- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa

Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 21:29
viper990 dan 214 lainnya memberi reputasi
215
399K
Kutip
4.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#2570
Part 94 A - Seandainya
Spoiler for Part 94 A - Seandainya:
Besoknya Gua berangkat bekerja seperti biasa. Berjalan kaki menyusuri trotoar besar menuju ke studio, sambil terus melangkah gua mencoba menghubungi Aldina; dan nggak ada jawaban. Gua lantas mengirimnya sebuah pesan; ‘Marah lama banget mbak. Gua ke studio’. Sent.
Setibanya di studio, gua mengecek ponsel, masih belum ada balasan dari Aldina. Lalu, masuk ke ruang meeting dimana Ketu, Adam dan yang lainnya sudah berada disana; memberikan brief singkat tentang pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini.
Selesai pembahasan tentang pekerjaan, mereka lalu sibuk mengatur rencana untuk makan siang bersama. Sementara tempat dan lokasi makan siang sudah ditentukan oleh Ketu, Adam dan yang lain mulai browsing, mencari menu yang tepat untuk dipesan nanti. Sedangkan Dinar, mulai menghitung orang yang bakal ikut, untuk menyiapkan dana yang harus dikeluarkan. Nggak cuma itu, saat masih disini, di ruang meeting, Dinar sudar mulai mengatur posisi duduk kami saat berada di tempat makan tadi.
“Nggak usah repot ngitung gua, Nar.. Gua nggak ikut” Ucap gua sambil berdiri dan bersiap keluar dari ruangan.
“Kenapa?” Tanyanya.
“Males…” Gua menjawab singkat.
Rupanya ‘marahnya’ Aldina dan nggak mendapat kabar darinya, sedikit banyak membawa dampak buruk juga. Gua jadi kehilangan mood dan uring-uringan.
Gua meletakkan laptop diatas meja, meraih bungkusan rokok yang ternyata kosong. ‘Perasaan tadi masih ada sebatang?’ batin gua dalam hati sambil meremas kemasan rokok yang kini kosong dan melemparkannya ke tempat sampah.
“Tadi, sisa satu, wis ta’ isep…” Tiba-tiba Ketu bicara. Ia baru saja keluar dari ruang meeting dan sepertinya mendapati bungkusan rokok yang kini kosong.
Rupanya, memang dia yang mengambil batangan terakhir rokok milik gua.
Gua meraih dompet dan bergegas keluar untuk membeli rokok.
Di minimarket, gua nggak hanya membeli rokok tapi juga membeli roti kemasan dan kopi instan kalengan. Lalu duduk di kursi besi di depan minimarket, menikmati roti, kopi instan sambil sesekali menghisap rokok dalam-dalam.
Dari kejauhan terlihat Ketu berjalan mendekat. Ia masuk ke dalam minimarket lalu nggak lama kemudian keluar. Kali ini sambil membawa bungkusan rokok juga kopi instan yang sama dengan yang gua minum. Ketu menggeser salah satu kursi besi, memposisikannya tepat di sebelah gua, lalu duduk.
“Kenapa Sal?” Tanyanya seraya menyulut sebatang rokok.
Gua menoleh ke arahnya. Lalu bicara; “Apanya yang kenapa?” Gua balik bertanya.
“Lah kuwi, ora gelem ikut makan siang? tumben?” Tanyanya lagi.
“Nggak ada apa-apa, Tu. Cuma lagi males keluar aja…” Jawab gua, beralasan.
“Oh.. Bukan karena kita pakai uang kantor untuk makan siang kan?” Tanyanya lagi, mencoba memastikan.
“Nggak lah, Pake-pake aja, asal laporannya jelas…” Jawab gua lagi.
“Yowis…” Balasnya.
Kami lalu sama-sama terdiam, sama-sama menikmati sebatang rokok sambil sesekali menyesap kopi instan kalengan.
“Tu..”
“Hmm…”
“Kalo nanti gua keluar dari studio lo gimana? gapapa kan?” Tanya gua, mengganti topik, berandai-andai.
“Ngawur, ya aku ikut kowe lah…” Jawabnya, santai.
“Kalo ada yang mau investasi gede di studio, tapi gua keluar gimana?” Tanya gua lagi.
“Hah, emang ada yang mau investasi? Sopo?” Tanyanya, kini sambil menggeser kursi lebih dekat ke arah gua.
“Ya kan seandainya…”
“...”
“... Gimana? lo mau nggak terima investasi tapi gua keluar dari studio?” Tanya gua, mengulang pertanyaan sebelumnya.
“Ini seandainya kan?”
“Iya…”
“Piro nilai investasinya?” Tanyanya lagi.
“Yaa, let’s say dua atau tiga miliar” Gua bicara asal sambil menatap ke arahnya.
“Tetep. Aku tetep ikut kowe…” Jawabnya.
“Kenapa? nggak sayang sama uang dua miliar?”
“Ya kamunya pergi, nggak ada kamu siapa yang mau bikin ilustrasi?”
“Hiring lah. Kan ada duitnya…”
“Ah moh ah.. Lagian, kamu emang kenapa pergi kalo ada yang mau investasi di studio?” Kini gantian Ketu yang mengajukan pertanyaan.
