- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa

Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 21:29
viper990 dan 214 lainnya memberi reputasi
215
398.4K
Kutip
4.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#2649
Part 95 - Sebuah Maaf
Spoiler for Part 95 - Sebuah Maaf:
“Nah, ko apakan itu dulu, sambil nunggu aku belanja bahannya” Ucap Bokapnya Aldina sambil menunjuk ke atas, ke arah atap.
Gua mengernyitkan dahi. ‘Apanya yang diapakan?’ batin gua dalam hati. Tapi, dengan cepat menyadari kalau yang dimaksudnya adalah membetulkan genteng.
“Oh, Iya nanti…” Gua menjawab singkat sambil terus merokok.
“Ya sekarang lah. Biar nanti kalau gentengnya datang tinggalnya ko pasang” Ucapnya.
“Lah, nanti kalau udah saya copot genteng yang retak. Terus situ nggak dapet gentengnya, dan ujan gimana? jadi waterpark nih rumah” Jawab gua.
“Hah? ‘Situ’?” Tanyanya sambil menggeram, memberi penekanan pada kata ‘Situ’ yang sebelumnya gua ucapkan. Rupanya ia merasa kurang nyaman saat gua menggunakan kata ‘Situ’ sebagai kata ganti dirinya.
“Nanti kalau udah saya copot genteng yang retak. Terus Om nggak dapet gentengnya, dan ujan gimana?” Tanya gua merevisi kalimat sebelumnya.
“Awas ko cakap asal lagi, ku tunjang muncungmu nanti..” Serunya.
“Ya maaf” Ucap gua pelan.
Ia lantas melipat lembaran kertas yang sebelumnya digunakan untuk mencatat bahan yang akan dibelinya, memasukkanya ke saku kemeja dan bersiap untuk pergi.
“Jangan ko pigi kemana-mana ya” Ujarnya sebelum pergi.
Gua lantas lanjut merokok di teras, sementara bokapnya Aldina pergi keluar dengan menggunakan sepeda motor bebek yang sebelumnya terparkir di bagian dalam garasi.
Setengah jam berikutnya, ia kembali. Tanpa banyak bicara, ia memarkir sepeda motor, lalu duduk di kursi teras dan mulai merokok. Nggak lama, datang sebuah mobil pickup yang berhenti tepat di depan rumah. Bokapnya Aldina berdiri dan memberi kode agar menurunkan semua bahan dan material di area carport. Lalu direspon dengan anggukan kepala oleh si pengantar, yang langsung mengikuti instruksi bokapnya Aldina.
Menyadari kalau bahan-bahan yang dibutuhkan sudah tiba, gua lalu berdiri, mengambil tangga dan menyandarkannya di tepi kanopi, bersiap untuk naik.
“Nggak ko ganti dulu bajumu?” Tanya bokapnya Aldina sambil menunjuk ke arah kaos yang gua kenakan.
Gua menggeleng.
“... Tunggu. Jangan ko naik dulu” Tambahnya. Ia masuk ke dalam rumah, lalu kembali beberapa menit berikutnya sambil membawa kaos tipis berlogo partai dan celana jeans yang terlihat usang.
Gua meraih kaos dan celana yang diberikannya. Yang lalu tanpa sepengetahuannya, gua memotong celana jeans yang ia berikan. Merasa nggak nyaman kalau harus bekerja dengan celana panjang; apalagi yang bahannya cukup tebal seperti jeans ini.
Saat gua sudah bersiap untuk mulai bekerja. Bokapnya Aldina juga sudah bersiap untuk pergi. Sepertinya berangkat untuk bekerja.
“Aku berangkat dulu” Pamitnya.
“Iya” Jawab gua singkat.
Hari itu gua mulai bekerja sebagai ‘tukang bangunan’ di rumah bokapnya Aldina. Dimulai dari melepas dan mengganti genteng-genteng yang pecah juga retak di bagian paling belakang rumah. Nantinya akan bertahap mengganti genteng yang retak di bagian depan.
Menjelang siang, Bokapnya Aldina pulang. Ia membawa bungkusan makanan yang sepertinya ia beli di warung makan padang terdekat.
“Turunlah dulu, Makan!” Serunya dari lantai bawah.
Gua yang sejak tadi memang sudah lapar lalu bergegas turun.
Saat mengira bakal makan bersamanya di dalam, di meja makan, ternyata tebakan gua salah. Terlihat bokap Aldina sudah ‘menggelar’ bungkusan nasi tepat di atas lantai, di permukaan teras.
“Duduk, makan” Serunya, seraya menunjuk lantai di depannya. Sementara ia sudah terlebih dahulu duduk dan mulai makan langsung dengan tangan, tanpa menggunakan sendok.
Gua berdiri, terdiam, mematung. Terkejut dengan sikapnya. ‘Apa mungkin ia berlaku seperti ini sehari-hari. Atau hanya saat ini saja, saat bersama dengan gua?’ batin gua dalam hati. Lalu perlahan membungkuk, duduk di atas lantai teras dan mulai makan.
Sambil makan, Bokapnya Aldina lalu mulai bercerita tentang masa kecil anak semata wayangnya itu. Sikap, tabiat, gaya bergaul, kebiasaan, semuanya ia ceritakan. Nggak hanya itu, ia juga bercerita tentang kepedihan yang dirasakan saat kehilangan istrinya, nyokapnya Aldina, yang membuat ia membenci anaknya, setidaknya saat itu.
“Sekarang udah nggak benci kan?” Tanya gua, sambil mengunyah makanan.
“Bah!, Semalam sudah kubilang, sayang kali aku sama dia” Jawabnya, juga sama; sambil mengunyah makanan, bahkan hingga menyembur.
