana jawabanku itu tidaklah menggambarkan apa yang sebenarnya telah terjadi pada diriku, di dalam jawabanku itu aku mengatakan bahwa aku dalam beberapa hari ini tengah tersibukan oleh pekerjaanku yang mengharuskanku untuk pulang malam.
“ wah kalau begitu uang lemburanmu banyak dong pang ” canda ida sambil mengembangkan senyumnya.
“ yaa lumayan da, bisa menutupi pendapatan ibuku yang saat ini sudah enggak bekerja lagi ”
Mendapati perkataanku itu ida terdiam, ekspresi wajahnya memperlihatkan bahwa saat ini ida sangat menyesali telah melontarkan candaan yang membuatku harus mengucapkan perkataan seperti itu dan kini begitu aku mendapati ekspresi wajahnya itu, aku meminta kepada ida untuk melupakan apa yang telah aku katakan.
“ kondisi kesehatan ibumu saat ini bagaimana pang ? ”
“ semakin memburuk da, aku pesimis kondisi kesehatan ibuku itu akan membaik lagi, yang ada di dalam pikiranku saat ini hanyalah memikirkan bagaimana caranya aku bisa memenuhi keinginan ibuku di saat ibuku itu masih ada ”
“ astaga pang, kamu jangan berkata seperti itu, hidup dan matinya manusia itu hanya— ”
“ hanya tuhan yang menentukan da, aku tahu itu tapi aku ini hanyalah manusia yang sudah pasti memiliki rasa kekhawatiran dan rasa kekhawatiranku itu adalah aku enggak bisa memenuhi permintaan ibuku di saat ibuku itu masih ada ”
Untuk sejenak kami terdiam, dalam posisi kami yang saat ini telah berada di halaman masjid, ida menepuk nepuk pungggungku seraya mengatakan bahwa dirinya merasa yakin aku akan bisa memenuhi permintaan ibuku di saat ibuku masih ada.
“ aku ingin memajukan jadwal rencana mendaki gunungku itu da “
“ kapan pang ? ”
“ mungkin bulan depan, jadi mulai sekarang kita bisa meminta izin kepada pihak perusahaan tempat kita bekerja agar kita bisa mendapatkan libur di tanggal yang telah kita tentukan ” ida menganggukan kepalanya, dari mulutnya kita terucap perkataan yang menginformasikan bahwa dirinya telah memberitahukan anindia mengenai rencanaku untuk mendaki gunung.
“ apakah anin tertarik da untuk ikut dalam pendakian itu ? ”
“ anin tertarik pang, semoaga saja di saat mendaki gunung nanti kondisi kesehatan anin sudah membaik ”
“ loh… memangnya anin sakit apa da ? ”
“ sulit untuk menjelaskannya pang dan aku enggak bisa menceritakannya kepadamu, sebaiknya kamu menanyakannya sendiri kepada— ”
Perkataan ida terhenti seiring dengan terdengar suara ismed yang tanpa aku sadari kini telah berdiri di belakangku, dalam ekspresi wajahnya yang menunjukan rasa kebahagiaannya karena telah berhasil mengejutkanku dan ida, ismed merangkul bahuku dan ida lalu mengembangkan senyumnya.
“ kamu kenapa da ? kok melihat aku seperti melihat setan sih ”
“ aku jadi merasa curiga nih, jangan jangan kalian itu habis pukul pukulan yaa, kok wajah kalian itu— ”
“ kami ini kembar identik da jadi wajarlah wajah kami ini memiliki bentuk yang sama ”
“ memang sudah enggak waras kamu med, wajah babak belur seperti itu kok dibilang kembar identik ” ujar ida yang berbalas dengan gelak tawaku dan ismed.
