- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa

Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 21:29
viper990 dan 214 lainnya memberi reputasi
215
399K
Kutip
4.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#2201
Part 84 - Permintaan
Spoiler for Part 84 - Permintaan:
Setelah Aldina masuk ke dalam kamar untuk tidur, gua yang masih duduk di sofa lantas berdiri, membuka jendela besar yang mengarah ke balkon dan duduk di bawah. Sambil merokok, gua meraih ponsel dan mulai menghubungi nyokap.
Nada sambung terdengar beberapa kali, lantas suara nyokap menyambut gua; “Halo…”
“Halo, udah sampe rumah Mah?” Tanya gua membuka obrolan.
“Udah dari tadi, sal.. ini udah mau tidur” Jawabnya.
“Oh, ganggu nggak?” Tanya gua lagi.
“Nggak, kenapa?” Ia balik bertanya.
“Mau ngobrol aja..”
“Tumben, Ngobrol tentang apa? Perempuan yang tadi? Aldina?”
“Iya…” Gua menjawab pelan.
“Oh, gimana, gimana…”
“Mmm… menurut mamah, Aldina gimana?” Tanya gua dengan suara pelan.
“Minta pendapat nih, ceritanya?” Ia balik bertanya sambil terkekeh.
“Iya…”
“Gimana ya, Baru ketemu sekali sih. Tapi at first glance, baik kok anaknya.
Dan, cantik banget lho, sal… Kamu bisa ketemu dimana sama perempuan secantik dia?” Tanyanya.
“Nggak tau deh, lupa” Gua menjawab asal, malas mengingat.
“...”
“... Terus apa lagi?” Tanya gua.
“Mmm apa lagi ya, kayaknya pemalu ya orangnya” Nyokap memberi tebakan.
Kini giliran gua yang gantian terkekeh, karena tebakannya meleset jauh; sangat jauh.
“Lah, kok malah ketawa? salah ya?” Tanyanya, begitu mendengar gua tertawa.
“Iya, dia aslinya tuh nggak kayak gitu. Aldina aslinya punya sifat yang dominan…” Gua memberi penjelasan.
“Lah, terus tadi kenapa dia?” Tanya nyokap.
“Nggak tau deh, mungkin beneran malu” Gua memberi jawaban.
“Oh, malu kenapa ya kira-kira?” Tanyanya lagi.
“Nggak tau deh..”
“...”
“... Mah?”
“Ya?”
“Kalau seandainya, seandainya nih. Aldina sudah pernah menikah, kira-kira mamah gimana?” Tanya gua dengan perlahan dan hati-hati. Takut salah bicara.
Gua pikir, setelah mendengar pertanyaan barusan nyokap bakal marah dan menolak Aldina mentah-mentah. Atau setidaknya terkejut. Tapi, keduanya sama sekali nggak terjadi. Ia malah terkekeh sebentar sambil menyebut nama gua; “Sal, sal… kamu ini kayak orang dulu aja. Mamah yang orang dulu aja nggak ada concern kayak gitu” Ucapnya.
“Bener?” Gua bertanya mencoba meyakinkan.
“Ini serius kan? bukan hanya ‘seandainya’?” Ia balik bertanya.
“Iya” Gua menjawab pelan.
“Kalau Mamah sih nggak ada masalah sama sekali, Sal. Sama hal-hal kayak gitu” Ia bicara.
“...”
“... Tapi, nggak tau deh kalau papah” Tambahnya.
“...”
“... Kamu berencana serius sama dia?” Tanyanya lagi.
“Iya” Jawab gua singkat.
“Masih perlu restu dari kami?”
Gua nggak langsung menjawab, hanya terdiam sebentar. Merasa menjadi orang tua hanyalah status yang diberikan Tuhan. Bagaimana mereka diperlakukan ya seharusnya didapat dari apa yang mereka perbuat; bukan hanya status pemberian Tuhan. Tapi, gua buru-buru membuang jauh-jauh pikiran itu.
Lalu memberi jawaban; “Masih..”
“...”
“... Tapi, seandainya kalian berdua nggak memberi restu, aku juga nggak bakal peduli sih” Gua menambahkan.
“I See…”
“Tapi, aku tetap consider pendapat kalian kok” Ucap gua pelan.
“Ok, sekarang Mamah yang tanya dulu. Kamu beneran udah serius sama dia?” Tanyanya lagi, seakan nggak yakin dengan jawaban gua sebelumnya.
“Bener, Mah” Jawab gua.
