Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Aldina melepas sabuk pengaman, lalu dengan cepat menerjang gua, memberikan pelukan. Sementara dari arah belakang terdengar suara klakson mobil yang memberi sign ke kiri. Sepertinya ingin berbelok masuk ke area tempat gua menepikan kendaraan. Masih dalam pelukan Aldina, gua lantas mengganti perseneling dan kembali melanjutkan perjalanan.
“Udah awas, sana duduk lagi yang bener, pake sabuk pengamannya” Ucap gua, seraya berusaha keluar dari pelukannya.
“Ck…” Ia mundur lalu kembali duduk dan memakai sabuk pengaman.
Tangannya lalu mulai menekan layar head unit pada dashboard, memasukkan alamat di fitur GPS yang lalu disusul berubahnya layar menjadi tampilan peta dengan garis meliuk-liuk yang didominasi warna orange dan merah.
“Katanya mau jemput Anggi?” Tanya gua saat melihat alamat pada layar yang nggak menampilkan alamat rumah Reni.
“Ya Anggi kan di rumah Jeje” Jawab Aldina santai.
“Lah, kenapa nggak diajak aja sama Jeje tadi biar sekalian?” Tanya gua.
“Angginya kan sekolah”
“Emang udah mulai masuk, bukannya masih sekolah dari rumah?”
“Udah mulai masuk, tapi seminggu dua kali” Aldina memberi jawaban yang lantas gua respon dengan ‘Oh’ singkat.
Setelah menghabiskan waktu hampir satu jam setengah, kami akhirnya tiba di rumah Jeje. Sebuah rumah yang terlihat sangat sederhana jika dibandingkan dengan sosok si empunya. Rumah model jaman baheula dengan halaman berkerikil yang luas.
Saat kami baru saja memarkir mobil, terlihat Anggi sudah melompat sambil melambai ke arah kami. Aldina langsung turun dari dalam mobil dan berjalan cepat menghampiri Anggi, bersiap memberikan pelukan.
Belum lama berada di pelukan Aldina, Anggi berusaha lepas dan berlari mendekat ke arah mobil, ke arah gua yang baru saja keluar. Ia membuka lebar kedua tangannya sambil berseru; “Om Marshall”
Gua meraih tubuhnya yang mungil, mengangkatnya ke udara dan menggendongnya. Saat berada dalam gendongan, ia mulai berceloteh, bertanya tentang kabar hingga menyusun rencana untuk kami menggambar bersama.
“Iya nanti kita menggambar ya” Ucap gua seraya mendekat ke arah Aldina yang kini pasang tampang cemberut.
Nggak lama, keluar dari arah dalam rumah, istri Jeje; Lady. “Eh udah sampe. Lho nggak bareng Jeje?” Tanyanya.
“Nggak, masih ada urusan kayaknya” Jawab Aldina.
Lady lantas berpaling ke gua; “Halo, apa kabar sal?” Tanyanya.
“Baik. Gimana Sere? Sudah sehat?” Gua balik bertanya.
“Sehat dong. Tuh lagi tidur di dalem” Jawabnya sambil menunjuk ke arah bagian dalam rumah.
“Nggak usah Lad, kita langsung aja deh…” Jawab Aldina.
Lady lantas memberi kode agar Anggi segera turun dari gendongan gua; “Anggi turun nak, ambil dulu tas nya yang tadi mamah siapin…”
“Iya mah” Jawab Anggi, lalu turun dari gendongan gua dan segera berlari masuk ke dalam rumah. Nggak lama berselang ia sudah kembali keluar, kini sambil menyeret tas miliknya.
Gua dengan cepat meraih tas dari tangan Anggi dan membawanya. Sementara Lady lalu membungkuk di depan Anggi dan memberinya kecupan; “Yang baik ya nggi…”
“Iya Mamah cantik” jawab Anggi.
Lady lalu beralih ke Aldina. “Dia besok ada tugas kesenian kak, di suru menyanyi”
“Oh, online kan?” Tanya Aldina.
“Iya… tau tuh udah hapal lagunya apa belum. Dari kemarin disuruh ngapalin malah main terus” keluh Lady ke Aldina.
