- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa

Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 21:29
viper990 dan 214 lainnya memberi reputasi
215
399K
Kutip
4.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#2713
Part 98 B - I hate the way I don't hate you
Spoiler for Part 98 B - I hate the way I don't hate you:
Jam pada layar ponsel menunjukkan pukul 5 dini hari, gua yang sebelumnya tertidur sambil duduk di lantai, bersandar pada sisi ranjang lalu bangkit, bersiap untuk pulang. Sebelum pergi, gua menyempatkan diri untuk memberi kecupan di dahinya, lalu berbisik pelan; “Gua pulang ya…”
Tepat pukul 6 pagi, gua sudah tiba di apartemen. Sambil sarapan bubur yang tadi sempat gua beli di perjalanan pulang, gua membuka layar laptop dan mulai mencari rumah yang dijual. Gua sengaja memilih daerah yang nggak begitu jauh dari sini, dari apartemen tempat gua tinggal sekarang. Rumah yang nantinya bakal gua dan Aldina tempati, untuk sama-sama memulai semuanya dari awal lagi.
Ya tentu saja, nanti gua bakal memberi tahu hal ini kepadanya. Agar nggak menjadi keputusan satu pihak, agar kami sepakat.
Siangnya, gua berangkat menuju ke studio. Tentu saja ke tempat baru yang lokasinya berada nggak begitu jauh dari lokasi studio yang lama. Gua berdiri, menatap ke arah bangunan ruko tiga lantai dengan sebuah balkon berada di lantai dua. Di saat yang sama, Adam dan Andika terlihat baru saja datang dengan menggunakan sepeda motor. Mereka berseru memanggil gua.
“Ngapain malah bengong, ayo masuk” Ajak Adam.
Gua lantas mengikuti mereka berdua masuk ke dalam bangunan ruko.
Begitu berada di dalam, gua langsung merasakan suasana yang berbeda. Saat ini suasana studio terasa lebih formal, rasanya seperti tengah mengunjungi kantor atau perusahaan ketimbang sebuah studio kreatif. Meja-meja berderet lengkap dengan kursi kerja dan beberapa lemari kaca tempat menaruh dokumen. Terlihat juga beberapa wajah baru yang belum pernah gua lihat sebelumnya.
“Oi…” Seru Ketu yang baru saja menuruni tangga dari lantai dua. ia lalu mengajak gua ke atas, ke ruang meeting yang berada di lantai dua.
“Gua mau pamitan…” Bisik gua ke Ketu saat kami sudah berada di ruang meeting. Ia lalu mengangguk, dan memanggil Adam untuk mengajak rekan-rekan yang lain berkumpul di dalam ruang meeting.
Beberapa menit berselang, ruang meeting sudah dipenuhi oleh rekan-rekan. Saking penuhnya, bahkan ada beberapa orang yang nggak kebagian kursi dan harus berdiri. Diantara semua yang berkumpul, terlihat wajah wajah baru yang juga ikut serta. Padahal, ini hanya pamitan dan gua merasa nggak perlu berpamitan ke orang yang bahkan belum gua kenal.
Ketu berdiri di ujung ruangan. Ia lalu mulai bicara, memberikan mukadimah, kemudian mempersilahkan gua untuk bicara. Gua berdiri dan mengumbar senyum sambil menatap satu per satu dari rekan-rekan yang hadir. Kemudian mulai bicara;
“Hai guys… Apa kabar?” Tanya gua yang langsung dijawab oleh mereka semua serentak; “Baik kak”.
“Ok, mungkin ada yang belum kenal sama gua. Tapi, walaupun singkat.
Biarkan gua memperkenalkan diri deh; Nama gua Marshall. Gua dan Ketu, yang sama-sama membangun studio ini… Halo guys, salam kenal”
“Halo kak..”
“Mungkin beberapa dari kalian udah ada yang tahu. Tentang rencana gua untuk cabut dari sini..” Ucap gua.
Mendengar kalimat gua barusan, beberapa orang terlihat saling berbisik. Terutama Dinar yang terlihat membeku dan terus menatap gua.
“Jadi, sebelum gua pergi, gua mau mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Kerja bareng kalian adalah pengalaman yang luar biasa. Kita sudah sama-sama menghadapi banyak tantangan dan juga banyak keberhasilan bareng-bareng, dan itu semua berkat kerja keras dan dedikasi kalian.”
“...”
“... Jujur, gua bangga banget dengan apa yang sudah kita capai, kalian capai. Masing-masing dari kalian memberikan kontribusi yang penting dan unik. Terima kasih banyak!”
“...”
“...Keep pushing forward, stay humble, and don't forget to support one another.
“...”
“... Again, Terima kasih untuk perjalanan luar biasa ini dan semua kenangan indah yang udah kalian buat. Semoga sukses terus ya…” Ucap gua, sambil mengakhiri bicara.
Beberapa rekan terlihat merangsek ke depan, mengajukan pertanyaan. Semua pertanyaannya sama; “Kenapa cabut kak?”
Gua tersenyum dan menjawab; “Gua punya sesuatu yang harus gua kejar. Dan kayaknya bukan disini… Tapi, seandainya berjodoh, mudah-mudahan kita bisa bekerja bareng-bareng lagi nantinya”
Nggak mau terlalu lama berada disana, takut mengganggu pekerjaan, gua lalu pamit dan pergi. Sementara, Dinar terus mengikuti gua hingga keluar dari gedung.
“Jahat banget lo, Kak” Ucapnya pelan.
“...”
“... Lo mau kerja dimana? gua ikut lo aja” Tambahnya.
“Jangan, udah disini aja temenin Ketu dan yang lain. Kasih tau gua kalau ada apa-apa” Jawab gua.
“Ck..”
“Lagian, kita juga masih bisa sering ketemu. Biasanya juga lo kalo libur pulang ke rumah Mamah” Ucap gua.
Ia lalu mengangguk pelan. Kemudian mendekat dan memberikan pelukannya.
Ketu menyusul keluar; “Kowe balik ke apartemen opo piye?” Tanyanya.
“Kenapa emang?” Gua balik bertanya.