“Nggak tau, ya namanya juga berandai-andai..” Jawab gua sambil tertawa.
Ketu lalu ikut tertawa.
Tiba-tiba, Tawa Ketu terhenti. Ia menatap gua tajam lalu bicara; “Sal, kowe sakjane ono opo sih karo Aldina?” Tanyanya, kini ekspresi wajahnya terlihat serius.
Gua tersenyum sebentar. Lalu balik bertanya; “Emang ada gosip apa tentang gua sama Aldina?”
“Ya gitu…”
“Gitu gimana?” Tanya gua.
“Konco-konco liane nganggepnya kalian ada affair. Opo iyo? ora kan sal?” Tanyanya.
Gua mengangguk; “Bener kok..”.
“Apanya sing bener?”
“Gua sama Aldina emang ada affair. Nggak, bukan, bukan affair sih… Tapi gua sama Aldina emang udah deket dari lama…” Gua memberi jawaban.
“Jangkrik! Kok iso aku ora ngerti Sal?”
“Ya ini sekarang tau kan?”
“Iya tapi, kalau nggak tak tanyain, kowe pasti ora gelem cerita”
“Cerita. Pasti cerita lah, tapi nggak tau kapan…”
Setelah lanjut ngobrol sebentar, kami berdua lalu berjalan kembali ke arah studio. Di tanah kosong di depan studio, terlihat mobil SUV putih milik Aldina sudah terparkir di sana. Melihat mobilnya saja ada rasa kelegaan di dalam hati, merasa kalau ia baik-baik saja, sehat dan walafiat.
“Weh… Pujaan hatimu noh, wis teko” Gumam Ketu seraya tertawa dan menyenggol lengan gua.
Di dalam studio, sudah terlihat Aldina tengah duduk di kursi milik gua. Walaupun sadar akan kehadiran gua, Aldina sama sekali nggak menggubris, menoleh pun tidak. Pandangannya ia arahkan ke layar laptop milik gua, sambil jarinya yang lentik menari di atas trackpad.
Gua mendekat dan berdiri tepat di sebelahnya. Sementara, ia masih bergeming; enggan menggubris gua. Gua sedikit membungkuk, memposisikan wajah dekat dengan telinganya, lalu bicara sambil berbisik; “Nggak ngabarin mau dateng?”.
Alih-alih menjawab pertanyaan gua, Aldina malah langsung berdiri dan mengajak bicara Ketu. “Tu, bisa meeting sebentar?”.
“Oh bisa” Jawab Ketu. Yang lalu berpaling ke arah gua dan mengerlingkan matanya.
“…”
“… sekarang?” Tanyanya.
“Iya…” Aldina menjawab singkat. Lalu berdiri, mengambil Laptop dan menuju ke ruang meeting.
Menyadari Ketu diajak meeting oleh Aldina, Andika langsung mengangkat tangannya dan mengajukan pertanyaan ke Aldina; “Gua ikut kak?”
“Iya…” Aldina menjawab singkat.
Gua lalu ikut melakukan hal yang sama dengan Andika; mengangkat tangan dan mengajukan pertanyaan; “Gua?”
Aldina nggak memberi jawaban. Ia hanya menoleh dan memberikan tatapan matanya yang tajam ke arah gua. Dari tatapan matanya saja, gua bisa tau kalau nggak ada izin buat gua untuk ikut meeting bersamanya. Gua lalu kembali duduk dan lanjut bekerja.
Nggak seberapa lama, Dinar, Adam dan beberapa anak magang lainnya sudah mulai bersiap untuk berangkat ke resto tempat makan siang. Lagi, Dinar berusaha membujuk gua untuk ikut. “Bener nggak jadi ikut?” Tanyanya.
Gua menggeleng pelan. “Nggak, paling nanti kalau berubah pikiran gua nyusul…”
“Yaudah…” Balas Dinar, lalu mereka pun pergi.
Setengah jam kemudian, Aldina, Ketu dan Andika keluar dari ruang meeting. Ketu nampak terkejut saat mendapati ruang kerja yang kini kosong, menyisakan gua sendiri. Ia melirik ke arah jam tangannya lalu berpaling ke gua dan bertanya; “Pada kemana, Sal!”.
Tanpa memalingkan pandangan dari layar laptop, Gua memberi jawaban; “Keluar, makan siang”.
“Uasem, ditinggal kita dik” Seru Ketu. Lalu buru-buru meletakkan laptop miliknya, mengambil dompet dan bersiap pergi bersama Andika. Sebelum pergi, Ketu sempat mengajak kami berdua untuk turut serta; “… melu po ora, Sal, Din?”.
“Nggak ah…” Aldina memberi penolakan.
“Nggak. Tapi boleh nitip nggak?” Tanya gua.
“Nitip opo?” Tanya Ketu.
“Apa aja, buat makan siang”
“Oke…” Jawab Ketu, lalu pergi.
Kini hanya kami berdua yang tinggal di studio. Aldina duduk di kursi milik Dinar, dan mulai menatap ke arah gua. Sadar kalau Aldina kini tengah menatap, gua sengaja berpura-pura terus bekerja. Menunggu ia yang lebih dulu bicara.