“Ya nanya lagi kan gapapa, daripada salah” Gua merespon singkat.
Setelah selesai makan, gua langsung melanjutkan pekerjaan. Sementara, bokapnya Aldina terlihat kembali keluar dari rumah dengan menggunakan mobilnya.
Ia pulang saat hari menjelang maghrib, saat gua tengah mencuci kaki di kran yang berada di teras rumah setelah selesai memasang sebagian genteng, sekaligus membongkar talang gantung yang berada di bagian belakang rumah.
“Selesai?” Tanyanya begitu keluar dari mobil.
“Buset, ini kan bukan sihir Om…” Gua menjawab asal, masih sambil menyeka permukaan kaki, tanpa menatap ke arahnya. Tiba-tiba ia melempar gua dengan botol air mineral yang masih terisi air setengah. Dan tepat mengenai kepala gua.
“Muncungmu!”
—
Hari berganti hari, pekerjaan membetulkan atap rumah bokapnya Aldina baru setengah gua kerjakan. Bukan, bukan karena gua nggak becus sehingga pekerjaan menjadi lambat. Tapi, gua sengaja bekerja dengan santai karena tau kalau nggak ada gunanya juga bekerja buru-buru; buat apa?.
Malam itu, gua baru saja selesai makan malam saat bokapnya Aldina kembali ke rumah.
“Sudah makan ko rupanya?” Tanyanya begitu tiba.
“Udah..” Gua menjawab singkat. Lalu melanjutkan merokok sambil membaca sebuah buku di teras rumah. Buku yang kebetulan berada di dalam kamar yang gua tinggali. Sebuah buku tentang ekonomi bisnis yang entah milik siapa. Sementara, Bokapnya Aldina langsung masuk ke dalam dan nggak menunjukkan wajahnya lagi.
Terdengar suara mesin mobil berhenti tepat di depan rumah. Gua sedikit mendongak, mencoba melihat siapa yang datang, namun nggak cukup nampak karena terhalang tanaman yang berada di balik pagar. ‘Ah, paling tetangga depan’ gua membatin dalam hati, lalu kembali melanjutkan membaca.
Gua langsung berhenti membaca begitu mendengar pintu pagar yang terbuka, disusul suara langkah kaki mendekat dan roda koper diseret asal. Dengan ujung mata, gua melirik ke arah datangnya suara, lalu menoleh ke arahnya; Aldina.
“Ngapain lo?” Tanyanya ketus
Jujur, gua nggak kuasa memberikan jawaban. Gua hanya tertegun dan terdiam, mirip seperti seorang fans yang baru pertama kali bertemu dengan idolanya; starstruck!
Karena kagum akan cantiknya.
Terus terdiam karena rindu
Gua lalu berdiri, mendekat ke arahnya, ingin membantunya membawa koper. Namun belum sempat tangan gua menyentuh gagang koper miliknya, ia keburu menepis tangan gua dan berseru; “.. Jangan. Awas! lepas!”
Terdengar langkah kaki dari arah dalam, disusul sosok bokapnya yang muncul dan berdiri di ambang pintu.
“Bah.. Datang rupanya kau” Ucap bokapnya, lalu mendekat dan kepalanya menengok, berkeliling seperti mencari sesuatu.
“... Mana Anggi?” Tambahnya.
Aldina menggeleng; “Nggak ikut”.
“Maak, kek mana sudah rindu aku” Gumamnya.
“Sama aku nggak rindu?” Tanya Aldina ke bokapnya.
“Ya Biasa aja” Ia menjawab santai.
“...”
Ia lalu menatap Aldina, ke arah putrinya tersebut dari atas ke bawah, lalu menepuk bahunya dan bertanya; “... Sehat ko?”
“Sehat” Aldina menjawab singkat.
Bokapnya lalu berpaling ke gua dan bicara; “Ko bawakan apanya itu ke dalam…” Seraya menunjuk ke arah koper yang dibawanya.
“Siap!” Gua berseru sambil tersenyum. Dengan cepat meraih pegangan koper miliknya. Sesaat tangan kami bersentuhan, lalu Aldina dengan cepat memindahkan tangannya, seakan jijik saat kulitnya menyentuh kulit gua.
“Awas!” Serunya.
Paham kalau ia masih marah dan murka, jadi gua hanya tersenyum dan melepaskan genggaman dari pegangan koper, lalu berdiri menatapnya yang melangkah masuk ke dalam rumah dari arah teras.
Baru beberapa langkah, ia menoleh. Rambutnya yang hitam terkibas, dengan matanya yang tajam ia menatap gua. Pun, sedang marah, tapi dari sorot matanya gua tau kalau ia juga tengah memendam kerinduan yang sama.
Setelah melewati ruang tamu, Aldina langsung membuka pintu pertama yang berada di sisi kiri rumah dan masuk ke dalam. Ke kamar yang sebelumnya gua tempati, lalu menutup pintunya. Nggak lama berselang, pintu kamar kembali terbuka. Yang terlihat hanya tangannya menenteng tas milik gua dan melemparnya keluar dari kamar, kemudian kembali menutup pintu kuat-kuat; “Brak!”
Menyadari hal tersebut, bokapnya yang tengah bersiap memasak di dapur lalu bergegas menuju ke muka kamar. Begitu Pula dengan gua yang dengan cepat langsung membereskan pakaian yang berserakan keluar dari dalam tas.
Bokapnya lalu menepuk pelan bahu gua dan menunjuk ke arah kamar belakang yang tak terpakai; “Ko tidurlah disana…”
Gua mengangguk pelan.
“...Tapi, ko bersihkan dulu ya” Tambahnya. Yang lalu gua respon dengan anggukan kepala dan langsung menuju ke kamar yang ditunjukkan olehnya.