“Aku anter” Jawabnya.
“Yaudah anter gua ke stasiun aja” Ucap gua.
Ketu lalu menuju ke area parkir dimana ia memarkir sepeda motornya. Sementara gua masih berdiri dalam diam sambil menatap ke arah bangunan studio lengkap dengan rekan-rekan yang kini berdiri di balkon lantai dua sambil melambai ke arah gua. Terasa sesak di dalam dada. Bagaimana tidak, studio ini gua bangun dari awal, dari hanya iseng-iseng mengisi waktu sambil bekerja sebagai kuli bangunan bersama Ketu di rumah kontrakan, hingga menjadi seperti sekarang ini. Studio ini adalah ‘kesayangan’ gua, rumah gua tempat pulang, tempat berkesah, dan tempat berkenangan.
Tapi, kini gua punya hal baru untuk digapai. Kini gua punya tempat baru untuk pulang; ke sisi Aldina.
—
Dari stasiun Cisauk gua menuju ke Stasiun Pondok Ranji. Turun disana, lalu berganti dengan ojek online untuk menuju ke apartemen Aldina. Di sepanjang perjalanan, Ia sudah berkali-kali mengirim pesan dan berkali-kali menghubungi gua.
“Mana sih lama banget, ini Anggi udah kayak cacing kepanasang nanyain lo mulu” Ucapnya dari ujung sana.
“Ini lagi di ojek. Bentar lagi…” Jawab gua sambil bicara dengannya melalui pengeras suara ponsel dari boncengan sepeda motor yang melaju cepat.
Nggak lama berselang, gua akhirnya tiba di apartemen Aldina. Seperti biasa, gua masuk lewat lobby di area basement dengan menggunakan kartu akses yang ia berikan dan langsung menuju ke tempatnya.
Begitu gua datang, Anggi langsung berlari, mendekat dan menerjang gua dengan sebuah pelukan. Ia lalu menarik lengan gua menuju ke arah ruang keluarga dan memaksa Aldina untuk menunjukkan rekaman video berisi ia yang tadi tengah menyanyi. Sementara, Aldina hanya mendengus, lalu mengikuti permintaan anak semata wayangnya itu.
Gua menatap ke arah layar tablet yang menampilkan Anggi tengah bernyanyi sambil sedikit menari. Sementara, Anggi sendiri duduk di pangkuan gua seraya terus memperhatikan ekspresi gua setelah menonton videonya tersebut. Gua tersenyum dan bertepuk tangan.
“Wah keren, Anggi bisa jadi penyanyi lho…” Ucap gua ke Anggi.
“Iya Om. Anggi memang mau jadi penyanyi…” Serunya sambil melompat kegirangan.
Sementara, Aldina lalu menyentuh punggung tangan gua dan bertanya; “Udah makan?”
“Sarapan udah tadi. Gua baru abis dari studio, pamitan…” Jawab gua.
“Yaah, syedih dong” Godanya.
“Biasa aja” Jawab gua berbohong.
Setelahnya, Aldina lantas menyiapkan makan untuk gua. Sementara, Anggi mengajak gua bermain game yang berada di tablet miliknya.
Tiba-tiba ponsel gua berdering. Layarnya yang retak menampilkan nama nyokap. Gua berdiri, menuju ke balkon untuk menjawab panggilan telepon darinya.
“Halo…” Sapa gua.
“Halo, Sal.. Kata Dinar, kamu keluar dari studio?” Nyokap langsung mengajukan pertanyaan.
“Iya…” Gua menjawab singkat.
“Kenapa?” Tanyanya lagi.
“Gapapa…”
“Gapapa itu bukan jawaban, Sal.. Kamu ada masalah?” Tanyanya lagi.
“Nggak, Mah. Nggak ada apa-apa kok, bener” Jawab gua, mencoba meyakinkan dirinya.
“Ya kalo nggak ada apa-apa kenapa keluar?”
“...” Gua terdiam, nggak menjawab.
“... Coba jelasin, kalau emang ada masalah, cerita ke mamah ya. Jangan dipendam sendiri” Pintanya.
“Iya…” Gua menjawab singkat. Lalu terpikir; mungkin sudah saatnya gua bercerita ke nyokap tentang rencana gua, rencana kami ini. Sekalian meminta restunya.
“Yaudah. Inget, kalau ada apa-apa cerita” Ucapnya.
“Mah…”
“Ya…”
“Mamah hari ini ada dirumah?” Tanya gua.
“Sekarang sih di klinik, paling malam baru ada dirumah. Kenapa?”
“Marshall mau kesana, mau ngobrol”
“Oh, Yaudah..” Jawabnya.
“Sampe ketemu nanti ya” Pamit gua lalu mengakhiri obrolan.
Saat kembali masuk ke dalam ruangan dari balkon. Terlihat Aldina sudah berdiri di sisi sofa sambil membawa mangkok berisi mie instan rebus. Ia lalu meletakkan mangkok tersebut diatas meja, menatap gua dan bertanya; “Siapa?” Tentu saja merujuk ke sosok yang baru saja menghubungi gua.
“Mamah” Gua menjawab singkat, lalu duduk di lantai dan mulai menikmati mie instan buatan Aldina.
“Ada apa?” Tanyanya, sambil duduk di sebelah gua.
“Biasa si Dinar ember. Cerita ke nyokap kalo gua keluar dari studio” Jawab gua.
“Terus?”
“Yaudah, paling nanti gua kesana. Kayaknya emang gua harus ngasih penjelasan ke mereka..”
Mendengar jawaban gua barusan, Aldina langsung menyambut; “Kita ikut!” Serunya.
“Hah!?”
“Iya, kita ikut…” Aldina mengulang jawabannya, kali ini sambil menggenggam tangan Anggi. Sementara Anggi yang sebelumnya tengah bermain game di tablet langsung pasang tampang bingung, lalu menatap ke arah Aldina; “Kita mau kemana Mom?” Tanyanya.
“Ayo, Nggi.. kita harus siap-siap…” Aldina lantas berdiri dan mengajak Anggi menuju ke kamar.
