Gua dan Aldina lebih dulu menuju ke rumah, sementara nyokap mengajak Anggi untuk jajan ke minimarket terdekat.
“Gua penasaran sama kamar lo, Sal…” Ucap Aldina sambil menatap ke arah lantai atas.
“Penasaran sama apa? Ingatan gua tentang kamar itu aja samar…” Balas gua. Praktis gua menempati kamar itu hanya sampai SMA. Setelahnya, gua tidur beralas dinginnya lantai penjara sambil berselimut rindu.
“Ya pengen tau aja…” Jawabnya.
“...”
“... Boleh liat?” Tambahnya, meminta izin untuk melihat kamar yang dulu sempat gua tempati.
Gua mengangguk, lalu meraih tangannya, mengajaknya naik ke atas, ke lantai dua. Kami berhenti tepat di depan sebuah kamar yang berada di ujung lorong. Tanpa menunggu, Aldina memutar gagang pintu dan masuk ke dalam kamar yang gelap gulita. Gua menyusulnya masuk sambil menekan saklar lampu yang berada di sisi pintu bagian dalam. Lampu kamar berkedip sebentar, lalu menyala, menerangi seluruh ruangan.
Aldina melangkah pelan, sambil ujung jarinya menyusuri semua barang yang dilaluinya. Sementara matanya berkeliling, seperti tengah memindai isi ruangan. Ia lalu berhenti tepat di sisi ranjang, lalu duduk diatasnya. Matanya masih terus menatap seisi ruangan, lalu beralih ke gua; “Nyaman…”
Gua hanya bisa merespon ucapannya barusan dengan senyuman. Karena merasa nggak ada kata yang cocok untuk menggambarkan perasaan gua atas kata-katanya. Sudah lupa bagaimana rasanya kenyamanan di kamar ini. Gua lantas mendekat dan duduk di atas ranjang, tepat di sebelahnya.
Aldina merebahkan kepalanya tepat di bahu gua, lalu mulai menggumam pelan. Sesaat kemudian, gumamnya berubah menjadi senandung, ia bernyanyi dengan suara yang lirih.
“Tiada ku sangsi kau buah hati
Yang telah bersemi di saat ini kugenggami
Saat kita jalan tertatih seolah mengenal dunia
Tak peduli apa yang terjadi…”
Masih sambil bersenandung pelang, ia menegakkan kepalanya, berdiri dan memposisikan dirinya tepat di hadapan gua yang duduk di atas ranjang.
Ia meraih kedua tangan gua dan menggenggamnya. Sementara bibirnya masih terus melantunkan ‘Buah Hati’-nya Java Jive. Sesekali ia bergoyang pelan, mengikuti irama lagu yang ia nyanyikan.
“...Tak harus sembunyi di balik cinta yang misteri
Tak semuanya indah kelak kau kan mengerti”
“...”
“... Mari genggam erat dunia dunia yang miliki kita
Dan semuanya hanya kita…”
Sementara gua hanya mampu menatapnya, mendengar suaranya yang ternyata merdu.
Perlahan ia menunduk, menempelkan dahinya tepat di dahi gua. Lalu berhenti bersenandung, dan terdiam.
“Bagus nggak suara gua?” Tanyanya pelan.
“Bagus… Bagus banget” Jawab gua sambil tersenyum.
Gua meraih dagunya, bersiap memberinya kecupan. Namun, samar terdengar suara deru mesin mobil masuk ke halaman rumah; Nyokap dan Anggi sudah kembali dari minimarket. Aldina sontak berpaling, meraih tas-nya dari atas ranjang dan bersiap keluar dari kamar. Gua ikut berdiri dan menyusulnya.