Kamar ini, berada di area paling belakang rumah. Ukurannya jauh lebih kecil dari kamar yang sebelumnya gua tempati. Normalnya, mungkin kamar ini digunakan sebagai kamar pembantu, terlihat dari posisinya yang sangat strategis untuk menjangkau dapur, area cuci dan punya akses langsung menuju ke garasi.
Saat ini nggak ada apapun di dalam kamar selain tumpukan kardus, beberapa kursi usang yang ditumpuk meninggi, dan karpet tergulung yang disandarkan pada dinding. Gua lalu mulai membersihkannya dengan menyapu serta mengepelnya. Kemudian menggelar karpet yang nantinya akan gua gunakan sebagai alas tidur.
Selesai berbenah, Bokapnya Aldina menghampiri gua. Ia berdiri di ambang pintu kamar dan menatap sekeliling, ke arah bagian dalam kamar yang sekarang bersih dan kinclong.
“Maaak, pande kali kau bersih-bersih, Sal?” Ucapnya dengan nada penuh kekaguman. Sementara gua yang mendapat pujian seperti itu hanya terdiam.
Merasa nggak cukup tersanjung. ‘Ah, kayaknya bersih-bersih semua orang bisa deh’ batin gua dalam hati.
“... Makan lah ko dulu sana” Tambahnya seraya menggunakan dagunya untuk menunjuk ke arah dapur.
Gua lalu berdiri dan menuju ke dapur. Di atas kompor, terdapat sebuah wajan besar berisi nasi goreng yang sepertinya dibuat asal. Terlihat dari potongan-potongan besar cabai dan bawang merah yang masih nampak jelas. Gua mengambil piring dan mulai menyendok, kemudian duduk di kursi plastik yang terletak nggak begitu jauh dari sana.
Nggak lama, Aldina terlihat menuju ke arah dapur. Ia mengambil piring dan melakukan hal yang sama dengan yang gua lakukan sebelumnya. Saat ini, kami sama sekali nggak saling menyapa, apalagi bicara. Kami hanya sama-sama terdiam sambil melanjutkan kegiatan masing-masing.
Sementara gua hanya memandangnya, menatapnya yang tengah menyendok nasi goreng dari atas wajan. Sekali, ia sempat melirik ke arah gua, namun dengan cepat ia buang muka saat menyadari gua juga tengah menatap ke arahnya. Selesai menyendok nasi goreng, ia lalu duduk di meja makan dan mulai makan bersama dengan bokapnya.
Terlihat mereka berdua terlibat perbincangan. Gua berhenti makan dan mencoba mendengarkan isi percakapan dengan seksama.
“Sporing kau? Ada masalah apa” Tanya bokapnya.
Aldina menggeleng.
“... Bah. Yang benar! Jan ko bohong… Ada masalah apa?” Tanya bokapnya lagi.
Aldina lalu menoleh ke arah gua. Menyadari hal tersebut, Bokapnya kembali mengajukan pertanyaan; “... Berantem ko sama dia?” Tanyanya.
Aldina lalu mengangguk pelan.
“Habis ini ngobrol, terus berbaikan ya..” Tambahnya.
“Nggak, males” Jawab Aldina ketus.
“Ck... Besok kalau ku tengok klean dua dua belum saling cakap juga, mending balik Jakarta aja. Pala’ kali aku liatnya…” Ucap bokapnya. Ia lalu berpaling ke arah gua dan bicara; “Ko dengar itu bodat!” Serunya ke gua. Mendapat ancaman seperti itu, gua hanya bisa mengangguk pelan.
Mungkin merasa tertekan karena baru tiba dan sudah kena omel, Aldina lalu berdiri. Sambil membawa porsi nasi goreng miliknya, ia kembali masuk ke dalam kamar.
Sementara gua, melanjutkan makan.
Selesai makan, gua lantas mencuci piring di wastafel. Tentu saja nggak cuma piring bekas makan gua, tapi juga piring bekas makan bokapnya Aldina lengkap dengan gelas sisa kopi miliknya. Terdengar suara langkah kaki mendekat; Aldina. Ia meletakkan piring kosong yang ia gunakan untuk makan di atas meja, sementara ia membuka kulkas, mengambil botol berisi air mineral dan menenggaknya langsung.
Gua berbalik, meraih piring kotor miliknya dari atas meja dan mencucinya; sekalian.
Tak ada kata-kata apapun terlontar dari mulutnya.
Malam itu, gua mengendap-endap keluar dari rumah menuju ke teras; untuk merokok. Saat tengah merokok, terlihat cahaya samar menembus jendela dari arah kamar yang ditempati Aldina; ‘Belum tidur rupanya’ batin gua dalam hati.
‘Apa iya kesulitan tidur lagi?’
Selesai merokok, gua menyempatkan diri untuk mengecek kondisinya. Atau jika memang mungkin, ingin bicara dengannya. Dengan perlahan dan hati-hati, gua memutar gagang dan mendorong pintu hingga terbuka. Begitu gua sudah di dalam, gua buru-buru menutup kembali pintunya; takut ketahuan bokapnya.
Gua berdiri, menatap ke arah Aldina yang kini sudah terlelap. Atau hanya pura-pura terlelap. Lalu mendekat dan langsung berbaring tepat di sebelahnya. Gua hanya terdiam, nggak bicara, hanya menatap wajahnya yang tengah tertidur, menatap wajahnya yang sungguh mati gua rindukan.
Tiba-tiba, ia membuka kedua matanya. Dengan posisi wajah yang sangat dekat, kami lalu saling menatap. Tak ada kata yang terucap, sama sekali nggak ada. Yang terdengar hanya deru nafas kami berdua dan detak jarum jam yang samar.
