- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa

Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 21:29
viper990 dan 214 lainnya memberi reputasi
215
399K
Kutip
4.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#2402
Part 89 - Melewati Batas
Spoiler for Part 89 - Melewati Batas:
Gua berdiri, menatap wajahnya yang kini terlihat penuh dengan kesedihan.
Sementara hujan mulai turun semakin lebat. Dengan cepat gua meraih tangannya untuk mengajaknya segera pergi dari area makam. Namun, ia bergeming.
Gua tau dan paham betul dengan apa yang ia rasakan saat ini. Ingin memberinya waktu untuk ‘berdua’ bersama Poppy; “Jangan terlalu lama meratap. Gua tunggu di mobil ya…” ucap gua lalu bergegas pergi.
Sambil berlari kecil, gua menoleh ke arah Marshall yang masih berdiri dalam diam. Dari posisi gua saat ini terlihat bahunya naik turun, rupanya ia menangis. Sementara, hujan semakin lebat, gua mempercepat langkah hingga akhirnya berhasil tiba di area parkir kemudian masuk ke dalam mobil.
Seraya menyeka sisa butiran air dari permukaan kaos yang gua kenakan, gua mulai berpindah dari kursi depan ke kursi penumpang bagian belakang dan terus hingga ke area kosong di bagasi mobil. Lalu dengan susah payah gua meraih payung yang tergeletak di lantai mobil.
Sebelum keluar, gua menyambar topi di dashboard dan memakainya.
Diluar hujan terasa semakin lebat, dalam naungan payung berukuran besar, gua berjalan melintasi genangan air yang mulai memenuhi area parkir; menyusul Marshall.
Langkah gua terhenti saat melihat Marshall tengah berdiri dan bicara dengan seorang perempuan tepat di depan akses masuk dari parkir mobil ke area makam. Sosok perempuan yang nggak terlihat jelas karena hujan yang lebat dan sebagian tubuhnya tertutup payung. Apalagi gua melihatnya dari kejauhan dan arah yang berlawanan. Jadi, yang nampak hanya bagian belakang tubuhnya dari punggung hingga kaki.
Entah dorongan dari mana, hingga membuat gua terus berdiam dan menatap mereka berdua yang sepertinya terlibat percakapan. Tentu saja percakapan yang nggak bisa gua dengar.
Perempuan berpayung itu lalu perlahan mendekat ke arah Marshall, mengangkat payungnya untuk mencegah Marshall semakin basah karena kehujanan. Marshall mundur beberapa langkah, ia sempat menoleh sebentar ke arah mobil gua yang terparkir. Nggak lama ia pergi meninggalkan perempuan itu sendirian, menuju ke arah mobil.
Gua keluar dari ‘persembunyian’ di balik mobil lain dan menyusulnya
“Dari mana?”. Tanya Marshall seraya membuka pintu bagian penumpang lalu segera masuk.
Gua memutar, menutup payung dan masuk lewat pintu di sisi pengemudi.
“Dari mana?” Tanyanya lagi, begitu gua sudah berada di dalam mobil.
Alih-alih menjawab pertanyaannya, gua menatap ke luar, ke lokasi tempat dimana perempuan itu masih berdiri, dibawah naungan payung dan menatap ke arah mobil yang kami tumpangi.
“Siapa?” Gua balik bertanya sambil mengarahkan dagu ke arah perempuan itu.
Marshall menoleh, menatap ke arah yang sama dengan gua.
“Ntar gua ceritain” Jawabnya pelan.
“Kenapa nggak sekarang aja?” Pinta gua. Butuh penjelasan sesegera mungkin dari dirinya. Nggak mau tenggelam terlalu lama dalam asumsi, yang nantinya malah bikin hati terbakar cemburu, cemburu buta yang tanpa alasan.
Ada firasat di dalam hati ini kalau perempuan tadi merupakan bagian dari masa lalunya. Mengingat ia pernah bercerita tentang alasan ia mendekam di penjara, tentang perempuan bernama; Tata.
“Siapa dia?” Tanya gua lagi, sambil terus berharap kalau jawabannya bukan Tata.
Marshall menghel nafas sebentar lalu menjawab pelan: “Tata…”.
Mendengar jawaban darinya, hati ini yang sejak tadi tertahan, kini terasa seperti tersulut dan siap meledak. Tanpa berpikir panjang, gua berusaha membuka pintu mobil dan bersiap keluar. Ingin bertemu dengan perempuan yang sudah menghancurkan masa muda Marshall.
Mata gua sudah mulai memindai barang-barang yang berada disekitar, yang kiranya bisa gua pakai untuk menghantam kepalanya; payung, corong parkir, batu, potongan dahan, hingga papan besi berisi informasi arah parkir. Namun, dengan cepat, ia meraih lengan gua, mencondongkan tubuh untuk menutup pintu.
Tercium aroma parfum yang ia kenakan, aroma yang sudah bercampur dengan air hujan juga keringatnya. Marshall lalu membelai kepala gua pelan, lalu berbisik pelan; “Jangan. Hujan…”.
Gua mengurungkan niat untuk keluar, lalu mulai memasang sabuk pengaman dan menyalakan mesin mobil. Sambil terus melaju, pandangan gua tetap terarah ke perempuan sialan yang masih berdiri sendirian di tempat yang sama.
Seandainya tadi Marshall nggak menahan gua, mungkin sudah kupecahkan kepalanya.
Sepanjang perjalanan kembali, kami hanya terdiam di dalam mobil.
Sementara, Marshall terlihat duduk meringkuk sambil memeluk kedua lututnya yang ia tekuk di atas kursi; menggigil.
“Matiin sih AC nya, Din…” ucapnya dengan suara bergetar.
Gua menekan tombol pada kemudi, menaikkan suhu agar nggak terlalu dingin.
“…Ampun dah, matiin aja sih. Please ini mah gua…” tambahnya.
