- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa

Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 21:29
viper990 dan 214 lainnya memberi reputasi
215
399K
Kutip
4.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#2331
Part 87 - Gila!
Spoiler for Part 87 - Gila!:
Beberapa hari berikutnya, gua mendapat kabar dari Aldina. Kabar yang membuatnya begitu girang bukan kepalang. Girang karena Jeje dan Lady akhirnya memutuskan untuk menyerahkan perawatan Sere kepada Lian. Perawatan akan dilakukan di salah satu rumah sakit Swasta di Singapore tempat Dokter Lian juga berpraktek di sana.
Untuk itu, Anggi rencananya akan segera kembali ke Indonesia dan akan tinggal sementara bersama dengan Aldina.
Waktu gua tanya apa alasan kenapa akhirnya Jeje dan keluarga memutuskan untuk mengalihkan perawatan anak bungsunya ke Dokter Lian, Aldina hanya memberi jawaban dengan mengangkat bahunya.
Pun keputusan tetap berasal dari pihak mereka, tapi gua dan Aldina tetap merasa ‘was-was’. Takut terjadi hal yang nggak diinginkan saat proses perawatan dan pengobatan, apalagi kami berdualah yang sudah memberikan referensi Dokter Lian ke mereka.
“Gapapa, santai aja Sal…”
“...”
“... Buktinya dokternya Sere yang di Kanada aja nyaranin mereka buat berobat ke Lian. Ya kan?” Aldina menambahkan.
“Iya sih…” Gua menjawab sambil mengangguk.
Sementara, kami berdua masih duduk di salah satu resto cepat saji di terminal kedatangan internasional Bandara Soekarno Hatta; menunggu Anggi.
Setelah cukup lama menunggu, Ponsel milik Aldina berdering. Ia yang kebetulan tengah sibuk dengan ponselnya langsung menjawab. Dari obrolan yang gua dengar, yang menelpon adalah Jeje; mungkin memberi kabar kalau mereka sudah tiba. Gua lantas menghabiskan minum dan berdiri; bersiap-siap.
Aldina yang baru selesai dengan panggilan telepon ikut berdiri, lalu menyusul gua.
“Udah sampe…” Ucapnya, lalu berlari kecil ke arah gate kedatangan. Ia sudah nggak sabar bertemu dengan Anggi.
Dari kejauhan terlihat Jeje berdiri sambil menggenggam tangan seorang anak; Anggi. Melihat hal itu, Aldina langsung mempercepat langkahnya; berlari menghampiri mereka. Mengabaikan Jeje yang berdiri tepat di sebelahnya, Aldina langsung menerjang Anggi, memberikan pelukan.
Nggak lama, tangisnya pun pecah.
Belum hilang rindunya, Anggi menggeliat, mencoba melepaskan diri dari pelukan ibunya. Setelah berhasil, Anggi langsung berlari dan mendekat ke gua yang masih berjalan ke arah mereka.
“Om Marshall…” Teriak Anggi.
Gua tersenyum dan melambai ke arahnya.
Saat sudah dekat, ia langsung menyodorkan tangannya ke arah gua. Gua menyambut tangan mungil Anggi dan menggandengnya. Ia mendongak dan menatap gua; “Om, ajarin aku gambar lagi ya…”
“Oh, iya, nanti ya…” Jawab gua.
Sementara dari kejauhan terlihat Aldina yang masih dalam kondisi berlutut menatap ke arah gua sambil sesekali menyeka matanya yang basah. Di sebelahnya, Jeje berdiri sambil tertawa.
Dengan menggandeng tangan Anggi, gua mendekat ke arah mereka berdua. Aldina langsung ‘merebut’ Anggi dari genggaman tangan gua; kembali memeluknya. Jeje yang masih belum berhenti tertawa, menepuk pelan lengan gua sambil menanyakan kabar; “Sehat?”
“Sehat. Lo?” Gua menjawab lalu balik bertanya.
“Sehat..”
“Berdua aja?” Tanya gua lagi.
“Iya…”
“Bini Lo?”
“Udah si SG, gua nganter Anggi doang kok. Ini mau langsung balik” Jawabnya.
Mendengar hal tersebut, Aldina lalu menoleh dan menatap Jeje. Ia lalu bertanya; “Langsung balik? ke Halifax?”
“Nggak, ke SG” Jawabnya.
“Langsung banget?” Tanya Aldina lagi.
“Iya… 10 menit lagi” Jawabnya seraya melirik ke arah jam tangan.