“ ehh da, pang… tadi itu kalian sedang membicarakan apa sih ? kok sampai ada perkataan menanyakannya sendiri ”
“ anin sakit med, bisa kacau nih pendakian gunung yang aku rencanakan itu ”
“ sakit ? sakit apa pang ”
“ entahlah med ? ida enggak mau memberitahukannya malah menyuruhku untuk menanyakannya langsung kepada anin ”
“ astaga da… kamu itu sahabat macam apa sih masa hal sepele itu saja harus— ”
“ diam kamu med, sekali aku katakan enggak yaa enggak, kalau kalian memang merasa penasaran untuk mengetahuinya, cari tahu sendiri dan jangan membawa bawa namaku ”
Melalui menit demi menit yang terus berjalan, sulit rasanya bagiku untuk menyerap materi perkuliahan diantara pikiranku yang saat ini dipenuhi oleh berbagai macam dugaan yang terkait dengan penyakit yang diderita anindia dan kini seiring dengan jam perkuliahan yang telah berakhir, aku segera menghampiri anindia untuk memberitahukan tentang rencanaku yang ingin mengajaknya mendaki gunung dan tanpa aku duga apa yang aku lakukan ini kini telah bersambut dengan keramahan anindia, sepertinya anindia sudah bisa melupakan tingkah lakuku yang sangat menyebalkan ketika aku ingin menjauhinya.
“ sudah lama juga yaa pang kita enggak berbicara seperti ini, kamu itu sedang sibuk apa sih ? ” tanya anindia seraya melambaikan tangannya ke arah ida dan ismed yang saat ini lebih memilih untuk meninggalkan ruangan perkuliahan daripada bergabung denganku yang hendak mengutarakan keinginanku mengajak anindia mendaki gunung dan kini selepas dari pertanyaannya itu, anindia memintaku untuk duduk di sebelahnya.
“ beberapa hari belakangan ini aku tersibukan dengan pekerjaanku nin dan baru hari aku bisa kuliah lagi ”
“ ohh begitu… ” gumam anindia sambil memasukan buku catatannya ke dalam tas dan tanpa anindia sadari tatapan mataku ini kini memperhatikan rona wajahnya yang terlihat sedikit pucat hal itu mengindikasikan besar kemungkinannya kondisi kesehatan anindia memanglah seperti apa yang telah diinformasikan oleh ida.
“ kamu sedang sakit yaa nin ? wajahmu itu terlihat sedikit pucat ” anindia terdiam, melihat dari ekspresi wajah yang diperlihatkan oleh anindia saat ini sepertinya anindia ingin mengatakan sesuatu yang sulit untuk dikatakannya dan dikarenakan aku tidak ingin memaksa anindia untuk mengatakan apa yang ingin dikatakannya, aku kini memilih untuk terdiam daripada harus berkata kata yang nantinya akan menyinggung perasaan anindia, hingga akhirnya kini selepas dari beberapa saat lamanya anindia terdiam, mengiringi menghilangnya ekspresi keraguan di wajah anindia yang menandakan bahwa anindia sudah siap untuk mengatakan apa yang ingin dikatakannya, dari mulut anindia mulai mengalir sebuah cerita yang mana ceritanya itu kini membuatku terperangah karena aku tidak menyangka anindia telah mengalami sebuah kejadian menyeramkan yang menurutku tidak kalah menyeramkan dengan kejadian menyeramkan yang telah aku alami, di dalam kejadian menyeramkan yang telah anindia alami itu, anindia mengatakan bahwa dirinya telah bermimpi disetubuhi oleh mahluk ghaib yang mendiami salah satu benda pusaka koleksi bapaknya dan mimpi yang dialaminya itu telah terjadi semenjak dirinya mendapatkan informasi dari teman bapaknya yang mengatakan bahwa dirinya disukai oleh sesosok mahluk ghaib yang memiliki kekuatan yang cukup besar yang mana kekuatannya itu bisa memberikan limpahan kekayaan bagi siapapun yang bersekutu dengannya.
“ yaa tuhan… sudah berapa lama kamu mengalami kejadian seperti itu nin ? ”
“ sudah cukup lama pang dan di beberapa bulan belakangan ini aku semakin sering mengalaminya terutama di saat aku tengah datang bulan, sumpah pang… mimpi buruk yang aku alami itu telah membuat tubuhku ini semakin hari semain terasa kurang enak ”
“ apakah bapakmu mengetahui mimpi buruk yang kamu alami itu nin ? ” anindia menganggukan kepalanya, helaan nafasnya yang begitu dalam mengisyaratkan adanya rasa kekecewaan yang anindia rasakan dan kini begitu aku mendapati reaksinya itu, aku meminta anindia untuk melupakan pertanyaanku itu karena aku khawatir pertanyaanku itu hanya akan membuat anindia berlarut larut dalam mengingat kejadian menyeramkan yang telah dialaminya itu.
