- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa

Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 21:29
viper990 dan 214 lainnya memberi reputasi
215
399K
Kutip
4.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#2484
Part 91 A - Cemburu Buta
Spoiler for Part 91 A - Cemburu Buta:
“Ngapain?” Gua langsung mengajukan pertanyaan ke Jeje.
Ia mengangkat kedua bahunya, kembali berpaling ke Marshall dan bicara; “We need to talk…”
“Jangan sekarang Je, nanti aja…” Jawab gua.
Jeje menoleh ke gua dan bicara; “Gua kesini karena mau ngomong sama Marshall. Kalo gua mau ngomong sama lo, ya gua ke tempat lo”.
Marshall lalu mempersilahkan Jeje masuk. Sementara Anggi begitu mendengar suara Jeje, langsung keluar dari kamar dan memeluknya; “Papah…”
“... Papah mau jemput Anggi?” Tanyanya.
Belum sempat Jeje menjawab, Anggi sudah kembali bicara; “... Tapi, Anggi kan masih mau main disini Papah..”
“Oh gitu, yaudah main aja. Papah mau ngobrol sama Om Marshall kok..” Ucap Jeje.
“Mau ngobrol dimana?” Tanya Marshall ke Jeje.
Gua lantas memotong pembicaraan; “Disini aja!”.
Marshall lalu beranjak ke arah meja makan, Jeje menyusulnya. Sementara gua mengajak Anggi masuk ke dalam kamar, memberinya kertas dan pensil gambar milik Marshall dan berbisik; “Anggi disini dulu ya, orang dewasa mau ngobrol sebentar”.
“Iya Mommy” Jawabnya.
Gua keluar dari kamar dan bergabung dengan mereka berdua.
Marshall terlihat tengah memanaskan ketel berisi air panas. Masih sambil berdiri, ia berbalik dan bertanya ke Jeje; “Ada apaan?”.
Jeje mengusap wajahnya sebentar, ia lalu mulai bicara; “Lo tau nggak kalau, cewek gila ini mau keluar dari tempat kerjanya?” Tanya Jeje seraya menunjuk ke arah gua.
“Tau.. Dia udah ngomong” Jawab Marshall sambil mengangguk.
“Lo tau kalo dia juga mau quit as a stakeholders?” Tanya Jeje lagi.
“Tau.. dan gua udah melarangnya” Jawab Marshall lagi. Ia lalu kembali berbalik, mengambil mug berwarna hitam, meletakkannya di atas meja.
Kemudian dengan cekatan menyiapkan bubuk kopi diatas saringan yang berada tepat diatas mug hitam.
“Dan lo tau kalo dia nggak bisa dilarang?” Tanya Jeje lagi.
“Tau…”
Jeje lantas berpaling ke gua. Lalu gantian mengajukan pertanyaan ke gua; “Lo masih keukeuh dengan pendirian lo, mau keluar dari holding company?”
Gua dengan cepat mengangguk.
“... Ninggalin semua saham lo?” Tanyanya lagi.
Gua kembali mengangguk.
Jeje berpaling ke Marshall. “Ok, since cewek gila ini masih teguh dengan keinginannya. So, gua punya dua penawaran buat lo, Sal…”
Marshall kini sibuk menuang air panas ke atas saringan; “Penawaran apa?” Tanyanya tanpa menatap lawan bicara.
“Gua chip-in di studio lo. Gua bakal invest di studio kecil lo itu…” Ucap Jeje.
Mendengar ucapan Jeje, Marshall menghentikan kegiatannya. Ia meletakkan ketel kembali diatas kompor dan bicara; “Dan satu lagi?” Tanyanya, menunggu.
“Atau, lo ambil saham yang ditinggal Dince” Tambahnya.
Mendengar penawaran dari Jeje, gua langsung menyela obrolan; “Ngapain sih Je…”
Jeje, menoleh ke gua dan memberi kode dengan menempelkan telunjuknya di bibir, menyuruh gua untuk diam. Lalu kembali menatap Marshall dan bicara; “Gimana Sal, It's your call”.
Marshall yang masih terlihat santai, lalu mulai menyiapkan mug berisi kopi hitam untuk Jeje. Dan bukannya menjawab pertanyaan Jeje, ia malah bertanya hal lain; “Gula?”.
Jeje menggeleng.
“Cream?” Tanya Marshall lagi.
Jeje kembali menggeleng.
Marshall lalu menggeser mug berisi kopi hitam ke hadapan Jeje, sambil menggumam pelan; “There you go..”.
Marshall terdiam sebentar, ia lantas mengeluarkan bungkusan rokok dari saku celananya dan bicara ke Jeje; “Mau ngopi sambil merokok?” Tanyanya.
“Boleh” Jeje mengiyakan.
Mereka berdua lalu menuju ke ruang depan. Marshall membuka jendela besar yang mengarah ke balkon, lalu keluar. Jeje menyusulnya sambil membawa mug berisi kopi. Dan saat gua hendak ikut keluar, Marshall dengan cepat menggeser jendela besar tersebut dan menahan dengan tubuhnya. Ia mengerling ke gua sambil tersenyum dan bicara tanpa suara. Gua menangkap dari gerakan bibirnya, ia mengucapkan “Asap rokok”.
“Ck…” Gua lalu menjatuhkan diri di atas sofa, lalu menatap ke arah mereka berdua sambil berpangku tangan. Tentu saja sambil terus mencoba membaca gerak bibir dan mendengarkan dengan seksama ucapan mereka yang samar masih terdengar.