“Ok, kalau begitu, Mamah kasih restu. Asalkan kamu bahagia” Jawabnya.
“Terus ada satu lagi, Mah”
“Apa?”
“Mmm… Aldina hanya punya satu ginjal. Dan itupun donor dari mantan suaminya dulu” Gua bicara.
“Oh ya? sampe sekarang nggak ada masalah?” Tanyanya.
“Nggak tau deh, kayaknya dia juga nggak pernah check-up”
“Wah harus sering-sering periksa tuh, Sal”
“Iya nanti aku bilangin.. Tapi, gimana menurut Mamah?”
“Apanya? ya biasa aja. Banyak kok orang yang hidup normal setelah transplantasi ginjal. Dunia medis kan udah semakin maju, Sal” Nyokap memberikan penjelasan.
Gua meminta pendapatnya tentang kondisi Aldina ke nyokap bukan tanpa alasan. Gua hanya ingin nyokap dan bokap tahu lebih dulu tentang kondisi Aldina dari gua ketimbang dari orang lain. Ya syukur-syukur, mereka bisa memberikan saran untuk menjaga kondisinya agar selalu sehat.
“Tapi, Sal…”
“Ya..”
“Kenapa dia bisa ada di tempat kamu, padahal kamu nya kerja? Nginep dia?” Tanya Nyokap.
“Iya…”
“Nggak tidur bareng kan?” Tanyanya lagi.
“Nggak, Mah”
“Oh, yaudah, jangan ya” Ucapnya.
“Iya…”
Setelahnya, nyokap hanya membahas perihal makanan-makanan yang sempat ia bawakan tadi. Kemudian kami mengakhiri panggilan. Dan gua kembali masuk ke dalam, menutup jendela dan bersiap untuk tidur di atas sofa.
Sebelum tidur, gua menyempatkan diri melihat Aldina. Dengan hati-hati, gua membuka pintu kamar, mengintip melalui celah pintu yang sedikit terbuka. Terlihat kamar yang gelap, dengan Aldina tengah berbaring di atas ranjang; terlelap.
Gua masuk sambil berjingkat, mendekat ke ranjang dan membetulkan posisi selimutnya yang tersibak. Lalu kembali keluar dan menuju ke sofa.
Besoknya, pagi-pagi sekali gua terbangun oleh suara alarm dari ponsel. Sengaja, pasang alarm jam segini untuk menyiapkan palu dan paku untuk dibawa ke apartemen Aldina. Iya, gua sudah berencana untuk memasang set sketsa bangunan di tempatnya. Karena merasa, ia nggak punya alat pertukangan, jadi gua sengaja membawanya dari sini.
Untuk menghindari kecurigaannya, gua sengaja menyiapkan palu dan paku, menyimpannya di dalam mobil sebelum kami berangkat. Namun, saat kembali dari parkiran, Aldina sudah bangun. Ia berdiri di dekat sofa saat gua masuk dan langsung bertanya; “Darimana?”.
Bingung harus menjawab apa, gua lantas bicara asal; “Manasin mobil”.
“Buat apa?” Aldina kembali bertanya, ekspresinya terlihat penuh kecurigaan.
“Ya nggak tau. Orang-orang kan pada manasin mobil” Gua kembali menjawab; asal. Kemudian duduk di atas sofa dan menyalakan sebatang rokok. Ia lalu berbalik, masuk ke dalam kamar untuk bersiap-siap.
Setengah jam berikutnya, kami sudah berada di jalan bebas hambatan menuju ke apartemen-nya. Aldina sengaja memaksa untuk pulang dengan alasan ingin berganti pakaian yang cocok untuk digunakan berkunjung ke rumah nyokap. Padahal, baru kemarin ia pergi berbelanja pakaian di Mall, dan nggak ada satupun yang menurutnya cocok.
“Lah, kemarin kan abis beli baju?” Tanya gua semalam sebelum ia tidur.
“Bajunya kasual semua” Jawabnya.
“Emang kenapa?” Tanya gua lagi.
“Nggak enak lah, nggak sopan”
Begitu tiba di area parkir, Aldina langsung turun dari kursi depan sisi penumpang. Sementara, gua berbalik, meraih palu dan paku yang tadi gua sembunyikan di bawah kursi belakang bagian penumpang. Menyadari kalau gua nggak langsung turun dari mobil, Aldina menghentikan langkahnya dan berpaling menatap ke arah gua.
“Buruan…” Ucapnya, yang gua ‘tangkap’ dari gerakan bibirnya.
