Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Entah sudah berapa kali gua mencoba. Mencoba menyusupi pikiran gua dengan asumsi positif tentang apa isi dari pesan mereka berdua. Tapi, semakin keras gua mencoba, semakin kuat pula hati ini menolaknya. Hati ini sudah keburu terbakar cemburu yang akhirnya malah menimbulkan kebencian yang sangat; apalagi buat Tata.
Gua meraih ponsel dan dengan pandangan kabur akibat gumpalan air mata yang menggenang melihat deretan notifikasi panggilan tak terjawab dari Marshall.
Entah sudah berapa hari gua hanya berdiam di apartemen. Hanya duduk sambil menatap kosong ke arah deretan ilustrasi buatan Marshall.
Sejak kejadian kemarin, gua hanya menjawab panggilan dari Reni ataupun Anggi yang menghubungi dengan ponsel milik Lady. Entah sudah berapa banyak panggilan telepon Marshall yang gua abaikan.
Hari berganti hari.
Setelah cukup lama merenung dan meratap, hari ini perasaan gua sedikit ‘membaik’. Ada sedikit ruang di dalam hati memberikan kesempatan buat Marshall menjelaskan. Kesempatan yang mungkin hanya gua berikan sekali dan jawaban darinya haruslah masuk di akal.
Harus sangat masuk akal!
Tanpa berdandan, gua meraih dompet, ponsel dan kunci mobil, kemudian bergegas keluar, berniat ke studio untuk menemuinya.
Setelah hampir satu jam berikutnya, gua tiba di studio.
Nggak seperti biasa, dimana suara riuh rendah dari dalam studio akan menembus keluar bahkan saat baru berada di teras. Kali ini suasana hening, seperti nggak ada tanda-tanda kehidupan.
Gua mendorong pintu studio dan masuk. Di dalam, ruangan terlihat gelap, hanya pendaran cahaya dari layar laptop diatas meja Dinar yang menjadi satu-satunya sumber cahaya. Namun, sosoknya malah nggak berada di sana.
Sambil memanggil namanya, gua terus berjalan hingga ke dapur.
“Nar, Dinar…” Panggil gua.
Terdengar derap langkah dari lantai dua, disusul Dinar yang terlihat berlari menuruni anak tangga menuju ke bawah.
“Lho nggak ikut?” Tanyanya begitu menyadari kehadiran gua.
“Ikut kemana?” Gua balik bertanya.
“…”
“… yang lain pada kemana?” Gua menambahkan, nggak memberikan kesempatan Dinar untuk menjawab.
Dinar berhenti dan berdiri tepat di anak tangga terakhir paling bawah. Ia memandang gua dengan tatapan bingung.
“Bukannya pada nonton konser. Gua pikir lo ikut” Jawab Dinar.
“…”
“… Atau lo emang nggak diajak kali ya” tambahnya sambil menyeringai.
Ia lalu menuju ke dapur, mengambil gelas dan mengisinya dengan air dari dispenser. Kemudian pergi ke depan dan langsung duduk di meja kerjanya.
Gua mengikutinya sejak dari dapur lalu duduk di kursi Marshall yang bersebelahan dengannya.
“Konser? Marshall?” Tanya gua, nggak yakin. Merasa kemungkinannya kecil untuk Marshall mau repot-repot nonton konser. Yang gua tau, ia nggak begitu punya ketertarikan akan musik.
Dinar mengangguk.
“… Bareng sama yang lain juga?” Tanya gua lagi.
“Iya. Sama perempuan itu juga” jawabnya. Ekspresi wajahnya langsung berubah kesal begitu menyebut kata ‘perempuan itu’.
“Itu yang namanya Tata” Jawab Dinar ketus, sementara tangannya mulai ia kepalkan.
Mendengar jawaban Dinar barusan rasanya bagai disambar petir. ‘Bagaimana mungkin, Marshall pergi menonton konser bersama Tata?’ Batin gua dalam hati.
“Kimbek…” gua menggunam kesal.
“Gua pikir lo…” Dinar lalu mencoba kembali bicara, namun gua yang sudah keburu kesal nggak mau lagi mendengar ceritanya.
Gua berdiri dan bersiap keluar.