Terlihat Nyokap dan Anggi memasuki rumah melalui pintu samping; akses menuju ke garasi. Anggi sibuk membawa plastik putih berlogo minimarket yang sepertinya berisi aneka jajanan untuknya. Ia mendongak, menatap ke arah kami berdua yang tengah menuruni tangga dari lantai dua, dan berseru; “Mommy.. Anggi abis jajan, banyak lho…”
“Oh ya? Wah malak Nini ya?” Balas Aldina sambil menghampiri anaknya itu.
Sementara, nyokap hanya tersenyum. Lantas menuju ke meja makan, meletakkan plastik lain yang dari aromanya berisi makanan. Nyokap lalu memberi instruksi ke si Mbak asisten rumah tangga untuk menyiapkan makanan yang dibawanya.
“Kalian masih lama kan? Masih nunggu Papah kan?” Tanya nyokap ke gua.
Mendengar pertanyaan itu, gua lalu berpaling ke arah Aldina, ingin meminta pendapatnya. Ia tersenyum, lalu mengangguk pelan; memberi kode kalau ia setuju untuk tinggal disini lebih lama.
Gua beralih ke Anggi dan bertanya kepadanya; “Anggi gapapa kan stay disini dulu sebentar?” yang lalu diresponnya dengan anggukan kepala sambil menunggu Mommynya membuka kemasan coklat.
Kami berempat lalu mulai makan bersama, dengan menu yang baru saja dibeli oleh nyokap. Sambil makan, nyokap lalu membahas perihal rencana kami kedepannya.
“Papah kamu di Medan ya Din?” Tanya nyokap ke Aldina.
“Iya, Tan” Jawabnya singkat.
“Berarti nanti kita harus ke Medan dong ya..” Ucapnya seraya melirik ke arah gua.
“Ya normalnya gitu…” Respon gua.
Lalu, Aldina angkat bicara; “Tapi, nanti juga Bapak ada rencana ke Jakarta kok, Tan…”
“Ah, ya nggak enak lah, masak pihak perempuan yang datang…”
“Gapapa Tan, Kan mumpung Bapak memang lagi ke sini..” Balas Aldina.
“Lagian kan Papah sama Mamah mau liburan. Ya terserah sih, kalau mau nunggu sampe Papah sama Mamah pulang liburan juga gapapa, nanti kita ke Medan sama-sama…” Ucap gua mencoba memberi solusi.
“Yaudah nanti coba tanya Papah dulu deh..” Nyokap menjawab santai. Ia lantas berpaling ke Anggi yang kebetulan duduk di sebelahnya. Dengan telaten, Nyokap membantu Anggi makan, sambil sesekali memilihkan lauk untuknya.
Gua selesai makan lebih dulu, lalu berdiri dan menuju ke halaman belakang untuk merokok. Aldina yang juga selesai makan setelah gua, pindah, duduk di sebelah Anggi, membantu Anggi menyelesaikan makannya. Membiarkan nyokap makan dengan tenang.
“Enak ya disini, rasanya adem…” Ucap Aldina yang menyusul gua ke halaman belakang. Sementara dari posisi gua berdiri saat ini terlihat nyokap tengah mengupas apel di meja makan. Dan Anggi sibuk berpangku tangan menonton apa yang tengah dilakukan nyokap.
Gua menjatuhkan puntung rokok ke tanah dan menginjaknya dengan ujung sandal; nggak mau Aldina terpapar asapnya.
“Iya. Adem dan tenang…” Jawab gua sambil menatap ke arah kolam ikan dengan aliran air dari dinding yang sengaja dibuat seperti miniatur pegunungan.
“Suara gemericik airnya bikin tenang” Tambahnya, lalu memposisikan dirinya berdiri tepat di sebelah. Perlahan, gua menyelipkan jari-jari gua di sela jari-jarinya, menggenggam tangannya. Sesaat kami terdiam, sambil saling menggenggam tangan dan memandangi kolam ikan di halaman belakang rumah.
