- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa

Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 21:29
viper990 dan 214 lainnya memberi reputasi
215
398.9K
Kutip
4.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#2542
Part 92 - Terlambat
Spoiler for Part 92 - Terlambat:
Gua turun dari mobil Aldina tepat di depan gang lalu langsung berbelok, masuk ke arah gang dan berjalan menuju ke studio. Gua sedikit menepi, berhenti sejenak saat menyadari ada sebuah mobil sedan yang melintas, lalu kembali melanjutkan langkah beberapa saat berikutnya. Nggak seberapa lama, kembali terdengar suara deru mesin mobil dari arah belakang, gua kembali menghentikan langkah dan sedikit menepi, memberikan kesempatan untuk mobil tersebut lewat, sekaligus takut terserempet.
Yang bikin gua cukup terkejut adalah mobil yang baru saja melewati gua adalah mobil SUV putih milik Aldina.
“Ngapain lagi tuh anak?” Gumam gua pelan sambil kembali melanjutkan langkah.
“...”
“... Tau gitu, ngapain tadi gua turun di depan…” Gumam gua lagi.
Saat posisi sudah dekat dengan studio, gua melihat dua sosok perempuan tengan berdiri, saling berhadapan dan sepertinya tengah berbincang. Salah satu sosoknya gua kenali sebagai Aldina. Dan sosok satu lagi…
Tata. Yang baru gua sadari setelah posisi gua semakin dekat.
Gua menuju ke arah Tata berdiri dan langsung mengajukan pertanyaan kepadanya; “Ngapain?”.
Tata mengubah arah tubuhnya, kini menghadap gua, ia lalu bicara; “Bisa ngobrol?”
Gua berpaling ke arah Aldina yang kini tengah berdiri sambil pasang tampang kesal. Nggak mau membuatnya semakin kesal, gua lantas menyuruhnya masuk dan menunggu di dalam studio.
“Masuk, Din..” Ucap gua ke Aldina seraya menunjuk ke arah studio dengan dagu.
Aldina lalu dengan cepat menggelengkan kepalanya; “Nggak mau!” Jawabnya ketus.
Sementara, Tata langsung kembali bicara; “Sebentar aja, Sal…”
“Nggak! Nggak boleh!” Seru Aldina, mencoba menjawab mewakili gua.
Setelahnya, ia bergeser dan memposisikan dirinya tepat di depan gua, pasang gaya seakan bersiap melindungi gua dari Tata yang mungkin menurutnya berbahaya.
Tata yang terlihat tetap tenang, nggak tersulut provokasi Aldina. Ia malah mendekat dan menjulurkan tangannya ke arah Aldina; mengajak berjabat tangan sambil menyebutkan namanya. Namun, Aldina dengan cepat menepis tangan Tata.
“Gua nggak peduli nama lo…”
“...”
“... Kalau mau ngomong sama Marshall, gua ikut” Aldina menambahkan.
Tata lantas berpaling menatap ke arah gua. Tatapannya seakan bicara; meminta konfirmasi dari gua.
“... Gua harus ikut!” Aldina kembali bicara.
Ia lalu menoleh, mendongak dan menatap gua yang saat ini berada dalam kebingungan; dilema. Bukan, bukan dilema karena pusing harus memilih. Tapi, dilema akan ‘haruskah gua melibatkan Aldina dalam semua ini?’ Batin gua dalam hati. Seandainya pun saat ini gua dihadapkan oleh sebuah pilihan Tata atau Aldina, gua sudah barang tentu punya jawabannya.
Gua lalu menunduk dan berbisik tepat di telinganya, ingin memberinya keyakinan agar ia percaya; “Biar gua selesaikan ini dulu ya… Ia hanya sepenggal kisah”
Mendengar bisikan gua barusan, Aldina terdiam sebentar. Dan nggak disangka-sangka, ia menurut, mengangguk pelan.
Ia lalu bergeser pelan, memberikan gua kesempatan untuk mendekat ke arah Tata. Sementara, Tata menyadari kalau ia sudah mendapatkan ‘izin’ dari Aldina lalu langsung menuju ke arah mobilnya, bersiap membuka pintu.
Menyadari kalau kami akan pergi dan ngobrol hanya berdua saja tanpa pengawasan dirinya, Aldina lantas berseru; “Mau kemana? kalo mau ngobrol di dalem aja” Seraya menunjuk ke arah studio.
Mendengar seruan Aldina, Tata lantas menatap ke arah gua seakan meminta persetujuan. Gua lalu menggeleng, memberi kode agar nggak perlu menggubris Aldina. Lalu meraih handle pintu mobil bersiap masuk ke dalam, ke kursi sisi penumpang mobil Tata. Aldina dengan cepat gua mendekat ke arah kami, membuka pintu penumpang bagian belakang, masuk dan duduk.
Gua yang sudah duduk di kursi penumpang bagian depan lalu menoleh ke belakang, menatap ke arah Aldina yang kini duduk manis sambil menatap ke arah luar. Ia lalu menggumam pelan; “Gua ikut”. Gua berpaling ke arah Tata yang sudah bersiap di belakang kemudi, kemudian memberikan kode kepadanya dengan mengangguk; membiarkan Aldina untuk ikut bersama kami.
Tata mendengus pelan sambil menyalakan mesin dan melajukan mobil.
Ia nggak membawa kami pergi jauh dari studio. Tepat di sisi sebuah kedai kopi yang terlihat baru saja buka, Tata melambatkan laju mobilnya, memutar kemudi dan parkir. Tanpa banyak bicara, kami lalu turun dari mobil.