Tepat saat gua baru saja memutar mobil untuk keluar dari tanah lapang di seberang studio, gua melihat sebuah sedan datang dan berhenti tepat di depan studio. Terlihat Ketu, Adam dan yang lain turun dari mobil, termasuk si pukimak; Tata dan Marshall.
Marshall berdiri, terdiam, mematung sambil menatap ke arah mobil gua yang sudah bersiap pergi.
Ia lalu bergegas mendekat. Namun, gua dengan cepat memacu mobil, pergi. Meninggalkan Marshall yang bahkan belum sempat mendekat.
Kini gua nggak perlu penjelasan apa-apa lagi.
Dengan pandangan yang kabur dan membias karena genangan air mata, gua terus memacu mobil menuju ke rumah Reni; satu-satunya tempat yang terpikirkan oleh gua saat ini. Karena merasa pulang ke apartemen dalam kondisi seperti ini; kalut dan marah bukanlah hal yang bisa gua lakukan.
Sampai di rumah Reni, tanpa basa-basi gua langsung masuk dan menjatuhkan diri di sofa ruang tamu. Membiarkan Reni dan Robi yang tengah asik menonton televisi di ruang keluarga menatap kebingungan. Reni lalu berdiri, mendekat dan duduk di sofa tepat di sebelah gua.
“Kenapa?” Tanyanya begitu menyadari kondisi gua yang sudah berurai air mata.
Gua menggeleng. Sengaja nggak mau bicara, enggan memberi penjelasan. Saat itu, gua hanya minta untuk dibiarkan sendiri, dan Reni menyanggupinya. Ia berdiri dan pergi bergabung dengan suaminya.
Setelah beberapa lama gua hanya diam sambil terisak. Reni kembali duduk di sebelah gua dan bertanya. Kini ia nggak lagi menanyakan apa yang terjadi dengan gua.
“... Makan dulu ya” Tambahnya dengan suara yang super lembut.
Lagi, gua menggeleng pelan.
“... Reni nggak tau masalahnya apa. Tapi, kalau Kak Dince mau bersedih, mau meratap, seenggaknya makan dulu, biar nggak sakit” Ia kembali menambahkan, masih dengan nada bicara yang sama dengan sebelumnya.
Gua menoleh dan menatapnya dengan kedua mata yang sembab.
“Nggak usah Ren…”
“...”
“... Bisa anterin gua ke Rumah Bapak nggak?” Pinta gua, memohon.
“Bisa. Nanti Reni anter. Tapi, sekarang makan dulu ya. Reni ambilin” Ucapnya. Ia lalu berdiri dan bergegas menuju ke dapur.
Beberapa saat kemudian ia sudah kembali dengan membawa seporsi nasi lengkap dengan lauk-nya.
Gua yang sudah kehilangan nafsu makan, hanya mencoba beberapa sendok dan mengaduk-aduk isi di dalam piring. Menyadari hal tersebut, Reni yang gemas lalu meraih piring dan sendok dari tangan gua lalu mulai memberi suapan ke mulut.
“Duh, nggak anak, nggak mommy-nya sama aja…” Gumamnya pelan.
Selesai makan, Reni dan Robi bersiap untuk mengantar gua. Sementara kami berdua menaiki mobil SUV putih milik gua, Robi mengikuti di belakang dengan mobilnya.
Hampir dua jam berikutnya, kami akhirnya tiba di depan sebuah rumah yang walaupun tua tapi masih terlihat bagus, terawat dan kokoh. Pun nggak ada yang menempati, tetapi setiap beberapa hari sekali, Rohman; teman Jeje, bakal datang untuk membersihkan setiap sudut rumah, menyiram rumput dan tanaman juga membersihkan kamar mandi.
Rumah ini adalah rumah tempat keluarga kecil gua tinggal. Rumah yang akhirnya di tinggalkan Bapak setelah Mamak meninggal, sementara Bapak kembali ke kampung di Medan sana.
“Yakin gapapa sendirian?” Tanya Reni ke gua.
“Gapapa” Gua menjawab singkat.
“...”
“... Biasanya juga di apartemen sendirian” gua menambahkan, seraya duduk di kursi kayu yang berada di teras. Sementara, Reni hanya berdiri membelakangi gua sambil menatap ke arah bekas semen dimana dulunya terdapat ayunan di sana.