Gua berdiri dan menuju ke kamar. ‘Daripada nunggu disini kayak orang gila, mending ke kamar sama Anggi’ Batin gua dalam hati.
Setelah hampir setengah jam berikutnya. Terdengar suara deru angin kencang masuk ke dalam ruangan, tanda kalau jendela balkon dibuka cukup lebar. Sepertinya, mereka berdua sudah selesai bicara.
Gua buru-buru bangkit dari ranjang, dan keluar kamar.
Terlihat, Jeje berdiri, bersiap untuk pulang. Ia menatap gua sebentar, kemudian menanyakan Anggi; “Anggi mana?”.
“Anggi dipanggil Papah nak…” Seru gua.
Anggi lantas keluar dari kamar dan mendekat ke Jeje.
“Obrolan orang dewasanya sudah selesai ya Pah?” Tanya Anggi ke Jeje.
“Udah sayang. Papah pulang ya nak. Kamu mau dijemput Papah kapan?”
“Hmmm… Terserah papah deh. Tapi, Dedek Sere udah pulang kan Pah?”
“Besok baru Papah mau jemput…” Jawab Jeje.
“Anggi boleh ikut jemput?” Tanya Anggi.
“Boleh dong. Kalo gitu besok Papah atau tante Reni yang jemput Anggi. It’s that good?” Tanya Jeje.
“Sounds good…” Jawab Anggi, lalu memberi kecupan di pipi Jeje sebelum ia pamit.
Begitu Jeje pulang, Gua lantas meraih tangan Marshall, mengajaknya ke dapur dekat dengan meja makan dan mengajukan pertanyaan; “Apa jawaban lo?”
Alih-alih menjawab, Marshall malah tersenyum dan membelai kepala dan memberikan kecupan di dahi. Ia kemudian berpaling ke Anggi dan bicara; “Anggi, menggambar yuk”
“Ayooo…” Seru Anggi sambil berlari mendekat ke Marshall. Mereka berdua lalu masuk ke dalam kamar, mengambil peralatan dan kembali untuk duduk di ruang depan dan mulai menggambar. Sementara, gua hanya bisa berdiri menatap Marshall sambil mengepalkan tangan.
Kalau ada yang kembali bertanya tentang alasan gua keluar dari perusahaan untuk bergabung dengan Studio Marshall, gua bakal mengemukakan alasan yang sama; Ingin lepas dari bayang-bayang Jeje lalu berjuang bersama dengannya dari bawah. Ya walaupun nggak dari bawah banget, tapi gua mau menemaninya. Ingin merasakan pengalaman bersamanya, ingin berbagi suka dan duka bersamanya, menangis bahagia bersama.
Seperti potongan lagu Jangan kau Henti-nya Lingua;
Dengan dirimu, akan kucoba
Tertawa dalam derita
Menangisi bahagia bersama
‘Alah sok melankolis’
Biarin!
Selama hidup ini, gua sudah hampir merasakan semuanya, suka dan duka. Nggak perlu repot mengajari gua bagaimana susahnya hidup miskin; Hidup pas-pasan sampai harus ngirit makan; gua pernah rasakan. Tapi, Hidup bergelimang harta; Juga masih gua rasakan.
Jangan repot mengajari gua takut akan patah hati. Sama aja kayak ngajarin ikan berenang. Urusan patah hati, gua jagonya. Tapi, merasakan lagi jatuh cinta seperti anak remaja puber juga sampai sekarang masih gua rasakan.
Lalu, mau mengajari gua tentang takut akan kematian. Halah! Jangan repot-repot. Buat orang kayak gua yang ginjalnya cuma satu, dan itu pun pemberian orang, kematian bukan lagi sebuah ancaman. Gua belajar untuk hidup dengannya, hidup dengan kecemasan kalau gua bisa saja mati kapanpun saat ginjal ini pecah atau rusak.
Jadi, untuk kali ini saja, Gua mau merasakan esensi hidup yang sebenarnya. Mau mencoba sesuatu yang baru bersama dengan orang yang gua sayangi. Berjuang bersama, hingga menua, mati lalu dikubur, dimakan cacing.
Gua berdiri, bersandar pada dinding yang membatasi ruang depan dengan kamar. Menatap ke arah Marshall dan Anggi yang kini sibuk menggambar sambil berceloteh.
“Sal…” gua memanggil namanya.
Ia mendongak, menatap gua sebentar kemudian kembali sibuk menggambar.
“Marshall…” gua kembali memanggil namanya, kali ini dengan suara yang selembut mungkin.
Ia mendongak. Lalu meletakkan pensil di atas kertas, berdiri dan menghampiri gua.
“Apa?” Tanyanya pelan.
“Lo terima tawaran Jeje nggak?” Gua balik bertanya.
Marshall tersenyum sebentar, kemudian meraih helaian rambut gua dan memberi jawaban; “Mmm… Gua sih nolak. Tapi, masih ada kemungkinan kecil dengan syarat ketentuan lain gua bakal menerima tawarannya…”
“Kenapa begitu? Kalau ko tolak, tolak aja. Ngapain pake ada kemungkinan-kemungkinan lain!” Seru gua, sedikit kecewa dengan sikapnya yang plin-plan.
Marshall mengangkat kedua bahunya; entah nggak punya jawaban yang bisa memuaskan hati ini atau sengaja nggak ingin memberi jawaban sebenarnya.
Menjelang sore, gua mengajak Anggi untuk pulang. Nggak mau ia kelelahan karena besok bakal dijemput oleh Jeje dan bakal diajak ke Singapore untuk berjumpa dengan adiknya; Sere.