Sementara, Tata langsung menuju ke arah kedai kopi, Gua hanya berdiri di sisi pintu; terdiam. Sengaja ingin menunggu Aldina keluar dari mobil.
Begitu Aldina keluar dari mobil, gua langsung mendekat. Lalu perlahan meraih kepalanya dan memberikan kecupan di ujung kepala. Mendapat perlakuan seperti itu, Aldina lalu mendongak, menatap ke arah gua, dan ia tersenyum. Gua lantas melepas dekapan, dan berjalan menuju ke arah kedai. Sementara Aldina menyusul, mengikuti gua dari belakang.
Terlihat Tata sengaja memilih meja yang berada di beranda kedai, gua yakin alasan ia memilih meja di area outdoor agar ia bisa dengan bebas merokok. Sementara, gua nggak mau membiarkan Aldina terpapar asap rokok gara-gara dia. Jadi, gua dengan cepat mencoba mencari cara agar, ia nggak bergabung dengan kami berdua. Salah satu cara yang terpikirkan adalah mengajaknya ke dalam untuk memesan minuman dan berharap ia terus berada disana, di area indoor kedai.
Gua meraih tangan Aldina yang sudah siap bergabung duduk satu meja dengan Tata. Lalu membawanya terus masuk ke dalam kedai untuk memesan minuman.
“Ngapain?” Bisik nya.
“Pesen kopi” Gua memberi jawaban singkat.
“Ya elo aja, gua mau ngobrol sama dia sebentar” Ucap Aldina seraya menunjuk ke arah Tata yang duduk di beranda kedai.
“…”
“Kenapa? lo nggak mau gua ngobrol berduaan aja sama dia? lo nggak percaya sama gua? Lo minta gua percaya sama lo. Tapi, lo nggak percaya sama gua..” Aldina terus bicara.
Begitu sudah berada tepat di depan konter pemesanan, Gua langsung memesan dua iced americano dan satu Jasmine tea; buat Aldina. Selesai memesan, gua berpaling, sambil bersandar pada konter, menatap ke arah Aldina dan bicara; “Bukan… Bukan gua nggak percaya sama lo. Bukan juga karena takut lo melewati batas…”
“Terus kenapa?”
Gua lantas menunjuk ke arah pramusaji, yang sudah siap menerima pembayaran. Lalu bicara sambil berbisik; “Bayarin dulu ini, dompet gua ketinggalan di apartemen kayaknya, HP gua abis baterai-nya…” Ucap gua, beralasan.
“Kimak, kirain apaan..” Balasnya, ia lalu mengeluarkan dompet dari dalam tas, mengambil kartu ATM dan memberikannya ke pramusaji untuk menyelesaikan pembayaran.
Sambil membawa minuman, dan berjalan ke arah area outdoor kedai, gua bicara pelan ke Aldina; “Lo nggak mau disini aja? diluar panas lho” Ucap gua.
Ia lalu menatap gua dan pasang tampang sangar. “Nggak! enak aja…”. Sambil terus mengikuti gua keluar.
Gua meletakkan gelas besar iced americano di atas meja tepat di depan Tata, lalu duduk di seberangnya, sementara Aldina sengaja memilih kursi yang berada di tengah, diantara kami berdua.
Saat sudah sama-sama duduk, kami bertiga lalu terdiam. Nggak ada satupun kata yang terucap dari Tata. Ia malah meraih gelas kopi dan mulai meminumnya dari sedotan. Sementara, Aldina terus menatap ke arah Tata dengan mata yang berbinar. Nggak seperti biasanya, kini ia terlihat seperti orang yang kagum.
“Apa kabar, Sal?” Tata menanyakan kabar gua dengan suara yang tenang dan pelan.
Gua mengangguk sambil memberi jawaban singkat; “Baik. Lo?”
“Sama, baik juga” Jawabnya.
Kami berdua lalu kembali tenggelam dalam diam berdua lalu kembali terdiam. Diamnya Tata mungkin tengah mencari kesempatan atau topik obrolan dan pertanyaan yang tepat. Sementara, Diamnya gua adalah untuk terus menjaga perasaan Aldina. Nggak mau terlihat terlalu proaktif terhadap Tata di hadapannya.
Menyadari kami berdua nggak saling bicara, Aldina lantas menegakkan tubuh dan bicara; “Ayo udah buruan langsung ke intinya aja!” Seru Aldian ke Tata.
Tata lalu menoleh ke arah Aldina dan pasang tampang kesal. Dengan santai, ia meraih bungkusan rokok dari dalam tas, mengambilnya sebatang dan mulai menyulutnya. Hal inilah yang gua takutkan sebelumnya; ia merokok tepat di depan Aldina.
Baru saja satu hisapan, Gua dengan cepat meraih rokok dari tangannya, dan mematikannya di asbak yang berada di atas meja. Nggak menyerah, Tata lantas kembali mengambil sebatang rokok dari bungkusan dan menyulutnya. Lagi, Gua melakukan hal yang sama.
Hal yang gua takutkan dari hal ini (Selain karena takut Aldina menjadi perokok pasif) adalah Tata yang salah tangkap, takut ia merasa gua masih mempedulikan dirinya. Ok, gua memang masih peduli dengannya, tapi bukan dalam konteks memberi kepedulian antara dua orang yang saling mencintai.
“Kenapa?” Tanya Tata, saat gua untuk ketiga kalinya mematikan rokok miliknya.
“...”
“... Kamu khawatir sama aku?” Tambahnya. Lalu menoleh sebentar ke arah Aldina.
Gua tersenyum sebentar, lalu bicara; “Bukan, bukan sama lo. Tapi sama dia…” Ucap Gua, seraya menatap ke arah Aldina.