Sementara gua melanjutkan makan, Aldina dan Anggi terdengar ribut perkara pakaian yang akan mereka kenakan. Anggi sendiri masih terus bertanya tentang kemana mereka akan pergi.
Aldina menyembulkan kepalanya dari arah dalam kamar; “Sal, ke salon dulu ya…” Ucapnya singkat lalu kembali masuk ke dalam.
Nggak lama berselang, mereka berdua sudah siap. Aldina nampak cantik dengan setelan kemeja putih dan celana denim berwarna biru. Sementara, Anggi mengenakan kaos putih yang dibalut overall denim berwarna senada dengan yang dipakai oleh Mommy-nya.
“Ke Salon dulu ya, Sal…” Ucap Aldina lagi, mengulang permintaan sebelumnya.
“Iya…”
“Kita mau kemana sih Mom?” Anggi masih terus bertanya.
“Kerumah Om Marshall” Jawab Aldina santai.
Setengah jam berikutnya, kami bertiga sudah berada di salon langganan Aldina. Sementara mereka berdua duduk sambil mendapat treatment, gua duduk menunggu; membaca majalah fashion yang gua nggak mengerti isinya.
Semua majalah yang berada di ruang tunggu salon sudah gua selesai baca, entah sudah berapa kali gua bolak-balik keluar untuk merokok. Dan entah sudah berapa kali gua merubah posisi duduk, namun Aldina dan Anggi masih belum selesai dengan urusan rambutnya. Menyadari gua yang sudah terlihat nggak sabar, seorang pegawai salon yang bertugas sebagai kasir lantas bicara ke gua; “Sabar ya Kak, sebentar lagi selesai kok…” Ucapnya sambil tersenyum.
Ucapan pegawai salon itu ternyata tepat. Nggak seberapa lama, Aldina dan Anggi sudah selesai. Kini rambut mereka berdua terlihat lebih berkilau dan harum pun dari arah gua duduk.
“Yuk..” Ajak Aldina setelah menyelesaikan pembayaran dan menuntun Anggi keluar dari salon.
“Kita mau kerumah Om Marshall?” Tanya Anggi saat kami sudah berada di dalam mobil.
“Iya sayang…” Jawab Aldina.
“Apartemen Om Marshall?” Tanyanya lagi.
“Bukan sayang, tapi ke rumah mamahnya Om Marshall” Aldina menjelaskan.
“Oh…”
“...”
“... Nanti aku panggilnya siapa? Nenek?” Tanya Anggi dengan gayanya yang lucu.
Gua dan Aldina lalu saling menatap. Belum terpikir untuk menentukan panggilan Anggi ke nyokap dan bokap gua.
“Ya, Nanti Anggi tanya yah… Mamah Om Marshall mau dipanggil apa” Ucap Aldina ke Anggi.
“Tapi, Anggi malu, Mommy…”
“Yaudah nanti biar Om Marshall yang tanya mewakili Anggi ya” Jawab Aldina seraya melirik ke arah gua; melempar tanggung jawab.
Sebelum tiba, saat sudah dekat dengan lokasi tujuan, Aldina terlihat mengambil alat makeup dari dalam tasnya, mengecek kondisi wajah dan rambutnya dengan kaca kecil yang sekaligus tempat alas bedaknya.
Gua melambatkan laju kendaraan, memutar kemudi masuk ke area parkir sebuah klinik. Klinik tempat nyokap menjalankan praktek. Sadar kalau kami berada di klinik, Anggi lantas pasang tampang bingung dan mengajukan pertanyaan ke Aldina; “Kita ke dokter ya Mom? Mommy sakit?”
“Nggak sayang…”
“Terus? Om Marshall?” Tanyanya lagi.
“Bukan sayang…”
Belum sempat, Aldina memberi jawaban, gua turun dan membuka pintu belakang bagian penumpang. Lalu membantu Anggi untuk turun dan menggandengnya masuk ke dalam klinik.
Di dalam klinik, terlihat ada beberapa pasien duduk di kursi kayu memanjang, sepertinya tengah menunggu di periksa. Seorang perawat yang baru saja selesai memeriksa pasien lantas mendekat ke arah kami; perawat yang sempat gua temui saat pertama kali berkunjung ke rumah waktu itu. Dan ia masih mengenali gua.
“Halo Kak.. Mau ketemu Ibu?” Tanyanya.
“Iya…” Jawab gua singkat.
“Sebentar ya…” Ucapnya, ia lalu berbalik dan bergegas menuju ke ruang periksa yang berada di ujung ruangan.
Nggak seberapa lama, ia kembali lalu mempersilahkan kami untuk duduk dan menunggu sebentar. Selama menunggu, Anggi kembali mengajukan pertanyaan. Karena pertanyaan sebelumnya yang ditujukan ke Mommy-nya nggak mendapat jawaban, kali ini ia mengajukan pertanyaan yang sama ke gua; “Om Marshall sakit?”
“Nggak, Cantik” Jawab gua sambil tersenyum.
“Terus kenapa kita ke dokter?” Tanyanya lagi.
Gua lantas menunjuk ke arah sebuah papan berisi nama nyokap gua beserta nomor izin praktek ke Anggi, kemudian memberikan jawaban; “Dokter itu, Mamahnya Om Marshall”
“Wah, kereeen” Serunya.
“...”
“... Berarti kalau Anggi sakit, kalau Om Marshall sakit, bisa berobat tanpa membayar dong?” Tanyanya lagi, lugu.
“Ya kalau bisa, Anggi jangan sampai sakit. Tapi, iya kalau ada apa-apa, kita bisa berobat; Gratis” Jawab gua, tentu saat menyebut kata ‘gratis’ sambil memelankan volume suara, takut di dengar oleh pasien lainnya.
Nggak seberapa lama, perawat yang tadi lalu menghampiri kami dan bicara; “Ayo kak..” Ia mengajak dan membimbing kami menuju ke ruang pemeriksaan.
“Lho, itu pasiennya masih ada yang nunggu mbak?” Tanya gua.
“Oh, itu nunggu obat Kak. Ibu sih udah selesai prakteknya…” Jawabnya.