Namun, setelah sekian lama menunggu, Aldina tetap bergeming. Ia sama sekali nggak bicara. Kehilangan kesabaran, gua lantas menoleh ke arahnya, mendorong kursi agar mendekat ke arahnya lalu bicara; “Masih marah?”.
“Menurut lo?” Ia malah balik bertanya.
“Masih” Gua menebak.
“Nah itu sadar” Gumamnya pelan, seraya membuang muka.
Gua tersenyum sebentar, kemudian kembali menarik kursi agar semakin dekat dengannya. Sebelum bicara, gua mencoba mengatur nafas, kemudian menyentuh punggung tangannya dan barulah mulai bicara; “Din.. Nggak ada yang lebih menyenangkan daripada bekerja bareng lo disini”
“...”
“...Tapi, gua juga nggak mau lo ngelepas semua yang udah selama ini susah payah lo dapatkan” Gua menambahkan.
“Iya gua ngerti. Tapi, gua tuh mau mulai semuanya dari awal bareng-bareng elo. Gua juga mau lepas dari bayang-bayang Jeje, Sal..” Aldina memberi alasan.
Gua tersenyum, lalu semakin mendekatkan diri ke arahnya.
“Yakin?” Tanya gua.
“Hundred percent” Aldina menjawab sambil mengangguk.
“Ok, ayo kita mulai sama-sama dari awal kalau begitu…” Ucap gua seraya bangkit, dan memberi kecupan di ujung kepalanya.
“Yakin?” Kini gantian, dia yang mengajukan pertanyaan, merasa nggak yakin dengan ucapan gua sebelumnya.
“Iya…” Gua menjawab singkat, namun penuh dengan keyakinan.
“Nggak bakal berubah pikiran?” Tanyanya lagi.
“Iya..”
“Yaudah kalo gitu.”
“...”
“Makasih!” Serunya, masih dengan nada bicara yang ketus.
“Itu kayaknya masih marah?” Tanya gua. Merasa nada bicaranya barusan masih terdengar ketus..
“Udah nggak!” Jawabnya; lagi, dengan nada bicara yang ketus.
“Ooh…”
“Tapi, kita masih punya satu masalah yang harus diselesaikan Sal” Tiba-tiba ia menambahkan.
“Apa?”.
Selamat malam mingguan ya guys! - Boni
“Gua laper” Ia menjawab, pelan dan lirih, sambil menundukkan kepalanya.
Mendengar jawabannya barusan tentu bikin gua naik pitam. Bagaimana tidak, tadi ada kesempatan diajak makan siang, ia malah menolak. Lalu, sekarang mengeluh; Lapar.
“Ck! Tadi diajak makan nggak mau, sekarang ngeluh laper.” Seru gua, lalu menjitak kepalanya, pelan.
“Ya tadi kan gua masih kesel sama lo” Aldina memberi jawaban, sambil mengusap bagian kepalanya yang sempat gua jitak.
“Emang kalo kesel lapernya ilang?”
“...”
Gua lantas meraih tangan dan mengajaknya keluar untuk menyusul rekan-rekan yang lain makan siang. “... Ayo”.
Kali ini, ia sama sekali nggak membantah. Ia ikut berdiri dan akhirnya kami berdua berangkat ke salah satu mall tempat dimana rekan-rekan yang lain sudah berada untuk makan siang.
Karena datang terlambat, Kami harus duduk terpisah. Gua duduk tepat di sisi Dinar, sementara Aldina justru berada di sebelah Ketu. Tepat saat baru saja gua hendak makan, ponsel gua bergetar, sebuah notifikasi pesan muncul di layarnya. Gua melihat sekilas; pesan dari Tata.
‘Nanti aja deh bacanya’ Batin gua dalam hati, sambil melanjutkan makan. Namun, baru saja beberapa suap, ponsel kembali bergetar; kini nggak hanya satu pesan yang masuk, tapi beberapa pesan sekaligus. Gua menatap ke arah notifikasi pada layar ponsel; semua pesan yang masuk dari Tata.
Gua berhenti makan, lalu mulai membaca satu persatu pesan dari Tata.
‘Marshall, bisa ketemuan nggak?’
‘Sal, bales please’
‘Sal, kalo nggak bisa hari ini gapapa, kamu bisanya kapan?’
‘Marshall, bales dong’
‘Sal…’
Gua menghela nafas sebentar, kemudian membalas salah satu pesannya; ‘Kenapa?’.
Nggak lama berselang kembali muncul balasan dari Tata yang isinya; ‘Aku mau ketemu boleh?’.
‘Buat apa?’ Tanya gua melalui balasan pesan.
‘Aku mau ganti ponsel pacar kamu yang rusak…’ Balasnya.
‘Nggak usah, Ta. Gapapa kok’
“Aku mau ganti, sal’
‘Nggak usah atau kalau maksa, transfer aja. Nanti gua sampaikan ke orangnya’ Balas gua.
‘Nggak mau, Aku tetep mau ganti. dam bertemu?’ Balasnya lagi.
‘Jangan’
‘Yaudah kalo gitu, aku ngomong langsung aja sama dia, sama pacar kamu’ Balasnya.