Ia lalu mencoba berpaling dengan memutar tubuhnya, berniat memunggungi gua. Namun, gua dengan cepat mencegahnya, membuat kami berdua tetap saling berhadapan.
“Ngapain?” Tanyanya pelan.
Gua nggak menjawab, hanya terdiam.
Lagi, Aldina mengulangi pertanyaan yang sama; “Ngapain?”
Gua nggak menjawab, hanya terdiam.
Mungkin merasa kesal karena nggak mendapat jawaban dari gua, ia lalu kembali berusaha berpaling dan memutar tubuh. Kini, gua nggak mencegahnya. Sekarang, posisinya menghadap ke arah jendela kamar yang tertutup tirai, memunggungi gua.
Gua lantas memberanikan diri melingkarkan tangan di pinggulnya, memberikan pelukan. Sambil terus menggeser tubuh hingga kami seakan menjadi satu. Aldina nggak memberi penolakan, ia hanya terdiam.
“Maaf ya Din…” Bisik gua pelan. Lalu mulai mencoba memejamkan mata, agar bisa terlelap sambil memeluknya.
Gua terbangun saat mendengar suara gemuruh adzan subuh yang saling sahut menyahut. Bagai mimpi, gua mendapati Aldina yang masih tertidur pulas berada di dalam pelukan. Dengan perlahan, gua melepas pelukan dan bersiap pergi, sebelum ketahuan oleh bokapnya. Yang nanti malah jadi masalah baru.
Sebelum pergi keluar dari kamar, gua menyempatkan diri memberikan kecupan di dahinya yang berpeluh. Ia kegerahan, mungkin karena nggak terbiasa tidur tanpa pendingin ruangan. Lalu, dengan hati-hati gua menyeka wajahnya dengan ujung kaos yang gua kenakan. Setelahnya, barulah gua pergi, keluar dari kamar.
Begitu keluar dari kamar, gua langsung mandi dan bersiap untuk bekerja. Tentu saja melanjutkan pemasangan genteng dan talang yang kemarin sempat tertunda. Saat gua hampir menyelesaikan pemasangan genteng, bokapnya Aldina yang sepertinya baru saja bangun langsung keluar dan mengajukan protes; “Kekmana, Sal. Itu beda warna gentengnya?” Ucapnya seraya menunjuk ke arah genteng yang baru saja selesai gua pasang.
“Lah, kan kemaren saya udah bilang. Nanti bakal belang” Ucap gua.
“Ya kan bisanya ko apakan itu, ko tukar dengan yang dibelakang sana, biar nampak bagus dari depan..” Balasnya.
Gua nggak menjawab, hanya menghela nafas panjang, lalu kembali naik untuk menukar posisi genteng yang berada di bagian belakang agar genteng yang terlihat dari depan serasi.
‘Nggak anak, nggak bapak, sama aja’ Batin gua dalam hati.
Setelah mengajukan protes, ia lalu masuk ke dalam rumah dan kembali keluar beberapa waktu berikutnya. Kini ia sudah tampil necis dan bersiap untuk pergi.
Tepat pukul 12 siang, gua berhenti bekerja. Gua duduk di lantai teras, bersandar pada dinding seraya mengibaskan potongan kardus ke arah tubuh untuk mengusir rasa gerah yang melanda. Sementara, rasa lapar mulai melanda. Tumben hari ini, bokapnya Aldina nggak pulang untuk membawakan gua makanan. Atau mungkin saja ia sudah menyiapkannya sebelum pergi. Jadi, gua berinisiatif untuk masuk ke dalam ke arah meja makan.
Di meja makan, gua membuka tudung saji dan yang terlihat hanya piring dengan potongan kecil telur dadar. Sementara, beberapa piring lainnya kini sudah terlihat kosong. Dari bekasnya, gua menebak kalau piring kosong tersebut sebelumnya berisi lauk pauk yang sudah dihabiskan oleh penghuni rumah satu lagi.
Gua mengambil piring, menyendok nasi dan menghabiskan potongan kecil telur dadar yang tersisa, lalu mulai makan.
Setelah selesai makan, gua merokok, lalu lanjut bekerja. Sementara, sosok Aldina sama sekali nggak terlihat. Sepertinya ia sengaja menghindari gua dengan mengurung diri di dalam kamar.
Kini proses penggantian genteng yang retak dan pecah sudah selesai. Gua beralih membuat talang cor yang berada di belakang rumah, menggantikan talang sebelumnya yang hanya terbuat dari lekukan seng yang dibalut karpet anti bocor. Karena harus bekerja sendirian, gua agak sedikit kerepotan karena harus membuat adukan dan membawanya ke atas; sendiri. Padahal, adukan cor nggak boleh sampai mengering sebelum ditimpa adukan lainnya. Jadi, gua berusaha bekerja ekstra cepat, yang tentunya jadi ekstra lelah.
Nggak terasa, sore menjelang.
Merasa kalau bokapnya Aldina nggak bakal pulang tepat waktu untuk membawakan atau membuat makan malam untuk kami, jadi gua memutuskan untuk berjalan ke depan, keluar area perumahan untuk mencari warung; membeli nasi bungkus.
Gua kembali saat adzan maghrib berkumandang.
Saat gua masuk ke dalam rumah terlihat Aldina tengah duduk di kursi meja makan. Ia duduk dengan kedua kaki dinaikkan ke atas, sementara tangannya memegang ponsel, jarinya sibuk menari diatas layar. Gua melirik sebentar ke arahnya, mengambil piring kosong, meletakkan satu porsi nasi bungkus di atas piring tersebut dan menggeser ke arahnya.
Gua lantas duduk di kursi plastik tempat gua biasa makan.