Sementara, gua masih pasang tampang jutek ke Marshall perkara sikapnya yang plin-plan terkait tawaran dari Jeje. Gua hanya diam, pun dia terus mengajak gua bicara.
Begitupun saat tiba di apartemen, gua nggak memberinya kabar sama sekali; nggak lewat pesan ataupun lewat panggilan telepon. Ingin ia tau kalau gua saat ini sedang marah karena sikapnya. Ia lalu mulai mengirim beberapa pesan, dan saat nggak menerima balasan, Marshall mulai menelpon gua berkali-kali.
“Apa?” Tanya gua begitu menjawab panggilan telepon darinya.
“Buset, kayak nelpon presiden!” Serunya.
“Apa?” Tanya gua lagi.
“Udah sampe apartemen?” Ia balik bertanya.
“Udaaah, dari tadi..” Gua menjawab.
“Yaudah…” Balasnya, lalu mengakhiri panggilan.
Gua melempar ponsel ke atas sofa dan berseru ke arah benda mati tersebut; “Yaudah? Cuma bilang ‘Yaudah’ terus matiin telepon? Tanya kek gua marah kenapa?”
Belum kering bibir ini bicara, ponsel gua bergetar, layar menampilkan notifikasi pesan dari Marshall. Gua menyambar pesan dan membacanya; ‘Lo marah kenapa? gua kan udah ngasih tau lo jawabannya.’
‘Karena lo plin-plan!’ balas gua.
Lalu kembali melempar ponsel ke atas sofa.
—
Besoknya setelah melepas kepergian Anggi yang dijemput oleh Reni, gua langsung berangkat ‘bekerja’, tentu saja ke Studio-nya Marshall.
“Siang Kak” Sapa Adam dan Andika begitu gua datang.
“Marshall kemana?” Tanya gua ke Adam dan Andika, saat melihat mejanya yang kini kosong.
“Tadi sih ada. Mungkin lagi beli rokok” Jawab Adam menebak.
Karena gua masih belum punya meja dan kursi sendiri, jadi gua duduk di kursi dan menggunakan meja milik Marshall. Begitu gua duduk, Dinar langsung bicara; “Jangan duduk di situ. Itu kursi Marshall” ucapnya ketus.
Gua menoleh, lalu melepas kaca mata hitam dan menatapnya tajam.
“Who cares” balas gua singkat.
Beberapa saat berikutnya, Marshall dan Ketu masuk ke dalam studio. Marshall mendekat, berdiri di sebelah gua sebentar, kemudian membungkuk dan berbisik; “Nggak ngabarin mau dateng?”.
Alih-alih menjawab pertanyaannya, gua berdiri dan mengajak bicara Ketu. “Tu, bisa meeting sebentar?”.
“Oh bisa” Jawab ketu.
“…”
“… sekarang?” Tanyanya.
“Iya…” gua menjawab singkat. Lalu berdiri, mengambil Laptop dan menuju ke ruang meeting. Ruang meeting ini sendiri merupakan sebuah kamar yang disulap menjadi ruang serbaguna dengan sebuah meja besar, beberapa set kursi, layar monitor raksasa beserta papan tulis di dalamnya. Ruang yang biasa kami gunakan untuk meeting atau sekedar berdiskusi perkara pekerjaan.
“Gua ikut kak?” Andika bicara sambil mengangkat tangannya.
“Iya…” Jawab gua singkat.
“Gua?” Marshall ikutan bertanya sambil melakukan hal yang sama; mengangkat tangannya.
Gua menoleh dan memberinya tatapan tajam. Tatapan yang kurang lebih artinya; “Nggak!”.
Satu jam berikutnya, setelah meeting selesai, begitu keluar dari ruangan, gua mendapati ruang kerja yang kosong. Hanya terlihat Marshall yang duduk sendirian di kursinya. Menyadari hal tersebut Ketu lantas bertanya; “Pada kemana, Sal!”.
Tanpa memalingkan pandangannya dari layar laptop, Marshall memberi jawaban; “Keluar, makan siang”.
“Uasem, ditinggal kita dik” Seru Ketu. Lalu buru-buru meletakkan laptop miliknya, mengambil dompet dan bersiap pergi bersama Andika. Sebelum pergi, Ketu sempat mengajak kami berdua untuk turut serta; “… melu po ora, Sal, Din?”.
“Nggak ah…” gua menolak. Sementara, Marshall juga menjawab hal yang sama.
“Nggak. Tapi boleh nitip nggak?”
“Nitip opo?” Tanya Ketu.
“Apa aja, buat makan siang” Marshall menjawab.
“Oke…” Jawab Ketu, lalu pergi.
Kini hanya kami berdua yang tinggal di studio. Gua duduk di kursi yang seharusnya ditempati Dinar, menatap ke arah Marshall yang masih sibuk bekerja.
Setelah sekian lama sama-sama terdiam. Marshall menghentikan kegiatannya, mengangkat kedua tangannya ke atas, meregangkan otot-ototnya. Ia lalu menoleh ke arah gua, mendorong kursinya mendekat. Marshall meraih tangan gua lalu bicara; “Masih marah?”.
“Menurut lo?” Gua balik bertanya.
“Masih” Jawabnya singkat.
“Nah itu sadar” Gumam gua seraya melirik ke arahnya dengan wajah sengaja gua palingkan.
Marshall menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Kemudian kembali menatap gua dan bicara; “Din.. Nggak ada yang lebih menyenangkan daripada bekerja bareng lo disini”
“...”