Mendengar pintanya yang mengiba, gua lantas tertawa dan mulai menekan kembali tombol pada kemudi; mematikan penyejuk. Lalu, sedikit menurunkan jendela di kedua sisi pintu agar nggak pengap.
“Seandainya nggak hujan, apa lo bakal biarin gua turun tadi?” Tanya gua, merujuk ke alasan ia mencegah gua menemui perempuan tadi.
Marshall menjawab dengan gelengan kepala.
“… Kenapa?” Gua menambahkan.
“Ya gapapa…” Ia menjawab asal-asalan, lalu berbalik. Masih sambil memeluk lututnya, ia memunggungi gua, menatap keluar melalui jendela.
Gua menatapnya tajam dan memukul sekena-nya.
“Kan gua udah bilang, ‘Gapapa’ tuh bukan jawaban…” Seru gua.
Tapi, Marshall bergeming. Ia tetap diam, dan terus menatap keluar.
“...Marshall!!” Gua berteriak, berseru kepadanya karena nggak mendapat jawaban.
Setekah mendapat teriakan, barulah ia menoleh dan menatap gua, lalu bicara pelan; “Ntar Din. Ntar gua jelasin. Ini masih dingin banget gua…”.
“Ya itu kan AC nya udah gua matiin…”
“...”
“... Masih dingin?” Tanya gua lagi. Yang lantas di responnya dengan anggukan kepala.
“...”
“... Lepas aja bajunya” Pinta gua. Berharap dengan melepas kaos basah yang ia kenakan bisa mengurangi dingin yang ia rasakan.
“Nggak ah…” Ia menolak.
Kami lalu terdiam.
“Mau dipeluk?” Tanya gua penuh keraguan.
Mendengar ucapan gua barusan, Marshall menegakkan tubuhnya dan menatap gua; “Gimana caranya?” Ia balik bertanya.
“Ya kekmana? Nggak bisa lah” Gua memberi jawaban.
Ia lantas menggeser tubuhnya, mendekat. Tangan kirinya perlahan mulai melingkar di pinggang gua, sementara kepalanya ia sandarkan di bahu.
Dingin, bagian kaosnya yang basah terasa dingin. Namun, tubuhnya malah terasa panas. Gua lantas menyentuh permukaan dahinya dengan telapak tangan dan merasakan sensasi panas yang nggak biasa.
“Panas banget, Sal..”
“...”
“... Demam nih. Ke dokter ya?” Gua menambahkan.
“...” Marshall menggelengkan kepalanya.
“Ck…”
Dengan posisinya yang bersandar, gua bersusah payang meraih ponsel yang tergeletak di panel tengah. Lalu mencari kontak nyokapnya dan langsung menghubunginya. ‘Kalau ia nggak mau ke dokter, ya biar aja dokternya yang datang ke dia’ batin gua dalam hati.
Sementara, nada sambung terdengar beberapa kali hingga suara nyokapnya Marshall menyambut gua.
“Halo.. Tan” Sapa gua.
“Ya, Din. Kenapa?” Balasnya.
“Ini si Marshall kayaknya demam tan, badannya panas banget. Panasnya tuh nggak umum deh kayaknya Tan…” Gua bicara, menjelaskan kondisi Marshall ke nyokapnya.
“Ya ampun, terus sekarang kamu sama Marshall kan?” Tanyanya.
“Iya, tan. Tapi ini masih di jalan” Jawab gua.
“Pake masker?” Tanyanya lagi.
“Siapa? Aku? Tadi pake, sekarang udah dilepas” Jawab gua.
“Pake lagi…” Ucapnya.
“Oh, iya…” Karena sulit mencari masker sambil menyetir dan menelpon, apalagi ada Marshall yang bersandar di bahu gua, jadi gua putuskan nanti saja cari maskernya.
“Mau ke apartemen?” Tanyanya lagi.
“Iya…”
“Yaudah, dengerin ya Din. Begitu sampe, langsung masuk ke apartemen jangan mampir kemana-mana. Inget langsung masuk ya.”
“...”
“... Terus, Marshall suru masuk ke kamar dan kamu langsung mandi. Semua baju yang kamu pake sekarang masukkin ke kantong plastik.”
“...”
“... Setelah itu, tunggu aja, tunggu di ruang depan sampai saya datang..” Ucapnya.
“Iya tan..”
“Din…”
“Ya Tan?”
“Kamu gapapa kan? Nggak demam juga kan?” Tanyanya, nada bicaranya terdengar khawatir.
Gua menempelkan telapak tangan di dahi, nggak terasa hangat.
“Nggak sih tan”. Jawab gua.
“Bagus deh, kalo nanti mulai pusing atau demam juga. Langsung bilang ya… jangan minum obat warung ya Din” Ucapnya pelan.
“Ok tan…”
Ia lalu pamit dengan terburu-buru dan mengakhiri panggilan.
Sesampainya di apartemen, gua mengikuti perintah nyokapnya; mengajak Marshall langsung ke atas. Beruntung Marshall masih terlihat bisa berjalan, walaupun sambil sempoyongan. Saat gua mencoba menuntunnya, ia menoleh dan tersenyum.
“Gua cuma demam, Din…” Ucapnya.
“Iya, iya, Mr Always right…” Gua menggumam pelan dan tetap memeluk tangannya seraya membetulkan posisi masker di wajah dan membawanya naik ke atas.
Di dalam kamar apartemen, gua terus mengikuti instruksi yang diberikan nyokapnya tadi melalui telepon. Memaksanya masuk ke dalam kamar.
“Buka baju lo..” Ucap gua seraya menunjuk ke arah kaosnya yang basah.
Nggak banyak mengeluh, Marshall lantas membuka kaosnya dan menjatuhkannya di atas ranjang. Gua buru-buru meraih kaosnya tersebut lantas kembali bicara; “Celana..”
Lagi, ia nggak banyak mengeluh dan membuka celana jeans yang ia kenakan. Sambil matanya terus menatap ke arah gua. Kini, ia hanya mengenakan celana dalam, berdiri sambil memeluk dirinya sendiri; kedinginan.