Kami berdua makan bersama. Gua duduk di sudut dapur, sementara Aldina berada di sisi terjauh meja makan. Kami saling menatap dalam kejauhan, dan sama-sama terdiam.
—
Gua mengernyitkan dahi. ‘Apanya yang diapakan?’ batin gua dalam hati. Tapi, dengan cepat menyadari kalau yang dimaksudnya adalah membetulkan genteng.
“Oh, Iya nanti…” Gua menjawab singkat sambil terus merokok.
“Ya sekarang lah. Biar nanti kalau gentengnya datang tinggalnya ko pasang” Ucapnya.
“Lah, nanti kalau udah saya copot genteng yang retak. Terus situ nggak dapet gentengnya, dan ujan gimana? jadi waterpark nih rumah” Jawab gua.
“Hah? ‘Situ’?” Tanyanya sambil menggeram, memberi penekanan pada kata ‘Situ’ yang sebelumnya gua ucapkan. Rupanya ia merasa kurang nyaman saat gua menggunakan kata ‘Situ’ sebagai kata ganti dirinya.
“Nanti kalau udah saya copot genteng yang retak. Terus Om nggak dapet gentengnya, dan ujan gimana?” Tanya gua merevisi kalimat sebelumnya.
“Awas ko cakap asal lagi, ku tunjang muncungmu nanti..” Serunya.
“Ya maaf” Ucap gua pelan.
Ia lantas melipat lembaran kertas yang sebelumnya digunakan untuk mencatat bahan yang akan dibelinya, memasukkanya ke saku kemeja dan bersiap untuk pergi.
“Jangan ko pigi kemana-mana ya” Ujarnya sebelum pergi.
Gua lantas lanjut merokok di teras, sementara bokapnya Aldina pergi keluar dengan menggunakan sepeda motor bebek yang sebelumnya terparkir di bagian dalam garasi.
Setengah jam berikutnya, ia kembali. Tanpa banyak bicara, ia memarkir sepeda motor, lalu duduk di kursi teras dan mulai merokok. Nggak lama, datang sebuah mobil pickup yang berhenti tepat di depan rumah. Bokapnya Aldina berdiri dan memberi kode agar menurunkan semua bahan dan material di area carport. Lalu direspon dengan anggukan kepala oleh si pengantar, yang langsung mengikuti instruksi bokapnya Aldina.
Menyadari kalau bahan-bahan yang dibutuhkan sudah tiba, gua lalu berdiri, mengambil tangga dan menyandarkannya di tepi kanopi, bersiap untuk naik.
“Nggak ko ganti dulu bajumu?” Tanya bokapnya Aldina sambil menunjuk ke arah kaos yang gua kenakan.
Gua menggeleng.
“... Tunggu. Jangan ko naik dulu” Tambahnya. Ia masuk ke dalam rumah, lalu kembali beberapa menit berikutnya sambil membawa kaos tipis berlogo partai dan celana jeans yang terlihat usang.
Gua meraih kaos dan celana yang diberikannya. Yang lalu tanpa sepengetahuannya, gua memotong celana jeans yang ia berikan. Merasa nggak nyaman kalau harus bekerja dengan celana panjang; apalagi yang bahannya cukup tebal seperti jeans ini.
Saat gua sudah bersiap untuk mulai bekerja. Bokapnya Aldina juga sudah bersiap untuk pergi. Sepertinya berangkat untuk bekerja.
“Aku berangkat dulu” Pamitnya.
“Iya” Jawab gua singkat.
Hari itu gua mulai bekerja sebagai ‘tukang bangunan’ di rumah bokapnya Aldina. Dimulai dari melepas dan mengganti genteng-genteng yang pecah juga retak di bagian paling belakang rumah. Nantinya akan bertahap mengganti genteng yang retak di bagian depan.
Menjelang siang, Bokapnya Aldina pulang. Ia membawa bungkusan makanan yang sepertinya ia beli di warung makan padang terdekat.
“Turunlah dulu, Makan!” Serunya dari lantai bawah.
Gua yang sejak tadi memang sudah lapar lalu bergegas turun.
Saat mengira bakal makan bersamanya di dalam, di meja makan, ternyata tebakan gua salah. Terlihat bokap Aldina sudah ‘menggelar’ bungkusan nasi tepat di atas lantai, di permukaan teras.
“Duduk, makan” Serunya, seraya menunjuk lantai di depannya. Sementara ia sudah terlebih dahulu duduk dan mulai makan langsung dengan tangan, tanpa menggunakan sendok.
Gua berdiri, terdiam, mematung. Terkejut dengan sikapnya. ‘Apa mungkin ia berlaku seperti ini sehari-hari. Atau hanya saat ini saja, saat bersama dengan gua?’ batin gua dalam hati. Lalu perlahan membungkuk, duduk di atas lantai teras dan mulai makan.
Sambil makan, Bokapnya Aldina lalu mulai bercerita tentang masa kecil anak semata wayangnya itu. Sikap, tabiat, gaya bergaul, kebiasaan, semuanya ia ceritakan. Nggak hanya itu, ia juga bercerita tentang kepedihan yang dirasakan saat kehilangan istrinya, nyokapnya Aldina, yang membuat ia membenci anaknya, setidaknya saat itu.
“Sekarang udah nggak benci kan?” Tanya gua, sambil mengunyah makanan.
“Bah!, Semalam sudah kubilang, sayang kali aku sama dia” Jawabnya, juga sama; sambil mengunyah makanan, bahkan hingga menyembur.
“Ya nanya lagi kan gapapa, daripada salah” Gua merespon singkat.
Setelah selesai makan, gua langsung melanjutkan pekerjaan. Sementara, bokapnya Aldina terlihat kembali keluar dari rumah dengan menggunakan mobilnya.