“...Tapi, gua juga nggak mau lo ngelepas semua yang udah selama ini susah payah lo dapatkan”
“Iya gua ngerti. Tapi, gua tuh mau mulai semuanya dari awal bareng-bareng elo. Gua juga mau lepas dari bayang-bayang Jeje, Sal..” Gua menjawab, memberi alasan.
Ia tersenyum, lalu semakin mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah gua.
“Yakin?” Tanyanya.
“Hundred percent” Gua menjawab sambil mengangguk.
“Ok, ayo kita mulai sama-sama dari awal kalau begitu…” Ucapnya seraya bangkit, dan memberi kecupan di ujung kepala gua.
“Yakin?” Tanya gua.
“Iya…”
“Nggak bakal berubah pikiran?” Tanya gua lagi.
“Iya..” Jawabnya singkat.
“Yaudah kalo gitu.”
“...”
“Makasih!” Seru gua, masih dengan nada bicara yang ketus.
“Itu kayaknya masih marah?” Tanyanya.
“Udah nggak!” Jawab gua.
“Ooh…”
“Tapi, kita masih punya satu masalah yang harus diselesaikan Sal” Gua menambahkan.
“Apa?” Tanyanya.
“Gua laper”
“Ck! Tadi diajak makan nggak mau, sekarang ngeluh laper.” Serunya, lalu memoles kepala gua.
“Ya tadi kan gua masih kesel sama lo” Jawab gua.
“Emang kalo kesel lapernya ilang?”
“...”
“... Ayo” Tambahnya, lalu meraih tangan dan mengajak gua keluar untuk makan siang, menyusul rekan-rekan lain yang sudah lebih dulu berangkat.
Gua jelas senang bukan main saat punya pasangan yang begitu mengerti dan mendukung apa yang menjadi keinginan gua. Egois? ya tentu saja. Egois kadang juga diperlukan dalam sebuah hubungan, apalagi menghadapi pasangan kayak Marshall yang kadang bersikap plin-plan.
Kami menyusul ke mall tempat rekan-rekan yang lain sudah disana untuk makan siang.
Karena datang terlambat, gua dan Marshall harus duduk di kursi yang terpisah; nggak bisa memilih tempat duduk yang sepertinya sudah diatur oleh Dinar. Gua duduk di sebelah Ketu, sementara Marshall duduk tepat di sisi Dinar.
Selama makan, gua mendapati ponsel Marshall beberapa kali berdering. Ia menjawab panggilan, berdiri dan sedikit menjauh. Setelah selesai menelpon, ia terlihat nggak fokus. Beberapa kali Marshall sibuk membalas pesan melalui ponselnya. Bahkan, ia nggak mendengarkan saat diajak bicara dengan rekan yang lain.
Hingga acara makan siang selesai, Marshall masih terlihat sibuk dengan ponselnya; mengetik dan membalas pesan. Saat tengah berjalan menuju ke area parkir, gua mendekat ke arahnya dan berbisik; “Kalo bales pesan gua, gitu juga nggak? hilang fokus sampe nggak ngeh kalo diajak ngobrol”
Marshall menoleh ke arah gua dan tersenyum. “Apa?”
“Chat sama siapa? sibuk banget dari tadi kayaknya?” Tanya gua.
Gua lantas sedikit berjinjit dan mencoba mengintip ke arah layar ponselnya. Dari posisi gua terlihat sekilas nama Tata di sana. Menyadari hal tersebut, gua langsung berusaha merebut ponsel dari tangannya. Tapi, Marshall dengan cepat menghindar dan langsung memasukkan ponsel ke saku celana.
“Liat!” Seru gua sambil menggeram dan terus mencoba mengambil ponsel miliknya dari saku celana. Sementara, rekan-rekan yang lain mulai memusatkan perhatiannya ke kami berdua.
“Din, Malu itu diliatin orang…” Balas Marshall, yang bicara juga sambil berbisik.
“Ya makanya sini gua liat. Lo chat-an sama Tata kan?” Tanya gua lagi, masih terus mengambil ponsel dari saku celananya. Dan Marshall terus mengelak, menghindar dengan menahan tangan gua yang berusaha menerobos ke saku celananya.
“Iya nanti…” Jawabnya.
“Sekarang!!” Seru gua.
Marshall langsung terdiam. Bukan, bukan karena teriakan atau seruan gua kepadanya. Gua yakin ia terdiam karena melihat air mata yang mulai mengalir dan membasahi pipi ini. Sementara, rekan-rekan yang lain yang kebetulan berada di sekitar kami langsung menghentikan langkah, berhenti berbicara dan menatap ke arah kami berdua.
Gua menggunakan diamnya Marshall dan segera meraih ponsel dari saku celananya. Seraya menyeka air mata yang mulai mengalir deras gua mengecek aplikasi pesan di ponselnya. Dan tebakan gua tepat; nama Tata berada di urutan paling atas daftar pesannya. Sekilas, gua melihat balasan pesan dari Tata yang isinya; ‘Sampai ketemu nanti ya..’ Yang diiringi icon peluk berwarna kuning.
Tangan gua bergetar, gua lantas menatap ke arahnya. Dengan sekuat tenaga, gua membanting ponsel ke lantai semen di area basement. Lalu berbalik dan melangkah menjauh. Semakin jauh gua pergi, semakin cepat gua melangkah, hingga tak terasa gua kini berlari menuju ke arah mobil yang terparkir.
—
Ia mengangkat kedua bahunya, kembali berpaling ke Marshall dan bicara; “We need to talk…”
“Jangan sekarang Je, nanti aja…” Jawab gua.
Jeje menoleh ke gua dan bicara; “Gua kesini karena mau ngomong sama Marshall. Kalo gua mau ngomong sama lo, ya gua ke tempat lo”.