Reni terlihat tersenyum. Ia lalu berbalik dan bicara; “Dulu Reni sering main di ayunan itu. Nemenin Abang sama Kak Dince yang pacaran dan duduk disini” Ucapnya seraya menunjuk ke arah kursi yang kini gua duduki.
“Lo masih inget aja…” Ucap gua.
“Iya lah…” Jawabnya singkat.
Nggak seberapa lama, Mobil yang ditumpangi Robi berhenti tepat di muka rumah. Robi turun dari pintu bagian pengemudi, lalu disusul oleh Rohman yang keluar dari pintu bagian penumpang. Saat datang tadi, Robi sengaja mampir untuk menjemput Rohman. Karena kunci rumah ini hanya satu dan dipegang olehnya.
Dari kejauhan Rohman berjalan mengekor Robi. Lalu tanpa banyak bicara, ia menyerahkan kunci rumah ke gua.
“Lama banget” Gua menggumam pelan dan lirih.
“Tumben?” Ucap Rohman ke gua.
“Tumben apa?” Tanya gua ke Rohman dengan nada bicara yang sama lirihnya.
Mendengar pertanyaan gua, Rohman lantas mengangkat kepalanya dan balik bertanya; “Tumben suara lo pelan?”.
“Oh, lo mau suara gua tinggi?” Tanya gua lagi.
“Nggak Jangan Ce. Udah segini aja, udah mantep, pas” Jawabnya seraya mengangkat ibu jarinya ke atas.
Begitu berhasil membuka pintu, dan bersiap masuk, gua berpaling ke Reni, Robi dan Rohman yang berdiri tepat di belakang gua, seakan tengan memperhatikan semua gerak-gerik yang gua lakukan.
“Pada ngapain? udah pulang sana” Ucap gua pelan.
“Yaudah, kalo ada apa-apa, let me know ya kak” Balas Reni.
“Iya, by the way, makasih ya, Ren… Oiya, jangan bilang abang lo ya kalo gua disini..”
“Iya…” Ucap Reni lalu menggandeng tangan Robi dan pergi.
Gua lantas berpaling ke Rohman yang masih berdiri mematung. “Lo juga! Awas lo bilang ke Jeje kalo gua disini!” Ancam gua sambil menunjuk ke arahnya.
Ia nggak merespon, tetap berdiri dalam diam.
“... Yaudah sana!” Gua menambahkan.
“Ck…” Rohman nggak merespon, nggak pula pergi. Hanya berdecak sambil menggaruk kepalanya tanpa berani menatap ke arah gua.
“Apa lagi, Man?” Tanya gua lagi.
“Nggak..” Rohman menjawab ragu.
Gua lalu masuk dan bersiap menutup pintu. Namun, Rohman dengan cepat menahan pintu dan berbisik; “600 ada ce?”.
Gua kembali membuka pintu lebar-lebar dan menatapnya; “Lo kan dapet gaji gede dari Jeje. Emang masih kurang? Maen Judi ya?”.
“Nggak Ce, Suwer dah…” Jawabnya sambil mengangkat dua jarinya ke atas.
“Terus buat apaan?” Tanya gua, lalu membuka tas dan mengambil beberapa lembar uang cash yang gua punya.
“Si Siti besok ulang tahun, pengen beli kado yang bagusan dikit…” Rohman menjelaskan, menyebut nama anak perempuannya yang masih kecil.
“Nih” Gua menyerahkan beberapa lembar uang pecahan 100 ribuan kepadanya.
Rohman dengan cepat meraih dan menghitungnya.
“Nggak kebanyakan nih Ce?” Tanyanya.
Gua lalu berusaha mengambilnya kembali, namun Rohman dengan cepat melipat lembaran uang tersebut dan memasukkannya ke dalam saku celananya.
“...”
“... Makasih ya Ce.. Emang the best dah lo” Tambahnya.
Ia lalu terdiam sebentar, kemudian kembali bicara sambil perlahan menjauh; “... Ce, jadi cewek jangan galak-galak. Ntar nggak ada yang mau sama lo” Ucapnya.
Gua yang dalam kondisi kalut, marah dan emosi hampir saja memiting leher dan menginjaknya. Namun, urung gua lakukan karena yakin tenaga gua nggak bakal cukup untuk merobohkannya.