“Oh…” Aldina lantas melepaskan pelukannya ke Anggi dan bicara; “... Pamit sama Papah dulu”, memberikan kesempatan untuk Anggi agar ia berpamitan ke Jeje yang sebentar lagi akan kembali terbang kembali ke Singapore.
Anggi lalu mendekat, Jeje membungkuk dan memberikan pelukan serta kecupan hangat kepada anaknya. Ia lalu berpesan singkat; “Jangan buat repot Mommy ya..”
“Iya pah…” Jawab Anggi, lalu kembali ke pelukan Aldina. Sementara, Jeje kembali berdiri dan bersiap pergi.
Tepat sebelum pergi, gua mengajaknya bicara sebentar; “By the way, gua sebenernya mau ngobrol banyak sama lo”.
“About what? Kerjaan apa personal?” Tanyanya.
“Personal” Gua menjawab singkat.
“Hahaha… Hmmm… Boleh” Jawabnya.
“Kapan lo ada waktu?” Tanya gua lagi.
“Kalo lo mau by phone, kapan aja gua bisa kok” Jawabnya.
“...”
“... Tapi, kalo lo mau ngobrol langsung kayak sekarang ini. Ya as you may know, kayaknya lo harus nunggu sih, Sal..”
“...”
“... but, i got your point. I know what you're going to talk about.” Tambahnya, seraya mengedipkan sebelah matanya, lalu tertawa, berbalik dan pergi.
Ia sempat kembali berbalik untuk memberikan lambaian tangan ke Anggi. Lalu melanjutkan langkahnya.
Begitu Jeje pergi dan sudah nggak terlihat, Aldina mendekat ke gua dan bertanya; “Mau ngobrol apa sama Jeje?”.
Gua menoleh, menatapnya dan menjawab; “Rahasia”. Lalu, berbalik, berpaling ke Anggi dan mengajaknya pergi; “... Let’s Go, Nggi..” Seraya menawarkan tangan.
Anggi tersenyum, meraih tangan gua dan menjawab riang; “Let’s Go!”.
Sementara, Aldina hanya mampu menghentakkan satu kakinya ke lantai sambil berdecak; “Ck!”.
Di dalam mobil, selama perjalanan pulang, Anggi nggak henti-hentinya berceloteh. Ia berkisah tentang pengalamannya selama di Halifax, Kanada ke gua. Ternyata, selama ini Anggi merasa kalau kepergiannya ke Kanada hanyalah liburan semata. Jadi, nggak ada rasa kehilangan yang ia rasakan, karena sepengetahuannya cepat atau lambat ia akan kembali bertemu dengan Mommy-nya.
Nggak hanya itu, ia juga terus memaksa gua untuk mengajarinya menggambar. Sambil, mendiskreditkan kemampuan menggambar Aldina yang menurutnya nggak layak.
“Yah, kan keahlian menggambar kan bakat. Nggak semua orang lihai, nggi..” Aldina bicara, mengutarakan pembelaan untuk dirinya sendiri.
“...”
“... Lagian, gambar mommy nggak jelek-jelek banget kok” Tambahnya.
Mendengar ucapan Aldina barusan, gua dan Anggi kompak tertawa bersama.
“Iya, emang nggak jelek. Bagus malah. Orang lo niat gambar ayam malah jadi Dino…” Gua bicara sambil terus menahan tawa.
Aldina langsung meraih kotak tisu yang berada di atas dashboard mobil. Namun, saat menyadari kehadiran Anggi, ia membatalkan niatnya melempar kotak tersebut. Dengan hati-hati, ia meletakkan kembali kotak tersebut ke tempatnya, lalu menggumam pelan; “Awas lo, ntar!”.
Setelah pembahasan perkara pengalaman Anggi di Halifax dan kemampuan menggambar Mommy-nya yang dangkal. Ia kembali berceloteh. Kali ini Anggi lebih banyak bertanya ke gua.
“Om.. Om Marshall rumahnya jauh nggak?” Tanyanya.
“Jauh…” Gua menjawab singkat.
“Dimana?” Tanyanya lagi.
Mendapat pertanyaan tersebut dari anak seumuran Anggi tentu gua kesulitan menjawab. Karena merasa ia bakal tahu nama tempat dimana gua tinggal dan yakin kalau ia nggak punya perkiraan jarak yang sama dengan kami, para orang dewasa.