Gua turun dari mobil, mengambil bungkusan plastik berisi set sketsa dan menyusulnya.
“Ngapain di bawa?” Tanyanya begitu melihat gua membopong plastik hitam besar.
“Nitip sebentar” Gua menjawab, asal.
Aldina langsung mengernyitkan dahi begitu mendengar jawaban gua barusan. Gua merasakan ada kecurigaan dalam tatapannya. Walaupun ini bukan sebuah kejutan yang penting, tapi gua nggak mau ketahuan memberinya set sketsa di tengah-tengah rencana. Buat gua lebih baik ketahuan di awal sekalian.
Nggak hanya itu, ia juga terlihat semakin curiga saat melihat tonjolan di bagian belakang saku celana gua. Tempat dimana gua menyimpan palu dan beberapa butir paku.
“Ini apa?” Aldina bertanya seraya menunjuk ke bagian belakang saku celana gua, saat kami berada di dalam lift.
Gua nggak menjawab, hanya terdiam. Lalu dengan cepat, ia menyibak menyibak ujung kaos gua. Karena sibuk membawa plastik besar, gua jadi nggak punya kesempatan untuk mencegahnya, jadi terlihatlah palu yang menyembul di saku belakang celana gua.
“Buat apaan, bawa-bawa palu?” Tanyanya lagi, sementara wajahnya terlihat semakin curiga.
Karena nggak punya jawaban lagi, gua hanya terkekeh; “Hehehe…”.
Beruntung, pikiran Aldina sepertinya tengah fokus pada pertemuan dengan bokap dan nyokap nanti. Jadi, ia seakan nggak begitu peduli dengan plastik hitam serta palu yang gua bawa.
Tebakan gua sepertinya benar, begitu masuk ke dalam apartemen ia langsung menuju ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian. Momen ini gua manfaatkan untuk memasang set sketsa di dinding. Tempatnya tentu sudah gua pikirkan sebelumnya, pada dinding di belakang televisi, dimana belum ada ornamen atau perabot lain yang menempel di sana.
Dengan cepat, tanpa mengukur, gua mulai memasang palu dan menempelkan satu persatu sketsa buatan gua.
Dan tepat saat ia keluar dari kamar, gua pun selesai memasang set sketsa di dinding. Aldina mendekat perlahan, sementara matanya nggak ia palingkan dari sketsa-sketsa buatan gua.
Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ia hanya terdiam, seperti tertegun sambil terus menatap sketsa-sketsa bangunan di dinding.
Sementara, ekspresi wajahnya terlihat penasaran, mungkin penasaran akan darimana gua bisa tau akan semua bangunan-bangunan yang ‘dekat’ dengan dirinya.
“Perjalanan hidup lo. Ya kira-kira, begini yang gua tau…” Bisik gua tepat di telinganya.
Ia lantas semakin mendekat dan kemudian bertanya; “Tapi, kenapa nggak ada gambar rumah gua?” Tanyanya.
Gua tersenyum sebentar kemudian menjawab; “Gambarnya kan udah sama lo” Merujuk ke sketsa rumah dengan ayunan yang dulu pernah gua buat untuknya.
Aldina lantas berbalik, kembali masuk ke kamar, kemudian keluar, mungkin nggak menemukan sesuatu yang ia cari, lalu beralih ke dapur. Nggak seberapa lama, ia kembali ke ruang keluarga dengan lembaran kertas yang berisi sketsa rumahnya buatan gua.
Dengan lembaran di tangannya, ia kembali menatap sketsa-sketsa tersebut, kini secara berurutan; dari lembaran di tangannya, lalu beralih ke gambar selanjutnya dan seterusnya. Gua lantas meraih lembaran kertas di tangannya dan bicara; “Sini nanti gua benerin, abis itu baru dipasang” Ucap gua.
Aldina mengangguk pelan. Ia lalu menerjang gua, memberikan pelukan. “Terima kasih ya, Sal” Bisiknya, tepat di telinga gua.
“Terima kasih untuk apa?” Tanya gua.
“Karena telah mengingatkan gua akan perjalanan hidup yang sudah gua jalani hingga sekarang” Jawabnya.
“Iya..”
“Pas bikin ini, apa lo nggak merasa cemburu?” Aldina bertanya seraya menunjuk ke arah sketsa di dinding.
“Cemburu? nggak lah…” Gua menjawab santai.
Ia lalu tersenyum dan mulai menenggelamkan diri dalam pelukan.
“Jadi ini alasan lo bawa-bawa palu?” Tanyanya seraya mendongak, menatap gua.