Enggan Aldina harus kembali bertemu dengan Tata, yang nantinya malah jadi ribut-ribut. Gua akhirnya mengiyakan permintaannya.
‘Yaudah kapan?’
‘Hari ini bisa?’ Tanyanya melalui balasan pesan.
‘Hari ini nggak bisa. Paling besok’
Gua lantas kembali melanjutkan makan. Tanpa sadar, sejak tadi Aldina sudah memperhatikan gerak-gerik gua yang mungkin menurutnya mencurigakan. Padahal, nanti, saat kami tengah berdua, gua akan menceritakan semua kepadanya; semuanya tanpa terkecuali. Bahkan kalau nanti ia ingin turut serta bertemu dengan Tata, gua pasti mengajaknya.
Nggak cukup sampai disitu, kecurigaan Aldina semakin bertambah saat ada panggilan telepon dari Nyokap. Yang memberikan sebuah penawaran, penawaran yang sejatinya nggak begitu menarik perhatian gua.
“Sal, kamu mau nonton Sheila on 7 nggak?” Tanya nyokap dari ujung sana.
“Hah, nggak ah, ngapain” Balas gua.
“Mamah dapet undangan nih buat nonton. Bukan konser kok, jadi nggak bakal terlalu rame” Ucapnya.
“Terus?”
“Jadi, ini tuh ada perusahaan Start-Up baru yang mau launching Apps. Dan mereka secara eksklusif ngundang Sheila on 7 buat manggung. Mau nggak?” Nyokap kembali bertanya.
Gua berpikir sejenak. Menerimanya tentu nggak bakal rugi, pun nantinya gua mungkin belum tentu datang. Jadi, akhirnya gua memutuskan untuk menerima penawaran dari nyokap. “Yaudah deh, mau…”
“Ok, nanti mamah kirimin pass-nya ya. Itu nanti bisa buat sepuluh orang, Sal. Kamu ajak aja Aldina sama temen-temen di studio” Nyokap menjelaskan.
‘Ah, boleh juga. Buat hiburan Aldina dan rekan-rekan yang lain’ Batin gua dalam hati. Lalu berterima kasih ke nyokap dan mengakhiri panggilan.
Selesai makan, saat tengah berjalan menuju ke area parkir, lagi, Tata mengirim pesan balasan;
‘Nanti malam?’ Tanyanya, merujuk ke waktu janji temu kami berdua.
‘Yaudah nanti malam’. Balas gua.
‘Ok Sampai ketemu nanti ya..’ Balasnya yang diiringi icon peluk berwarna kuning.
Tanpa gua sadari, Aldina sudah berada tepat di sebelah gua. Ia lalu mendekat dan bicara sambil berbisik; “Kalo bales pesan gua, gitu juga nggak? hilang fokus sampe nggak ngeh kalo diajak ngobrol”
Gua menoleh ke arahnya dan bertanya. “Apa?”
“Chat sama siapa? sibuk banget dari tadi kayaknya?” Tanyanya lagi.
Aldina lantas sedikit berjinjit dan mencoba mengintip ke arah layar ponsel yang masih berada di tangan gua. Tiba-tiab, ia langsung berusaha merebut ponsel dari tangan gua. Spontan, gua menghindar dan langsung memasukkan ponsel ke dalam saku celana.
“Liat!” Seru Aldina sambil menggeram dan terus mencoba mengambil ponsel gua dari saku celana. Sementara, rekan-rekan yang lain mulai memusatkan perhatiannya ke kami berdua.
Bukan, bukan gua nggak mau memperlihatkannya. Tapi, sekarang bukan waktu yang tepat. Seandainya gua perlihatkan isi chat dari Tata sekarang, tanpa ada penjelasan pembuka terlebih dahulu, gua yakin ia bakal langsung murka.
“Din, Malu itu diliatin orang…” Balas gua.
“Ya makanya sini gua liat. Lo chat-an sama Tata kan?” Aldina memberi tebakan. Dan entah bagaimana tebakannya tepat. Gua menyerah dan membiarkannya mengambil ponsel dari saku celana gua. Bukan, gua bukan menyerah karena nggak mampu menyembunyikan pesan dari Tata, gua menyerah karena melihat matanya sudah basah dan berlinang.
Seraya menyeka air mata yang mulai mengalir deras Aldina mulai mengecek aplikasi pesan di ponsel gua dan tentu saja ia mendapati pesan dari Tata. Apesnya, Aldina hanya melihat balasan pesan terakhirnya. Karena sudah dibutakan rasa cemburu, ia nggak punya keinginan lagi untuk membaca pesan-pesan sebelumnya.
Dengan tangannya yang bergetar, Ia lantas membanting ponsel gua ke lantai basement di area parkir tempat kami berada saat ini. Dan tanpa bicara sepatah katapun, ia berbalik, berjalan menjauh ke arah mobilnya terparkir.
Saat ini, gua memilih untuk nggak mengejarnya. Ingin memberinya kesempatan untuk menenangkan diri.
—
Setibanya di studio, gua mengecek ponsel, masih belum ada balasan dari Aldina. Lalu, masuk ke ruang meeting dimana Ketu, Adam dan yang lainnya sudah berada disana; memberikan brief singkat tentang pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini.