“Itu lho Nggi, deket mall yang waktu itu kamu beli sepeda” Aldina bicara, membantu gua memberi jawaban.
“Oh.. yang dekat rumah ante Reny ya Mom?” Tanya Anggi ke Mommy-nya.
“Iya…” Jawab Aldina sambil tersenyum.
“...”
“... Kenapa Anggi nanya rumah Om Marshall?” Aldina gantian bertanya ke Anggi.
“Kalau dekat kan Om Marshall bisa sering main” Jawabnya dengan nada bicara yang polos dan ekspresi wajah lugu.
Mendengar perkataan Anggi barusan, Aldina lantas meresponnya. Namun, kali ini ia bicara sambil memberi tatapan tajam ke arah gua; “Tinggal telpon aja kok, Nggi. Biar jauh Om Marshall pasti langsung datang”
“...”
“... Iya kan, Sal?” Aldina menambahkan.
“...”
Merasa nggak mendapat jawaban dari gua, Aldina kembali bertanya. Kali ini sambil mencondongkan tubuhnya ke arah gua; “... Iya kan Om Marshall?”.
Setali tiga uang; Anggi mengikuti hal yang sama. Dari kursi penumpang bagian belakang, ia berdiri, mendekat ke arah gua dan mengajukan pertanyaan yang sama dengan yang diajukan Mommy-nya; “Iya Om?”.
Gua menghela nafas panjang, lalu berpaling sebentar dari kemudi, menoleh ke Anggi dan memberi jawaban; “Iya, Nggi”.
Begitu tiba di area parkir gedung apartemen-nya, Anggi langsung membuka pintu dan menghambur turun keluar dari mobil. Sementara, gua yang tengah melepas sabuk pengaman dan mematikan mesin mobil langsung merasakan sesuatu yang hangat menyentuh kulit lengan gua.
Baru sadar tangan Aldina sudah bersiap mencubit gua; “Kenapa lo cuma bilang ‘Iya’ ke Anggi?” Tanyanya sambil menggeram. Sementara, ia mulai mencubit perlahan.
“Apa sih?” Tanya gua, bingung.
“Tadi, lo cuma jawab; ‘Iya, Nggi’. Gitu…” Aldina menjawab, menirukan ucapan Anggi. Gua lantas teringat apa yang dimaksud olehnya.
“Ya ampun, Din.. Iya, iya, Iya Aldina…” Seru gua.
“Nah gitu dong…” Ucapnya, lantas melepas cubitannya dari lengan gua dan turun dari mobil.
“Aneh!!” Gua menggumam pelan.
Aldina yang kebetulan mendengar gumaman pelan barusan lantas mendekat ke gua yang baru saja turun dari mobil. “Apa!? Coba ko cakap sekali lagi!?”.
“Yee, emang lo aneh…”
“Elo yang aneh!” Balasnya.
“Ya elo lah..”
“Bapak ko kapur SD negeri”
“Bapak lo dinamo tamiya”
“Bapak ko…”. Aldina terlihat terdiam sebentar, seperti tengah mencari kata makian baru untuk gua. Matanya lalu berbinar dan kembali bersiap melanjutkan. Namun, kata-kata berikutnya ia ucapkan dengan lirih; “... dokter”.
Gua tersenyum, mendekat dan merangkulnya. Kami lalu berjalan menyusul Anggi yang sudah berada jauh di depan, dekat dengan pintu lobby lift. Ia lalu berbalik, menatap ke arah kami dan melambaikan tangannya sambil tersenyum.
“Hurry up Mom…” Serunya.
Kami lalu mempercepat langkah.
—
Sementara Aldina mengambil makanan di lobby yang dipesannya melalui ojek online, gua dan Anggi sibuk berbaring di lantai, menunduk, memegang pensil warna, seraya masing-masing menghadapi kertas gambar. Sambil tangan mungilnya menari-nari diatas kertas, Anggi kembali berceloteh.
“Om, Om Marshall pacaran ya sama Mommy?” Tanyanya dengan pandangan masih ditujukan ke atas kertas.
Gua langsung berhenti menggambar begitu mendengar pertanyaannya barusan. ‘Tau darimana anak sekecil ini tentang pacaran?’ batin gua dalam hati.
“Hahaha, coba nanti tanya Mommy aja” Jawab gua, menghindar, mencoba melempar jawaban ke Aldina.
Seakan nggak puas, ia lalu kembali bertanya; “Om, Om Marshall sayang sama Mommy?”.
Gua terdiam sebentar, kemudian mengangguk pelan sambil tersenyum.