Ia pulang saat hari menjelang maghrib, saat gua tengah mencuci kaki di kran yang berada di teras rumah setelah selesai memasang sebagian genteng, sekaligus membongkar talang gantung yang berada di bagian belakang rumah.
“Selesai?” Tanyanya begitu keluar dari mobil.
“Buset, ini kan bukan sihir Om…” Gua menjawab asal, masih sambil menyeka permukaan kaki, tanpa menatap ke arahnya. Tiba-tiba ia melempar gua dengan botol air mineral yang masih terisi air setengah. Dan tepat mengenai kepala gua.
“Muncungmu!”
—
Hari berganti hari, pekerjaan membetulkan atap rumah bokapnya Aldina baru setengah gua kerjakan. Bukan, bukan karena gua nggak becus sehingga pekerjaan menjadi lambat. Tapi, gua sengaja bekerja dengan santai karena tau kalau nggak ada gunanya juga bekerja buru-buru; buat apa?.
Malam itu, gua baru saja selesai makan malam saat bokapnya Aldina kembali ke rumah.
“Sudah makan ko rupanya?” Tanyanya begitu tiba.
“Udah..” Gua menjawab singkat. Lalu melanjutkan merokok sambil membaca sebuah buku di teras rumah. Buku yang kebetulan berada di dalam kamar yang gua tinggali. Sebuah buku tentang ekonomi bisnis yang entah milik siapa. Sementara, Bokapnya Aldina langsung masuk ke dalam dan nggak menunjukkan wajahnya lagi.
Terdengar suara mesin mobil berhenti tepat di depan rumah. Gua sedikit mendongak, mencoba melihat siapa yang datang, namun nggak cukup nampak karena terhalang tanaman yang berada di balik pagar. ‘Ah, paling tetangga depan’ gua membatin dalam hati, lalu kembali melanjutkan membaca.
Gua langsung berhenti membaca begitu mendengar pintu pagar yang terbuka, disusul suara langkah kaki mendekat dan roda koper diseret asal. Dengan ujung mata, gua melirik ke arah datangnya suara, lalu menoleh ke arahnya; Aldina.
“Ngapain lo?” Tanyanya ketus
Jujur, gua nggak kuasa memberikan jawaban. Gua hanya tertegun dan terdiam, mirip seperti seorang fans yang baru pertama kali bertemu dengan idolanya; starstruck!
Karena kagum akan cantiknya.
Terus terdiam karena rindu
Gua lalu berdiri, mendekat ke arahnya, ingin membantunya membawa koper. Namun belum sempat tangan gua menyentuh gagang koper miliknya, ia keburu menepis tangan gua dan berseru; “.. Jangan. Awas! lepas!”
Terdengar langkah kaki dari arah dalam, disusul sosok bokapnya yang muncul dan berdiri di ambang pintu.
“Bah.. Datang rupanya kau” Ucap bokapnya, lalu mendekat dan kepalanya menengok, berkeliling seperti mencari sesuatu.
“... Mana Anggi?” Tambahnya.
Aldina menggeleng; “Nggak ikut”.
“Maak, kek mana sudah rindu aku” Gumamnya.
“Sama aku nggak rindu?” Tanya Aldina ke bokapnya.
“Ya Biasa aja” Ia menjawab santai.
“...”
Ia lalu menatap Aldina, ke arah putrinya tersebut dari atas ke bawah, lalu menepuk bahunya dan bertanya; “... Sehat ko?”
“Sehat” Aldina menjawab singkat.
Bokapnya lalu berpaling ke gua dan bicara; “Ko bawakan apanya itu ke dalam…” Seraya menunjuk ke arah koper yang dibawanya.
“Siap!” Gua berseru sambil tersenyum. Dengan cepat meraih pegangan koper miliknya. Sesaat tangan kami bersentuhan, lalu Aldina dengan cepat memindahkan tangannya, seakan jijik saat kulitnya menyentuh kulit gua.
“Awas!” Serunya.
Paham kalau ia masih marah dan murka, jadi gua hanya tersenyum dan melepaskan genggaman dari pegangan koper, lalu berdiri menatapnya yang melangkah masuk ke dalam rumah dari arah teras.
Baru beberapa langkah, ia menoleh. Rambutnya yang hitam terkibas, dengan matanya yang tajam ia menatap gua. Pun, sedang marah, tapi dari sorot matanya gua tau kalau ia juga tengah memendam kerinduan yang sama.
Setelah melewati ruang tamu, Aldina langsung membuka pintu pertama yang berada di sisi kiri rumah dan masuk ke dalam. Ke kamar yang sebelumnya gua tempati, lalu menutup pintunya. Nggak lama berselang, pintu kamar kembali terbuka. Yang terlihat hanya tangannya menenteng tas milik gua dan melemparnya keluar dari kamar, kemudian kembali menutup pintu kuat-kuat; “Brak!”
Menyadari hal tersebut, bokapnya yang tengah bersiap memasak di dapur lalu bergegas menuju ke muka kamar. Begitu Pula dengan gua yang dengan cepat langsung membereskan pakaian yang berserakan keluar dari dalam tas.
Bokapnya lalu menepuk pelan bahu gua dan menunjuk ke arah kamar belakang yang tak terpakai; “Ko tidurlah disana…”
Gua mengangguk pelan.
“...Tapi, ko bersihkan dulu ya” Tambahnya. Yang lalu gua respon dengan anggukan kepala dan langsung menuju ke kamar yang ditunjukkan olehnya.
Kamar ini, berada di area paling belakang rumah. Ukurannya jauh lebih kecil dari kamar yang sebelumnya gua tempati. Normalnya, mungkin kamar ini digunakan sebagai kamar pembantu, terlihat dari posisinya yang sangat strategis untuk menjangkau dapur, area cuci dan punya akses langsung menuju ke garasi.