“... Dia nggak bisa kena asap rokok.” Gua menambahkan, sambil menunjuk ke arah Aldina.
Aldina menatap ke arah Tata lalu bicara; “Lo masih mau ngerokok?” Tanyanya dengan nada yang kini terdengar ramah. Tata lalu merespon dengan mengangguk pelan. Aldina lantas berdiri, meraih gelas minuman dan pergi.
Pindah ke salah satu meja yang berada di area indoor kedai.
“Nyokap lo apa kabar?” Tanya gua ke Tata, berusaha membuka obrolan.
“Baik..” Jawabnya singkat.
“...”
“.. Kamu gimana? udah ketemu sama Bokap dan Nyokap?” Tambahnya. Yang lantas gua jawab dengan anggukan kepala.
“...”
“... Wah, jadi ikut senang.”
“...”
Kami lalu kembali terdiam.
“Gimana Jerman?” Tanya gua.
“Mmm, biasa aja sih…”
“Kuliahnya lancar?” Tanya gua lagi.
“Lancar dong, malah sempet kerja freelance disana” Jawabnya.
“Oya? kerja apa?”
“Jaga kedai kopi punya teman…”
“Oh.. enak dong bisa ngopi terus”
“Ya gitu deh…”
“...”
“... by the way, Sal. Sorry ya, aku baru bisa pulang sekarang” Tambahnya.
“Gapapa, lagian juga lo nggak perlu harus sampe dateng kok” Jawab gua.
“Kenapa? aku kan juga temennya Poppy?”
“...”
“... Kenapa sih lo nggak ngabarin aku?” Tanyanya, mengulang pertanyaan yang sama saat kami bertemu di area parkir makam beberapa waktu yang lalu.
Saat itu, ia juga sempat bertanya ke gua, kenapa gua nggak memberi kabar kepadanya tentang ‘kepergian’ Poppy. Dan waktu itu gua nggak bisa memberinya jawaban. Begitu pula sekarang.
“...”
“... Aku udah nggak berarti lagi ya buat kamu?” Tanyanya.
“Bukan begitu Ta. Emangnya kalau gua ngabarin lo, ada yang bakal berubah? nggak kan. Lo malah nanti terganggu, ketinggalan kuliah” Jawab gua beralasan.
“Ya nggak lah…” Jawabnya.
Kami lalu kembali sama-sama terdiam.
“Gimana? kamu udah bisa move on dari Poppy?” Tanyanya, kini sambil pasang tampang serius.
“...” Gua nggak menjawab, hanya terdiam.
Tata lalu menoleh ke arah Aldina yang saat ini tengah memperhatikan kami berdua dari balik jendela di dalam kedai.
“... Kayaknya udah ya?” Tebaknya seraya menunjuk ke arah Aldina dengan dagunya.
“...”
“... Pacar kamu posesif ya?” Tanyanya lagi.
“Tau darimana kalau dia pacar gua?” Gua blaik bertanya, sengaja, ingin menguji darimana ia bisa menebak kalau Aldina adalah kekasih gua.
“Hmmm…. Seumur-umur aku kenal sama kamu, nggak pernah sekalipun kamu melarang aku merokok.” Ucapnya.
“...”
“... Tiba-tiba, kami berani-beraninya matiin rokokku berkali-kali cuma karena nggak mau dia, pacar kamu itu kena asap rokok.”
“...”
“... Gila! berarti sayang banget kamu sama dia ya?” Tanyanya.
Gua lantas mengangguk pelan.
“Lebih sayang mana, ke Poppy apa ke cewek itu?” Tanyanya lagi, mencoba menguji keyakinan gua.
Gua lantas menjawab cepat; “Dia” Ucap gua seraya menunjuk ke arah Aldina.
“Wah gila, hebat. Nggak nyangka kamu bisa jawab secepat dan seyakin itu” Balasnya, sambil tertawa dan bertepuk tangan.
“Udah? itu doang yang kamu mau obrolin?” Tanya gua.
Tata lalu seketika terdiam. Lalu kembali bicara beberapa saat berikutnya; “Aku mau cerita, jujur. Tapi aku berharap kamu nggak langsung menghakimi..”
“Iya..”
“Janji?”
“Iya..”
“... Waktu pertama kali dengar berita kalau Poppy meninggal dari bunda. Aku merasa shock, dan tertekan. Tapi, entah kenapa di hati kecil ini ada perasaan lega yang sangat. Perasaan yang mendorongku untuk kembali ke kamu untuk memanfaatkan kesempatan ini…” Tambahnya.
“...”
“... Aku jahat ya?” Tanyanya.
Gua menggeleng. “Nggak, manusiawi kok” Jawab gua.
“Iya ya, sama manusiawinya dengan kamu yang langsung menjalin hubungan dengan perempuan lain” Tata memberikan asumsi.
Sebuah asumsi yang langsung membuat gua nyaris kehilangan kendali dan kesabaran. Ini seperti bukan dirinya, ia nggak seperti Tata yang sempat gua kenal.
Ia nggak tau seberapa tersiksanya gua harus melepas kepergian Poppy. Dan ia juga nggak tau kalau Aldina lah sosok yang berhasil menyelamatkan gua dari jelaga hitam yang berkerak selama ini.
“... Terserah, Sal. Terserah kamu mau menilai aku kayak apa. Tapi, yang pasti aku masih mau memanfaatkan kesempatan ini untuk bisa sama kamu. Walaupun sedikit terlambat, tapi aku mau mengusahakannya…”
“Nggak perlu, Ta…” Ucap gua.
“Perlu!” Serunya.
“...”