10 menit berikutnya, suara mesin mobil terdengar masuk ke halaman rumah; Bokap baru saja pulang. Ia terlihat bergegas masuk dan langsung tertegun begitu mendapati nyokap tengah bercengkerama dengan Anggi.
“Wah siapa ini?” Tanya Bokap sambil mendekat ke arah mereka.
Anggi lantas melengos, turun dari kursinya dan bersembunyi di balik tubuh nyokap. Menyadari hal tersebut, Aldina lantas kembali masuk ke dalam. Setelah memberi salam ke bokap, ia lalu bicara ke Anggi; “Anggi, ayo salam dulu, nak..” Ucapnya. Anggi lalu perlahan keluar dari ‘persembunyiannya’ dan mendekat ke arah bokap. Sementara, bokap membungkuk dan menggapai tangan mungil Anggi.
“Halo Cantik, siapa namanya?” Tanya bokap sambil tersenyum ramah.
“Namaku Anggi..” Jawab Anggi malu-malu.
Setelahnya, hanya butuh waktu nggak lebih dari 5 menit untuk Anggi bisa berbaur dengan dua orang tua bangka itu. Mereka berdua kini terlihat sibuk dan fokus mendengarkan celotehan Anggi yang bercerita tentang Mommy-nya yang nggak bisa menggambar ayam. Sementara, gua dan Aldina hanya duduk di atas sofa sambil terus tertawa melihat tingkah mereka bertiga.
Tiba-tiba, nyokap menyadari kalau masih ada yang harus dibahas dengan bokap.
Ia lalu menepuk kaki bokap dan berseru; “Ya ampun pah, sampe lupa…”
Mereka berdua lalu sibuk berdiskusi tanpa melibatkan gua dan Aldina, sibuk sendiri seakan keberadaan kami di sana nggak terasa. Dari mulai rencana mengatur jadwal liburan, hingga ribetnya mengatur jadwal praktek di rumah sakit. Gua dan Aldina hanya saling menatap dan tersenyum.
“Seru yah, Papah dan Mamah?” Tanyanya sambil berbisik. Gua nggak menjawab, hanya tersenyum dan membelai pipinya dengan punggung tangan.
Satu jam berikutnya, kami bertiga memutuskan untuk pulang. Meninggalkan Bokap dan Nyokap yang masih terus berdiskusi tanpa henti perkara jadwal liburan mereka yang bentrok dengan jadwal kedatangan Bokapnya Aldina ke Jakarta.
“Ke tempat lo dulu Sal, nanti gua drop. Abis itu gua balik sendiri aja…” Ucap Aldina dari kursi penumpang bagian belakang, sambil membelai kepala Anggi yang terlelap di pangkuannya.
“Terus Anggi?” Tanya gua sambil melirik melalui kaca spion di atas dashboard.
“Ya biarin aja, tidurin di sini, di kursi belakang” Jawabnya santai.
“Janganlah, kasian. Udah gua anter kalian aja, nanti gua balik naik ojek..” Balas gua.
“Drop kita aja deh, nanti mobil gua lo bawa aja…” Ucapnya memberi solusi.
“...”
“... Atau, lo nginep aja di tempat gua” Tambahnya pelan. Menyajikan satu solusi lain.
“Ok” Jawab gua singkat.
“Jawaban ‘Ok’ untuk yang mana?” Tanyanya.
Gua nggak menjawab.
—
Setelah membaringkan Anggi di atas ranjangnya. Gua keluar dan mendapati Aldina tengah duduk menghadap ke meja. Sementara tangannya sibuk bergerak. Gua mendekat dan terlihat ia tengah sibuk mencorat-coret lembaran kertas dengan pensil milik Anggi.
Gua duduk di sisi seberang meja, berpangku tangan sambil menatapnya.
Buat gua yang kehilangan masa muda karena harus mendekam di penjara akibat perbuatan yang nggak benar-benar gua lakukan, pernah kehilangan orang yang gua sayangi, dan hidup dalam naungan kemiskinan; kebahagiaan ini rasanya seperti hanya mimpi.