“Yaudah tiduran…” Seru gua lagi.
Marshall berbaring diatas ranjang, gua menyelebungi tubuhnya dengan selimt dan menyempatkan diri menempelkan telapak tangan di dahinya. Terasa suhu tubuhnya semakin panas.
“Ck..” Gua menggumam pelan.
Lalu beralih ke lemari pakaian, mengambil kaos dan celana training miliknya kemudian meninggalkannya untuk mandi.
Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya nyokap Marshall datang. Dengan membawa sebuah tas besar dan masker serta sarung tangan karet menutupi kedua tangannya, ia langsung memberikan gua sebuah tablet; tablet hisap yang entah apa fungsinya.
“Minum, Din…” Ucapnya.
“Apa ini, Tan?” Tanya gua seraya mengangkat tablet tersebut ke atas.
“Vitamin. Tablet hisap” Jawabnya.
“Oh..” Gua membuka kemasan dan mulai meminumnya. Sementara, Nyokap Marshall langsung menuju ke arah kamar dan masuk ke dalam.
Cukup lama ia berada di dalam kamar, gua membuka pintu, mengintip dari arah luar. Terlihat nyokapnya tengah duduk sambil mengambil sample darah dari tubuh Marshall. Menyadari gua tengah mengintip, ia lalu mengerlingkan matanya dan bicara pelan; “Kamu abis ini ya…”
Satu jam setelahnya, nyokap Marshall sudah selesai melakukan rapid test antigen dan mengambil sample darah kami berdua. Ia melakukan test tersebut untuk mengetahui apakah kami berdua terpapar Covid atau tidak.
Sebelum pergi, nyokapnya kembali memberi pesan; “Din… jangan kemana-mana dulu ya. At least sampe hasil testnya keluar”
“Ok Tan… Kalo hasil yang antigen gimana?” Tanya gua.
“Negatif sih. Cuma biar lebih tegak diagnosanya tunggu hasil test antibodi ya..” Jawabnya.
“Berapa lama tan?” Tanya gua lagi.
“Sebentar kok, sabar ya..”
“...”
“... Oiya, kalau butuh apa-apa, telpon ya Din..” Tambahnya.
“Iya…” Gua menjawba singkat, lalu berdiri dan mengantarnya hingga ke pintu apartemen. Sebelum ia pergi, gua menyempatkan diri bertanya kepadanya; “Tan..Tante kenal sama perempuan yang namanya Tata?”.
Mendengar pertanyaan gua barusan, nyokapnya Marshall langsung terdiam, tertegun. Ia bahkan sampai berhenti memakai sepatunya saat mendengar gua menyebut nama ‘Tata’. Nyokapnya Marshall lalu menatap gua. Matanya memancarkan kekhawatiran yang sangat, nampak lebih khawatir ketimbang saat mendengar anaknya sakit.
Ia lalu bicara; “Marshall abis ketemu sama dia?”
Gua mengangguk pelan.
“... Kamu udah tau ceritanya?” Tanyanya lagi.
Gua kembali mengangguk.
Ia lantas menepuk pelan bahu gua dan menggumam pelan; “Sabar ya Din”, lalu berbalik dan pergi.
Gua berbalik, menutup dan mengunci pintu lalu bergegas menuju ke kamar. Di dalam kamar, terlihat Marshall duduk di sisi ranjang terjauh, menatap kosong ke arah jendela. Gua lalu duduk di sebelahnya, ikut menatap ke arah yang sama.
“Masih kedinginan?” Tanya gua.
“Masih, dikit…” Jawabnya.
“Mau dipeluk?” Tanya gua lagi.
“Mau…”
Gua menggeser tubuh, mendekat dan memberinya pelukan.
“Kalo gua positif covid lo nanti bisa ketularan lho…” Gumamnya.
“Bodo!” Respon gua singkat.
Tanpa gua minta, Marshall lalu mulai bicara, bercerita tentang pertemuannya yang kebetulan dengan Tata tadi. Sementara, gua mendengarkan dengan seksama seraya menggenggam tangannya; erat.
“Kedepannya nanti, kayaknya lo harus berusaha sekuat mungkin untuk mencegah gua bertemu dengannya…” Ucap gua, tepat setelah ia selesai bercerita.
“Kenapa?” Tanyanya sambil menoleh, menatap gua.
Gua mendongak, balas menatapnya dan memberi jawaban; “Karena mungkin aja gua melewati batas dan berbuat sesuatu yang buruk terhadapnya…”
“Kenapa? dia kan nggak punya salah sama lo?” Tanyanya.
“Iya, sama gua emang nggak punya. Tapi sama lo, banyak…”. Jawab gua.
Pun belum mengenalnya selama Tata ataupun Poppy, tapi saat ini, sekarang ini, gua merasa memilki Marshall seutuhnya. Dan gua nggak suka jika sesuatu milik gua disakiti, dulu, sekarang atau nanti. Sementara, Marshall pasti nggak punya nyali untuk mengungkapkan kebenciannya kepada Tata, ke orang yang pernah menghancurkan hidupnya.
Atau, kemungkinan terburuk buat gua adalah; ‘Apa mungkin masih ada rasa cinta di dalam hatinya buat Tata?’.
Inging memastikan, gua lantas bertanya; “Masih ada nggak, sedikiiiiit pun rasa cinta lo ke dia?”.
Masih sambil menatap gua, ia lalu menggeleng pelan.
Gua merasa lega saat mengetahui responnya barusan. Lalu, kembali bertanya; “... Kalau rasa benci?”.
Ia kembali menggeleng.
“... Walaupun sedikit?” Tanya gua lagi seraya mengangkat ujung jari kelingkin ke atas.
Ia terdiam.
Setelah mengambil nafas dalam-dalam, barulah ia kembali bicara; “Gimana ya jelasinnya…” Ucapnya seraya menggaruk kepala.