“Bodo! Lagian gua emang nggak mau nikah lagi. Mendingan Sendiri!!” Jawab gua, lalu menutup pintu dengan membantingnya.
Jujur, jawaban gua barusan tentu nggak serius. Hanya muncul akibat emosi sesaat saja. Seandainya memang benar Marshall mengkhianati gua dan memilih Tata, ya mungkin saja jawaban gua barusan bakal benar-benar terjadi.
Momen setelah berpisah dengan Jeje, gua sudah berada di titik dimana menjalin sebuah hubungan bukan lagi prioritas utama. Tentu saja saat bertemu dengan Marshall, ia menjadi pengecualian. Dan jika hubungan gua dengan Marshall harus kandas dan berhenti di tengah jalan, apalagi yang harus gua perjuangkan.
Gua masuk ke dalam kamar yang dulunya adalah kamar gua. Kondisi di dalamnya masih sama dengan terakhir gua tinggalkan. Sepertinya memang Rohman yang menatanya tetap seperti ini, yang gua yakin atas perintah dari Bapak. Bedanya, kali ini mereka sengaja memasang AC di dalam kamar. Dulu, memang Jeje dan Bapak sempat menyarankan gua agar tinggal disini, daripada harus tinggal di apartemen sendirian. Menurut Jeje, dengan tinggal disini, gua bisa dekat dengan Anggi, jadi bisa kapanpun bertemu dengannya.
Tapi, gua jelas nggak mau. Ini bagai pedang bermata dua. Tinggal disini memang bisa dekat dengan Anggi, tapi tinggal disini juga selalu membangkitkan kenangan lama tentang Mamak dan memaksa gua untuk jadi sering bertemu Lady.
Gua berbaring di atas ranjang, menatap kosong ke arah langit-langit kamar sambil terus mengingat kejadian tadi. Kejadian saat Marshall keluar dari mobil bersama Tata.
“Hhh… Nonton konser! Nonton konser my ass” Gua menggerutu sendiri, lalu memutar tubuh, berbaring menatap ke arah dinding dan mencoba memejamkan mata. Mengabaikan ponsel gua yang sejak tadi berdering.
—
Besoknya, pagi-pagi sekali gua sudah duduk di kursi kayu di beranda rumah. Menatap ke arah jalan yang mulai ramai dilalui orang yang berangkat ke sekolah sambil sesekali menyeruput teh jasmine yang baru saja gua pesan melalui aplikasi ojek online. Tadinya, jalan di depan rumah gua ini merupakan jalan buntu, jalan yang hanya mengarah ke lapangan sepak bola dan jalan setapak menuju ke makam. Namun, setelah lapangan bola dibangun menjadi cluster perumahan, jalan di depan rumah gua ini menjadi satu-satunya akses menuju ke perumahan tersebut.
Jalan ini jadi ‘hidup’ dan ramai.
Gua meraih ponsel, memandang ke layarnya yang retak, yang menampilkan deretan notifikasi pesan dan panggilan tak terjawab dari Marshall. Ada dorongan dari dalam hati untuk menghubunginya, tapi entah kenapa nggak gua lakukan. Gua malah membuka daftar kontak dan dengan kesadaran penuh mencoba mencari nama Tata di sana.
Setelah menimbang sebentar, gua lantas menekan icon telepon berwarna hijau dan menghubunginya.
Nada sambung terdengar beberapa kali, namun nggak ada jawaban. Gua kembali mencobanya; satu kali, dua, tiga, hingga gua kehilangan hitungan. Nggak ada jawaban darinya.
Gua meletakkan ponsel di atas meja kecil di sebelah kursi kayu. Lalu kembali menikmati teh jasmine sambil terus menatap ke arah jalan.
Berhari-hari akhirnya gua lalui hanya dengan melakukan kegiatan yang sama. Ngeteh di beranda rumah, berbaring di kamar menyetel musik melalui kaset dari radio lawas, membaca buku dan novel yang sengaja ditinggal bapak, hingga browsing aksesoris-aksesoris untuk mengisi rumah yang terlihat lapang.
Kini, Marshall sudah tak lagi mencoba menghubungi ataupun mengirim pesan ke gua. Mungkin ia juga lelah, sama lelahnya dengan gua.