Selesai pembahasan tentang pekerjaan, mereka lalu sibuk mengatur rencana untuk makan siang bersama. Sementara tempat dan lokasi makan siang sudah ditentukan oleh Ketu, Adam dan yang lain mulai browsing, mencari menu yang tepat untuk dipesan nanti. Sedangkan Dinar, mulai menghitung orang yang bakal ikut, untuk menyiapkan dana yang harus dikeluarkan. Nggak cuma itu, saat masih disini, di ruang meeting, Dinar sudar mulai mengatur posisi duduk kami saat berada di tempat makan tadi.
“Nggak usah repot ngitung gua, Nar.. Gua nggak ikut” Ucap gua sambil berdiri dan bersiap keluar dari ruangan.
“Kenapa?” Tanyanya.
“Males…” Gua menjawab singkat.
Rupanya ‘marahnya’ Aldina dan nggak mendapat kabar darinya, sedikit banyak membawa dampak buruk juga. Gua jadi kehilangan mood dan uring-uringan.
Gua meletakkan laptop diatas meja, meraih bungkusan rokok yang ternyata kosong. ‘Perasaan tadi masih ada sebatang?’ batin gua dalam hati sambil meremas kemasan rokok yang kini kosong dan melemparkannya ke tempat sampah.
“Tadi, sisa satu, wis ta’ isep…” Tiba-tiba Ketu bicara. Ia baru saja keluar dari ruang meeting dan sepertinya mendapati bungkusan rokok yang kini kosong.
Rupanya, memang dia yang mengambil batangan terakhir rokok milik gua.
Gua meraih dompet dan bergegas keluar untuk membeli rokok.
Di minimarket, gua nggak hanya membeli rokok tapi juga membeli roti kemasan dan kopi instan kalengan. Lalu duduk di kursi besi di depan minimarket, menikmati roti, kopi instan sambil sesekali menghisap rokok dalam-dalam.
Dari kejauhan terlihat Ketu berjalan mendekat. Ia masuk ke dalam minimarket lalu nggak lama kemudian keluar. Kali ini sambil membawa bungkusan rokok juga kopi instan yang sama dengan yang gua minum. Ketu menggeser salah satu kursi besi, memposisikannya tepat di sebelah gua, lalu duduk.
“Kenapa Sal?” Tanyanya seraya menyulut sebatang rokok.
Gua menoleh ke arahnya. Lalu bicara; “Apanya yang kenapa?” Gua balik bertanya.
“Lah kuwi, ora gelem ikut makan siang? tumben?” Tanyanya lagi.
“Nggak ada apa-apa, Tu. Cuma lagi males keluar aja…” Jawab gua, beralasan.
“Oh.. Bukan karena kita pakai uang kantor untuk makan siang kan?” Tanyanya lagi, mencoba memastikan.
“Nggak lah, Pake-pake aja, asal laporannya jelas…” Jawab gua lagi.
“Yowis…” Balasnya.
Kami lalu sama-sama terdiam, sama-sama menikmati sebatang rokok sambil sesekali menyesap kopi instan kalengan.
“Tu..”
“Hmm…”
“Kalo nanti gua keluar dari studio lo gimana? gapapa kan?” Tanya gua, mengganti topik, berandai-andai.
“Ngawur, ya aku ikut kowe lah…” Jawabnya, santai.
“Kalo ada yang mau investasi gede di studio, tapi gua keluar gimana?” Tanya gua lagi.
“Hah, emang ada yang mau investasi? Sopo?” Tanyanya, kini sambil menggeser kursi lebih dekat ke arah gua.
“Ya kan seandainya…”
“...”
“... Gimana? lo mau nggak terima investasi tapi gua keluar dari studio?” Tanya gua, mengulang pertanyaan sebelumnya.
“Ini seandainya kan?”
“Iya…”
“Piro nilai investasinya?” Tanyanya lagi.
“Yaa, let’s say dua atau tiga miliar” Gua bicara asal sambil menatap ke arahnya.
“Tetep. Aku tetep ikut kowe…” Jawabnya.
“Kenapa? nggak sayang sama uang dua miliar?”
“Ya kamunya pergi, nggak ada kamu siapa yang mau bikin ilustrasi?”
“Hiring lah. Kan ada duitnya…”
“Ah moh ah.. Lagian, kamu emang kenapa pergi kalo ada yang mau investasi di studio?” Kini gantian Ketu yang mengajukan pertanyaan.
“Nggak tau, ya namanya juga berandai-andai..” Jawab gua sambil tertawa.
Ketu lalu ikut tertawa.
Tiba-tiba, Tawa Ketu terhenti. Ia menatap gua tajam lalu bicara; “Sal, kowe sakjane ono opo sih karo Aldina?” Tanyanya, kini ekspresi wajahnya terlihat serius.
Gua tersenyum sebentar. Lalu balik bertanya; “Emang ada gosip apa tentang gua sama Aldina?”
“Ya gitu…”
“Gitu gimana?” Tanya gua.
“Konco-konco liane nganggepnya kalian ada affair. Opo iyo? ora kan sal?” Tanyanya.
Gua mengangguk; “Bener kok..”.