Marshall lalu mempersilahkan Jeje masuk. Sementara Anggi begitu mendengar suara Jeje, langsung keluar dari kamar dan memeluknya; “Papah…”
“... Papah mau jemput Anggi?” Tanyanya.
Belum sempat Jeje menjawab, Anggi sudah kembali bicara; “... Tapi, Anggi kan masih mau main disini Papah..”
“Oh gitu, yaudah main aja. Papah mau ngobrol sama Om Marshall kok..” Ucap Jeje.
“Mau ngobrol dimana?” Tanya Marshall ke Jeje.
Gua lantas memotong pembicaraan; “Disini aja!”.
Marshall lalu beranjak ke arah meja makan, Jeje menyusulnya. Sementara gua mengajak Anggi masuk ke dalam kamar, memberinya kertas dan pensil gambar milik Marshall dan berbisik; “Anggi disini dulu ya, orang dewasa mau ngobrol sebentar”.
“Iya Mommy” Jawabnya.
Gua keluar dari kamar dan bergabung dengan mereka berdua.
Marshall terlihat tengah memanaskan ketel berisi air panas. Masih sambil berdiri, ia berbalik dan bertanya ke Jeje; “Ada apaan?”.
Jeje mengusap wajahnya sebentar, ia lalu mulai bicara; “Lo tau nggak kalau, cewek gila ini mau keluar dari tempat kerjanya?” Tanya Jeje seraya menunjuk ke arah gua.
“Tau.. Dia udah ngomong” Jawab Marshall sambil mengangguk.
“Lo tau kalo dia juga mau quit as a stakeholders?” Tanya Jeje lagi.
“Tau.. dan gua udah melarangnya” Jawab Marshall lagi. Ia lalu kembali berbalik, mengambil mug berwarna hitam, meletakkannya di atas meja.
Kemudian dengan cekatan menyiapkan bubuk kopi diatas saringan yang berada tepat diatas mug hitam.
“Dan lo tau kalo dia nggak bisa dilarang?” Tanya Jeje lagi.
“Tau…”
Jeje lantas berpaling ke gua. Lalu gantian mengajukan pertanyaan ke gua; “Lo masih keukeuh dengan pendirian lo, mau keluar dari holding company?”
Gua dengan cepat mengangguk.
“... Ninggalin semua saham lo?” Tanyanya lagi.
Gua kembali mengangguk.
Jeje berpaling ke Marshall. “Ok, since cewek gila ini masih teguh dengan keinginannya. So, gua punya dua penawaran buat lo, Sal…”
Marshall kini sibuk menuang air panas ke atas saringan; “Penawaran apa?” Tanyanya tanpa menatap lawan bicara.
“Gua chip-in di studio lo. Gua bakal invest di studio kecil lo itu…” Ucap Jeje.
Mendengar ucapan Jeje, Marshall menghentikan kegiatannya. Ia meletakkan ketel kembali diatas kompor dan bicara; “Dan satu lagi?” Tanyanya, menunggu.
“Atau, lo ambil saham yang ditinggal Dince” Tambahnya.
Mendengar penawaran dari Jeje, gua langsung menyela obrolan; “Ngapain sih Je…”
Jeje, menoleh ke gua dan memberi kode dengan menempelkan telunjuknya di bibir, menyuruh gua untuk diam. Lalu kembali menatap Marshall dan bicara; “Gimana Sal, It's your call”.
Marshall yang masih terlihat santai, lalu mulai menyiapkan mug berisi kopi hitam untuk Jeje. Dan bukannya menjawab pertanyaan Jeje, ia malah bertanya hal lain; “Gula?”.
Jeje menggeleng.
“Cream?” Tanya Marshall lagi.
Jeje kembali menggeleng.
Marshall lalu menggeser mug berisi kopi hitam ke hadapan Jeje, sambil menggumam pelan; “There you go..”.
Marshall terdiam sebentar, ia lantas mengeluarkan bungkusan rokok dari saku celananya dan bicara ke Jeje; “Mau ngopi sambil merokok?” Tanyanya.
“Boleh” Jeje mengiyakan.
Mereka berdua lalu menuju ke ruang depan. Marshall membuka jendela besar yang mengarah ke balkon, lalu keluar. Jeje menyusulnya sambil membawa mug berisi kopi. Dan saat gua hendak ikut keluar, Marshall dengan cepat menggeser jendela besar tersebut dan menahan dengan tubuhnya. Ia mengerling ke gua sambil tersenyum dan bicara tanpa suara. Gua menangkap dari gerakan bibirnya, ia mengucapkan “Asap rokok”.
“Ck…” Gua lalu menjatuhkan diri di atas sofa, lalu menatap ke arah mereka berdua sambil berpangku tangan. Tentu saja sambil terus mencoba membaca gerak bibir dan mendengarkan dengan seksama ucapan mereka yang samar masih terdengar.
Gua berdiri dan menuju ke kamar. ‘Daripada nunggu disini kayak orang gila, mending ke kamar sama Anggi’ Batin gua dalam hati.
Setelah hampir setengah jam berikutnya. Terdengar suara deru angin kencang masuk ke dalam ruangan, tanda kalau jendela balkon dibuka cukup lebar. Sepertinya, mereka berdua sudah selesai bicara.
Gua buru-buru bangkit dari ranjang, dan keluar kamar.
Terlihat, Jeje berdiri, bersiap untuk pulang. Ia menatap gua sebentar, kemudian menanyakan Anggi; “Anggi mana?”.
“Anggi dipanggil Papah nak…” Seru gua.