Sosok perempuan yang dulu sempat gua kagumi karena parasnya yang cantik. Sosok perempuan yang lalu masuk ke dalam hidup ini dan mengacak-acak pendirian gua. Sosok yang kini berada tepat di depan gua; Aldina.
Ia tengah fokus menatap ke arah lembaran kertas yang berada di atas meja, sementara tangan kanannya terus berusaha membuat garis, berusaha membuat bentuk ayam berdasar dari foto ayam asli yang ia lihat dari layar ponselnya.
Sesekali, ia menyelipkan helaian rambutnya yang jatuh ke belakang telinganya. Nggak jarang juga, ia mengeluh karena goresan pensilnya yang salah.
Gua yang duduk di hadapannya, lalu berdiri, berniat untuk membantunya. Tapi, ia dengan cepat mencegah gua; “Stop! Jangan.. Gua mau coba sendiri dulu” Ucapnya tanpa memalingkan pandangannya dari lembaran kertas. Gua kembali duduk, dan memandangnya sambil tersenyum.
Namun, setelah menunggu beberapa lama dan masih belum ada perkembangan dari proses menggambarnya. Gua kembali berdiri, berpindah tempat, duduk tepat di belakang tubuhnya. Kali ini, Aldina nggak memberi penolakan. Ia justru menggeser tubuhnya sedikit kedepan, memberikan sedikit ruang untuk gua.
Kemudian dengan perlahan menuntun tangan kanannya, membuat beberapa garis yang nantinya bakal menjadi panduan imajiner untuk membuat sepasang ayam.
Aldina sempat menoleh sebentar ke arah gua, ia tersenyum dan kembali menatap ke arah lembaran kertas dimana saat ini gua tengah menuntun tangannya; membuat gambar ayam.
“Udah Sal, Udah.. Biar gua lanjutin sendiri…” Pintanya, saat gambar sepasang ayam sudah hampir terbentuk sempurna. Gua berhenti, lalu berpindah duduk ke posisi semula.
Ia lalu menggeser ponselnya ke arah gua; meminta agar gua mendokumentasikan proses menggambar ayam. “Videoin, Sal…” Ucapnya.
Gua meraih ponsel miliknya, tersenyum sebentar saat melihat foto gua dan Anggi menjadi lockscreen ponselnya. Kemudian mulai merekam dirinya yang tengah melanjutkan gambar.
Menyadari kalau gua mengarahkan kamera ponsel ke wajahnya, Aldina langsung mengajukan protes; “Kesini Sal, jangan ke muka gua..” Ucapnya seraya menunjuk ke arah lembaran kertas.
Menit berlalu, Aldina menyandarkan tubuhnya pada sisi sofa sambil mengangkat kedua tangannya; “Yes!” Serunya. Ia lalu mengangkat lembaran kertas dan menunjukkan hasil gambarnya ke gua.
“Gimana? much better kan dari gambar sebelumnya?” Tanyanya.
“Iya.. Bagus” Jawab gua sambil mengacungkan ibu jari.
“Done!” Ia lalu merebahkan dirinya di sofa.
“Udah tidur sana, pindah ke kamar” Ucap gua, lalu berdiri, menuju ke dapur untuk mencuci gelas sisa kopi.
“Lo mau kemana? Pulang?” Tanyanya.
“Iya…”
“Yah…”
Setelah selesai mencuci gelas, gua menghampirinya yang masih berbaring di atas sofa lalu memberikan kecupan di dahi.
“Besok kan bisa ketemu lagi, Balik ya..” Pamit gua.
“Iya…”
Baru beberapa langkah gua berjalan menuju ke pintu keluar. Aldina memanggil gua, lirih; “Marshall…”
Gua berbalik; “Ya…”
“Hati-hati ya…” Ucapnya sambil tersenyum.
“Iya…”
—