Aldina lantas melirik ke arah Anggi sambil tersenyum.
Setelah bercakap sebentar kami berdua lalu pamit dan bergegas pulang.
Begitu di dalam mobil, Aldina yang sengaja duduk di kursi penumpang bagian belakang bersama Anggi langsung menyambar tubuh Anggi, memeluk, ngusel manja, lalu mencumbunya berulang kali membabi buta sambil bergumam pelan: “Mommy kan kangen…”
Sementara, Anggi hanya tertawa geli mendapat perlakuan seperti itu dari Mommy-nya.
Sebelum menuju ke apartemen, Aldina yang mengeluh lapar memberi kode ke gua agar mampir sebentar ke tempat makan.
“Anggi mau makan apa cantik?” Tanya gua ke Anggi.
“Hmmm… ayam goreng” Serunya.
“Aih, yang laper gua yang ditanya Anggi” Aldina menggumam pelan, lalu menunjuk ke arah resto cepat saji yang punya menu khusu ayam goreng.
Gua duduk disebelah Aldina. Kami sama-sama menatap Anggi yang masih belum selesai makan. Ia lalu mendekat ke arah gua; “Udah buruang ngomong…” bisik Aldina ke gua, meminta gua bicara tentang rencana pernikahan kami ke Anggi.
“Lo aja lah…” balas gua, juga sambil berbisik.
“Yee masak gua sih. Ya elo lah” balasnya, kini sudah tak lagi berbisik.
“Ya elo lah… Lo kan emaknya”
“Ya elo kan yang mau jadi bapaknya”
Tanpa sadar Anggi tengah menatap ke arah kami berdua, mendengarkan dengan seksama perdebatan gua dan Mommy-nya.
Anggi yang sudah cukup mengerti dengan konsep pernikahan tentu saja langsung mengajukan pertanyaan ke kami berdua; “Are you getting merried?”
Gua menelan ludah. Sementara Aldina terlihat linglung. Setelah menarik nafas dalam-dalam, gua lantas menggeser kursi agar lebih dekat dengannya.
“Gini, nggi. Om sama Mommy sudah sepakat untuk terus sama-sama…”
Belum sempat gua menyelesaikan kalimat, Anggi kembali mengajukan pertanyaan, pertanyaan yang sama dengan sebelumnya; “… Are you getting married?”
Gua mengangguk, sambil menjawab singkat; “Iya…”
Anggi lalu tersenyum, turun dari kursi, menghampiri dan langsung memberikan pelukan ke gua. “… then you gonna be my dad?”
“Iya. Anggi mau nggak nerima aku jadi ayahnya Anggi?”
Anggi lantas mengangguk; “Mau”
Ia lalu melepas pelukan dan bersorak; “Yeay…”
Begitu kembali ke tempat duduknya, Anggi menatap Aldina dan bicara; “Tapi Aku punya permintaan…”
“Apa?” Tanya Aldina.
“Kalau mommy mau menikah sama Om Marshall, Mommy harus bisa menggambar ayam sebagus gambar Om Marshall…” tambahnya.
Mendengar permintaan dari Anggi, Aldina langsung merespon cepat; “Lho yang mau menikah kan kami berdua, kenapa cuma Mommy yang dapat syarat?”
“Ya kan Om Marshall udah bisa menggambar” Anggi menjawab santai sambil terus menghabiskan porsi ayam goreng miliknya. Sementara gua hanya tersenyum dan melirik ke arah Aldina yang nampak panik.
“Rasain” gua menggumam pelan, lalu terkekeh.
Setelah Anggi menyelesaikan makan, Aldina lantas mengajak Anggi berdiskusi, melakukan negosiasi singkat perkara syarat yang barusan ia ajukan. Namun, Anggi bersikeras. Ingin tetap membuat Mommy-nya menggambar ayam dengan baik dan benar; ayam yang bentuknya benar-benar menyerupai ayam sungguhan, bukan binatang lain.
Aldina menyerah. Ia lalu meraih tasnya dan berdiri, bersiap untuk pulang.
