Sumber Gambar

Ibunda Atta Halilintar, Lenggogeni Faruk atau Geni Faruk, sempat menyebut putranya, Thariq Halilintar, sudah haji di usia dua bulan. Pernyataan ini disampaikan saat acara lamaran Thariq dengan Aaliyah Massaid pada 23 Juni 2024. Dalam momen tersebut, Geni meminta agar Thariq dipanggil haji karena telah diajak tawaf bersama orang tuanya saat masih bayi. Imbas dari pernyataan tersebut, Geni Faruk menjadi sasaran hujatan dan ejekan netizen. Banyak yang menganggap keluarga Halilintar terlalu berlebihan dan haus gelar, sehingga keramaian ini pun dengan cepat menyebar di media sosial.

Menanggapi kritik dan ejekan yang muncul, Geni Faruk akhirnya memberikan klarifikasi. Ia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan haji untuk Thariq adalah Haji Bayi, dan bahwa gelar tersebut harus diulang ketika Thariq dewasa. Geni juga menambahkan bahwa pernyataannya untuk memanggil Thariq dengan gelar haji hanyalah candaan semata untuk mencairkan suasana pada acara lamaran. Meskipun demikian, klarifikasi tersebut belum sepenuhnya meredakan tanggapan negatif dari netizen, yang terus memperdebatkan keabsahan dan kelayakan penggunaan gelar tersebut dalam konteks yang serius.

Sumber Gambar

Menurut opini TS, elar haji di Indonesia memang sering kali dianggap sebagai sesuatu yang membanggakan dan istimewa bagi banyak orang. Meskipun gelar ini tampaknya unik dan spesifik untuk Indonesia, di mana keberhasilan menunaikan ibadah haji sering kali dihubungkan dengan prestise sosial, sebenarnya esensi dari haji itu sendiri jauh lebih dalam. Haji adalah ibadah spiritual yang menuntut niat yang tulus dan pelaksanaan yang khusyuk, bukan sekadar pencapaian gelar yang dapat dipamerkan kepada orang lain. Fokus seharusnya adalah pada kualitas ibadah dan kesungguhan hati dalam melaksanakan rukun Islam tersebut, bukan pada mencari pengakuan atau pujian dari lingkungan sosial.

Apa yang dilakukan oleh Geni Faruk dengan menyebut Thariq Halilintar sebagai “Haji Bayi” mungkin dimaksudkan sebagai candaan atau bentuk kelakar dalam suasana acara lamaran. Namun, dalam konteks publik dan media sosial, candaan semacam ini bisa disalahartikan dan menimbulkan reaksi negatif. Netizen yang melihatnya bisa merasa bahwa keluarga Halilintar terlalu mementingkan gelar dan status sosial, yang pada akhirnya memicu hujatan dan ejekan. Hal ini menunjukkan betapa sensitifnya isu gelar haji dalam masyarakat Indonesia dan bagaimana sebuah pernyataan bisa menjadi kontroversi di mata publik.

Sebagai publik figur, Geni Faruk dan keluarganya seharusnya lebih berhati-hati dalam ucapan dan sikap mereka di ruang publik. Sebagai contoh bagi masyarakat, sikap rendah hati dan kesadaran akan dampak dari setiap kata dan tindakan sangatlah penting. Publik figur memiliki tanggung jawab untuk menunjukkan etika yang baik dan tidak memanfaatkan nilai-nilai agama untuk kepentingan pribadi atau sebagai bahan candaan. Melalui tindakan mereka, seharusnya mereka dapat memberi contoh tentang bagaimana menjalani ibadah dan nilai-nilai agama dengan penuh keseriusan dan keikhlasan, bukan sekadar sebagai alat untuk mendapatkan pengakuan atau status sosial.

Sumer Valid (baca baik-baik): Link Referensi 1 , Link Referensi 2