“I see…”
Sementara, Aldina sejak tadi terlihat gugup. Gua lantas meraih dan menggenggam tangannya kemudian berbisik tepat di telinganya; “Santai aja sih”
Ia menatap gua, tersenyum sebentar lalu mengangguk.
Nyokap terlihat kaget saat melihat gua nggak hanya datang sendiri, melainkan bersama Aldina dan Anggi.
“Hai…” Sapanya. Lalu menghampiri gua, memberi kecupan di pipi. Kemudian beralih ke Aldina dan melakukan hal yang sama; “Apa kabar Din? Sehat?”
“Sehat, Tan..”
“Cantik banget sih kamu” Ucap Nyokap. Pandangannya lalu ia alihkan ke Anggi yang kini terlihat bersembunyi di balik tubuh gua. Nyokap mendekat sambil bicara; “Aduh, siapa ini? Cantik sekali…”
Aldina lantas memberi kode ke Anggi agar nggak perlu malu. Gua pun melakukan hal yang sama. Seakan mendapat dukungan dari kami berdua, Anggi perlahan maju, keluar dari persembunyiannya dan mulai memperkenalkan diri. “Halo, namaku Anggi…”
“Hai, Anggi… Aku Mamahnya Marshall… Sapa Nyokap, lalu menyambut tangan mungil Anggi dan membelai kepalanya.
“Aku panggilnya siapa? Nenek atau opung bou?” Tanya Anggi dengan gaya bicara yang lucu dan to the point.
Mendengar pertanyaan seperti itu dari Anggi, Nyokap lantas mendongak dan menatap kami berdua bergantian. Setelahnya barulah ia memberi jawaban; “Hmmm… Apa ya enaknya; Oh panggil Nini aja deh…”
Anggi lantas mengangguk sambil tersenyum.
“Nini, dokter ya?” Tanya Anggi.
“Iya, Cantik..”
Anggi lantas mendongak dan menatap gua; “Anggi mau jadi dokter aja deh, nggak mau jadi penyanyi” Ucapnya.
Gua lalu mengangguk pelan.
Nyokap lalu kembali berdiri dan menatap gua; “Jadi gimana Sal, mau ngobrol disini apa dirumah aja?” Tanya nyokap.
“Emang Mamah udah selesai praktek?” Gua balik bertanya.
“Udah dong… Eh mumpung disini, sekalian aja deh.. Sini Din..” Ucap Nyokap lalu memanggil Aldina mendekat.
Nyokap lantas melakukan pemeriksaan cepat ke Aldina. Setelahnya, mirip seperti orang yang tengah berobat ke dokter, ia berkonsultasi. Sementara, gua menunggu sambil duduk di ranjang pasien, dan Anggi sibuk memainkan boneka peraga dengan anatomi manusia yang berada di sudut ruangan.
Setelah selesai dengan urusan pemeriksaan. Nyokap lalu mengalihkan topik pembicaraan; “Kamu tau Din, Si Marshall keluar dari studio?” Tanyanya. Yang lantas direspon oleh Aldina dengan anggukan kepala.
“Kenapa sal?” Tanya nyokap ke gua.
Gua terdiam sebentar. Turun dari ranjang pasien, duduk di kursi tepat di sebelah Aldina dan mulai memberi penjelasan.
“Marshall mau memulai semuanya dari nol, sama dia” Jawab gua sambil menunjuk ke arah Aldina.
“Maksudnya?”
Aldina lalu dengan cepat mewakili gua memberi jawaban; “Kita mau menikah Tan, aku mau meminta izin dan restunya…”
Mendengar ucapan Aldina, Nyokap langsung terdiam. Terlihat ia beberapa kali menelan ludah dan seperti kesulitan untuk bicara. Setelah minum dan mencoba menenangkan diri, ia meraih ponsel dari dalam tasnya, lalu berdiri dan menghubungi seseorang.
“Halo, Pah.. Cepet pulang Pah..”
“...”
“... Marshall dan Aldina mau menikah”
“...”
“... Iya, serius. Ini Marshall dan Aldina ada disini sekarang, di klinik”
“...”
“... Iya, cepet pulang ya” Nyokap lantas mengakhiri panggilan.
ia lalu berdiri, membungkuk dengan kedua tangannya bertumpu pada meja, menatap ke arah gua dan Aldina secara bergantian. Sementara, Aldina mulai tampak khawatir, mungkin takut akan penolakan. Agar tenang, gua lantas kembali menggenggam tangannya.
“Kapan kalian mau menikah?” Tanya nyokap ke gua.
“Mmm belum tau, kan baru rencana..”
“Bisa ditunda dulu Sal” Ucapnya.
“Kenapa?” Tanya gua, lalu berpaling ke arah Aldina. Kami lalu saling pandang.
“Mamah sama Papah baru mau liburan ke Eropa minggu depan” Ucapnya.
Mendengar ucapan nyokap barusan, gua dan Aldina kompak menghembuskan nafas lega. Sementara, Nyokap lantas menghampiri Anggi yang masih sibuk bermain dengan patung peraga. Ia membungkuk dan bicara; “Anggi, Anggi mau jadi dokter seperti Nini?” Tanya nyokap.
“Mau…” Jawab Anggi.
“Then, study hard ya… Nanti Nini bantu sampai Anggi benar-benar bisa jadi dokter. Dokter perempuan paling hebat yang ada di dunia”
“Yeay…”
“Mau main ke rumah Nini? Nini punya banyak ice cream…”
Mendapat tawaran seperti itu, Anggi lantas menoleh ke arah mommy-nya seakan meminta persetujuan. Sementara Aldina lalu mengangguk sambil tersenyum.
“Mau…” Seru Anggi setelah mendapat persetujuan dari Aldina. Mereka berdua lantas keluar dari ruangan, meninggalkan kami berdua disini, di dalam ruang perawatan.