“...”
“... Tata itu orang pertama yang bikin hidup gua jadi ada artinya. Sebelum kenal Tata, gua cuma hidup kayak robot, nggak dapet perhatian orang tua, jadinya ikut-ikutan sama sesuatu yang baru biar bisa mencuri perhatian bokap dan nyokap.”
“...”
“... Pas mengenal Tata, gua merasa kayak lahir lagi. Merasa ada motivasi baru untuk berangkat ke sekolah, cuma buat bertemu dengannya..”
“...”
“... Dia juga bukannya tanpa masalah. Keluarganya itu kacau, bokapnya diktator yang nyamar dan selalu sembunyi pakai jubah adat dan agama. Sementara, nyokapnya kayak nggak punya power untuk bersuara apalagi bertindak.”
“...”
“.. Dan waktu kejadian di gudang olahraga yang waktu itu pernah gua ceritain ke elo. Gua yakin, semua orang di posisinya bakal melakukan hal yang sama. Dan, gua nggak nyalahin dia…”
“...”
“... Pasti berat juga buat Tata, karena akhirnya gua dipenjara gara-gara dia. Jadi, yang hancur bukan cuma hidup gua, hidupnya juga…”
“...”
“... Jadi, rasanya nggak adil aja kalau semua orang lalu menghakiminya. Dan gua nggak mau, lo jadi salah satu dari orang itu.”
“Tapi, kan…”
“Iya, gua ngerti. Setiap orang yang tau akan cerita ini pasti punya sanggahan yang logis dan masuk akal. Gua yakin lo juga gitu. Tapi, saat ini, sekarang ini, menghukumnya lagi malah bakal banyak dampak buruknya daripada baiknya..”
“...”
“... Seandainya, kayak yang lo bilang tadi. Lo lepas kendali, lalu mukul Tata. Untungnya buat gua apa, untungnya buat lo apa? kepuasan?” Tanyanya.
Gua terdiam. Sadar kalau semua ucapannya barusan benar adanya.
“... Seandainya gua membalas Tata, dengan melakukan hal buruk ke dia. Apa masa-masa yang gua habiskan di penjara bakal balik?” Tanyanya lagi. Sebuah retorika yang mungkin nggak perlu jawaban.
Ia lantas meraih bahu gua dan memberi pelukan, kemudian mengecup pelan ujung kepala gua dan lanjut bicara. “Tapi, gua seneng. Seneng banget pas denger lo takut melewati batas terhadap Tata. It means, lo sayang banget sama gua..”
“...”
“... Iya kan, Din?” Tanyanya memastikan.
“...” Sementara gua hanya terdiam, masih mencoba mencerna ucapannya barusan.
“..Iya kan, Din?” Tanyanya lagi.
Gua lantas mendongak, menatapnya dan memberi jawaban; “Iya. Banget!”.
Sambil terus membayangkan betapa berbesar hatinya pria yang tengah memeluk gua ini.
“Tapi, seandainya gua tetap mau bertemu dengan Tata, lo ngizinin?” Gua bertanya.
“...”
“... Nggak, gua nggak bakal melewati batas kok” Gua menambahkan.
“Ya gua nggak bisa melarang… Problemnya adalah gua. Gimana seandainya, gua bertemu dengan Tata lagi?” Kini gantian ia yang bertanya.
Mendengar pertanyaannya barusan gua langsung menyeruak, keluar dari dekapannya. Sambil melotot dan menunjuk ke arahnya, gua memberi ancaman; “Awas aja kalau sampe berani…”
“...”
“... Kalau mau ketemu, harus sama gua!” Gua menambahkan.
Jujur, gua punya ketakutan yang luar biasa, takut merasa cemburu dan takut untuk kembali merasa kehilangan. Dan saat ini, nggak ada yang bisa gua lakukan selain memberi ancaman kepadanya. Walaupun gua tau, sisa ikatan mereka berdua pasti akan memberi dorongan untuk kembali bertemu, sengaja ataupun secara kebetulan seperti pertemuan tadi.
Marshall nggak menjawab, ia hanya tersenyum.
“Kenapa nyengir?” Tanya gua, merasa curiga dengan senyumannya.
“Again, gua merasa tersanjung mendapat ancaman itu dari lo. Means, lo sayang banget sama gua, iya kan?”
“Apaan sih lo… kan tadi udah gua jawab; Iya, Marshall” Jawab gua, mencoba terlihat ketus untuk menutupi perasaan yang rapuh dan takut.
Ia lalu kembali memeluk gua dan kami sama-sama merebahkan diri di atas ranjang, menatap ke arah langit-langit kamar yang kosong.
Setelah terdiam cukup lama, gua menoleh dan mendapati Marshall sudah terlelap. Mungkin efek dari obat penurun demam yang diberikan oleh nyokapnya tadi. Gua merubah posisi, memiringkan tubuh, dengan tangan gua gunakan sebagai penahan kepala, gua terus memandangi wajahnya yang tengah terlelap.
Pun masih ada sisa guratan-guratan kesedihan di wajahnya, tapi kini nggak terlihat seperti saat gua bertemu dengannya dulu. Berharap, gua lah yang menjadi sosok penghapus sedihnya. Berharap gua menjadi teduhnya, berharap gua selalu bisa menjadi obatnya, berharap gua bisa menjadi tempatnya untuk pulang.
Entah kenapa perasaan ini seperti membuncah, rasa cinta gua ke Marshall seperti terus meluap, meluber, serasa hati ini nggak lagi mampu menampungnya. Gua sendiri merasa seperti anak remaja yang baru pertama kali merasakan indahnya jatuh cinta. Mungkin, mungkin karena dahulu gua nggak banyak merasakan indahnya bercinta. Gua yang terlalu cepat dipaksa dewasa, disibukkan pekerjaan dan bisnis yang menguras waktu juga tenaga.
Jadi begini rasanya dimabuk cinta.