“Apanya sing bener?”
“Gua sama Aldina emang ada affair. Nggak, bukan, bukan affair sih… Tapi gua sama Aldina emang udah deket dari lama…” Gua memberi jawaban.
“Jangkrik! Kok iso aku ora ngerti Sal?”
“Ya ini sekarang tau kan?”
“Iya tapi, kalau nggak tak tanyain, kowe pasti ora gelem cerita”
“Cerita. Pasti cerita lah, tapi nggak tau kapan…”
Setelah lanjut ngobrol sebentar, kami berdua lalu berjalan kembali ke arah studio. Di tanah kosong di depan studio, terlihat mobil SUV putih milik Aldina sudah terparkir di sana. Melihat mobilnya saja ada rasa kelegaan di dalam hati, merasa kalau ia baik-baik saja, sehat dan walafiat.
“Weh… Pujaan hatimu noh, wis teko” Gumam Ketu seraya tertawa dan menyenggol lengan gua.
Di dalam studio, sudah terlihat Aldina tengah duduk di kursi milik gua. Walaupun sadar akan kehadiran gua, Aldina sama sekali nggak menggubris, menoleh pun tidak. Pandangannya ia arahkan ke layar laptop milik gua, sambil jarinya yang lentik menari di atas trackpad.
Gua mendekat dan berdiri tepat di sebelahnya. Sementara, ia masih bergeming; enggan menggubris gua. Gua sedikit membungkuk, memposisikan wajah dekat dengan telinganya, lalu bicara sambil berbisik; “Nggak ngabarin mau dateng?”.
Alih-alih menjawab pertanyaan gua, Aldina malah langsung berdiri dan mengajak bicara Ketu. “Tu, bisa meeting sebentar?”.
“Oh bisa” Jawab Ketu. Yang lalu berpaling ke arah gua dan mengerlingkan matanya.
“…”
“… sekarang?” Tanyanya.
“Iya…” Aldina menjawab singkat. Lalu berdiri, mengambil Laptop dan menuju ke ruang meeting.
Menyadari Ketu diajak meeting oleh Aldina, Andika langsung mengangkat tangannya dan mengajukan pertanyaan ke Aldina; “Gua ikut kak?”
“Iya…” Aldina menjawab singkat.
Gua lalu ikut melakukan hal yang sama dengan Andika; mengangkat tangan dan mengajukan pertanyaan; “Gua?”
Aldina nggak memberi jawaban. Ia hanya menoleh dan memberikan tatapan matanya yang tajam ke arah gua. Dari tatapan matanya saja, gua bisa tau kalau nggak ada izin buat gua untuk ikut meeting bersamanya. Gua lalu kembali duduk dan lanjut bekerja.
Nggak seberapa lama, Dinar, Adam dan beberapa anak magang lainnya sudah mulai bersiap untuk berangkat ke resto tempat makan siang. Lagi, Dinar berusaha membujuk gua untuk ikut. “Bener nggak jadi ikut?” Tanyanya.
Gua menggeleng pelan. “Nggak, paling nanti kalau berubah pikiran gua nyusul…”
“Yaudah…” Balas Dinar, lalu mereka pun pergi.
Setengah jam kemudian, Aldina, Ketu dan Andika keluar dari ruang meeting. Ketu nampak terkejut saat mendapati ruang kerja yang kini kosong, menyisakan gua sendiri. Ia melirik ke arah jam tangannya lalu berpaling ke gua dan bertanya; “Pada kemana, Sal!”.
Tanpa memalingkan pandangan dari layar laptop, Gua memberi jawaban; “Keluar, makan siang”.
“Uasem, ditinggal kita dik” Seru Ketu. Lalu buru-buru meletakkan laptop miliknya, mengambil dompet dan bersiap pergi bersama Andika. Sebelum pergi, Ketu sempat mengajak kami berdua untuk turut serta; “… melu po ora, Sal, Din?”.
“Nggak ah…” Aldina memberi penolakan.
“Nggak. Tapi boleh nitip nggak?” Tanya gua.
“Nitip opo?” Tanya Ketu.
“Apa aja, buat makan siang”
“Oke…” Jawab Ketu, lalu pergi.
Kini hanya kami berdua yang tinggal di studio. Aldina duduk di kursi milik Dinar, dan mulai menatap ke arah gua. Sadar kalau Aldina kini tengah menatap, gua sengaja berpura-pura terus bekerja. Menunggu ia yang lebih dulu bicara.
Namun, setelah sekian lama menunggu, Aldina tetap bergeming. Ia sama sekali nggak bicara. Kehilangan kesabaran, gua lantas menoleh ke arahnya, mendorong kursi agar mendekat ke arahnya lalu bicara; “Masih marah?”.
“Menurut lo?” Ia malah balik bertanya.
“Masih” Gua menebak.
“Nah itu sadar” Gumamnya pelan, seraya membuang muka.
Gua tersenyum sebentar, kemudian kembali menarik kursi agar semakin dekat dengannya. Sebelum bicara, gua mencoba mengatur nafas, kemudian menyentuh punggung tangannya dan barulah mulai bicara; “Din.. Nggak ada yang lebih menyenangkan daripada bekerja bareng lo disini”
“...”