“Iya…”
“Seandainya lo bilang dari tadi. Gua juga punya palu kok” Ucapnya.
“Yaudah, udah terlanjur juga…”.
Kami lalu menunda pergi ke rumah nyokap sebentar. Duduk berdua di sofa seraya memandangi set gambar sketsa buatannya. Hanya duduk, diam dan menatap.
—
Sepanjang perjalanan menuju ke rumah nyokap, Aldina hanya berdiam diri, duduk sambil menatap keluar melalui kaca jendela mobil. Gua menoleh sekilas ke arahnya dan bertanya; “Kenapa?”.
“Gapapa” Ia menjawab singkat, berbohong. Gua yakin, saat ini ia pasti gugup luar biasa.
Sebenarnya gua merasa lucu melihat tingkahnya saat ini, karena sikapnya yang berubah 180 derajat. Dari yang sebelumnya selalu mendominasi, kini terlihat kayak ayam sayur.
Lalu, tiba-tiba ia bertanya; “Bokap lo galak nggak?”
“Mmm… Dulu sih lumayan galak” Gua menjawab, sedikit menebak. Karena sejujurnya, gua nggak terlalu mengenal bokap, nggak terlalu dalam mengenal pribadinya.
“Dulu? kalo sekarang?” Tanyanya lagi, seakan nggak puas dengan jawaban gua sebelumnya.
“Mmm.. Kayaknya udah nggak sih” Gua kembali menjawab.
“Lah, gimana sih? kok kayak nggak yakin gitu?” Tanyanya lagi.
Gua terdiam sebentar, kemudian setelah beberapa saat barulah memberi pengakuan; “Gua nggak terlalu dekat juga sih sama mereka”
“Kok bisa?”
“Nanti juga lo tau” Jawab gua.
Tingkahnya semakin aneh saat kami sudah dekat dengan lokasi. Ia melirik ke arah layar dashboard yang menampilkan GPS. Dimana, ia sendiri yang memasukkan koordinat berdasarkan alamat yang gua sebutkan, sepertinya ingin tahu jika sudah dekat dengan tujuan.
Aldina terlihat menggosok-gosok telapak tangannya, sementara pandangannya nggak menentu. Menatap gua, lalu ia palingkan ke belakang, ke samping, kemudian menunduk.
“Sal…”
“Hmm…”
“Udah deket?” Tanyanya.
“Lah itu kan keliatan di Maps” Jawab gua seraya menunjuk ke arah layar dashboard.
“Bener ini GPS nya?”
“Bener, tuh, klinik nyokap” Ucap gua sambil menunjuk ke arah sebuah klinik kecil yang berada tepat di sisi terluar komplek perumahan. Klinik yang dikelola nyokap disela-sela kesibukannya bekerja di rumah sakit.
“Duh…” Gumamnya pelan.
“...”
“Apa balik aja ya?” Aldina bicara.
“Hah.. gimana, gimana?”
“Gua takut deh…”
“Takut kenapa sih?” Tanya gua.
“Seandainya bokap lo nggak nerima gua gimana?” Ia balik bertanya.
Gua nggak menjawab, hanya tersenyum, meraih dan mulai membelai kepalanya.
Nggak seberapa lama, kami akhirnya tiba di rumah nyokap.
“Sal..”
“Apa?” Jawab gua seraya mematikan mesin mobil, melepas sabuk pengaman dan bersiap untuk turun. Lalu memutar, membuka pintu sisi penumpang dan membantunya turun. Gua tahu saat ini kecemasan pasti bergelayut di dirinya.
Dan, hanya ini yang gua bisa untuk membantu meringankan kecemasannya.
Gua menyodorkan tangan, dan mulai menggenggamnya. Kemudian mengajaknya masuk ke dalam rumah.
Saat tiba di dalam, nyokap langsung menyambut kami berdua; “Ya ampun, akhirnya datang juga… Kirain bakal dari pagi” Ucapnya.
“Iya ada urusan sebentar” Gua menjawab. Sementara, Aldina terlihat hanya tersenyum sambil ‘bersembunyi’ di belakang gua.
Nyokap lantas menanyakan kabar gua, lantas berpaling ke Aldina dan lantas menunduk menatap ke arah ujung jari kelingkingnya yang masih terbalut perban. “Masih sakit?” Tanya nyokap ke Aldina.
Aldina lantas memberi respon dengan gelengan kepala.