Lalu perlahan, rasa kantuk menyusul, membuat gua memejamkan mata, kemudian ikut terlelap.
Sementara hujan mulai turun semakin lebat. Dengan cepat gua meraih tangannya untuk mengajaknya segera pergi dari area makam. Namun, ia bergeming.
Gua tau dan paham betul dengan apa yang ia rasakan saat ini. Ingin memberinya waktu untuk ‘berdua’ bersama Poppy; “Jangan terlalu lama meratap. Gua tunggu di mobil ya…” ucap gua lalu bergegas pergi.
Sambil berlari kecil, gua menoleh ke arah Marshall yang masih berdiri dalam diam. Dari posisi gua saat ini terlihat bahunya naik turun, rupanya ia menangis. Sementara, hujan semakin lebat, gua mempercepat langkah hingga akhirnya berhasil tiba di area parkir kemudian masuk ke dalam mobil.
Seraya menyeka sisa butiran air dari permukaan kaos yang gua kenakan, gua mulai berpindah dari kursi depan ke kursi penumpang bagian belakang dan terus hingga ke area kosong di bagasi mobil. Lalu dengan susah payah gua meraih payung yang tergeletak di lantai mobil.
Sebelum keluar, gua menyambar topi di dashboard dan memakainya.
Diluar hujan terasa semakin lebat, dalam naungan payung berukuran besar, gua berjalan melintasi genangan air yang mulai memenuhi area parkir; menyusul Marshall.
Langkah gua terhenti saat melihat Marshall tengah berdiri dan bicara dengan seorang perempuan tepat di depan akses masuk dari parkir mobil ke area makam. Sosok perempuan yang nggak terlihat jelas karena hujan yang lebat dan sebagian tubuhnya tertutup payung. Apalagi gua melihatnya dari kejauhan dan arah yang berlawanan. Jadi, yang nampak hanya bagian belakang tubuhnya dari punggung hingga kaki.
Entah dorongan dari mana, hingga membuat gua terus berdiam dan menatap mereka berdua yang sepertinya terlibat percakapan. Tentu saja percakapan yang nggak bisa gua dengar.
Perempuan berpayung itu lalu perlahan mendekat ke arah Marshall, mengangkat payungnya untuk mencegah Marshall semakin basah karena kehujanan. Marshall mundur beberapa langkah, ia sempat menoleh sebentar ke arah mobil gua yang terparkir. Nggak lama ia pergi meninggalkan perempuan itu sendirian, menuju ke arah mobil.
Gua keluar dari ‘persembunyian’ di balik mobil lain dan menyusulnya
“Dari mana?”. Tanya Marshall seraya membuka pintu bagian penumpang lalu segera masuk.
Gua memutar, menutup payung dan masuk lewat pintu di sisi pengemudi.
“Dari mana?” Tanyanya lagi, begitu gua sudah berada di dalam mobil.
Alih-alih menjawab pertanyaannya, gua menatap ke luar, ke lokasi tempat dimana perempuan itu masih berdiri, dibawah naungan payung dan menatap ke arah mobil yang kami tumpangi.
“Siapa?” Gua balik bertanya sambil mengarahkan dagu ke arah perempuan itu.
Marshall menoleh, menatap ke arah yang sama dengan gua.
“Ntar gua ceritain” Jawabnya pelan.
“Kenapa nggak sekarang aja?” Pinta gua. Butuh penjelasan sesegera mungkin dari dirinya. Nggak mau tenggelam terlalu lama dalam asumsi, yang nantinya malah bikin hati terbakar cemburu, cemburu buta yang tanpa alasan.
Ada firasat di dalam hati ini kalau perempuan tadi merupakan bagian dari masa lalunya. Mengingat ia pernah bercerita tentang alasan ia mendekam di penjara, tentang perempuan bernama; Tata.
“Siapa dia?” Tanya gua lagi, sambil terus berharap kalau jawabannya bukan Tata.
Marshall menghel nafas sebentar lalu menjawab pelan: “Tata…”.
Mendengar jawaban darinya, hati ini yang sejak tadi tertahan, kini terasa seperti tersulut dan siap meledak. Tanpa berpikir panjang, gua berusaha membuka pintu mobil dan bersiap keluar. Ingin bertemu dengan perempuan yang sudah menghancurkan masa muda Marshall.
Mata gua sudah mulai memindai barang-barang yang berada disekitar, yang kiranya bisa gua pakai untuk menghantam kepalanya; payung, corong parkir, batu, potongan dahan, hingga papan besi berisi informasi arah parkir. Namun, dengan cepat, ia meraih lengan gua, mencondongkan tubuh untuk menutup pintu.
Tercium aroma parfum yang ia kenakan, aroma yang sudah bercampur dengan air hujan juga keringatnya. Marshall lalu membelai kepala gua pelan, lalu berbisik pelan; “Jangan. Hujan…”.
Gua mengurungkan niat untuk keluar, lalu mulai memasang sabuk pengaman dan menyalakan mesin mobil. Sambil terus melaju, pandangan gua tetap terarah ke perempuan sialan yang masih berdiri sendirian di tempat yang sama.
Seandainya tadi Marshall nggak menahan gua, mungkin sudah kupecahkan kepalanya.
Sepanjang perjalanan kembali, kami hanya terdiam di dalam mobil.
Sementara, Marshall terlihat duduk meringkuk sambil memeluk kedua lututnya yang ia tekuk di atas kursi; menggigil.
“Matiin sih AC nya, Din…” ucapnya dengan suara bergetar.
Gua menekan tombol pada kemudi, menaikkan suhu agar nggak terlalu dingin.
“…Ampun dah, matiin aja sih. Please ini mah gua…” tambahnya.
Mendengar pintanya yang mengiba, gua lantas tertawa dan mulai menekan kembali tombol pada kemudi; mematikan penyejuk. Lalu, sedikit menurunkan jendela di kedua sisi pintu agar nggak pengap.