“ kamu masih ingat kan pang dengan perkataanku ketika kita berkunjung ke museum, aku telah tersugesti oleh perkataan teman bapakku dan itulah tanggapan bapakku di saat aku menceritakan mimpi yang aku alami itu ”
“ hanya seperti itu saja nin tanggapan bapakmu itu ? ”
“ iya pang, sebenarnya bapakku itu memiliki intuisi yang kuat tapi untuk mimpi yang aku alami itu sepertinya bapakku enggak melihat adanya penyebab yang membuatku bermimpi seperti itu ”
“ adanya penyebab ? ”
“ jujur saja pang, aku juga pernah mengalami mimpi buruk lainnya, di dalam mimpiku itu aku dianiaya oleh seorang lelaki yang wajahnya itu enggak bisa aku lihat, dikarenakan aku mendapati adanya bekas cekikan di leherku ini setelah mimpi buruk yang aku alami itu, bapakku berusaha untuk mencari tahu penyebab mengapa aku mengalami mimpi seperti itu dan pada akhirnya intuisi bapakku mengatakan adanya benda jahat yang dikirimkan oleh seseorang untuk mencelakaiku ” aku terdiam, mencoba untuk memahami setiap perkataan yang terucap dari mulut anindia, hingga akhirnya kini diantara keterdiamanku, anindia mengatakan sesuatu yang membuatku kembali teringat dengan kejadian menyeramkan yang telah aku alami di rumah sakit, di dalam perkataannya itu anindia mengatakan bahwa bapaknya telah menemukan sebuah paku berkarat yang terbungkus oleh kain hitam di atap rumahnya dan paku berkarat itulah yang menjadi penyebab mengapa anindia mengalami mimpi buruk yang melukai tubuhnya.
“ sakti juga bapakmu itu nin ”
“ sakti apanya sih pang, kekuatan intuisi itu bukanlah kesaktian karena semua orang itu bisa saja mengalaminya ”
“ tapi nin kalau aku rasa bapakmu itu berbeda karena— ”
“ sudahlah pang jangan membahas hal itu lagi, aku sudah lelah membahas hal hal yang seharusnya enggak aku percayai ”
“ maaf nin, aku enggak bermaksud— ”
“ ohh iya…kata ida kamu memiliki rencana untuk mendaki gunung yaa pang ? ”
“ iya nin dan rencananya aku ingin memajukan jadwal pendakiannya, apakah kamu tertarik untuk ikut serta ? ”
“ duh… aku sudah pasti tertarik pang, perkiraannya dimajukannya itu kapan pang ? ”
“ kemungkinan besar bulan depan nin, bertepatan dengan libur semester kita ”
Untuk sejenak anindia terdiam dan hal itu kini telah menghadirkan rasa kekhawatiran di hatiku atas kemungkinan anindia tidak bisa ikut serta dalam pendakian gunung yang akan aku lakukan itu, hanya saja kini belum sempat aku memastikan apakah rasa kekhawatiranku itu akan berbuah dengan sesuatu yang nyata atau tidak, dari mulut anindia terucap perkataan yang mengisyaratkan bahwa dirinya akan mencari sebuah alasan agar kantor tempatnya bekerja bisa memberikan izin cuti sesuai dengan tanggal pendakian yang aku rencanakan dan kini begitu aku mendapati perkataannya itu, tanpa bisa menyembunyikan rasa kegembiraanku karena besar kemungkinannya anindia akan mengikuti pendakian gunung yang akan aku lakukan itu, aku langsung menyebutkan tanggal pasti dari pendakian gunung yang akan aku lakukan dan hal itu kini telah berbalas dengan senyuman anindia yang mengisyaratkan bahwa dirinya merasa gembira melihat kegembiraanku ini.
“ semoga saja di saat waktu pendakian gunung itu tiba kondisi kesehatanku ini sudah membaik ”
Diubah oleh meta.morfosis 23-04-2025 16:00
i4munited dan nderek.langkung memberi reputasi
2