Anggi lantas keluar dari kamar dan mendekat ke Jeje.
“Obrolan orang dewasanya sudah selesai ya Pah?” Tanya Anggi ke Jeje.
“Udah sayang. Papah pulang ya nak. Kamu mau dijemput Papah kapan?”
“Hmmm… Terserah papah deh. Tapi, Dedek Sere udah pulang kan Pah?”
“Besok baru Papah mau jemput…” Jawab Jeje.
“Anggi boleh ikut jemput?” Tanya Anggi.
“Boleh dong. Kalo gitu besok Papah atau tante Reni yang jemput Anggi. It’s that good?” Tanya Jeje.
“Sounds good…” Jawab Anggi, lalu memberi kecupan di pipi Jeje sebelum ia pamit.
Begitu Jeje pulang, Gua lantas meraih tangan Marshall, mengajaknya ke dapur dekat dengan meja makan dan mengajukan pertanyaan; “Apa jawaban lo?”
Alih-alih menjawab, Marshall malah tersenyum dan membelai kepala dan memberikan kecupan di dahi. Ia kemudian berpaling ke Anggi dan bicara; “Anggi, menggambar yuk”
“Ayooo…” Seru Anggi sambil berlari mendekat ke Marshall. Mereka berdua lalu masuk ke dalam kamar, mengambil peralatan dan kembali untuk duduk di ruang depan dan mulai menggambar. Sementara, gua hanya bisa berdiri menatap Marshall sambil mengepalkan tangan.
Kalau ada yang kembali bertanya tentang alasan gua keluar dari perusahaan untuk bergabung dengan Studio Marshall, gua bakal mengemukakan alasan yang sama; Ingin lepas dari bayang-bayang Jeje lalu berjuang bersama dengannya dari bawah. Ya walaupun nggak dari bawah banget, tapi gua mau menemaninya. Ingin merasakan pengalaman bersamanya, ingin berbagi suka dan duka bersamanya, menangis bahagia bersama.
Seperti potongan lagu Jangan kau Henti-nya Lingua;
Dengan dirimu, akan kucoba
Tertawa dalam derita
Menangisi bahagia bersama
‘Alah sok melankolis’
Biarin!
Selama hidup ini, gua sudah hampir merasakan semuanya, suka dan duka. Nggak perlu repot mengajari gua bagaimana susahnya hidup miskin; Hidup pas-pasan sampai harus ngirit makan; gua pernah rasakan. Tapi, Hidup bergelimang harta; Juga masih gua rasakan.
Jangan repot mengajari gua takut akan patah hati. Sama aja kayak ngajarin ikan berenang. Urusan patah hati, gua jagonya. Tapi, merasakan lagi jatuh cinta seperti anak remaja puber juga sampai sekarang masih gua rasakan.
Lalu, mau mengajari gua tentang takut akan kematian. Halah! Jangan repot-repot. Buat orang kayak gua yang ginjalnya cuma satu, dan itu pun pemberian orang, kematian bukan lagi sebuah ancaman. Gua belajar untuk hidup dengannya, hidup dengan kecemasan kalau gua bisa saja mati kapanpun saat ginjal ini pecah atau rusak.
Jadi, untuk kali ini saja, Gua mau merasakan esensi hidup yang sebenarnya. Mau mencoba sesuatu yang baru bersama dengan orang yang gua sayangi. Berjuang bersama, hingga menua, mati lalu dikubur, dimakan cacing.
Gua berdiri, bersandar pada dinding yang membatasi ruang depan dengan kamar. Menatap ke arah Marshall dan Anggi yang kini sibuk menggambar sambil berceloteh.
“Sal…” gua memanggil namanya.
Ia mendongak, menatap gua sebentar kemudian kembali sibuk menggambar.
“Marshall…” gua kembali memanggil namanya, kali ini dengan suara yang selembut mungkin.
Ia mendongak. Lalu meletakkan pensil di atas kertas, berdiri dan menghampiri gua.
“Apa?” Tanyanya pelan.
“Lo terima tawaran Jeje nggak?” Gua balik bertanya.
Marshall tersenyum sebentar, kemudian meraih helaian rambut gua dan memberi jawaban; “Mmm… Gua sih nolak. Tapi, masih ada kemungkinan kecil dengan syarat ketentuan lain gua bakal menerima tawarannya…”
“Kenapa begitu? Kalau ko tolak, tolak aja. Ngapain pake ada kemungkinan-kemungkinan lain!” Seru gua, sedikit kecewa dengan sikapnya yang plin-plan.
Marshall mengangkat kedua bahunya; entah nggak punya jawaban yang bisa memuaskan hati ini atau sengaja nggak ingin memberi jawaban sebenarnya.
Menjelang sore, gua mengajak Anggi untuk pulang. Nggak mau ia kelelahan karena besok bakal dijemput oleh Jeje dan bakal diajak ke Singapore untuk berjumpa dengan adiknya; Sere.
Sementara, gua masih pasang tampang jutek ke Marshall perkara sikapnya yang plin-plan terkait tawaran dari Jeje. Gua hanya diam, pun dia terus mengajak gua bicara.
Begitupun saat tiba di apartemen, gua nggak memberinya kabar sama sekali; nggak lewat pesan ataupun lewat panggilan telepon. Ingin ia tau kalau gua saat ini sedang marah karena sikapnya. Ia lalu mulai mengirim beberapa pesan, dan saat nggak menerima balasan, Marshall mulai menelpon gua berkali-kali.
“Apa?” Tanya gua begitu menjawab panggilan telepon darinya.
“Buset, kayak nelpon presiden!” Serunya.