“.. Seandainya kamu langsung ngabarin aku. Seandainya kami langsung ngasih tau, pasti aku yang ada di sisi kamu sekarang. Bukan dia” Tambahnya seraya menunjuk ke arah Aldina yang masih sibuk menikmati teh sambil memperhatikan kami berdua.
“Wah… Ini bukan lo sih Ta. Tata yang gua kenal nggak kayak gini” Gua bicara.
Kami lalu sama-sama terdiam. Sementara, Tata terlihat sibuk menyeka ujung matanya yang mulai berlinang.
Nggak lama berselang, Aldina datang ke arah kami berdua. Ia lalu bicara; “Udah kan?” Tanyanya ke gua.
Gua mengangguk pelan. Lalu berdiri dan bersiap untuk pergi. Namun, Tata dengan cepat ikut berdiri, ia lalu bicara; “Ayo aku anter…”
Aldina menoleh dan berpaling ke arahnya; “Nggak usah, makasih..” Ucapnya seakan mewakili gua.
“Aku mau nganter Marshall, bukan kamu…” Balas Tata seraya menatap ke arah gua.
Dengan cepat, Aldina bersiap mendekat ke arah Tata. Menyadari kalau Aldina bakal bertindak diluar batas, gua lantas dengan cepat menahan dengan menggapai tangan dan menggenggamnya. Aldina mendongak, dan memberi tatapan memohon. Gua balas menatapnya sambil menggelengkan kepala; nggak memberinya izin.
Gua berpaling ke Tata dan bicara pelan; “Kita jalan aja, Ta… deket kok”
“Oh.. Yaudah” Tata menjawab tanpa perlawanan. Ia lalu meraih tas, ponsel dan kunci mobilnya dan bersiap pergi.
Saat melewati kami, Aldina sempat memanggil Tata; “Woy..” Serunya.
Sementara, Tata nggak merespon, ia hanya terus melangkah.
Tiba-tiba, Aldina kembali berseru, memanggil Tata dengan sebutan yang kurang pantas; “Woy, Jablay!”.
Mendengar seruan yang kasar dari Aldina, Tata langsung berhenti, lalu berpaling menatapnya dengan tatapan tajam. Sambil mengernyitkan dahinya Tata lalu bertanya; “Apa kamu bilang?”.
Aldian kembali berusaha mendekat. Gua tentu saja berusaha menahan dengan terus menggenggam tangannya. Tapi, Aldina dengan cepat menepis genggaman gua dan melangkah ke arah Tata. Ia meraih ponsel dan menyodorkannya ke arah Tata; “Minta nomor lo”.
Gua menghela nafas; lega. ‘Ternyata ia hanya ingin meminta nomor ponselnya’ Batin gua dalam hati.
“Buat apa?” Tanya Tata.
“Nggak tau, kayaknya gua merasa harus punya aja. Soalnya di HP gua ini belum ada nomor orang brengsek” Jawab Aldina sambil terus menyodorkan ponsel ke arahnya.
Dengan tampang kesal, Tata menyambar ponsel Aldina, lalu terlihat sibuk mengetik pada layar. Setelah selesai Tata menyodorkan ponsel kembali ke arah Aldina. Namun, saat Aldina bersiap mengambil ponsel dari tangannya, tiba-tiba Tata melepas genggamannya dan membuat ponsel milik Aldina terjatuh.
“Yah Sorry ya..” Tata menggumam pelan, berbalik dan segera masuk ke dalam mobil.
Sementara, Aldina lalu berusaha mengejar dan menggapai Tata. Menyadari hal tersebut, gua dengan cepat menyusul, bersiap menahannya. Beruntung Tata bergerak dengan cepat, ia masuk ke mobil dan melaju pergi, meninggalkan kami berdua.
“Bodat Anjing! pigi sana yang jauh, ku cari ko sampe ke ujung dunia” Seru Aldina sambil menatap ke arah mobil Tata yang perlahan menjauh lalu hilang.
Gua mendekat, meraih ponsel milik Aldina yang kini tergeletak di atas aspal, menatap ke arah layarnya yang retak, menyekanya sebentar kemudian mengembalikannya ke Aldina.
‘Ck!.. Rugi banyak hari ini gua..” Aldina menggumam pelan, seraya menatap ke arah layar ponsel yang retak.
“Lagian, ngapain pake minta nomor HP nya?” Tanya Gua.
“Ya siapa tau nanti suatu saat butuh..” Jawabnya.
“Kan gua punya” Ucap gua.
Aldina lantas mendongak dan menatap ke arah gua lalu bertanya; “Emang kalo gua minta sama lo. Lo bakal ngasih?”.
“Kenapa nggak?” Gua balik bertanya.
Aldina dengan cepat memukul gua beberapa kali, sambil berseru; “Kalo lo bilang dari tadi, HP gua nggak bakal retak..”
“Ya gua mana tau” Balas gua sambil tersenyum.
Setelahnya, kami berdua lalu berjalan kaki bersama untuk kembali ke studio
Sementara gua lanjut bekerja, Aldina pamit untuk pergi ke rumah Reni; menjemput Anggi. Sesuai dengan rencana awalnya yang sempat tertunda akibat harus menemani gua ngobrol dengan Tata.
Sebelum berpisah, kami sempat ngobrol sebentar.
“Boleh gua nanti kesana?” Tanya gua.
Aldina tersenyum dan mengangguk.
“Rindu sama gua apa sama Anggi?” Tanyanya.
“Sama Anggi lah…” Gua memberi jawaban singkat, sengaja ingin meledeknya.
“Lah, sama gua? nggak rindu?” Tanya Aldina, kesal.
“Belum… Belum rindu” Jawab gua.