“Seandainya nggak hujan, apa lo bakal biarin gua turun tadi?” Tanya gua, merujuk ke alasan ia mencegah gua menemui perempuan tadi.
Marshall menjawab dengan gelengan kepala.
“… Kenapa?” Gua menambahkan.
“Ya gapapa…” Ia menjawab asal-asalan, lalu berbalik. Masih sambil memeluk lututnya, ia memunggungi gua, menatap keluar melalui jendela.
Gua menatapnya tajam dan memukul sekena-nya.
“Kan gua udah bilang, ‘Gapapa’ tuh bukan jawaban…” Seru gua.
Tapi, Marshall bergeming. Ia tetap diam, dan terus menatap keluar.
“...Marshall!!” Gua berteriak, berseru kepadanya karena nggak mendapat jawaban.
Setekah mendapat teriakan, barulah ia menoleh dan menatap gua, lalu bicara pelan; “Ntar Din. Ntar gua jelasin. Ini masih dingin banget gua…”.
“Ya itu kan AC nya udah gua matiin…”
“...”
“... Masih dingin?” Tanya gua lagi. Yang lantas di responnya dengan anggukan kepala.
“...”
“... Lepas aja bajunya” Pinta gua. Berharap dengan melepas kaos basah yang ia kenakan bisa mengurangi dingin yang ia rasakan.
“Nggak ah…” Ia menolak.
Kami lalu terdiam.
“Mau dipeluk?” Tanya gua penuh keraguan.
Mendengar ucapan gua barusan, Marshall menegakkan tubuhnya dan menatap gua; “Gimana caranya?” Ia balik bertanya.
“Ya kekmana? Nggak bisa lah” Gua memberi jawaban.
Ia lantas menggeser tubuhnya, mendekat. Tangan kirinya perlahan mulai melingkar di pinggang gua, sementara kepalanya ia sandarkan di bahu.
Dingin, bagian kaosnya yang basah terasa dingin. Namun, tubuhnya malah terasa panas. Gua lantas menyentuh permukaan dahinya dengan telapak tangan dan merasakan sensasi panas yang nggak biasa.
“Panas banget, Sal..”
“...”
“... Demam nih. Ke dokter ya?” Gua menambahkan.
“...” Marshall menggelengkan kepalanya.
“Ck…”
Dengan posisinya yang bersandar, gua bersusah payang meraih ponsel yang tergeletak di panel tengah. Lalu mencari kontak nyokapnya dan langsung menghubunginya. ‘Kalau ia nggak mau ke dokter, ya biar aja dokternya yang datang ke dia’ batin gua dalam hati.
Sementara, nada sambung terdengar beberapa kali hingga suara nyokapnya Marshall menyambut gua.
“Halo.. Tan” Sapa gua.
“Ya, Din. Kenapa?” Balasnya.
“Ini si Marshall kayaknya demam tan, badannya panas banget. Panasnya tuh nggak umum deh kayaknya Tan…” Gua bicara, menjelaskan kondisi Marshall ke nyokapnya.
“Ya ampun, terus sekarang kamu sama Marshall kan?” Tanyanya.
“Iya, tan. Tapi ini masih di jalan” Jawab gua.
“Pake masker?” Tanyanya lagi.
“Siapa? Aku? Tadi pake, sekarang udah dilepas” Jawab gua.
“Pake lagi…” Ucapnya.
“Oh, iya…” Karena sulit mencari masker sambil menyetir dan menelpon, apalagi ada Marshall yang bersandar di bahu gua, jadi gua putuskan nanti saja cari maskernya.
“Mau ke apartemen?” Tanyanya lagi.
“Iya…”
“Yaudah, dengerin ya Din. Begitu sampe, langsung masuk ke apartemen jangan mampir kemana-mana. Inget langsung masuk ya.”
“...”
“... Terus, Marshall suru masuk ke kamar dan kamu langsung mandi. Semua baju yang kamu pake sekarang masukkin ke kantong plastik.”
“...”
“... Setelah itu, tunggu aja, tunggu di ruang depan sampai saya datang..” Ucapnya.
“Iya tan..”
“Din…”
“Ya Tan?”
“Kamu gapapa kan? Nggak demam juga kan?” Tanyanya, nada bicaranya terdengar khawatir.
Gua menempelkan telapak tangan di dahi, nggak terasa hangat.
“Nggak sih tan”. Jawab gua.
“Bagus deh, kalo nanti mulai pusing atau demam juga. Langsung bilang ya… jangan minum obat warung ya Din” Ucapnya pelan.
“Ok tan…”
Ia lalu pamit dengan terburu-buru dan mengakhiri panggilan.
Sesampainya di apartemen, gua mengikuti perintah nyokapnya; mengajak Marshall langsung ke atas. Beruntung Marshall masih terlihat bisa berjalan, walaupun sambil sempoyongan. Saat gua mencoba menuntunnya, ia menoleh dan tersenyum.
“Gua cuma demam, Din…” Ucapnya.
“Iya, iya, Mr Always right…” Gua menggumam pelan dan tetap memeluk tangannya seraya membetulkan posisi masker di wajah dan membawanya naik ke atas.
Di dalam kamar apartemen, gua terus mengikuti instruksi yang diberikan nyokapnya tadi melalui telepon. Memaksanya masuk ke dalam kamar.
“Buka baju lo..” Ucap gua seraya menunjuk ke arah kaosnya yang basah.
Nggak banyak mengeluh, Marshall lantas membuka kaosnya dan menjatuhkannya di atas ranjang. Gua buru-buru meraih kaosnya tersebut lantas kembali bicara; “Celana..”
Lagi, ia nggak banyak mengeluh dan membuka celana jeans yang ia kenakan. Sambil matanya terus menatap ke arah gua. Kini, ia hanya mengenakan celana dalam, berdiri sambil memeluk dirinya sendiri; kedinginan.
“Yaudah tiduran…” Seru gua lagi.