“Sekarang tinggal mikirin gambar ayam, Sal”
---
Tepat pukul 6 pagi, gua sudah tiba di apartemen. Sambil sarapan bubur yang tadi sempat gua beli di perjalanan pulang, gua membuka layar laptop dan mulai mencari rumah yang dijual. Gua sengaja memilih daerah yang nggak begitu jauh dari sini, dari apartemen tempat gua tinggal sekarang. Rumah yang nantinya bakal gua dan Aldina tempati, untuk sama-sama memulai semuanya dari awal lagi.
Ya tentu saja, nanti gua bakal memberi tahu hal ini kepadanya. Agar nggak menjadi keputusan satu pihak, agar kami sepakat.
Siangnya, gua berangkat menuju ke studio. Tentu saja ke tempat baru yang lokasinya berada nggak begitu jauh dari lokasi studio yang lama. Gua berdiri, menatap ke arah bangunan ruko tiga lantai dengan sebuah balkon berada di lantai dua. Di saat yang sama, Adam dan Andika terlihat baru saja datang dengan menggunakan sepeda motor. Mereka berseru memanggil gua.
“Ngapain malah bengong, ayo masuk” Ajak Adam.
Gua lantas mengikuti mereka berdua masuk ke dalam bangunan ruko.
Begitu berada di dalam, gua langsung merasakan suasana yang berbeda. Saat ini suasana studio terasa lebih formal, rasanya seperti tengah mengunjungi kantor atau perusahaan ketimbang sebuah studio kreatif. Meja-meja berderet lengkap dengan kursi kerja dan beberapa lemari kaca tempat menaruh dokumen. Terlihat juga beberapa wajah baru yang belum pernah gua lihat sebelumnya.
“Oi…” Seru Ketu yang baru saja menuruni tangga dari lantai dua. ia lalu mengajak gua ke atas, ke ruang meeting yang berada di lantai dua.
“Gua mau pamitan…” Bisik gua ke Ketu saat kami sudah berada di ruang meeting. Ia lalu mengangguk, dan memanggil Adam untuk mengajak rekan-rekan yang lain berkumpul di dalam ruang meeting.
Beberapa menit berselang, ruang meeting sudah dipenuhi oleh rekan-rekan. Saking penuhnya, bahkan ada beberapa orang yang nggak kebagian kursi dan harus berdiri. Diantara semua yang berkumpul, terlihat wajah wajah baru yang juga ikut serta. Padahal, ini hanya pamitan dan gua merasa nggak perlu berpamitan ke orang yang bahkan belum gua kenal.
Ketu berdiri di ujung ruangan. Ia lalu mulai bicara, memberikan mukadimah, kemudian mempersilahkan gua untuk bicara. Gua berdiri dan mengumbar senyum sambil menatap satu per satu dari rekan-rekan yang hadir. Kemudian mulai bicara;
“Hai guys… Apa kabar?” Tanya gua yang langsung dijawab oleh mereka semua serentak; “Baik kak”.
“Ok, mungkin ada yang belum kenal sama gua. Tapi, walaupun singkat.
Biarkan gua memperkenalkan diri deh; Nama gua Marshall. Gua dan Ketu, yang sama-sama membangun studio ini… Halo guys, salam kenal”
“Halo kak..”
“Mungkin beberapa dari kalian udah ada yang tahu. Tentang rencana gua untuk cabut dari sini..” Ucap gua.
Mendengar kalimat gua barusan, beberapa orang terlihat saling berbisik. Terutama Dinar yang terlihat membeku dan terus menatap gua.
“Jadi, sebelum gua pergi, gua mau mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Kerja bareng kalian adalah pengalaman yang luar biasa. Kita sudah sama-sama menghadapi banyak tantangan dan juga banyak keberhasilan bareng-bareng, dan itu semua berkat kerja keras dan dedikasi kalian.”
“...”
“... Jujur, gua bangga banget dengan apa yang sudah kita capai, kalian capai. Masing-masing dari kalian memberikan kontribusi yang penting dan unik. Terima kasih banyak!”
“...”
“...Keep pushing forward, stay humble, and don't forget to support one another.
“...”
“... Again, Terima kasih untuk perjalanan luar biasa ini dan semua kenangan indah yang udah kalian buat. Semoga sukses terus ya…” Ucap gua, sambil mengakhiri bicara.
Beberapa rekan terlihat merangsek ke depan, mengajukan pertanyaan. Semua pertanyaannya sama; “Kenapa cabut kak?”
Gua tersenyum dan menjawab; “Gua punya sesuatu yang harus gua kejar. Dan kayaknya bukan disini… Tapi, seandainya berjodoh, mudah-mudahan kita bisa bekerja bareng-bareng lagi nantinya”
Nggak mau terlalu lama berada disana, takut mengganggu pekerjaan, gua lalu pamit dan pergi. Sementara, Dinar terus mengikuti gua hingga keluar dari gedung.
“Jahat banget lo, Kak” Ucapnya pelan.
“...”
“... Lo mau kerja dimana? gua ikut lo aja” Tambahnya.
“Jangan, udah disini aja temenin Ketu dan yang lain. Kasih tau gua kalau ada apa-apa” Jawab gua.
“Ck..”
“Lagian, kita juga masih bisa sering ketemu. Biasanya juga lo kalo libur pulang ke rumah Mamah” Ucap gua.
Ia lalu mengangguk pelan. Kemudian mendekat dan memberikan pelukannya.
Ketu menyusul keluar; “Kowe balik ke apartemen opo piye?” Tanyanya.
“Kenapa emang?” Gua balik bertanya.
“Aku anter” Jawabnya.
“Yaudah anter gua ke stasiun aja” Ucap gua.
Ketu lalu menuju ke area parkir dimana ia memarkir sepeda motornya. Sementara gua masih berdiri dalam diam sambil menatap ke arah bangunan studio lengkap dengan rekan-rekan yang kini berdiri di balkon lantai dua sambil melambai ke arah gua. Terasa sesak di dalam dada. Bagaimana tidak, studio ini gua bangun dari awal, dari hanya iseng-iseng mengisi waktu sambil bekerja sebagai kuli bangunan bersama Ketu di rumah kontrakan, hingga menjadi seperti sekarang ini. Studio ini adalah ‘kesayangan’ gua, rumah gua tempat pulang, tempat berkesah, dan tempat berkenangan.