Beberapa jam berikutnya, setelah mengerjakan semua task yang diberikan Ketu dan Andika, gua langsung bergegas menuju ke stasiun Cisauk. Tentu saja dengan diantar oleh Ketu. Gua turun di stasiun Pondok Ranji, lalu lanjut memesan ojek online untuk menuju ke apartemen tempat Aldina tinggal.
Yang bikin gua cukup terkejut adalah mobil yang baru saja melewati gua adalah mobil SUV putih milik Aldina.
“Ngapain lagi tuh anak?” Gumam gua pelan sambil kembali melanjutkan langkah.
“...”
“... Tau gitu, ngapain tadi gua turun di depan…” Gumam gua lagi.
Saat posisi sudah dekat dengan studio, gua melihat dua sosok perempuan tengan berdiri, saling berhadapan dan sepertinya tengah berbincang. Salah satu sosoknya gua kenali sebagai Aldina. Dan sosok satu lagi…
Tata. Yang baru gua sadari setelah posisi gua semakin dekat.
Gua menuju ke arah Tata berdiri dan langsung mengajukan pertanyaan kepadanya; “Ngapain?”.
Tata mengubah arah tubuhnya, kini menghadap gua, ia lalu bicara; “Bisa ngobrol?”
Gua berpaling ke arah Aldina yang kini tengah berdiri sambil pasang tampang kesal. Nggak mau membuatnya semakin kesal, gua lantas menyuruhnya masuk dan menunggu di dalam studio.
“Masuk, Din..” Ucap gua ke Aldina seraya menunjuk ke arah studio dengan dagu.
Aldina lalu dengan cepat menggelengkan kepalanya; “Nggak mau!” Jawabnya ketus.
Sementara, Tata langsung kembali bicara; “Sebentar aja, Sal…”
“Nggak! Nggak boleh!” Seru Aldina, mencoba menjawab mewakili gua.
Setelahnya, ia bergeser dan memposisikan dirinya tepat di depan gua, pasang gaya seakan bersiap melindungi gua dari Tata yang mungkin menurutnya berbahaya.
Tata yang terlihat tetap tenang, nggak tersulut provokasi Aldina. Ia malah mendekat dan menjulurkan tangannya ke arah Aldina; mengajak berjabat tangan sambil menyebutkan namanya. Namun, Aldina dengan cepat menepis tangan Tata.
“Gua nggak peduli nama lo…”
“...”
“... Kalau mau ngomong sama Marshall, gua ikut” Aldina menambahkan.
Tata lantas berpaling menatap ke arah gua. Tatapannya seakan bicara; meminta konfirmasi dari gua.
“... Gua harus ikut!” Aldina kembali bicara.
Ia lalu menoleh, mendongak dan menatap gua yang saat ini berada dalam kebingungan; dilema. Bukan, bukan dilema karena pusing harus memilih. Tapi, dilema akan ‘haruskah gua melibatkan Aldina dalam semua ini?’ Batin gua dalam hati. Seandainya pun saat ini gua dihadapkan oleh sebuah pilihan Tata atau Aldina, gua sudah barang tentu punya jawabannya.
Gua lalu menunduk dan berbisik tepat di telinganya, ingin memberinya keyakinan agar ia percaya; “Biar gua selesaikan ini dulu ya… Ia hanya sepenggal kisah”
Mendengar bisikan gua barusan, Aldina terdiam sebentar. Dan nggak disangka-sangka, ia menurut, mengangguk pelan.
Ia lalu bergeser pelan, memberikan gua kesempatan untuk mendekat ke arah Tata. Sementara, Tata menyadari kalau ia sudah mendapatkan ‘izin’ dari Aldina lalu langsung menuju ke arah mobilnya, bersiap membuka pintu.
Menyadari kalau kami akan pergi dan ngobrol hanya berdua saja tanpa pengawasan dirinya, Aldina lantas berseru; “Mau kemana? kalo mau ngobrol di dalem aja” Seraya menunjuk ke arah studio.
Mendengar seruan Aldina, Tata lantas menatap ke arah gua seakan meminta persetujuan. Gua lalu menggeleng, memberi kode agar nggak perlu menggubris Aldina. Lalu meraih handle pintu mobil bersiap masuk ke dalam, ke kursi sisi penumpang mobil Tata. Aldina dengan cepat gua mendekat ke arah kami, membuka pintu penumpang bagian belakang, masuk dan duduk.
Gua yang sudah duduk di kursi penumpang bagian depan lalu menoleh ke belakang, menatap ke arah Aldina yang kini duduk manis sambil menatap ke arah luar. Ia lalu menggumam pelan; “Gua ikut”. Gua berpaling ke arah Tata yang sudah bersiap di belakang kemudi, kemudian memberikan kode kepadanya dengan mengangguk; membiarkan Aldina untuk ikut bersama kami.
Tata mendengus pelan sambil menyalakan mesin dan melajukan mobil.
Ia nggak membawa kami pergi jauh dari studio. Tepat di sisi sebuah kedai kopi yang terlihat baru saja buka, Tata melambatkan laju mobilnya, memutar kemudi dan parkir. Tanpa banyak bicara, kami lalu turun dari mobil.
Sementara, Tata langsung menuju ke arah kedai kopi, Gua hanya berdiri di sisi pintu; terdiam. Sengaja ingin menunggu Aldina keluar dari mobil.
Begitu Aldina keluar dari mobil, gua langsung mendekat. Lalu perlahan meraih kepalanya dan memberikan kecupan di ujung kepala. Mendapat perlakuan seperti itu, Aldina lalu mendongak, menatap ke arah gua, dan ia tersenyum. Gua lantas melepas dekapan, dan berjalan menuju ke arah kedai. Sementara Aldina menyusul, mengikuti gua dari belakang.