Marshall berbaring diatas ranjang, gua menyelebungi tubuhnya dengan selimt dan menyempatkan diri menempelkan telapak tangan di dahinya. Terasa suhu tubuhnya semakin panas.
“Ck..” Gua menggumam pelan.
Lalu beralih ke lemari pakaian, mengambil kaos dan celana training miliknya kemudian meninggalkannya untuk mandi.
Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya nyokap Marshall datang. Dengan membawa sebuah tas besar dan masker serta sarung tangan karet menutupi kedua tangannya, ia langsung memberikan gua sebuah tablet; tablet hisap yang entah apa fungsinya.
“Minum, Din…” Ucapnya.
“Apa ini, Tan?” Tanya gua seraya mengangkat tablet tersebut ke atas.
“Vitamin. Tablet hisap” Jawabnya.
“Oh..” Gua membuka kemasan dan mulai meminumnya. Sementara, Nyokap Marshall langsung menuju ke arah kamar dan masuk ke dalam.
Cukup lama ia berada di dalam kamar, gua membuka pintu, mengintip dari arah luar. Terlihat nyokapnya tengah duduk sambil mengambil sample darah dari tubuh Marshall. Menyadari gua tengah mengintip, ia lalu mengerlingkan matanya dan bicara pelan; “Kamu abis ini ya…”
Satu jam setelahnya, nyokap Marshall sudah selesai melakukan rapid test antigen dan mengambil sample darah kami berdua. Ia melakukan test tersebut untuk mengetahui apakah kami berdua terpapar Covid atau tidak.
Sebelum pergi, nyokapnya kembali memberi pesan; “Din… jangan kemana-mana dulu ya. At least sampe hasil testnya keluar”
“Ok Tan… Kalo hasil yang antigen gimana?” Tanya gua.
“Negatif sih. Cuma biar lebih tegak diagnosanya tunggu hasil test antibodi ya..” Jawabnya.
“Berapa lama tan?” Tanya gua lagi.
“Sebentar kok, sabar ya..”
“...”
“... Oiya, kalau butuh apa-apa, telpon ya Din..” Tambahnya.
“Iya…” Gua menjawba singkat, lalu berdiri dan mengantarnya hingga ke pintu apartemen. Sebelum ia pergi, gua menyempatkan diri bertanya kepadanya; “Tan..Tante kenal sama perempuan yang namanya Tata?”.
Mendengar pertanyaan gua barusan, nyokapnya Marshall langsung terdiam, tertegun. Ia bahkan sampai berhenti memakai sepatunya saat mendengar gua menyebut nama ‘Tata’. Nyokapnya Marshall lalu menatap gua. Matanya memancarkan kekhawatiran yang sangat, nampak lebih khawatir ketimbang saat mendengar anaknya sakit.
Ia lalu bicara; “Marshall abis ketemu sama dia?”
Gua mengangguk pelan.
“... Kamu udah tau ceritanya?” Tanyanya lagi.
Gua kembali mengangguk.
Ia lantas menepuk pelan bahu gua dan menggumam pelan; “Sabar ya Din”, lalu berbalik dan pergi.
Gua berbalik, menutup dan mengunci pintu lalu bergegas menuju ke kamar. Di dalam kamar, terlihat Marshall duduk di sisi ranjang terjauh, menatap kosong ke arah jendela. Gua lalu duduk di sebelahnya, ikut menatap ke arah yang sama.
“Masih kedinginan?” Tanya gua.
“Masih, dikit…” Jawabnya.
“Mau dipeluk?” Tanya gua lagi.
“Mau…”
Gua menggeser tubuh, mendekat dan memberinya pelukan.
“Kalo gua positif covid lo nanti bisa ketularan lho…” Gumamnya.
“Bodo!” Respon gua singkat.
Tanpa gua minta, Marshall lalu mulai bicara, bercerita tentang pertemuannya yang kebetulan dengan Tata tadi. Sementara, gua mendengarkan dengan seksama seraya menggenggam tangannya; erat.
“Kedepannya nanti, kayaknya lo harus berusaha sekuat mungkin untuk mencegah gua bertemu dengannya…” Ucap gua, tepat setelah ia selesai bercerita.
“Kenapa?” Tanyanya sambil menoleh, menatap gua.
Gua mendongak, balas menatapnya dan memberi jawaban; “Karena mungkin aja gua melewati batas dan berbuat sesuatu yang buruk terhadapnya…”
“Kenapa? dia kan nggak punya salah sama lo?” Tanyanya.
“Iya, sama gua emang nggak punya. Tapi sama lo, banyak…”. Jawab gua.
Pun belum mengenalnya selama Tata ataupun Poppy, tapi saat ini, sekarang ini, gua merasa memilki Marshall seutuhnya. Dan gua nggak suka jika sesuatu milik gua disakiti, dulu, sekarang atau nanti. Sementara, Marshall pasti nggak punya nyali untuk mengungkapkan kebenciannya kepada Tata, ke orang yang pernah menghancurkan hidupnya.
Atau, kemungkinan terburuk buat gua adalah; ‘Apa mungkin masih ada rasa cinta di dalam hatinya buat Tata?’.
Inging memastikan, gua lantas bertanya; “Masih ada nggak, sedikiiiiit pun rasa cinta lo ke dia?”.
Masih sambil menatap gua, ia lalu menggeleng pelan.
Gua merasa lega saat mengetahui responnya barusan. Lalu, kembali bertanya; “... Kalau rasa benci?”.
Ia kembali menggeleng.
“... Walaupun sedikit?” Tanya gua lagi seraya mengangkat ujung jari kelingkin ke atas.
Ia terdiam.
Setelah mengambil nafas dalam-dalam, barulah ia kembali bicara; “Gimana ya jelasinnya…” Ucapnya seraya menggaruk kepala.
“...”
“... Tata itu orang pertama yang bikin hidup gua jadi ada artinya. Sebelum kenal Tata, gua cuma hidup kayak robot, nggak dapet perhatian orang tua, jadinya ikut-ikutan sama sesuatu yang baru biar bisa mencuri perhatian bokap dan nyokap.”