Tapi, kini gua punya hal baru untuk digapai. Kini gua punya tempat baru untuk pulang; ke sisi Aldina.
—
Dari stasiun Cisauk gua menuju ke Stasiun Pondok Ranji. Turun disana, lalu berganti dengan ojek online untuk menuju ke apartemen Aldina. Di sepanjang perjalanan, Ia sudah berkali-kali mengirim pesan dan berkali-kali menghubungi gua.
“Mana sih lama banget, ini Anggi udah kayak cacing kepanasang nanyain lo mulu” Ucapnya dari ujung sana.
“Ini lagi di ojek. Bentar lagi…” Jawab gua sambil bicara dengannya melalui pengeras suara ponsel dari boncengan sepeda motor yang melaju cepat.
Nggak lama berselang, gua akhirnya tiba di apartemen Aldina. Seperti biasa, gua masuk lewat lobby di area basement dengan menggunakan kartu akses yang ia berikan dan langsung menuju ke tempatnya.
Begitu gua datang, Anggi langsung berlari, mendekat dan menerjang gua dengan sebuah pelukan. Ia lalu menarik lengan gua menuju ke arah ruang keluarga dan memaksa Aldina untuk menunjukkan rekaman video berisi ia yang tadi tengah menyanyi. Sementara, Aldina hanya mendengus, lalu mengikuti permintaan anak semata wayangnya itu.
Gua menatap ke arah layar tablet yang menampilkan Anggi tengah bernyanyi sambil sedikit menari. Sementara, Anggi sendiri duduk di pangkuan gua seraya terus memperhatikan ekspresi gua setelah menonton videonya tersebut. Gua tersenyum dan bertepuk tangan.
“Wah keren, Anggi bisa jadi penyanyi lho…” Ucap gua ke Anggi.
“Iya Om. Anggi memang mau jadi penyanyi…” Serunya sambil melompat kegirangan.
Sementara, Aldina lalu menyentuh punggung tangan gua dan bertanya; “Udah makan?”
“Sarapan udah tadi. Gua baru abis dari studio, pamitan…” Jawab gua.
“Yaah, syedih dong” Godanya.
“Biasa aja” Jawab gua berbohong.
Setelahnya, Aldina lantas menyiapkan makan untuk gua. Sementara, Anggi mengajak gua bermain game yang berada di tablet miliknya.
Tiba-tiba ponsel gua berdering. Layarnya yang retak menampilkan nama nyokap. Gua berdiri, menuju ke balkon untuk menjawab panggilan telepon darinya.
“Halo…” Sapa gua.
“Halo, Sal.. Kata Dinar, kamu keluar dari studio?” Nyokap langsung mengajukan pertanyaan.
“Iya…” Gua menjawab singkat.
“Kenapa?” Tanyanya lagi.
“Gapapa…”
“Gapapa itu bukan jawaban, Sal.. Kamu ada masalah?” Tanyanya lagi.
“Nggak, Mah. Nggak ada apa-apa kok, bener” Jawab gua, mencoba meyakinkan dirinya.
“Ya kalo nggak ada apa-apa kenapa keluar?”
“...” Gua terdiam, nggak menjawab.
“... Coba jelasin, kalau emang ada masalah, cerita ke mamah ya. Jangan dipendam sendiri” Pintanya.
“Iya…” Gua menjawab singkat. Lalu terpikir; mungkin sudah saatnya gua bercerita ke nyokap tentang rencana gua, rencana kami ini. Sekalian meminta restunya.
“Yaudah. Inget, kalau ada apa-apa cerita” Ucapnya.
“Mah…”
“Ya…”
“Mamah hari ini ada dirumah?” Tanya gua.
“Sekarang sih di klinik, paling malam baru ada dirumah. Kenapa?”
“Marshall mau kesana, mau ngobrol”
“Oh, Yaudah..” Jawabnya.
“Sampe ketemu nanti ya” Pamit gua lalu mengakhiri obrolan.
Saat kembali masuk ke dalam ruangan dari balkon. Terlihat Aldina sudah berdiri di sisi sofa sambil membawa mangkok berisi mie instan rebus. Ia lalu meletakkan mangkok tersebut diatas meja, menatap gua dan bertanya; “Siapa?” Tentu saja merujuk ke sosok yang baru saja menghubungi gua.
“Mamah” Gua menjawab singkat, lalu duduk di lantai dan mulai menikmati mie instan buatan Aldina.
“Ada apa?” Tanyanya, sambil duduk di sebelah gua.
“Biasa si Dinar ember. Cerita ke nyokap kalo gua keluar dari studio” Jawab gua.
“Terus?”
“Yaudah, paling nanti gua kesana. Kayaknya emang gua harus ngasih penjelasan ke mereka..”
Mendengar jawaban gua barusan, Aldina langsung menyambut; “Kita ikut!” Serunya.
“Hah!?”
“Iya, kita ikut…” Aldina mengulang jawabannya, kali ini sambil menggenggam tangan Anggi. Sementara Anggi yang sebelumnya tengah bermain game di tablet langsung pasang tampang bingung, lalu menatap ke arah Aldina; “Kita mau kemana Mom?” Tanyanya.
“Ayo, Nggi.. kita harus siap-siap…” Aldina lantas berdiri dan mengajak Anggi menuju ke kamar.
Sementara gua melanjutkan makan, Aldina dan Anggi terdengar ribut perkara pakaian yang akan mereka kenakan. Anggi sendiri masih terus bertanya tentang kemana mereka akan pergi.
Aldina menyembulkan kepalanya dari arah dalam kamar; “Sal, ke salon dulu ya…” Ucapnya singkat lalu kembali masuk ke dalam.
Nggak lama berselang, mereka berdua sudah siap. Aldina nampak cantik dengan setelan kemeja putih dan celana denim berwarna biru. Sementara, Anggi mengenakan kaos putih yang dibalut overall denim berwarna senada dengan yang dipakai oleh Mommy-nya.
“Ke Salon dulu ya, Sal…” Ucap Aldina lagi, mengulang permintaan sebelumnya.