Terlihat Tata sengaja memilih meja yang berada di beranda kedai, gua yakin alasan ia memilih meja di area outdoor agar ia bisa dengan bebas merokok. Sementara, gua nggak mau membiarkan Aldina terpapar asap rokok gara-gara dia. Jadi, gua dengan cepat mencoba mencari cara agar, ia nggak bergabung dengan kami berdua. Salah satu cara yang terpikirkan adalah mengajaknya ke dalam untuk memesan minuman dan berharap ia terus berada disana, di area indoor kedai.
Gua meraih tangan Aldina yang sudah siap bergabung duduk satu meja dengan Tata. Lalu membawanya terus masuk ke dalam kedai untuk memesan minuman.
“Ngapain?” Bisik nya.
“Pesen kopi” Gua memberi jawaban singkat.
“Ya elo aja, gua mau ngobrol sama dia sebentar” Ucap Aldina seraya menunjuk ke arah Tata yang duduk di beranda kedai.
“…”
“Kenapa? lo nggak mau gua ngobrol berduaan aja sama dia? lo nggak percaya sama gua? Lo minta gua percaya sama lo. Tapi, lo nggak percaya sama gua..” Aldina terus bicara.
Begitu sudah berada tepat di depan konter pemesanan, Gua langsung memesan dua iced americano dan satu Jasmine tea; buat Aldina. Selesai memesan, gua berpaling, sambil bersandar pada konter, menatap ke arah Aldina dan bicara; “Bukan… Bukan gua nggak percaya sama lo. Bukan juga karena takut lo melewati batas…”
“Terus kenapa?”
Gua lantas menunjuk ke arah pramusaji, yang sudah siap menerima pembayaran. Lalu bicara sambil berbisik; “Bayarin dulu ini, dompet gua ketinggalan di apartemen kayaknya, HP gua abis baterai-nya…” Ucap gua, beralasan.
“Kimak, kirain apaan..” Balasnya, ia lalu mengeluarkan dompet dari dalam tas, mengambil kartu ATM dan memberikannya ke pramusaji untuk menyelesaikan pembayaran.
Sambil membawa minuman, dan berjalan ke arah area outdoor kedai, gua bicara pelan ke Aldina; “Lo nggak mau disini aja? diluar panas lho” Ucap gua.
Ia lalu menatap gua dan pasang tampang sangar. “Nggak! enak aja…”. Sambil terus mengikuti gua keluar.
Gua meletakkan gelas besar iced americano di atas meja tepat di depan Tata, lalu duduk di seberangnya, sementara Aldina sengaja memilih kursi yang berada di tengah, diantara kami berdua.
Saat sudah sama-sama duduk, kami bertiga lalu terdiam. Nggak ada satupun kata yang terucap dari Tata. Ia malah meraih gelas kopi dan mulai meminumnya dari sedotan. Sementara, Aldina terus menatap ke arah Tata dengan mata yang berbinar. Nggak seperti biasanya, kini ia terlihat seperti orang yang kagum.
“Apa kabar, Sal?” Tata menanyakan kabar gua dengan suara yang tenang dan pelan.
Gua mengangguk sambil memberi jawaban singkat; “Baik. Lo?”
“Sama, baik juga” Jawabnya.
Kami berdua lalu kembali tenggelam dalam diam berdua lalu kembali terdiam. Diamnya Tata mungkin tengah mencari kesempatan atau topik obrolan dan pertanyaan yang tepat. Sementara, Diamnya gua adalah untuk terus menjaga perasaan Aldina. Nggak mau terlihat terlalu proaktif terhadap Tata di hadapannya.
Menyadari kami berdua nggak saling bicara, Aldina lantas menegakkan tubuh dan bicara; “Ayo udah buruan langsung ke intinya aja!” Seru Aldian ke Tata.
Tata lalu menoleh ke arah Aldina dan pasang tampang kesal. Dengan santai, ia meraih bungkusan rokok dari dalam tas, mengambilnya sebatang dan mulai menyulutnya. Hal inilah yang gua takutkan sebelumnya; ia merokok tepat di depan Aldina.
Baru saja satu hisapan, Gua dengan cepat meraih rokok dari tangannya, dan mematikannya di asbak yang berada di atas meja. Nggak menyerah, Tata lantas kembali mengambil sebatang rokok dari bungkusan dan menyulutnya. Lagi, Gua melakukan hal yang sama.
Hal yang gua takutkan dari hal ini (Selain karena takut Aldina menjadi perokok pasif) adalah Tata yang salah tangkap, takut ia merasa gua masih mempedulikan dirinya. Ok, gua memang masih peduli dengannya, tapi bukan dalam konteks memberi kepedulian antara dua orang yang saling mencintai.
“Kenapa?” Tanya Tata, saat gua untuk ketiga kalinya mematikan rokok miliknya.
“...”
“... Kamu khawatir sama aku?” Tambahnya. Lalu menoleh sebentar ke arah Aldina.
Gua tersenyum sebentar, lalu bicara; “Bukan, bukan sama lo. Tapi sama dia…” Ucap Gua, seraya menatap ke arah Aldina.
“... Dia nggak bisa kena asap rokok.” Gua menambahkan, sambil menunjuk ke arah Aldina.
Aldina menatap ke arah Tata lalu bicara; “Lo masih mau ngerokok?” Tanyanya dengan nada yang kini terdengar ramah. Tata lalu merespon dengan mengangguk pelan. Aldina lantas berdiri, meraih gelas minuman dan pergi.
Pindah ke salah satu meja yang berada di area indoor kedai.
