Kaskus

News

Pengaturan

Mode Malambeta
Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

beacuka1Avatar border
TS
beacuka1
Kelas Menengah RI Menyerah, Banyak Mulai Jatuh Miskin!
Konten Sensitif
 Kelas Menengah RI Menyerah, Banyak Mulai Jatuh Miskin!


Jakarta, CNBC Indonesia - Jumlah kelas menengah Indonesia semakin mengecil karena tekanan kenaikan harga bahan pangan dan menurunnya pendapatan.

Besarnya tekanan kelas menengah tercermin dari melonjaknya pengeluaran untuk pangan, menurunnya penjualan motor/mobil, meningkatnya pekerja informal di Indonesia, hingga pesimisme mereka melihat ekonomi Indonesia.

Ekonom senior yang juga merupakan mantan Menteri Keuangan era 2013-2014 Chatib Basri mengungkapkan jumlah kelas menengah di Indonesia terus merosot sejak 2019. Menurutnya, data Bank Dunia mengungkapkan pada 2018, kelas menengah sebesar 23% dari jumlah penduduk sedangkan 2019 tersisa 21% seiring membengkaknya kelompok kelas menengah bawah atau aspiring middle class (AMC) dari 47% menjadi 48%.

"Kecenderungan ini terus terjadi. Tahun 2023, kelas menengah turun menjadi 17%, AMC naik menjadi 49%, kelompok rentan meningkat menjadi 23%. Artinya sejak 2019, sebagian dari kelas menengah "turun kelas" menjadi AMC dan AMC turun menjadi kelompok rentan," tutur Chatib, kepada CNBC Indonesia.

Dengan garis kemiskinan tahun 2024 sekitar Rp 550.000, Chatib menjelaskan mereka dengan pengeluaran Rp 1,9 juta-Rp 9,3 juta per bulan masuk kategori kelas menengah. AMC adalah kelompok pengeluaran 1,5-3,5 kali di atas garis kemiskinan atau Rp 825.000-Rp 1,9 juta. Adapun rentan miskin, kelompok pe- ngeluaran 1-1,5 kali di atas garis ke- miskinan atau Rp 550.000-Rp 825.000 per bulan.

1. Kelas Menengah Dihimpit Lonjakan Bahan Pangan

Sejumlah indikator menunjukkan masyarakat Indonesia, termasuk kelas menengah, tertekan oleh kenaikan bahan pangan.

Data Mandiri Spending Index (MSI) yang menunjukkan porsi pengeluaran untuk groceries atau bahan makanan meningkat dari 13,9% pada Januari 2023 menjadi 27,4% dari total pengeluaran pada Juli 2024.
Besarnya porsi pengeluaran salah satunya karena lonjakan harga bahan pangan.

Chatib Basri menjelaskan data itu secara sederhana dapat dipahami bahwa ketika pendapatan masyarakat turun, mereka akan tetap mempertahankan konsumsi kebutuhan pokoknya, seperti makanan. Jika pendapatan menurun, sedangkan konsumsi makanan tetap, maka porsi konsumsi makanan dalam total pengeluarannya akan meningkat.

"Hukum Engel mengajarkan: semakin rendah pendapatan seseorang, semakin besar porsi konsumsi makanan dalam total pengeluarannya. Itu sebabnya, kenaikan porsi makanan dalam total belanja mencerminkan menurunnya daya beli," imbuh Chatib.

Salah satu penyebab tingginya pengeluaran adalah lonjakan harga pangan, terutama beras. Harga beras terus merangkak naik sejak akhir 2022 dan terus mencetak rekor tertingginya.

Dalam setahun terakhir, harga beras sudah melesat 20% dan menembus rekor tertinggi pada Maret 2024. Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN) rata-rata harga beras bulanan pada Januari 2023 dibanderol Rp 12.650/kg sementara pada Juni 2024 sudah mencapai Rp 15.350/kg.

Sementara itu, rata-rata harga beras bulanan tertinggi tercatat pada Maret 2024 di harga Rp 15.900/kg.



Kenaikan harga beras tentu saja membebani rumah tangga Indonesia karena beras menjadi salah satu pengeluaran terbesar bagi kelompok miskin ataupun menengah.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan inflasi harga beras tembus 13,76% (yoy) pada Agustus 2023. Inflasi ini adalah yang tertinggi sejak Juni 2012 atau lebih dari 10 tahun. Menurut data BPS, pada Juni 2012, inflasi harga beras saat itu mencapai 16,22%

.
2. Kelas Menengah Tertekan Karena PHK, Jumlah Pekerja Informal Melonjak


Pandemi Covid-19 yang melanda dunia dan Indonesia pada Maret 2020 menjadi awal dari banyaknya tekanan kelas menengah di Indonesia. Pandemi membuat pendapatan perusahaan merosot sehingga mereka tidak memiliki pilihan lain selain memangkas jumlah pekerja.

Data BPS menunjukkan jumlah pengangguran di Indonesia sempat melonjak 2,67 juta menjadi 9,77 juta (7,07%) per Agustus 2020 dari 7,1 juta orang (5,35) per Agustus 2019 atau sebelum pandemi.

PHK ini membuat masyarakat kemudian beralih dari pekerja formal ke informal. Data BPS menunjukkan proporsi pekerja informal Indonesia saat ini tercatat 59,17%, melesat dibandingkan per Agustus 2019 yakni 55,88%.