“Ayo, nggi” ajak gua. Anggi berdiri meraih tangan gua dan bergegas menuju ke area parkir meninggalkan Aldina yang masih sibuk memesan ice cream untuknya.
Setibanya di apartemen, Anggi langsung berlari menuju kamarnya, lalu kembali dengan buku gambar dan boks kecil berisi perlengkapan pensil warna.
“Ayo om, kita mulai menggambar” ajak Anggia, yang kemudian menuju ke meja di ruang keluarga.
“Mommy ikutan ya” pinta Aldina, ingin sesegera mungkin belajar cara menggambar ayam.
Lalu sisa sore itu kami berdua menghabiskan waktu dengan menggambar dan mewarnai. Sementara, Aldina sejak tadi hanya berkutat pada selembar kertas, mencoba meniru gambar ayam yang sebelumnya pernah gua buat. Selama mencoba nggak henti-hentinya ia berkeluh; “Ck..”, “Ah..”, “Hadeuh…”
Hingga akhirnya ia merebahkan kepalanya di meja, tepat di atas lembaran kertas miliknya, sambil menatap ke arah kami berdua yang masih sibuk menggambar. “Anggi, Nggi….” Panggilnya dengan suara lesu.
“...”
“... Boleh nggak syaratnya diganti, please..” Tambahnya.
Anggi menoleh ke arah Mommy-nya lalu menggeleng; “No, no…”
Setelah lelah menggambar, kami bertiga makan malam bersama, tentu dengan menu makanan yang dipesan Aldina melalui aplikasi ojek online.
Karena sepertinya memasak bukanlah bagian dari dirinya. Ia memang nggak ditakdirkan hidup untuk memasak. Aldina menyuapi Anggi yang sambil berlatih menghafal lagu untuk dinyanyikan besok, sementara gua hanya memandangi mereka berdua sambil tersenyum.
Masih sambil mengunyah, Anggi mulai menyanyikan lagu Do Re Mi; “Doe, a dear, a female dear…”
Aldina mengoreksi ucapan Anggi; “...Deer”
“Doe, a deer, a female deer. Ray, a drop of golden sun…” Anggi menyanyi sambil menari. Sesekali, ia berhenti, memberi sedikit jeda karena harus menelan makanan di mulutnya.
“...”
“...Me, a name I call myself. Far, a long, long way to run…”
“...”
“... Saw, a needle pulling thread. La, a note to follow Saw” Anggi lanjut menyanyi, masih sambil menari.
Aldina kembali mengoreksi ucapan Anggi; “...Sew”
“Sew, a needle pulling thread. La, a note to follow Sew. Tea, I drink with jam and bread. That will bring us back to Do, oh oh oh…”
Kami berdua lantas langsung bertepuk tangan begitu Anggi selesai bernyanyi. “Keren!” Seru gua sambil mengangkat kedua ibu jari ke atas.
Setelah lelah berlatih Anggi lalu duduk di atas sofa, bermain game melalui tablet, sementara gua dan Aldina duduk di lantai bersandar pada sofa, menatap ke layar televisi yang tengah menampilkan serial drama favoritnya.
“Ini kan dulu udah pernah lo tonton” Ucap gua begitu menyadari kalau serial yang kini tengah ditontonnya merupakan serial yang sama yang dulu pernah ia tonton waktu di apartemen gua.
“Ya re-watch” Responnya santai.
“Emang nggak ada serial yang lain?” Tanya gua.
Mendengar pertanyaan gua barusan, ia langsung menoleh dan menatap tajam; “Udah diem”
Baru beberapa menit berlalu, sudah tak terdengar lagi suara celotehan Anggi dari belakang, dari atas sofa. Gua dan Aldina sontak menoleh dan mendapati Anggi sudah terlelap.
“Angkat Sal…” Bisiknya. Ia lalu berdiri dan menuju ke arah kamar Anggi kemudian masuk ke dalam. Nggak lama berselang, ia kembali keluar dan memberikan kode dengan tangannya agar gua segera membawa Anggi ke dalam kamar.