“... Sama dong. Aku juga sayang sama Mommy” Tambahnya, lalu meletakkan pensilnya di atas lantai dan mengangkat tangan kanannya ke atas; mengajak tos.
Gua mengangkat tangan dan membalas ‘tos’-nya. Lalu kembali tenggelam dalam keasyikan menggambar.
“Anggi, mam dulu sini nak…” Ucap Aldina, begitu ia masuk ke dalam apartemen. Sambil membawa plastik berisi makanan, ia menuju ke meja dapur. Sementara, begitu mendengar panggilan Mommy-nya, Anggi langsung bangkit, berdiri dan menghampirinya.
“Sal.. Makan dulu” Teriaknya, gantian memanggil gua.
Gua berdiri, meninggalkan kertas gambar dan menuju ke arahnya. Di atas meja makan Aldina sudah menyiapkan sepiring sate ayam yang jumlahnya mungkin bisa buat makan orang satu tim sepakbola.
“Buset, mau hajatan?” Tanya gua begitu melihat porsi sate ayam di atas meja. Sementara, Aldina mengambil piring dan menyerahkannya ke gua.
“Udah makan jangan ngomong mulu” ucapnya.
Gua meraih piring darinya, mengambil beberapa tusuk sate dan lontong, duduk di sebelah Anggi dan mulai makan. Sementara, Aldina nggak ikut makan bersama. Ia malah menuju ke ruang depan dan berdiri sambil menatap ke arah lembaran kertas gambar yang tergeletak di atas lantai.
Aldina meraih lembaran kertas milik gua, dan mendekat ke arah kami. Ia lalu bertanya; “Kalian tadi lagi gambar apa?”.
“Gambar ayam mommy” Jawab Anggi dengan mulut masih penuh makanan.
Aldina berpaling ke gua, lantas mengangkat lembaran kertas yang memperlihatkan sketsa seekor ayam jantan berdiri di atas pagar bambu; tengah berkokok. Ia membungkuk dan berbisik di telinga gua; “Lo kompetitif ya. Masa gambar sama anak kecil seserius ini?”.
Gua mengernyitkan dahi. Dengan mulut masih penuh makanan, gua lantas menjawab; “Itu? Serius? nggak kali. Iseng dan asal-asalan itu mah”.
Aldina dengan cepat meletakkan tangannya di pinggang dan mulai mencubit gua.
Sementara Anggi yang duduk di sebelah gua langsung angkat bicara; “Bagus kan Mom, gambar Om Marshall?”
Masih dengan tangan yang berada di pinggang gua, Aldina tersenyum ke Anggi dan mengangguk.
Selesai makan, Anggi lantas kembali ke ruang keluarga; melanjutkan kegiatan menggambarnya. Aldina gantian duduk di kursi yang sebelumnya ditempati Anggi, mengambil beberapa tusuk sate dan lontong dengan menggunakan piring bekas Anggi makan.
“Abis ini gua balik ya” Ucap gua ke Aldina.
“Buru-buru” Jawabnya.
“Masih ada kerjaan…” Gua menyebutkan alasan.
“Kalau udah selesai?” Tanyanya.
“Ya pulang”
“Kalau rindu?” Tanyanya lagi, kali ini sambil menoleh dan menatap gua.
“Telpon”
“Kalau masih rindu?” Tanyanya lagi.
“Video call…”
“Kalau masih rindu juga?”
“Kesini…” Gua menjawab lirih.
“Boleh gua yang kesana?”
“Terus Anggi?” Gua balik bertanya.
“Ya gua ajak…” Ia menjawab santai, lalu melanjutkan makannya.
“Gila!” Seru gua. ‘Orang normal mana yang datang ke rumah pria sambil membawa anaknya yang masih kecil’.
“Iya, emang. Bisa gila kalau rindu” Ia kembali merespon dengan santai, sambil makan dengan satu kakinya ia naikkan ke kursi.
Gua berdiri, nggak menggubris ucapannya barusan. Lantas ke wastafel untuk mencuci piring. Begitu selesai, gua hanya lewat di belakangnya, menjitak kepalanya sambil berlalu. Menghampiri Anggi, membungkuk dan bicara; “Anggi, Om pulang dulu ya”.
Ia mendongak dan menatap gua. Tatapan yang sama dengan yang dimiliki mommy-nya. “Yah, Tapi besok Om kesini lagi kan?” Tanyanya.