Banyaknya pekerja informal menunjukkan banyaknya angkatan krja yang tidak bisa diserap oleh lapangan kerja. Pekerja informal ini menjadi rentan karena mereka tidak memiliki besaran penghasilan yang pasti, banyak yang tidak dilindungi oleh asuransi, dan akan kesulitan mencari akses keuangan untuk modal ataupun mengajukan kredit lainnya.

Ekonom BCA Barra Kukuh Mamia menjelaskan turunnya pengangguran Indonesia saat ini banyak ditopang oleh lapangan kerja informal. Banyak dari mereka yang kehilangan pekerjaan di pabrik banting setir mencari pekerjaan menjadi supir taksi/ojek online atau di e-commerce.

"Mungkin sekarang ojol atau ecommerce segala macam ini which is fine orang bisa dapat duit di situ tapi prospek nya kan beda antara yang formal dan informal. Kalau formal mau naik gaji bisa demo kalau informal susah mau naik karir gimana," ujar Barra, kepada CNBC Indonesia.


Banyaknya pekerja informal juga membuat mereka sangat riskan terutama jika sakit. "Secara ekonomi sakit dikit miskin, kalau ojol ya kaki bengkak dikit gimana mau ngojek. Jadi kondisi ekonominya itu fine, tapi gak punya tabungan atau ada krisis sedikit Covid sedikit udah bye," imbuhnya.

3. Kelas Menengah Tertekan, Kedit Kendaraan Turun


Indikator lain yang menunjukkan tekanan pada kelas menengah adalah melandainya kredit penjualan mobil sementara penjualan motor naik. Ada peralihan pilihan kendaraan yang masyarakat Indonesia pilih karena terbatasnya pendapatan.

"Pembelian mobil baru menurun. Orang membeli mobil bekas, atau bahkan pindah ke sepeda motor. Rangkaian data ini seperti datang dengan pesan daya beli kelas menengah bawah memang tergerus," tutur Chatib.


Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia atau Gaikindo menunjukkan penjualan motor pada Januari-Juni 2024 mencapai 3,17 juta unit atau melesat 49% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sebaliknya, penjualan mobil anjlok 19,4% menjadi 408.012 unit pada Januari-Juni 2024.

4. Pendapatan Kelas Menengah Stagnan, Mantab Jadi Solusi?


Data Mandiri Spending Index menunjukkan fenomena makan tabungan (mantab) sangat terasa di kalangan menengah bawah.

Tingkat belanja untuk kelompok bawah (konsumen dengan rata-rata tabungan < Rp1 juta) cenderung mengalami kenaikan. Di saat yang bersamaan indeks tabungan mereka terkikis. Kondisi ini mencerminkan penggunaan tabungan sebagai bantalan konsumsi mereka.
Indeks Tabungan masyarakat kelas bawah anjlok dari kisaran 100 pada Januari 2023 menjadi hanya 41,8 pada Juni 2024. Sementara konsumsi mereka naik dari kisaran 90 pada Januari 2023 menjadi 109,1 pada Juni 2024.

Gambaran indeks tabungan dan belanja masyarakat bawah-atasFoto: Mandiri Spending Index
Gambaran indeks tabungan dan belanja masyarakat bawah-atas

Indeks tabungan kelas menengah sempat jeblok dari 100 pada Januari 2023 menjadi 96,6 pada Juni 2024. Sementara itu, konsumsi melonjak dari 120 pada Januari 2023 menjadi 122 pada Juni 2024.

Indeks tabungan dan konsumsi kelas menengah lebih stagnan dibandingkan kelas menengah.

"Konsumsi kelas menengah dan atas stagnan sejak 2022. Ini menunjukkan ada persepsi penurunan pendapatan pada 2024," tutur kepala ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro dalam analisanya.

Besarnya beban kelas menengah bawah terutama mereka yang masuk dalam aspiring middle income class membuat optimisme mereka terhadap ekonomi jatuh.

Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) masyarakat dengan pengeluraan Rp 1-2 juta turun ke 109,2 pada Juni 2024 padahal pada Mei 2024 masih 114,9.

Level tersebut mendekati titik pesimis.

Sebagai catatan, Indeks per kota dihitung dengan metode balance score (net balance + 100) yang menunjukkan bahwa jika indeks di atas 100 berarti optimis dan di bawah 100 berarti pesimis.

https://www.cnbcindonesia.com/resear...i-jatuh-miskin

Kalau saya sih yang penting kadrun anak abah yaman terkaing-kaing semua
capung1
pilpres912
stunting
stunting dan 3 lainnya memberi reputasi
4
823
33
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan Politik
KASKUS Official
675.7KThread43.9KAnggota
Tampilkan semua post
HOAXAWARDAvatar border
HOAXAWARD
#8
Misalkan ya... ini misalkan saja ya....
Misalkan pemerintah 3 bulan saja, gak narik pajak sama sekali, terus gratisin listrik, air dan telepon/internet... 3 bulan saja, puasa dulu gitu...
Kira² ekonomi rakyat bisa jalan dan meningkat enggak ya???
Secara rakyat merasa kesulitan, klo misalkan dibuat spt itu 3 bulan saja...
Ato bisa dicoba 1 bulan saja dulu....
Gimana ya kira²...????
(Penasaran ala orang dusun yg gak ngerti politik dllnya)
emoticon-Smilie
pgcililitan
singkawang88
singkawang88 dan pgcililitan memberi reputasi
2
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.