“Iya…”
“Kita mau kemana sih Mom?” Anggi masih terus bertanya.
“Kerumah Om Marshall” Jawab Aldina santai.
Setengah jam berikutnya, kami bertiga sudah berada di salon langganan Aldina. Sementara mereka berdua duduk sambil mendapat treatment, gua duduk menunggu; membaca majalah fashion yang gua nggak mengerti isinya.
Semua majalah yang berada di ruang tunggu salon sudah gua selesai baca, entah sudah berapa kali gua bolak-balik keluar untuk merokok. Dan entah sudah berapa kali gua merubah posisi duduk, namun Aldina dan Anggi masih belum selesai dengan urusan rambutnya. Menyadari gua yang sudah terlihat nggak sabar, seorang pegawai salon yang bertugas sebagai kasir lantas bicara ke gua; “Sabar ya Kak, sebentar lagi selesai kok…” Ucapnya sambil tersenyum.
Ucapan pegawai salon itu ternyata tepat. Nggak seberapa lama, Aldina dan Anggi sudah selesai. Kini rambut mereka berdua terlihat lebih berkilau dan harum pun dari arah gua duduk.
“Yuk..” Ajak Aldina setelah menyelesaikan pembayaran dan menuntun Anggi keluar dari salon.
“Kita mau kerumah Om Marshall?” Tanya Anggi saat kami sudah berada di dalam mobil.
“Iya sayang…” Jawab Aldina.
“Apartemen Om Marshall?” Tanyanya lagi.
“Bukan sayang, tapi ke rumah mamahnya Om Marshall” Aldina menjelaskan.
“Oh…”
“...”
“... Nanti aku panggilnya siapa? Nenek?” Tanya Anggi dengan gayanya yang lucu.
Gua dan Aldina lalu saling menatap. Belum terpikir untuk menentukan panggilan Anggi ke nyokap dan bokap gua.
“Ya, Nanti Anggi tanya yah… Mamah Om Marshall mau dipanggil apa” Ucap Aldina ke Anggi.
“Tapi, Anggi malu, Mommy…”
“Yaudah nanti biar Om Marshall yang tanya mewakili Anggi ya” Jawab Aldina seraya melirik ke arah gua; melempar tanggung jawab.
Sebelum tiba, saat sudah dekat dengan lokasi tujuan, Aldina terlihat mengambil alat makeup dari dalam tasnya, mengecek kondisi wajah dan rambutnya dengan kaca kecil yang sekaligus tempat alas bedaknya.
Gua melambatkan laju kendaraan, memutar kemudi masuk ke area parkir sebuah klinik. Klinik tempat nyokap menjalankan praktek. Sadar kalau kami berada di klinik, Anggi lantas pasang tampang bingung dan mengajukan pertanyaan ke Aldina; “Kita ke dokter ya Mom? Mommy sakit?”
“Nggak sayang…”
“Terus? Om Marshall?” Tanyanya lagi.
“Bukan sayang…”
Belum sempat, Aldina memberi jawaban, gua turun dan membuka pintu belakang bagian penumpang. Lalu membantu Anggi untuk turun dan menggandengnya masuk ke dalam klinik.
Di dalam klinik, terlihat ada beberapa pasien duduk di kursi kayu memanjang, sepertinya tengah menunggu di periksa. Seorang perawat yang baru saja selesai memeriksa pasien lantas mendekat ke arah kami; perawat yang sempat gua temui saat pertama kali berkunjung ke rumah waktu itu. Dan ia masih mengenali gua.
“Halo Kak.. Mau ketemu Ibu?” Tanyanya.
“Iya…” Jawab gua singkat.
“Sebentar ya…” Ucapnya, ia lalu berbalik dan bergegas menuju ke ruang periksa yang berada di ujung ruangan.
Nggak seberapa lama, ia kembali lalu mempersilahkan kami untuk duduk dan menunggu sebentar. Selama menunggu, Anggi kembali mengajukan pertanyaan. Karena pertanyaan sebelumnya yang ditujukan ke Mommy-nya nggak mendapat jawaban, kali ini ia mengajukan pertanyaan yang sama ke gua; “Om Marshall sakit?”
“Nggak, Cantik” Jawab gua sambil tersenyum.
“Terus kenapa kita ke dokter?” Tanyanya lagi.
Gua lantas menunjuk ke arah sebuah papan berisi nama nyokap gua beserta nomor izin praktek ke Anggi, kemudian memberikan jawaban; “Dokter itu, Mamahnya Om Marshall”
“Wah, kereeen” Serunya.
“...”
“... Berarti kalau Anggi sakit, kalau Om Marshall sakit, bisa berobat tanpa membayar dong?” Tanyanya lagi, lugu.
“Ya kalau bisa, Anggi jangan sampai sakit. Tapi, iya kalau ada apa-apa, kita bisa berobat; Gratis” Jawab gua, tentu saat menyebut kata ‘gratis’ sambil memelankan volume suara, takut di dengar oleh pasien lainnya.
Nggak seberapa lama, perawat yang tadi lalu menghampiri kami dan bicara; “Ayo kak..” Ia mengajak dan membimbing kami menuju ke ruang pemeriksaan.
“Lho, itu pasiennya masih ada yang nunggu mbak?” Tanya gua.
“Oh, itu nunggu obat Kak. Ibu sih udah selesai prakteknya…” Jawabnya.
“I see…”
Sementara, Aldina sejak tadi terlihat gugup. Gua lantas meraih dan menggenggam tangannya kemudian berbisik tepat di telinganya; “Santai aja sih”
Ia menatap gua, tersenyum sebentar lalu mengangguk.
Nyokap terlihat kaget saat melihat gua nggak hanya datang sendiri, melainkan bersama Aldina dan Anggi.
“Hai…” Sapanya. Lalu menghampiri gua, memberi kecupan di pipi. Kemudian beralih ke Aldina dan melakukan hal yang sama; “Apa kabar Din? Sehat?”
“Sehat, Tan..”