Dengan perlahan dan hati-hati, gua menyelipkan tangan dibelakang kepala Anggi dan mulai mengangkatnya, membawanya ke dalam kamar kemudian merebahkannya di atas ranjang. Sementara, Aldina lantas menyelubunginya dengan selimut hingga menutupi nyaris seluruh tubuhnya. Ia memberikan kecupan di dahi, dan di pipi Anggi lalu menyusul gua keluar dari kamar.
Kami berdua lalu sama-sama duduk di sofa, melanjutkan menonton serial drama favoritnya. Bosan dengan tontonan yang sudah pernah gua saksikan, gua berdiri, menuju ke balkon untuk merokok. Sesekali, gua berbalik, menatap Aldina dari balik pintu kaca. Ia kini tengah menatap layar televisi sambil memegangi kotak tisu dan menyeka sudut matanya yang berlinang. Mungkin tengah sampai di episode dimana pasangan tokoh utamanya kedapatan selingkuh.
Setelah menghabiskan beberapa batang, gua kembali masuk ke dalam dan mendapati Aldina kini berbaring di atas sofa, masih sambil memegangi kotak tisu. Sementara gua menuju ke dapur untuk membuat kopi. Sekembalinya dari dapur dengan segelas kopi, terlihat Aldina sudah memejamkan matanya; terlelap.
Gua meraih remot, mematikan televisi. Lalu dengan hati-hati mengambil kotak tisu dari dekapannya dan mengembalikannya ke meja. Perlahan gua memindahkan tubuhnya ke gendongan dan membawanya masuk ke dalam kamarnya. Setelah membaringkannya diatas ranjang, gua menyalakan pendingin ruangan dan menarik selimut; menyelubungi tubuhnya. Saat hendak memberikan kecupan di dahi dan pamit untuk pulang, tiba-tiba Aldina membuka matanya.
Saat itu, posisi wajah kami berdua begitu dekat.
“Mau kemana?” Tanyanya dengan suara lirih.
“Pulang” Gua menjawab singkat dan juga lirih.
Ia lalu meraih kerah kaos yang gua kenakan dan menariknya. Membuat gua terjatuh di atas ranjang tepat di sebelahnya. Aldina mengubah posisi tubuhnya, kini menghadap ke arah gua. Sambil menopang kepalanya dengan tangannya ia lalu bicara; “Sal, you know what? I hate the way you talk to me, and the way you drive my car. I hate it when you stare. I hate your big dumb head, and the way you read my mind. I hate you so much it makes me sick..”
“...”
“I hate the way you're always right. I hate it when you lie. I hate it when you make me laugh, even worse when you make me cry. I hate it when you're not around, and the fact that you didn't call.”
“...”
“... But mostly I hate the way I don't hate you. Not even close, not even a little bit, not even at all.” Tambahnya.
“So do i…” Balas gua, lalu mengecup bibirnya perlahan.
“Sal…”
“Ya…”
“Besok kalau nggak ada kesibukan ajarin gua gambar ayam, ya…” Ucapnya pelan sambil memainkan ujung telinga gua.
Gua tertawa sambil mengangguk.
—
"Do-Re-Mi" - THE SOUND OF MUSIC
Let's start at the very beginning
A very good place to start
When you read you begin with A B C
When you sing you begin with Do Re Mi
Do Re Mi, Do Re Mi
The first three notes just happen to be
Do Re Mi, Do Re Mi
Do Re Mi Fa So La Ti
Doe, a deer, a female deer
Ray, a drop of golden sun
Me, a name I call myself
Far, a long long way to run
Sew, a needle pulling thread
La, a note to follow so
Tea, a drink with jam and bread
That will bring us back to Do
A deer, a female deer, Doe
A drop of golden sun, Ray
A name I call myself, Me
A long long way to run, Far
Sew, a needle pulling thread
La, a note to follow so
Tea, a drink with jam and bread
That will bring us back to
Doe, a deer, a female deer
Ray, a drop of golden sun
Me, a name I call myself
Far, a long long way to run
Sew, a needle pulling thread
La, a note to follow so
Tea, a drink with jam and bread
That will bring us back to Do