“...Tapi, gua juga nggak mau lo ngelepas semua yang udah selama ini susah payah lo dapatkan” Gua menambahkan.
“Iya gua ngerti. Tapi, gua tuh mau mulai semuanya dari awal bareng-bareng elo. Gua juga mau lepas dari bayang-bayang Jeje, Sal..” Aldina memberi alasan.
Gua tersenyum, lalu semakin mendekatkan diri ke arahnya.
“Yakin?” Tanya gua.
“Hundred percent” Aldina menjawab sambil mengangguk.
“Ok, ayo kita mulai sama-sama dari awal kalau begitu…” Ucap gua seraya bangkit, dan memberi kecupan di ujung kepalanya.
“Yakin?” Kini gantian, dia yang mengajukan pertanyaan, merasa nggak yakin dengan ucapan gua sebelumnya.
“Iya…” Gua menjawab singkat, namun penuh dengan keyakinan.
“Nggak bakal berubah pikiran?” Tanyanya lagi.
“Iya..”
“Yaudah kalo gitu.”
“...”
“Makasih!” Serunya, masih dengan nada bicara yang ketus.
“Itu kayaknya masih marah?” Tanya gua. Merasa nada bicaranya barusan masih terdengar ketus..
“Udah nggak!” Jawabnya; lagi, dengan nada bicara yang ketus.
“Ooh…”
“Tapi, kita masih punya satu masalah yang harus diselesaikan Sal” Tiba-tiba ia menambahkan.
“Apa?”.
Selamat malam mingguan ya guys! - Boni
“Gua laper” Ia menjawab, pelan dan lirih, sambil menundukkan kepalanya.
Mendengar jawabannya barusan tentu bikin gua naik pitam. Bagaimana tidak, tadi ada kesempatan diajak makan siang, ia malah menolak. Lalu, sekarang mengeluh; Lapar.
“Ck! Tadi diajak makan nggak mau, sekarang ngeluh laper.” Seru gua, lalu menjitak kepalanya, pelan.
“Ya tadi kan gua masih kesel sama lo” Aldina memberi jawaban, sambil mengusap bagian kepalanya yang sempat gua jitak.
“Emang kalo kesel lapernya ilang?”
“...”
Gua lantas meraih tangan dan mengajaknya keluar untuk menyusul rekan-rekan yang lain makan siang. “... Ayo”.
Kali ini, ia sama sekali nggak membantah. Ia ikut berdiri dan akhirnya kami berdua berangkat ke salah satu mall tempat dimana rekan-rekan yang lain sudah berada untuk makan siang.
Karena datang terlambat, Kami harus duduk terpisah. Gua duduk tepat di sisi Dinar, sementara Aldina justru berada di sebelah Ketu. Tepat saat baru saja gua hendak makan, ponsel gua bergetar, sebuah notifikasi pesan muncul di layarnya. Gua melihat sekilas; pesan dari Tata.
‘Nanti aja deh bacanya’ Batin gua dalam hati, sambil melanjutkan makan. Namun, baru saja beberapa suap, ponsel kembali bergetar; kini nggak hanya satu pesan yang masuk, tapi beberapa pesan sekaligus. Gua menatap ke arah notifikasi pada layar ponsel; semua pesan yang masuk dari Tata.
Gua berhenti makan, lalu mulai membaca satu persatu pesan dari Tata.
‘Marshall, bisa ketemuan nggak?’
‘Sal, bales please’
‘Sal, kalo nggak bisa hari ini gapapa, kamu bisanya kapan?’
‘Marshall, bales dong’
‘Sal…’
Gua menghela nafas sebentar, kemudian membalas salah satu pesannya; ‘Kenapa?’.
Nggak lama berselang kembali muncul balasan dari Tata yang isinya; ‘Aku mau ketemu boleh?’.
‘Buat apa?’ Tanya gua melalui balasan pesan.
‘Aku mau ganti ponsel pacar kamu yang rusak…’ Balasnya.
‘Nggak usah, Ta. Gapapa kok’
“Aku mau ganti, sal’
‘Nggak usah atau kalau maksa, transfer aja. Nanti gua sampaikan ke orangnya’ Balas gua.
‘Nggak mau, Aku tetep mau ganti. dam bertemu?’ Balasnya lagi.
‘Jangan’
‘Yaudah kalo gitu, aku ngomong langsung aja sama dia, sama pacar kamu’ Balasnya.
Enggan Aldina harus kembali bertemu dengan Tata, yang nantinya malah jadi ribut-ribut. Gua akhirnya mengiyakan permintaannya.
‘Yaudah kapan?’
‘Hari ini bisa?’ Tanyanya melalui balasan pesan.
‘Hari ini nggak bisa. Paling besok’
Gua lantas kembali melanjutkan makan. Tanpa sadar, sejak tadi Aldina sudah memperhatikan gerak-gerik gua yang mungkin menurutnya mencurigakan. Padahal, nanti, saat kami tengah berdua, gua akan menceritakan semua kepadanya; semuanya tanpa terkecuali. Bahkan kalau nanti ia ingin turut serta bertemu dengan Tata, gua pasti mengajaknya.