Saat ini nggak ada apapun di dalam kamar selain tumpukan kardus, beberapa kursi usang yang ditumpuk meninggi, dan karpet tergulung yang disandarkan pada dinding. Gua lalu mulai membersihkannya dengan menyapu serta mengepelnya. Kemudian menggelar karpet yang nantinya akan gua gunakan sebagai alas tidur.
Selesai berbenah, Bokapnya Aldina menghampiri gua. Ia berdiri di ambang pintu kamar dan menatap sekeliling, ke arah bagian dalam kamar yang sekarang bersih dan kinclong.
“Maaak, pande kali kau bersih-bersih, Sal?” Ucapnya dengan nada penuh kekaguman. Sementara gua yang mendapat pujian seperti itu hanya terdiam.
Merasa nggak cukup tersanjung. ‘Ah, kayaknya bersih-bersih semua orang bisa deh’ batin gua dalam hati.
“... Makan lah ko dulu sana” Tambahnya seraya menggunakan dagunya untuk menunjuk ke arah dapur.
Gua lalu berdiri dan menuju ke dapur. Di atas kompor, terdapat sebuah wajan besar berisi nasi goreng yang sepertinya dibuat asal. Terlihat dari potongan-potongan besar cabai dan bawang merah yang masih nampak jelas. Gua mengambil piring dan mulai menyendok, kemudian duduk di kursi plastik yang terletak nggak begitu jauh dari sana.
Nggak lama, Aldina terlihat menuju ke arah dapur. Ia mengambil piring dan melakukan hal yang sama dengan yang gua lakukan sebelumnya. Saat ini, kami sama sekali nggak saling menyapa, apalagi bicara. Kami hanya sama-sama terdiam sambil melanjutkan kegiatan masing-masing.
Sementara gua hanya memandangnya, menatapnya yang tengah menyendok nasi goreng dari atas wajan. Sekali, ia sempat melirik ke arah gua, namun dengan cepat ia buang muka saat menyadari gua juga tengah menatap ke arahnya. Selesai menyendok nasi goreng, ia lalu duduk di meja makan dan mulai makan bersama dengan bokapnya.
Terlihat mereka berdua terlibat perbincangan. Gua berhenti makan dan mencoba mendengarkan isi percakapan dengan seksama.
“Sporing kau? Ada masalah apa” Tanya bokapnya.
Aldina menggeleng.
“... Bah. Yang benar! Jan ko bohong… Ada masalah apa?” Tanya bokapnya lagi.
Aldina lalu menoleh ke arah gua. Menyadari hal tersebut, Bokapnya kembali mengajukan pertanyaan; “... Berantem ko sama dia?” Tanyanya.
Aldina lalu mengangguk pelan.
“Habis ini ngobrol, terus berbaikan ya..” Tambahnya.
“Nggak, males” Jawab Aldina ketus.
“Ck... Besok kalau ku tengok klean dua dua belum saling cakap juga, mending balik Jakarta aja. Pala’ kali aku liatnya…” Ucap bokapnya. Ia lalu berpaling ke arah gua dan bicara; “Ko dengar itu bodat!” Serunya ke gua. Mendapat ancaman seperti itu, gua hanya bisa mengangguk pelan.
Mungkin merasa tertekan karena baru tiba dan sudah kena omel, Aldina lalu berdiri. Sambil membawa porsi nasi goreng miliknya, ia kembali masuk ke dalam kamar.
Sementara gua, melanjutkan makan.
Selesai makan, gua lantas mencuci piring di wastafel. Tentu saja nggak cuma piring bekas makan gua, tapi juga piring bekas makan bokapnya Aldina lengkap dengan gelas sisa kopi miliknya. Terdengar suara langkah kaki mendekat; Aldina. Ia meletakkan piring kosong yang ia gunakan untuk makan di atas meja, sementara ia membuka kulkas, mengambil botol berisi air mineral dan menenggaknya langsung.
Gua berbalik, meraih piring kotor miliknya dari atas meja dan mencucinya; sekalian.
Tak ada kata-kata apapun terlontar dari mulutnya.
Malam itu, gua mengendap-endap keluar dari rumah menuju ke teras; untuk merokok. Saat tengah merokok, terlihat cahaya samar menembus jendela dari arah kamar yang ditempati Aldina; ‘Belum tidur rupanya’ batin gua dalam hati.
‘Apa iya kesulitan tidur lagi?’
Selesai merokok, gua menyempatkan diri untuk mengecek kondisinya. Atau jika memang mungkin, ingin bicara dengannya. Dengan perlahan dan hati-hati, gua memutar gagang dan mendorong pintu hingga terbuka. Begitu gua sudah di dalam, gua buru-buru menutup kembali pintunya; takut ketahuan bokapnya.
Gua berdiri, menatap ke arah Aldina yang kini sudah terlelap. Atau hanya pura-pura terlelap. Lalu mendekat dan langsung berbaring tepat di sebelahnya. Gua hanya terdiam, nggak bicara, hanya menatap wajahnya yang tengah tertidur, menatap wajahnya yang sungguh mati gua rindukan.
Tiba-tiba, ia membuka kedua matanya. Dengan posisi wajah yang sangat dekat, kami lalu saling menatap. Tak ada kata yang terucap, sama sekali nggak ada. Yang terdengar hanya deru nafas kami berdua dan detak jarum jam yang samar.
Ia lalu mencoba berpaling dengan memutar tubuhnya, berniat memunggungi gua. Namun, gua dengan cepat mencegahnya, membuat kami berdua tetap saling berhadapan.
“Ngapain?” Tanyanya pelan.
Gua nggak menjawab, hanya terdiam.
Lagi, Aldina mengulangi pertanyaan yang sama; “Ngapain?”