“Cantik banget sih kamu” Ucap Nyokap. Pandangannya lalu ia alihkan ke Anggi yang kini terlihat bersembunyi di balik tubuh gua. Nyokap mendekat sambil bicara; “Aduh, siapa ini? Cantik sekali…”
Aldina lantas memberi kode ke Anggi agar nggak perlu malu. Gua pun melakukan hal yang sama. Seakan mendapat dukungan dari kami berdua, Anggi perlahan maju, keluar dari persembunyiannya dan mulai memperkenalkan diri. “Halo, namaku Anggi…”
“Hai, Anggi… Aku Mamahnya Marshall… Sapa Nyokap, lalu menyambut tangan mungil Anggi dan membelai kepalanya.
“Aku panggilnya siapa? Nenek atau opung bou?” Tanya Anggi dengan gaya bicara yang lucu dan to the point.
Mendengar pertanyaan seperti itu dari Anggi, Nyokap lantas mendongak dan menatap kami berdua bergantian. Setelahnya barulah ia memberi jawaban; “Hmmm… Apa ya enaknya; Oh panggil Nini aja deh…”
Anggi lantas mengangguk sambil tersenyum.
“Nini, dokter ya?” Tanya Anggi.
“Iya, Cantik..”
Anggi lantas mendongak dan menatap gua; “Anggi mau jadi dokter aja deh, nggak mau jadi penyanyi” Ucapnya.
Gua lalu mengangguk pelan.
Nyokap lalu kembali berdiri dan menatap gua; “Jadi gimana Sal, mau ngobrol disini apa dirumah aja?” Tanya nyokap.
“Emang Mamah udah selesai praktek?” Gua balik bertanya.
“Udah dong… Eh mumpung disini, sekalian aja deh.. Sini Din..” Ucap Nyokap lalu memanggil Aldina mendekat.
Nyokap lantas melakukan pemeriksaan cepat ke Aldina. Setelahnya, mirip seperti orang yang tengah berobat ke dokter, ia berkonsultasi. Sementara, gua menunggu sambil duduk di ranjang pasien, dan Anggi sibuk memainkan boneka peraga dengan anatomi manusia yang berada di sudut ruangan.
Setelah selesai dengan urusan pemeriksaan. Nyokap lalu mengalihkan topik pembicaraan; “Kamu tau Din, Si Marshall keluar dari studio?” Tanyanya. Yang lantas direspon oleh Aldina dengan anggukan kepala.
“Kenapa sal?” Tanya nyokap ke gua.
Gua terdiam sebentar. Turun dari ranjang pasien, duduk di kursi tepat di sebelah Aldina dan mulai memberi penjelasan.
“Marshall mau memulai semuanya dari nol, sama dia” Jawab gua sambil menunjuk ke arah Aldina.
“Maksudnya?”
Aldina lalu dengan cepat mewakili gua memberi jawaban; “Kita mau menikah Tan, aku mau meminta izin dan restunya…”
Mendengar ucapan Aldina, Nyokap langsung terdiam. Terlihat ia beberapa kali menelan ludah dan seperti kesulitan untuk bicara. Setelah minum dan mencoba menenangkan diri, ia meraih ponsel dari dalam tasnya, lalu berdiri dan menghubungi seseorang.
“Halo, Pah.. Cepet pulang Pah..”
“...”
“... Marshall dan Aldina mau menikah”
“...”
“... Iya, serius. Ini Marshall dan Aldina ada disini sekarang, di klinik”
“...”
“... Iya, cepet pulang ya” Nyokap lantas mengakhiri panggilan.
ia lalu berdiri, membungkuk dengan kedua tangannya bertumpu pada meja, menatap ke arah gua dan Aldina secara bergantian. Sementara, Aldina mulai tampak khawatir, mungkin takut akan penolakan. Agar tenang, gua lantas kembali menggenggam tangannya.
“Kapan kalian mau menikah?” Tanya nyokap ke gua.
“Mmm belum tau, kan baru rencana..”
“Bisa ditunda dulu Sal” Ucapnya.
“Kenapa?” Tanya gua, lalu berpaling ke arah Aldina. Kami lalu saling pandang.
“Mamah sama Papah baru mau liburan ke Eropa minggu depan” Ucapnya.
Mendengar ucapan nyokap barusan, gua dan Aldina kompak menghembuskan nafas lega. Sementara, Nyokap lantas menghampiri Anggi yang masih sibuk bermain dengan patung peraga. Ia membungkuk dan bicara; “Anggi, Anggi mau jadi dokter seperti Nini?” Tanya nyokap.
“Mau…” Jawab Anggi.
“Then, study hard ya… Nanti Nini bantu sampai Anggi benar-benar bisa jadi dokter. Dokter perempuan paling hebat yang ada di dunia”
“Yeay…”
“Mau main ke rumah Nini? Nini punya banyak ice cream…”
Mendapat tawaran seperti itu, Anggi lantas menoleh ke arah mommy-nya seakan meminta persetujuan. Sementara Aldina lalu mengangguk sambil tersenyum.
“Mau…” Seru Anggi setelah mendapat persetujuan dari Aldina. Mereka berdua lantas keluar dari ruangan, meninggalkan kami berdua disini, di dalam ruang perawatan.
“Sekarang tinggal mikirin gambar ayam, Sal”
---
Backstreet Boys - I'll Never Break Your Heart
Baby, I know you're hurting
Right now you feel like
You could never love again
Now all I ask is for a chance
To prove that I love you
From the first day
That I saw your smiling face
Honey, I knew that we would be
Together, forever, oh, oh, oh
Ooh, when I asked you out
You said, "No", but I found out
Darling, that you'd been hurt
You thought that you'd never love again
I deserve a try honey just once
Give me a chance and I'll prove this all wrong
You walked in, you were so quick to judge
But honey, he's nothing like me
I'll never break your heart
I'll never make you cry
I'd rather die than live without you
I'll give you all of me (give you all of me)
Honey, that's no lie (that's no lie)
I'll never break your heart
(I'll never break your heart, baby)
I'll never make you cry
(I never wanna see you cry)
I'd rather die than live without you
(No, no, live without you)
I'll give you all of me, honey, that's no lie
viper990 dan 58 lainnya memberi reputasi
59
Kutip
Balas
Tutup