Gua nggak memberi jawaban, hanya tersenyum dan mengusap kepalanya lalu pergi. Sementara, Aldina hanya duduk sambil terus makan saat gua membuka pintu dan keluar dari apartemennya.
—
Untuk itu, Anggi rencananya akan segera kembali ke Indonesia dan akan tinggal sementara bersama dengan Aldina.
Waktu gua tanya apa alasan kenapa akhirnya Jeje dan keluarga memutuskan untuk mengalihkan perawatan anak bungsunya ke Dokter Lian, Aldina hanya memberi jawaban dengan mengangkat bahunya.
Pun keputusan tetap berasal dari pihak mereka, tapi gua dan Aldina tetap merasa ‘was-was’. Takut terjadi hal yang nggak diinginkan saat proses perawatan dan pengobatan, apalagi kami berdualah yang sudah memberikan referensi Dokter Lian ke mereka.
“Gapapa, santai aja Sal…”
“...”
“... Buktinya dokternya Sere yang di Kanada aja nyaranin mereka buat berobat ke Lian. Ya kan?” Aldina menambahkan.
“Iya sih…” Gua menjawab sambil mengangguk.
Sementara, kami berdua masih duduk di salah satu resto cepat saji di terminal kedatangan internasional Bandara Soekarno Hatta; menunggu Anggi.
Setelah cukup lama menunggu, Ponsel milik Aldina berdering. Ia yang kebetulan tengah sibuk dengan ponselnya langsung menjawab. Dari obrolan yang gua dengar, yang menelpon adalah Jeje; mungkin memberi kabar kalau mereka sudah tiba. Gua lantas menghabiskan minum dan berdiri; bersiap-siap.
Aldina yang baru selesai dengan panggilan telepon ikut berdiri, lalu menyusul gua.
“Udah sampe…” Ucapnya, lalu berlari kecil ke arah gate kedatangan. Ia sudah nggak sabar bertemu dengan Anggi.
Dari kejauhan terlihat Jeje berdiri sambil menggenggam tangan seorang anak; Anggi. Melihat hal itu, Aldina langsung mempercepat langkahnya; berlari menghampiri mereka. Mengabaikan Jeje yang berdiri tepat di sebelahnya, Aldina langsung menerjang Anggi, memberikan pelukan.
Nggak lama, tangisnya pun pecah.
Belum hilang rindunya, Anggi menggeliat, mencoba melepaskan diri dari pelukan ibunya. Setelah berhasil, Anggi langsung berlari dan mendekat ke gua yang masih berjalan ke arah mereka.
“Om Marshall…” Teriak Anggi.
Gua tersenyum dan melambai ke arahnya.
Saat sudah dekat, ia langsung menyodorkan tangannya ke arah gua. Gua menyambut tangan mungil Anggi dan menggandengnya. Ia mendongak dan menatap gua; “Om, ajarin aku gambar lagi ya…”
“Oh, iya, nanti ya…” Jawab gua.
Sementara dari kejauhan terlihat Aldina yang masih dalam kondisi berlutut menatap ke arah gua sambil sesekali menyeka matanya yang basah. Di sebelahnya, Jeje berdiri sambil tertawa.
Dengan menggandeng tangan Anggi, gua mendekat ke arah mereka berdua. Aldina langsung ‘merebut’ Anggi dari genggaman tangan gua; kembali memeluknya. Jeje yang masih belum berhenti tertawa, menepuk pelan lengan gua sambil menanyakan kabar; “Sehat?”
“Sehat. Lo?” Gua menjawab lalu balik bertanya.
“Sehat..”
“Berdua aja?” Tanya gua lagi.
“Iya…”
“Bini Lo?”
“Udah si SG, gua nganter Anggi doang kok. Ini mau langsung balik” Jawabnya.
Mendengar hal tersebut, Aldina lalu menoleh dan menatap Jeje. Ia lalu bertanya; “Langsung balik? ke Halifax?”
“Nggak, ke SG” Jawabnya.
“Langsung banget?” Tanya Aldina lagi.
“Iya… 10 menit lagi” Jawabnya seraya melirik ke arah jam tangan.
“Oh…” Aldina lantas melepaskan pelukannya ke Anggi dan bicara; “... Pamit sama Papah dulu”, memberikan kesempatan untuk Anggi agar ia berpamitan ke Jeje yang sebentar lagi akan kembali terbang kembali ke Singapore.