“Apa?” Tanya gua lagi.
“Udah sampe apartemen?” Ia balik bertanya.
“Udaaah, dari tadi..” Gua menjawab.
“Yaudah…” Balasnya, lalu mengakhiri panggilan.
Gua melempar ponsel ke atas sofa dan berseru ke arah benda mati tersebut; “Yaudah? Cuma bilang ‘Yaudah’ terus matiin telepon? Tanya kek gua marah kenapa?”
Belum kering bibir ini bicara, ponsel gua bergetar, layar menampilkan notifikasi pesan dari Marshall. Gua menyambar pesan dan membacanya; ‘Lo marah kenapa? gua kan udah ngasih tau lo jawabannya.’
‘Karena lo plin-plan!’ balas gua.
Lalu kembali melempar ponsel ke atas sofa.
—
Besoknya setelah melepas kepergian Anggi yang dijemput oleh Reni, gua langsung berangkat ‘bekerja’, tentu saja ke Studio-nya Marshall.
“Siang Kak” Sapa Adam dan Andika begitu gua datang.
“Marshall kemana?” Tanya gua ke Adam dan Andika, saat melihat mejanya yang kini kosong.
“Tadi sih ada. Mungkin lagi beli rokok” Jawab Adam menebak.
Karena gua masih belum punya meja dan kursi sendiri, jadi gua duduk di kursi dan menggunakan meja milik Marshall. Begitu gua duduk, Dinar langsung bicara; “Jangan duduk di situ. Itu kursi Marshall” ucapnya ketus.
Gua menoleh, lalu melepas kaca mata hitam dan menatapnya tajam.
“Who cares” balas gua singkat.
Beberapa saat berikutnya, Marshall dan Ketu masuk ke dalam studio. Marshall mendekat, berdiri di sebelah gua sebentar, kemudian membungkuk dan berbisik; “Nggak ngabarin mau dateng?”.
Alih-alih menjawab pertanyaannya, gua berdiri dan mengajak bicara Ketu. “Tu, bisa meeting sebentar?”.
“Oh bisa” Jawab ketu.
“…”
“… sekarang?” Tanyanya.
“Iya…” gua menjawab singkat. Lalu berdiri, mengambil Laptop dan menuju ke ruang meeting. Ruang meeting ini sendiri merupakan sebuah kamar yang disulap menjadi ruang serbaguna dengan sebuah meja besar, beberapa set kursi, layar monitor raksasa beserta papan tulis di dalamnya. Ruang yang biasa kami gunakan untuk meeting atau sekedar berdiskusi perkara pekerjaan.
“Gua ikut kak?” Andika bicara sambil mengangkat tangannya.
“Iya…” Jawab gua singkat.
“Gua?” Marshall ikutan bertanya sambil melakukan hal yang sama; mengangkat tangannya.
Gua menoleh dan memberinya tatapan tajam. Tatapan yang kurang lebih artinya; “Nggak!”.
Satu jam berikutnya, setelah meeting selesai, begitu keluar dari ruangan, gua mendapati ruang kerja yang kosong. Hanya terlihat Marshall yang duduk sendirian di kursinya. Menyadari hal tersebut Ketu lantas bertanya; “Pada kemana, Sal!”.
Tanpa memalingkan pandangannya dari layar laptop, Marshall memberi jawaban; “Keluar, makan siang”.
“Uasem, ditinggal kita dik” Seru Ketu. Lalu buru-buru meletakkan laptop miliknya, mengambil dompet dan bersiap pergi bersama Andika. Sebelum pergi, Ketu sempat mengajak kami berdua untuk turut serta; “… melu po ora, Sal, Din?”.
“Nggak ah…” gua menolak. Sementara, Marshall juga menjawab hal yang sama.
“Nggak. Tapi boleh nitip nggak?”
“Nitip opo?” Tanya Ketu.
“Apa aja, buat makan siang” Marshall menjawab.
“Oke…” Jawab Ketu, lalu pergi.
Kini hanya kami berdua yang tinggal di studio. Gua duduk di kursi yang seharusnya ditempati Dinar, menatap ke arah Marshall yang masih sibuk bekerja.
Setelah sekian lama sama-sama terdiam. Marshall menghentikan kegiatannya, mengangkat kedua tangannya ke atas, meregangkan otot-ototnya. Ia lalu menoleh ke arah gua, mendorong kursinya mendekat. Marshall meraih tangan gua lalu bicara; “Masih marah?”.
“Menurut lo?” Gua balik bertanya.
“Masih” Jawabnya singkat.
“Nah itu sadar” Gumam gua seraya melirik ke arahnya dengan wajah sengaja gua palingkan.
Marshall menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Kemudian kembali menatap gua dan bicara; “Din.. Nggak ada yang lebih menyenangkan daripada bekerja bareng lo disini”
“...”
“...Tapi, gua juga nggak mau lo ngelepas semua yang udah selama ini susah payah lo dapatkan”
“Iya gua ngerti. Tapi, gua tuh mau mulai semuanya dari awal bareng-bareng elo. Gua juga mau lepas dari bayang-bayang Jeje, Sal..” Gua menjawab, memberi alasan.
Ia tersenyum, lalu semakin mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah gua.
“Yakin?” Tanyanya.
“Hundred percent” Gua menjawab sambil mengangguk.
“Ok, ayo kita mulai sama-sama dari awal kalau begitu…” Ucapnya seraya bangkit, dan memberi kecupan di ujung kepala gua.
“Yakin?” Tanya gua.
“Iya…”
“Nggak bakal berubah pikiran?” Tanya gua lagi.