Nggak cukup sampai disitu, kecurigaan Aldina semakin bertambah saat ada panggilan telepon dari Nyokap. Yang memberikan sebuah penawaran, penawaran yang sejatinya nggak begitu menarik perhatian gua.
“Sal, kamu mau nonton Sheila on 7 nggak?” Tanya nyokap dari ujung sana.
“Hah, nggak ah, ngapain” Balas gua.
“Mamah dapet undangan nih buat nonton. Bukan konser kok, jadi nggak bakal terlalu rame” Ucapnya.
“Terus?”
“Jadi, ini tuh ada perusahaan Start-Up baru yang mau launching Apps. Dan mereka secara eksklusif ngundang Sheila on 7 buat manggung. Mau nggak?” Nyokap kembali bertanya.
Gua berpikir sejenak. Menerimanya tentu nggak bakal rugi, pun nantinya gua mungkin belum tentu datang. Jadi, akhirnya gua memutuskan untuk menerima penawaran dari nyokap. “Yaudah deh, mau…”
“Ok, nanti mamah kirimin pass-nya ya. Itu nanti bisa buat sepuluh orang, Sal. Kamu ajak aja Aldina sama temen-temen di studio” Nyokap menjelaskan.
‘Ah, boleh juga. Buat hiburan Aldina dan rekan-rekan yang lain’ Batin gua dalam hati. Lalu berterima kasih ke nyokap dan mengakhiri panggilan.
Selesai makan, saat tengah berjalan menuju ke area parkir, lagi, Tata mengirim pesan balasan;
‘Nanti malam?’ Tanyanya, merujuk ke waktu janji temu kami berdua.
‘Yaudah nanti malam’. Balas gua.
‘Ok Sampai ketemu nanti ya..’ Balasnya yang diiringi icon peluk berwarna kuning.
Tanpa gua sadari, Aldina sudah berada tepat di sebelah gua. Ia lalu mendekat dan bicara sambil berbisik; “Kalo bales pesan gua, gitu juga nggak? hilang fokus sampe nggak ngeh kalo diajak ngobrol”
Gua menoleh ke arahnya dan bertanya. “Apa?”
“Chat sama siapa? sibuk banget dari tadi kayaknya?” Tanyanya lagi.
Aldina lantas sedikit berjinjit dan mencoba mengintip ke arah layar ponsel yang masih berada di tangan gua. Tiba-tiab, ia langsung berusaha merebut ponsel dari tangan gua. Spontan, gua menghindar dan langsung memasukkan ponsel ke dalam saku celana.
“Liat!” Seru Aldina sambil menggeram dan terus mencoba mengambil ponsel gua dari saku celana. Sementara, rekan-rekan yang lain mulai memusatkan perhatiannya ke kami berdua.
Bukan, bukan gua nggak mau memperlihatkannya. Tapi, sekarang bukan waktu yang tepat. Seandainya gua perlihatkan isi chat dari Tata sekarang, tanpa ada penjelasan pembuka terlebih dahulu, gua yakin ia bakal langsung murka.
“Din, Malu itu diliatin orang…” Balas gua.
“Ya makanya sini gua liat. Lo chat-an sama Tata kan?” Aldina memberi tebakan. Dan entah bagaimana tebakannya tepat. Gua menyerah dan membiarkannya mengambil ponsel dari saku celana gua. Bukan, gua bukan menyerah karena nggak mampu menyembunyikan pesan dari Tata, gua menyerah karena melihat matanya sudah basah dan berlinang.
Seraya menyeka air mata yang mulai mengalir deras Aldina mulai mengecek aplikasi pesan di ponsel gua dan tentu saja ia mendapati pesan dari Tata. Apesnya, Aldina hanya melihat balasan pesan terakhirnya. Karena sudah dibutakan rasa cemburu, ia nggak punya keinginan lagi untuk membaca pesan-pesan sebelumnya.
Dengan tangannya yang bergetar, Ia lantas membanting ponsel gua ke lantai basement di area parkir tempat kami berada saat ini. Dan tanpa bicara sepatah katapun, ia berbalik, berjalan menjauh ke arah mobilnya terparkir.
Saat ini, gua memilih untuk nggak mengejarnya. Ingin memberinya kesempatan untuk menenangkan diri.
—
Ari Lasso - Seandainya
Kini baru aku sadari
Cinta bisa hadir tanpa disadari
Dengan perlahan tapi pasti
Merasuk di jiwa ini
Perasaan ini takkan pernah aku mengerti
Sejenak khilafku lupakan dia yang miliki diriku
Seandainya cinta ini tak pernah terjadi
Takkan ada air mata dan hati perih terluka
Saat cinta mengetuk hati
Akupun tak kuasa untuk menghindari
Meski aku telah berdua aku jatuh cinta lagi
Oh
Sejenak khilafku lupakan dia yang miliki diriku
Seandainya cinta ini tak pernah terjadi
Takkan ada air mata dan hati perih terluka
Seandainya cinta ini tak pernah terjadi
Takkan ada air mata dan hati perih terluka luka
Seandainya cinta tak pernah terjadi
vizardan dan 43 lainnya memberi reputasi
44
Kutip
Balas
Tutup