Anggi lalu mendekat, Jeje membungkuk dan memberikan pelukan serta kecupan hangat kepada anaknya. Ia lalu berpesan singkat; “Jangan buat repot Mommy ya..”
“Iya pah…” Jawab Anggi, lalu kembali ke pelukan Aldina. Sementara, Jeje kembali berdiri dan bersiap pergi.
Tepat sebelum pergi, gua mengajaknya bicara sebentar; “By the way, gua sebenernya mau ngobrol banyak sama lo”.
“About what? Kerjaan apa personal?” Tanyanya.
“Personal” Gua menjawab singkat.
“Hahaha… Hmmm… Boleh” Jawabnya.
“Kapan lo ada waktu?” Tanya gua lagi.
“Kalo lo mau by phone, kapan aja gua bisa kok” Jawabnya.
“...”
“... Tapi, kalo lo mau ngobrol langsung kayak sekarang ini. Ya as you may know, kayaknya lo harus nunggu sih, Sal..”
“...”
“... but, i got your point. I know what you're going to talk about.” Tambahnya, seraya mengedipkan sebelah matanya, lalu tertawa, berbalik dan pergi.
Ia sempat kembali berbalik untuk memberikan lambaian tangan ke Anggi. Lalu melanjutkan langkahnya.
Begitu Jeje pergi dan sudah nggak terlihat, Aldina mendekat ke gua dan bertanya; “Mau ngobrol apa sama Jeje?”.
Gua menoleh, menatapnya dan menjawab; “Rahasia”. Lalu, berbalik, berpaling ke Anggi dan mengajaknya pergi; “... Let’s Go, Nggi..” Seraya menawarkan tangan.
Anggi tersenyum, meraih tangan gua dan menjawab riang; “Let’s Go!”.
Sementara, Aldina hanya mampu menghentakkan satu kakinya ke lantai sambil berdecak; “Ck!”.
Di dalam mobil, selama perjalanan pulang, Anggi nggak henti-hentinya berceloteh. Ia berkisah tentang pengalamannya selama di Halifax, Kanada ke gua. Ternyata, selama ini Anggi merasa kalau kepergiannya ke Kanada hanyalah liburan semata. Jadi, nggak ada rasa kehilangan yang ia rasakan, karena sepengetahuannya cepat atau lambat ia akan kembali bertemu dengan Mommy-nya.
Nggak hanya itu, ia juga terus memaksa gua untuk mengajarinya menggambar. Sambil, mendiskreditkan kemampuan menggambar Aldina yang menurutnya nggak layak.
“Yah, kan keahlian menggambar kan bakat. Nggak semua orang lihai, nggi..” Aldina bicara, mengutarakan pembelaan untuk dirinya sendiri.
“...”
“... Lagian, gambar mommy nggak jelek-jelek banget kok” Tambahnya.
Mendengar ucapan Aldina barusan, gua dan Anggi kompak tertawa bersama.
“Iya, emang nggak jelek. Bagus malah. Orang lo niat gambar ayam malah jadi Dino…” Gua bicara sambil terus menahan tawa.
Aldina langsung meraih kotak tisu yang berada di atas dashboard mobil. Namun, saat menyadari kehadiran Anggi, ia membatalkan niatnya melempar kotak tersebut. Dengan hati-hati, ia meletakkan kembali kotak tersebut ke tempatnya, lalu menggumam pelan; “Awas lo, ntar!”.
Setelah pembahasan perkara pengalaman Anggi di Halifax dan kemampuan menggambar Mommy-nya yang dangkal. Ia kembali berceloteh. Kali ini Anggi lebih banyak bertanya ke gua.
“Om.. Om Marshall rumahnya jauh nggak?” Tanyanya.
“Jauh…” Gua menjawab singkat.
“Dimana?” Tanyanya lagi.
Mendapat pertanyaan tersebut dari anak seumuran Anggi tentu gua kesulitan menjawab. Karena merasa ia bakal tahu nama tempat dimana gua tinggal dan yakin kalau ia nggak punya perkiraan jarak yang sama dengan kami, para orang dewasa.
“Itu lho Nggi, deket mall yang waktu itu kamu beli sepeda” Aldina bicara, membantu gua memberi jawaban.
“Oh.. yang dekat rumah ante Reny ya Mom?” Tanya Anggi ke Mommy-nya.
“Iya…” Jawab Aldina sambil tersenyum.
“...”
“... Kenapa Anggi nanya rumah Om Marshall?” Aldina gantian bertanya ke Anggi.