“Nyokap lo apa kabar?” Tanya gua ke Tata, berusaha membuka obrolan.
“Baik..” Jawabnya singkat.
“...”
“.. Kamu gimana? udah ketemu sama Bokap dan Nyokap?” Tambahnya. Yang lantas gua jawab dengan anggukan kepala.
“...”
“... Wah, jadi ikut senang.”
“...”
Kami lalu kembali terdiam.
“Gimana Jerman?” Tanya gua.
“Mmm, biasa aja sih…”
“Kuliahnya lancar?” Tanya gua lagi.
“Lancar dong, malah sempet kerja freelance disana” Jawabnya.
“Oya? kerja apa?”
“Jaga kedai kopi punya teman…”
“Oh.. enak dong bisa ngopi terus”
“Ya gitu deh…”
“...”
“... by the way, Sal. Sorry ya, aku baru bisa pulang sekarang” Tambahnya.
“Gapapa, lagian juga lo nggak perlu harus sampe dateng kok” Jawab gua.
“Kenapa? aku kan juga temennya Poppy?”
“...”
“... Kenapa sih lo nggak ngabarin aku?” Tanyanya, mengulang pertanyaan yang sama saat kami bertemu di area parkir makam beberapa waktu yang lalu.
Saat itu, ia juga sempat bertanya ke gua, kenapa gua nggak memberi kabar kepadanya tentang ‘kepergian’ Poppy. Dan waktu itu gua nggak bisa memberinya jawaban. Begitu pula sekarang.
“...”
“... Aku udah nggak berarti lagi ya buat kamu?” Tanyanya.
“Bukan begitu Ta. Emangnya kalau gua ngabarin lo, ada yang bakal berubah? nggak kan. Lo malah nanti terganggu, ketinggalan kuliah” Jawab gua beralasan.
“Ya nggak lah…” Jawabnya.
Kami lalu kembali sama-sama terdiam.
“Gimana? kamu udah bisa move on dari Poppy?” Tanyanya, kini sambil pasang tampang serius.
“...” Gua nggak menjawab, hanya terdiam.
Tata lalu menoleh ke arah Aldina yang saat ini tengah memperhatikan kami berdua dari balik jendela di dalam kedai.
“... Kayaknya udah ya?” Tebaknya seraya menunjuk ke arah Aldina dengan dagunya.
“...”
“... Pacar kamu posesif ya?” Tanyanya lagi.
“Tau darimana kalau dia pacar gua?” Gua blaik bertanya, sengaja, ingin menguji darimana ia bisa menebak kalau Aldina adalah kekasih gua.
“Hmmm…. Seumur-umur aku kenal sama kamu, nggak pernah sekalipun kamu melarang aku merokok.” Ucapnya.
“...”
“... Tiba-tiba, kami berani-beraninya matiin rokokku berkali-kali cuma karena nggak mau dia, pacar kamu itu kena asap rokok.”
“...”
“... Gila! berarti sayang banget kamu sama dia ya?” Tanyanya.
Gua lantas mengangguk pelan.
“Lebih sayang mana, ke Poppy apa ke cewek itu?” Tanyanya lagi, mencoba menguji keyakinan gua.
Gua lantas menjawab cepat; “Dia” Ucap gua seraya menunjuk ke arah Aldina.
“Wah gila, hebat. Nggak nyangka kamu bisa jawab secepat dan seyakin itu” Balasnya, sambil tertawa dan bertepuk tangan.
“Udah? itu doang yang kamu mau obrolin?” Tanya gua.
Tata lalu seketika terdiam. Lalu kembali bicara beberapa saat berikutnya; “Aku mau cerita, jujur. Tapi aku berharap kamu nggak langsung menghakimi..”
“Iya..”
“Janji?”
“Iya..”
“... Waktu pertama kali dengar berita kalau Poppy meninggal dari bunda. Aku merasa shock, dan tertekan. Tapi, entah kenapa di hati kecil ini ada perasaan lega yang sangat. Perasaan yang mendorongku untuk kembali ke kamu untuk memanfaatkan kesempatan ini…” Tambahnya.
“...”
“... Aku jahat ya?” Tanyanya.
Gua menggeleng. “Nggak, manusiawi kok” Jawab gua.
“Iya ya, sama manusiawinya dengan kamu yang langsung menjalin hubungan dengan perempuan lain” Tata memberikan asumsi.
Sebuah asumsi yang langsung membuat gua nyaris kehilangan kendali dan kesabaran. Ini seperti bukan dirinya, ia nggak seperti Tata yang sempat gua kenal.
Ia nggak tau seberapa tersiksanya gua harus melepas kepergian Poppy. Dan ia juga nggak tau kalau Aldina lah sosok yang berhasil menyelamatkan gua dari jelaga hitam yang berkerak selama ini.
“... Terserah, Sal. Terserah kamu mau menilai aku kayak apa. Tapi, yang pasti aku masih mau memanfaatkan kesempatan ini untuk bisa sama kamu. Walaupun sedikit terlambat, tapi aku mau mengusahakannya…”
“Nggak perlu, Ta…” Ucap gua.
“Perlu!” Serunya.
“...”
“.. Seandainya kamu langsung ngabarin aku. Seandainya kami langsung ngasih tau, pasti aku yang ada di sisi kamu sekarang. Bukan dia” Tambahnya seraya menunjuk ke arah Aldina yang masih sibuk menikmati teh sambil memperhatikan kami berdua.
“Wah… Ini bukan lo sih Ta. Tata yang gua kenal nggak kayak gini” Gua bicara.
Kami lalu sama-sama terdiam. Sementara, Tata terlihat sibuk menyeka ujung matanya yang mulai berlinang.