Malam itu, gua duduk di atas ranjang, memandangi layar ponsel yang retak, berharap ada panggilan darinya; dari Marshall. Walaupun tau, kalau ia menelpon gua nggak bakal menjawabnya. Hanya saja, saat ia berhenti menghubungi, gua merasa diabaikan, merasa sudah tak lagi penting dimatanya. Sedangkan, gua malah nggak punya keberanian untuk balik menghubunginya. Baru sadar akan ketakutan yang bakal gua rasakan seandainya Marshall memberi jawaban yang nggak gua harapkan.
‘Jadi lebih baik bersembunyi dalam ketidaktahuan, ketidakpastian, ketimbang menerima resiko menghadapi kenyataan yang nggak sesuai harapan’ Batin gua dalam hati.
Walau tersiksa rindu menjadi bayarannya.
Suatu malam, tepat pukul 1 dini hari. Gua terbangung akibat dering ponsel yang membahana. Gua langsung terbangun, mencari-cari ponsel dari permukaan ranjang, sambil terus berharap kalau Marshall yang menelpon. Saat melihat ke layar ponsel bukan nama Marshall yang tertera, melainkan Tata.
Gua berdehem sebentar, bangkit, duduk di tepi ranjang dan menjawab panggilan. “Halo…” Sapa gua.
“Halo, ini siapa ya?” Tanyanya.
“Gua Aldina..”
“...” Ia terdiam sebentar.
“... You know me. Nggak usah berlagak bego. Marshall pasti pernah menyebut nama gua, paling nggak sekali…” Gua menambahkan.
“Oh.. Kenapa?”
“Kenapa? Kan lo yang telpon gua?” Tanya gua.
“What? aku telepon karena ada missed call dari nomor kamu lho” Balasnya.
“...” Kini gantian gua yang terdiam, menyadari kesalahan gua.
“... Kalau nggak ada yang mau diomongin aku tutup ya” Ia menambahkan.
Gua lalu dengan cepat memberi respon; “Bisa kita ketemu?”
“Ketemu? untuk?” Ia balik bertanya.
“Ngobrol”
“Tentang apa?” Tanyanya lagi.
“...”
“... Marshall?” Ia menambahkan; menebak.
“Iya..”
“Boleh, kapan?” Tanyanya.
“Besok, bisa?” Gua meminta pendapatnya.
“Mmm, bisa. Dimana?” Tanyanya lagi.
“Kirim aja alamat rumah lo…” Pinta gua.
“Enak aja. Aku nggak ngasih alamat ke orang asing mbak” Jawabnya.
“Yaudah ke tempat gua aja. Nanti gua kirim alamatnya” Gua memberi saran.
“Aku juga nggak mau datang ke tempat orang asing mbak” Jawabnya lagi.
“Ok Fine. Ayo jumpa tengah! Ko pilihlah tempat dan waktunya” Ucap gua sambil menggeram lalu mengakhiri panggilan.
Nggak seberapa lama, ponsel bergetar, masuk sebuah pesan dari Tata yang berisi lokasi serta waktu untuk kami bertemu besok.
Sisa malam itu, gua nggak bisa lagi memejamkan mata, hanya terus berpikir sambil, mencoba merangkai kata dan kalimat yang tepat untuk pertemuan dengan Tata besok.
—
The Cure - Just Like Heaven
"Show me, show me, show me how you do that trick?
The one that makes me scream." she said
"The one that makes me laugh." she said
And threw her arms around my neck
"Show me how you do it,
And I promise you,
I promise that
I'll run away with you,
I'll run away with you."
Spinning on that dizzy edge
I kissed her face and kissed her head
And dreamed of all the different ways
I had to make her glow
"Why are you so far away?" she said,
"Why won't you ever know
That I'm in love with you,
That I'm in love with you."
You
Soft and only
You
Lost and lonely
You
Strange as angels
Dancing in the deepest oceans
Twisting in the water
You're just like a dream
You're just like a dream
Daylight licked me into shape
I must have been asleep for days
And moving lips to breathe her name
I opened up my eyes
And found myself alone alone
Alone above a raging sea
That stole the only girl I loved
And drowned her deep inside of me
You
Soft and only
You
Lost and lonely
You
Just like heaven