“Kalau dekat kan Om Marshall bisa sering main” Jawabnya dengan nada bicara yang polos dan ekspresi wajah lugu.
Mendengar perkataan Anggi barusan, Aldina lantas meresponnya. Namun, kali ini ia bicara sambil memberi tatapan tajam ke arah gua; “Tinggal telpon aja kok, Nggi. Biar jauh Om Marshall pasti langsung datang”
“...”
“... Iya kan, Sal?” Aldina menambahkan.
“...”
Merasa nggak mendapat jawaban dari gua, Aldina kembali bertanya. Kali ini sambil mencondongkan tubuhnya ke arah gua; “... Iya kan Om Marshall?”.
Setali tiga uang; Anggi mengikuti hal yang sama. Dari kursi penumpang bagian belakang, ia berdiri, mendekat ke arah gua dan mengajukan pertanyaan yang sama dengan yang diajukan Mommy-nya; “Iya Om?”.
Gua menghela nafas panjang, lalu berpaling sebentar dari kemudi, menoleh ke Anggi dan memberi jawaban; “Iya, Nggi”.
Begitu tiba di area parkir gedung apartemen-nya, Anggi langsung membuka pintu dan menghambur turun keluar dari mobil. Sementara, gua yang tengah melepas sabuk pengaman dan mematikan mesin mobil langsung merasakan sesuatu yang hangat menyentuh kulit lengan gua.
Baru sadar tangan Aldina sudah bersiap mencubit gua; “Kenapa lo cuma bilang ‘Iya’ ke Anggi?” Tanyanya sambil menggeram. Sementara, ia mulai mencubit perlahan.
“Apa sih?” Tanya gua, bingung.
“Tadi, lo cuma jawab; ‘Iya, Nggi’. Gitu…” Aldina menjawab, menirukan ucapan Anggi. Gua lantas teringat apa yang dimaksud olehnya.
“Ya ampun, Din.. Iya, iya, Iya Aldina…” Seru gua.
“Nah gitu dong…” Ucapnya, lantas melepas cubitannya dari lengan gua dan turun dari mobil.
“Aneh!!” Gua menggumam pelan.
Aldina yang kebetulan mendengar gumaman pelan barusan lantas mendekat ke gua yang baru saja turun dari mobil. “Apa!? Coba ko cakap sekali lagi!?”.
“Yee, emang lo aneh…”
“Elo yang aneh!” Balasnya.
“Ya elo lah..”
“Bapak ko kapur SD negeri”
“Bapak lo dinamo tamiya”
“Bapak ko…”. Aldina terlihat terdiam sebentar, seperti tengah mencari kata makian baru untuk gua. Matanya lalu berbinar dan kembali bersiap melanjutkan. Namun, kata-kata berikutnya ia ucapkan dengan lirih; “... dokter”.
Gua tersenyum, mendekat dan merangkulnya. Kami lalu berjalan menyusul Anggi yang sudah berada jauh di depan, dekat dengan pintu lobby lift. Ia lalu berbalik, menatap ke arah kami dan melambaikan tangannya sambil tersenyum.
“Hurry up Mom…” Serunya.
Kami lalu mempercepat langkah.
—
Sementara Aldina mengambil makanan di lobby yang dipesannya melalui ojek online, gua dan Anggi sibuk berbaring di lantai, menunduk, memegang pensil warna, seraya masing-masing menghadapi kertas gambar. Sambil tangan mungilnya menari-nari diatas kertas, Anggi kembali berceloteh.
“Om, Om Marshall pacaran ya sama Mommy?” Tanyanya dengan pandangan masih ditujukan ke atas kertas.
Gua langsung berhenti menggambar begitu mendengar pertanyaannya barusan. ‘Tau darimana anak sekecil ini tentang pacaran?’ batin gua dalam hati.
“Hahaha, coba nanti tanya Mommy aja” Jawab gua, menghindar, mencoba melempar jawaban ke Aldina.
Seakan nggak puas, ia lalu kembali bertanya; “Om, Om Marshall sayang sama Mommy?”.
Gua terdiam sebentar, kemudian mengangguk pelan sambil tersenyum.
“... Sama dong. Aku juga sayang sama Mommy” Tambahnya, lalu meletakkan pensilnya di atas lantai dan mengangkat tangan kanannya ke atas; mengajak tos.
Gua mengangkat tangan dan membalas ‘tos’-nya. Lalu kembali tenggelam dalam keasyikan menggambar.