Nggak lama berselang, Aldina datang ke arah kami berdua. Ia lalu bicara; “Udah kan?” Tanyanya ke gua.
Gua mengangguk pelan. Lalu berdiri dan bersiap untuk pergi. Namun, Tata dengan cepat ikut berdiri, ia lalu bicara; “Ayo aku anter…”
Aldina menoleh dan berpaling ke arahnya; “Nggak usah, makasih..” Ucapnya seakan mewakili gua.
“Aku mau nganter Marshall, bukan kamu…” Balas Tata seraya menatap ke arah gua.
Dengan cepat, Aldina bersiap mendekat ke arah Tata. Menyadari kalau Aldina bakal bertindak diluar batas, gua lantas dengan cepat menahan dengan menggapai tangan dan menggenggamnya. Aldina mendongak, dan memberi tatapan memohon. Gua balas menatapnya sambil menggelengkan kepala; nggak memberinya izin.
Gua berpaling ke Tata dan bicara pelan; “Kita jalan aja, Ta… deket kok”
“Oh.. Yaudah” Tata menjawab tanpa perlawanan. Ia lalu meraih tas, ponsel dan kunci mobilnya dan bersiap pergi.
Saat melewati kami, Aldina sempat memanggil Tata; “Woy..” Serunya.
Sementara, Tata nggak merespon, ia hanya terus melangkah.
Tiba-tiba, Aldina kembali berseru, memanggil Tata dengan sebutan yang kurang pantas; “Woy, Jablay!”.
Mendengar seruan yang kasar dari Aldina, Tata langsung berhenti, lalu berpaling menatapnya dengan tatapan tajam. Sambil mengernyitkan dahinya Tata lalu bertanya; “Apa kamu bilang?”.
Aldian kembali berusaha mendekat. Gua tentu saja berusaha menahan dengan terus menggenggam tangannya. Tapi, Aldina dengan cepat menepis genggaman gua dan melangkah ke arah Tata. Ia meraih ponsel dan menyodorkannya ke arah Tata; “Minta nomor lo”.
Gua menghela nafas; lega. ‘Ternyata ia hanya ingin meminta nomor ponselnya’ Batin gua dalam hati.
“Buat apa?” Tanya Tata.
“Nggak tau, kayaknya gua merasa harus punya aja. Soalnya di HP gua ini belum ada nomor orang brengsek” Jawab Aldina sambil terus menyodorkan ponsel ke arahnya.
Dengan tampang kesal, Tata menyambar ponsel Aldina, lalu terlihat sibuk mengetik pada layar. Setelah selesai Tata menyodorkan ponsel kembali ke arah Aldina. Namun, saat Aldina bersiap mengambil ponsel dari tangannya, tiba-tiba Tata melepas genggamannya dan membuat ponsel milik Aldina terjatuh.
“Yah Sorry ya..” Tata menggumam pelan, berbalik dan segera masuk ke dalam mobil.
Sementara, Aldina lalu berusaha mengejar dan menggapai Tata. Menyadari hal tersebut, gua dengan cepat menyusul, bersiap menahannya. Beruntung Tata bergerak dengan cepat, ia masuk ke mobil dan melaju pergi, meninggalkan kami berdua.
“Bodat Anjing! pigi sana yang jauh, ku cari ko sampe ke ujung dunia” Seru Aldina sambil menatap ke arah mobil Tata yang perlahan menjauh lalu hilang.
Gua mendekat, meraih ponsel milik Aldina yang kini tergeletak di atas aspal, menatap ke arah layarnya yang retak, menyekanya sebentar kemudian mengembalikannya ke Aldina.
‘Ck!.. Rugi banyak hari ini gua..” Aldina menggumam pelan, seraya menatap ke arah layar ponsel yang retak.
“Lagian, ngapain pake minta nomor HP nya?” Tanya Gua.
“Ya siapa tau nanti suatu saat butuh..” Jawabnya.
“Kan gua punya” Ucap gua.
Aldina lantas mendongak dan menatap ke arah gua lalu bertanya; “Emang kalo gua minta sama lo. Lo bakal ngasih?”.
“Kenapa nggak?” Gua balik bertanya.
Aldina dengan cepat memukul gua beberapa kali, sambil berseru; “Kalo lo bilang dari tadi, HP gua nggak bakal retak..”
“Ya gua mana tau” Balas gua sambil tersenyum.
Setelahnya, kami berdua lalu berjalan kaki bersama untuk kembali ke studio
Sementara gua lanjut bekerja, Aldina pamit untuk pergi ke rumah Reni; menjemput Anggi. Sesuai dengan rencana awalnya yang sempat tertunda akibat harus menemani gua ngobrol dengan Tata.
Sebelum berpisah, kami sempat ngobrol sebentar.
“Boleh gua nanti kesana?” Tanya gua.
Aldina tersenyum dan mengangguk.
“Rindu sama gua apa sama Anggi?” Tanyanya.
“Sama Anggi lah…” Gua memberi jawaban singkat, sengaja ingin meledeknya.
“Lah, sama gua? nggak rindu?” Tanya Aldina, kesal.
“Belum… Belum rindu” Jawab gua.
Beberapa jam berikutnya, setelah mengerjakan semua task yang diberikan Ketu dan Andika, gua langsung bergegas menuju ke stasiun Cisauk. Tentu saja dengan diantar oleh Ketu. Gua turun di stasiun Pondok Ranji, lalu lanjut memesan ojek online untuk menuju ke apartemen tempat Aldina tinggal.
Lanjut Ke Bawah
Diubah oleh robotpintar 27-06-2024 22:25
vizardan dan 38 lainnya memberi reputasi
39
Kutip
Balas