Gua nggak menjawab, hanya terdiam.
Mungkin merasa kesal karena nggak mendapat jawaban dari gua, ia lalu kembali berusaha berpaling dan memutar tubuh. Kini, gua nggak mencegahnya. Sekarang, posisinya menghadap ke arah jendela kamar yang tertutup tirai, memunggungi gua.
Gua lantas memberanikan diri melingkarkan tangan di pinggulnya, memberikan pelukan. Sambil terus menggeser tubuh hingga kami seakan menjadi satu. Aldina nggak memberi penolakan, ia hanya terdiam.
“Maaf ya Din…” Bisik gua pelan. Lalu mulai mencoba memejamkan mata, agar bisa terlelap sambil memeluknya.
Gua terbangun saat mendengar suara gemuruh adzan subuh yang saling sahut menyahut. Bagai mimpi, gua mendapati Aldina yang masih tertidur pulas berada di dalam pelukan. Dengan perlahan, gua melepas pelukan dan bersiap pergi, sebelum ketahuan oleh bokapnya. Yang nanti malah jadi masalah baru.
Sebelum pergi keluar dari kamar, gua menyempatkan diri memberikan kecupan di dahinya yang berpeluh. Ia kegerahan, mungkin karena nggak terbiasa tidur tanpa pendingin ruangan. Lalu, dengan hati-hati gua menyeka wajahnya dengan ujung kaos yang gua kenakan. Setelahnya, barulah gua pergi, keluar dari kamar.
Begitu keluar dari kamar, gua langsung mandi dan bersiap untuk bekerja. Tentu saja melanjutkan pemasangan genteng dan talang yang kemarin sempat tertunda. Saat gua hampir menyelesaikan pemasangan genteng, bokapnya Aldina yang sepertinya baru saja bangun langsung keluar dan mengajukan protes; “Kekmana, Sal. Itu beda warna gentengnya?” Ucapnya seraya menunjuk ke arah genteng yang baru saja selesai gua pasang.
“Lah, kan kemaren saya udah bilang. Nanti bakal belang” Ucap gua.
“Ya kan bisanya ko apakan itu, ko tukar dengan yang dibelakang sana, biar nampak bagus dari depan..” Balasnya.
Gua nggak menjawab, hanya menghela nafas panjang, lalu kembali naik untuk menukar posisi genteng yang berada di bagian belakang agar genteng yang terlihat dari depan serasi.
‘Nggak anak, nggak bapak, sama aja’ Batin gua dalam hati.
Setelah mengajukan protes, ia lalu masuk ke dalam rumah dan kembali keluar beberapa waktu berikutnya. Kini ia sudah tampil necis dan bersiap untuk pergi.
Tepat pukul 12 siang, gua berhenti bekerja. Gua duduk di lantai teras, bersandar pada dinding seraya mengibaskan potongan kardus ke arah tubuh untuk mengusir rasa gerah yang melanda. Sementara, rasa lapar mulai melanda. Tumben hari ini, bokapnya Aldina nggak pulang untuk membawakan gua makanan. Atau mungkin saja ia sudah menyiapkannya sebelum pergi. Jadi, gua berinisiatif untuk masuk ke dalam ke arah meja makan.
Di meja makan, gua membuka tudung saji dan yang terlihat hanya piring dengan potongan kecil telur dadar. Sementara, beberapa piring lainnya kini sudah terlihat kosong. Dari bekasnya, gua menebak kalau piring kosong tersebut sebelumnya berisi lauk pauk yang sudah dihabiskan oleh penghuni rumah satu lagi.
Gua mengambil piring, menyendok nasi dan menghabiskan potongan kecil telur dadar yang tersisa, lalu mulai makan.
Setelah selesai makan, gua merokok, lalu lanjut bekerja. Sementara, sosok Aldina sama sekali nggak terlihat. Sepertinya ia sengaja menghindari gua dengan mengurung diri di dalam kamar.
Kini proses penggantian genteng yang retak dan pecah sudah selesai. Gua beralih membuat talang cor yang berada di belakang rumah, menggantikan talang sebelumnya yang hanya terbuat dari lekukan seng yang dibalut karpet anti bocor. Karena harus bekerja sendirian, gua agak sedikit kerepotan karena harus membuat adukan dan membawanya ke atas; sendiri. Padahal, adukan cor nggak boleh sampai mengering sebelum ditimpa adukan lainnya. Jadi, gua berusaha bekerja ekstra cepat, yang tentunya jadi ekstra lelah.
Nggak terasa, sore menjelang.
Merasa kalau bokapnya Aldina nggak bakal pulang tepat waktu untuk membawakan atau membuat makan malam untuk kami, jadi gua memutuskan untuk berjalan ke depan, keluar area perumahan untuk mencari warung; membeli nasi bungkus.
Gua kembali saat adzan maghrib berkumandang.
Saat gua masuk ke dalam rumah terlihat Aldina tengah duduk di kursi meja makan. Ia duduk dengan kedua kaki dinaikkan ke atas, sementara tangannya memegang ponsel, jarinya sibuk menari diatas layar. Gua melirik sebentar ke arahnya, mengambil piring kosong, meletakkan satu porsi nasi bungkus di atas piring tersebut dan menggeser ke arahnya.
Gua lantas duduk di kursi plastik tempat gua biasa makan.
Kami berdua makan bersama. Gua duduk di sudut dapur, sementara Aldina berada di sisi terjauh meja makan. Kami saling menatap dalam kejauhan, dan sama-sama terdiam.
—
Lanjut Ke Bawah
Diubah oleh robotpintar 02-07-2024 22:51
vizardan dan 37 lainnya memberi reputasi
38
Kutip
Balas
Tutup