“Anggi, mam dulu sini nak…” Ucap Aldina, begitu ia masuk ke dalam apartemen. Sambil membawa plastik berisi makanan, ia menuju ke meja dapur. Sementara, begitu mendengar panggilan Mommy-nya, Anggi langsung bangkit, berdiri dan menghampirinya.
“Sal.. Makan dulu” Teriaknya, gantian memanggil gua.
Gua berdiri, meninggalkan kertas gambar dan menuju ke arahnya. Di atas meja makan Aldina sudah menyiapkan sepiring sate ayam yang jumlahnya mungkin bisa buat makan orang satu tim sepakbola.
“Buset, mau hajatan?” Tanya gua begitu melihat porsi sate ayam di atas meja. Sementara, Aldina mengambil piring dan menyerahkannya ke gua.
“Udah makan jangan ngomong mulu” ucapnya.
Gua meraih piring darinya, mengambil beberapa tusuk sate dan lontong, duduk di sebelah Anggi dan mulai makan. Sementara, Aldina nggak ikut makan bersama. Ia malah menuju ke ruang depan dan berdiri sambil menatap ke arah lembaran kertas gambar yang tergeletak di atas lantai.
Aldina meraih lembaran kertas milik gua, dan mendekat ke arah kami. Ia lalu bertanya; “Kalian tadi lagi gambar apa?”.
“Gambar ayam mommy” Jawab Anggi dengan mulut masih penuh makanan.
Aldina berpaling ke gua, lantas mengangkat lembaran kertas yang memperlihatkan sketsa seekor ayam jantan berdiri di atas pagar bambu; tengah berkokok. Ia membungkuk dan berbisik di telinga gua; “Lo kompetitif ya. Masa gambar sama anak kecil seserius ini?”.
Gua mengernyitkan dahi. Dengan mulut masih penuh makanan, gua lantas menjawab; “Itu? Serius? nggak kali. Iseng dan asal-asalan itu mah”.
Aldina dengan cepat meletakkan tangannya di pinggang dan mulai mencubit gua.
Sementara Anggi yang duduk di sebelah gua langsung angkat bicara; “Bagus kan Mom, gambar Om Marshall?”
Masih dengan tangan yang berada di pinggang gua, Aldina tersenyum ke Anggi dan mengangguk.
Selesai makan, Anggi lantas kembali ke ruang keluarga; melanjutkan kegiatan menggambarnya. Aldina gantian duduk di kursi yang sebelumnya ditempati Anggi, mengambil beberapa tusuk sate dan lontong dengan menggunakan piring bekas Anggi makan.
“Abis ini gua balik ya” Ucap gua ke Aldina.
“Buru-buru” Jawabnya.
“Masih ada kerjaan…” Gua menyebutkan alasan.
“Kalau udah selesai?” Tanyanya.
“Ya pulang”
“Kalau rindu?” Tanyanya lagi, kali ini sambil menoleh dan menatap gua.
“Telpon”
“Kalau masih rindu?” Tanyanya lagi.
“Video call…”
“Kalau masih rindu juga?”
“Kesini…” Gua menjawab lirih.
“Boleh gua yang kesana?”
“Terus Anggi?” Gua balik bertanya.
“Ya gua ajak…” Ia menjawab santai, lalu melanjutkan makannya.
“Gila!” Seru gua. ‘Orang normal mana yang datang ke rumah pria sambil membawa anaknya yang masih kecil’.
“Iya, emang. Bisa gila kalau rindu” Ia kembali merespon dengan santai, sambil makan dengan satu kakinya ia naikkan ke kursi.
Gua berdiri, nggak menggubris ucapannya barusan. Lantas ke wastafel untuk mencuci piring. Begitu selesai, gua hanya lewat di belakangnya, menjitak kepalanya sambil berlalu. Menghampiri Anggi, membungkuk dan bicara; “Anggi, Om pulang dulu ya”.
Ia mendongak dan menatap gua. Tatapan yang sama dengan yang dimiliki mommy-nya. “Yah, Tapi besok Om kesini lagi kan?” Tanyanya.
Gua nggak memberi jawaban, hanya tersenyum dan mengusap kepalanya lalu pergi. Sementara, Aldina hanya duduk sambil terus makan saat gua membuka pintu dan keluar dari apartemennya.
—
Lanjut Ke Bawah
Diubah oleh robotpintar 19-06-2024 22:18
vizardan dan 39 lainnya memberi reputasi
40
Kutip
Balas
Tutup