“...”
“... Pas mengenal Tata, gua merasa kayak lahir lagi. Merasa ada motivasi baru untuk berangkat ke sekolah, cuma buat bertemu dengannya..”
“...”
“... Dia juga bukannya tanpa masalah. Keluarganya itu kacau, bokapnya diktator yang nyamar dan selalu sembunyi pakai jubah adat dan agama. Sementara, nyokapnya kayak nggak punya power untuk bersuara apalagi bertindak.”
“...”
“.. Dan waktu kejadian di gudang olahraga yang waktu itu pernah gua ceritain ke elo. Gua yakin, semua orang di posisinya bakal melakukan hal yang sama. Dan, gua nggak nyalahin dia…”
“...”
“... Pasti berat juga buat Tata, karena akhirnya gua dipenjara gara-gara dia. Jadi, yang hancur bukan cuma hidup gua, hidupnya juga…”
“...”
“... Jadi, rasanya nggak adil aja kalau semua orang lalu menghakiminya. Dan gua nggak mau, lo jadi salah satu dari orang itu.”
“Tapi, kan…”
“Iya, gua ngerti. Setiap orang yang tau akan cerita ini pasti punya sanggahan yang logis dan masuk akal. Gua yakin lo juga gitu. Tapi, saat ini, sekarang ini, menghukumnya lagi malah bakal banyak dampak buruknya daripada baiknya..”
“...”
“... Seandainya, kayak yang lo bilang tadi. Lo lepas kendali, lalu mukul Tata. Untungnya buat gua apa, untungnya buat lo apa? kepuasan?” Tanyanya.
Gua terdiam. Sadar kalau semua ucapannya barusan benar adanya.
“... Seandainya gua membalas Tata, dengan melakukan hal buruk ke dia. Apa masa-masa yang gua habiskan di penjara bakal balik?” Tanyanya lagi. Sebuah retorika yang mungkin nggak perlu jawaban.
Ia lantas meraih bahu gua dan memberi pelukan, kemudian mengecup pelan ujung kepala gua dan lanjut bicara. “Tapi, gua seneng. Seneng banget pas denger lo takut melewati batas terhadap Tata. It means, lo sayang banget sama gua..”
“...”
“... Iya kan, Din?” Tanyanya memastikan.
“...” Sementara gua hanya terdiam, masih mencoba mencerna ucapannya barusan.
“..Iya kan, Din?” Tanyanya lagi.
Gua lantas mendongak, menatapnya dan memberi jawaban; “Iya. Banget!”.
Sambil terus membayangkan betapa berbesar hatinya pria yang tengah memeluk gua ini.
“Tapi, seandainya gua tetap mau bertemu dengan Tata, lo ngizinin?” Gua bertanya.
“...”
“... Nggak, gua nggak bakal melewati batas kok” Gua menambahkan.
“Ya gua nggak bisa melarang… Problemnya adalah gua. Gimana seandainya, gua bertemu dengan Tata lagi?” Kini gantian ia yang bertanya.
Mendengar pertanyaannya barusan gua langsung menyeruak, keluar dari dekapannya. Sambil melotot dan menunjuk ke arahnya, gua memberi ancaman; “Awas aja kalau sampe berani…”
“...”
“... Kalau mau ketemu, harus sama gua!” Gua menambahkan.
Jujur, gua punya ketakutan yang luar biasa, takut merasa cemburu dan takut untuk kembali merasa kehilangan. Dan saat ini, nggak ada yang bisa gua lakukan selain memberi ancaman kepadanya. Walaupun gua tau, sisa ikatan mereka berdua pasti akan memberi dorongan untuk kembali bertemu, sengaja ataupun secara kebetulan seperti pertemuan tadi.
Marshall nggak menjawab, ia hanya tersenyum.
“Kenapa nyengir?” Tanya gua, merasa curiga dengan senyumannya.
“Again, gua merasa tersanjung mendapat ancaman itu dari lo. Means, lo sayang banget sama gua, iya kan?”
“Apaan sih lo… kan tadi udah gua jawab; Iya, Marshall” Jawab gua, mencoba terlihat ketus untuk menutupi perasaan yang rapuh dan takut.
Ia lalu kembali memeluk gua dan kami sama-sama merebahkan diri di atas ranjang, menatap ke arah langit-langit kamar yang kosong.
Setelah terdiam cukup lama, gua menoleh dan mendapati Marshall sudah terlelap. Mungkin efek dari obat penurun demam yang diberikan oleh nyokapnya tadi. Gua merubah posisi, memiringkan tubuh, dengan tangan gua gunakan sebagai penahan kepala, gua terus memandangi wajahnya yang tengah terlelap.
Pun masih ada sisa guratan-guratan kesedihan di wajahnya, tapi kini nggak terlihat seperti saat gua bertemu dengannya dulu. Berharap, gua lah yang menjadi sosok penghapus sedihnya. Berharap gua menjadi teduhnya, berharap gua selalu bisa menjadi obatnya, berharap gua bisa menjadi tempatnya untuk pulang.
Entah kenapa perasaan ini seperti membuncah, rasa cinta gua ke Marshall seperti terus meluap, meluber, serasa hati ini nggak lagi mampu menampungnya. Gua sendiri merasa seperti anak remaja yang baru pertama kali merasakan indahnya jatuh cinta. Mungkin, mungkin karena dahulu gua nggak banyak merasakan indahnya bercinta. Gua yang terlalu cepat dipaksa dewasa, disibukkan pekerjaan dan bisnis yang menguras waktu juga tenaga.
Jadi begini rasanya dimabuk cinta.
Lalu perlahan, rasa kantuk menyusul, membuat gua memejamkan mata, kemudian ikut terlelap.
Lanjut Ke Bawah
Diubah oleh robotpintar 21-06-2024 22:31
vizardan dan 40 lainnya memberi reputasi
41
Kutip
Balas
Tutup