“Iya..” Jawabnya singkat.
“Yaudah kalo gitu.”
“...”
“Makasih!” Seru gua, masih dengan nada bicara yang ketus.
“Itu kayaknya masih marah?” Tanyanya.
“Udah nggak!” Jawab gua.
“Ooh…”
“Tapi, kita masih punya satu masalah yang harus diselesaikan Sal” Gua menambahkan.
“Apa?” Tanyanya.
“Gua laper”
“Ck! Tadi diajak makan nggak mau, sekarang ngeluh laper.” Serunya, lalu memoles kepala gua.
“Ya tadi kan gua masih kesel sama lo” Jawab gua.
“Emang kalo kesel lapernya ilang?”
“...”
“... Ayo” Tambahnya, lalu meraih tangan dan mengajak gua keluar untuk makan siang, menyusul rekan-rekan lain yang sudah lebih dulu berangkat.
Gua jelas senang bukan main saat punya pasangan yang begitu mengerti dan mendukung apa yang menjadi keinginan gua. Egois? ya tentu saja. Egois kadang juga diperlukan dalam sebuah hubungan, apalagi menghadapi pasangan kayak Marshall yang kadang bersikap plin-plan.
Kami menyusul ke mall tempat rekan-rekan yang lain sudah disana untuk makan siang.
Karena datang terlambat, gua dan Marshall harus duduk di kursi yang terpisah; nggak bisa memilih tempat duduk yang sepertinya sudah diatur oleh Dinar. Gua duduk di sebelah Ketu, sementara Marshall duduk tepat di sisi Dinar.
Selama makan, gua mendapati ponsel Marshall beberapa kali berdering. Ia menjawab panggilan, berdiri dan sedikit menjauh. Setelah selesai menelpon, ia terlihat nggak fokus. Beberapa kali Marshall sibuk membalas pesan melalui ponselnya. Bahkan, ia nggak mendengarkan saat diajak bicara dengan rekan yang lain.
Hingga acara makan siang selesai, Marshall masih terlihat sibuk dengan ponselnya; mengetik dan membalas pesan. Saat tengah berjalan menuju ke area parkir, gua mendekat ke arahnya dan berbisik; “Kalo bales pesan gua, gitu juga nggak? hilang fokus sampe nggak ngeh kalo diajak ngobrol”
Marshall menoleh ke arah gua dan tersenyum. “Apa?”
“Chat sama siapa? sibuk banget dari tadi kayaknya?” Tanya gua.
Gua lantas sedikit berjinjit dan mencoba mengintip ke arah layar ponselnya. Dari posisi gua terlihat sekilas nama Tata di sana. Menyadari hal tersebut, gua langsung berusaha merebut ponsel dari tangannya. Tapi, Marshall dengan cepat menghindar dan langsung memasukkan ponsel ke saku celana.
“Liat!” Seru gua sambil menggeram dan terus mencoba mengambil ponsel miliknya dari saku celana. Sementara, rekan-rekan yang lain mulai memusatkan perhatiannya ke kami berdua.
“Din, Malu itu diliatin orang…” Balas Marshall, yang bicara juga sambil berbisik.
“Ya makanya sini gua liat. Lo chat-an sama Tata kan?” Tanya gua lagi, masih terus mengambil ponsel dari saku celananya. Dan Marshall terus mengelak, menghindar dengan menahan tangan gua yang berusaha menerobos ke saku celananya.
“Iya nanti…” Jawabnya.
“Sekarang!!” Seru gua.
Marshall langsung terdiam. Bukan, bukan karena teriakan atau seruan gua kepadanya. Gua yakin ia terdiam karena melihat air mata yang mulai mengalir dan membasahi pipi ini. Sementara, rekan-rekan yang lain yang kebetulan berada di sekitar kami langsung menghentikan langkah, berhenti berbicara dan menatap ke arah kami berdua.
Gua menggunakan diamnya Marshall dan segera meraih ponsel dari saku celananya. Seraya menyeka air mata yang mulai mengalir deras gua mengecek aplikasi pesan di ponselnya. Dan tebakan gua tepat; nama Tata berada di urutan paling atas daftar pesannya. Sekilas, gua melihat balasan pesan dari Tata yang isinya; ‘Sampai ketemu nanti ya..’ Yang diiringi icon peluk berwarna kuning.
Tangan gua bergetar, gua lantas menatap ke arahnya. Dengan sekuat tenaga, gua membanting ponsel ke lantai semen di area basement. Lalu berbalik dan melangkah menjauh. Semakin jauh gua pergi, semakin cepat gua melangkah, hingga tak terasa gua kini berlari menuju ke arah mobil yang terparkir.
—
Toto - I'll Be Over You
Some people live their dreams
Some people close their eyes
Some people's destiny
Passes by
There are no guarantees
There are no alibis
That's how our love must be
Don't ask why
It takes some time
God knows how long
I know that I can forget you
As soon as my heart stops breakin'
Anticipating
As soon as forever is through
I'll be over you
Remembering times gone by
Promises we once made
What are the reasons why
Nothing stays the same
There were the nights
Holding you close
Someday I'll try to forget them
As soon as my heart stops breakin'
Anticipating
As soon as forever is through
I'll be over you
As soon as my heart stops breakin'
Anticipating
(Anticipating)
Someday I'll be over you
As soon as my heart stops breakin'
Anticipating
(Anticipating)
Someday I'll be over you
As soon as my heart
(As soon as my heart stops breakin')
(Anticipating)
vizardan dan 47 lainnya memberi reputasi
48
Kutip
Balas
Tutup