“Tante lagi masak nih, biar Papahnya Marshall aja ya…” Nyokap menambahkan, merujuk lke treatment yang akan ia berikan ke luka di kaki Aldina, sesuatu yang sempat ia janjikan kemarin. Nyokap lalu berbalik dan berteriak memanggil bokap.
Nggak seberapa lama, terdengar langkah kaki menuruni anak tangga; Bokap. Dengan gayanya yang kebapakan, ia melangkah pelan menuruni satu persatu anak tangga menuju ke bawah.
“Pah, ini lho yang Mamah ceritain semalam; Aldina…” Nyokap mencoba memperkenalkan Aldina, yang ia lakukan sambil berteriak dari arah dapur. Sementara, bokap hanya merespon dengan ‘Oh’ singkat.
Bokap lalu menyodorkan tangan ke arah Aldina. Yang lalu dengan cepat direspon oleh Aldina dengan menjabat tangannya sembari menyebutkan nama. Bokap lantas berpaling ke gua, memberikan tepukan di bahu dan bertanya kabar; “Sehat?”
Gua mengangguk pelan.
Ditengah kesibukannya memasak, nyokap menghampiri bokap dan mulai memintanya untuk mengecek kondisi luka Aldina yang ia lakukan sambil berbisik.
Sementara, Aldina menarik ujung kaos yang gua kenakan. Membuat gua sedikit menunduk, kemudian berbisik; “Sal…”
“Ya…”
“Apapun yang terjadi, pokoknya temenin ya” Ucapnya, masih sambil berbisik.
Selesai nyokap memberi penjelasan singkat tentang luka Aldina. Bokap lalu menjauh menuju ke arah ruang kerjanya. Sebuah bangunan yang berdiri sendiri, yang terpisah dari bangunan utama.
Untuk menenangkan dirinya, gua lalu mengajak Aldina ke teras halaman belakang. Kami duduk di kursi santai yang menghadap ke kolam ikan.
“Sal, perasaan luka gua cuma kuku mau lepas. Tapi, kok jadi kayak ngerepotin deh..” Bisiknya ke gua.
“Ya nggak tau, dokternya kan mereka bukan gua…” Gua menjawab santai.
Bermaksud agar ia juga bisa ikut santai dan nggak merasa terlalu tertekan.
Setelah beberapa lama, terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah kami berdua. Bokap muncul dari dalam dan bicara pelan; “Yuk…”
Aldina menatap gua, seakan enggan berpisah. Tetapi, ia tetap beranjak dan mengikuti bokap menuju ke ruang kerjanya. Sesekali, ia menoleh ke arah gua, seakan meminta bantuan, seakan meminta gua menemaninya.
Sementara gua hanya tersenyum lalu menuju ke dapur, ke tempat nyokap yang sejak tadi memberi kode agar gua menghampirinya.
“Kenapa?” Tanya gua ke nyokap.
“Mamah udah cerita semua ke Papah…”
“Tentang apa? tentang kondisi Aldina atau tentang statusnya?” Tanya gua lagi.
“Keduanya” Nyokap menjawab.
“Terus..”
“Ya, dia sih nggak komen apa-apa” Jawab Nyokap.
“...”
‘... Tapi, menurut Mamah. Menurut Mamah lho ya, kayaknya Papah juga nggak masalah deh..” Tambahnya.
“Bagus deh” Gua merespon sambil tersenyum. Kemudian mengambil sepotong tempe goreng yang baru saja matang dan memakannya.
Nyokap lantas memukul bahu gua pelan; “Udah sana temenin Aldina-nya”.
“Iya..” Jawab gua, lalu meraih satu lagi potongan tempe goreng dan segera menyusul Aldina ke ruang kerja bokap.
Gua berdiri tepat di depan ruang kerja bokap. Nggak langsung masuk, hanya berdiri di depan jendela sambil menyaksikan Bokap tengah melakukan operasi kecil pada ujung jari kaki Aldina. Sementara, Aldina terlihat menutupi matanya dengan telapak tangan, mungkin takut melihat jarum.
Saat perawatan sudah selesai, barulah gua masuk ke dalam. Terlihat, bokap tengah menyelesaikan ‘operasinya’ dengan mengoles salep antiseptic dan memasang perban.
Begitu melihat gua, Aldina langsung pasang wajah cemberut. Dan langsung melayangkan pukulan di dada begitu posisi gua sudah di dekatnya.
“Lo mah, nggak nemenin” Gerutunya.
“Lah ini nemenin” Jawab gua.
“Udah selesai”
“Sakit?” Tanya gua.
“Nggak kok”
Saat ia bersiap untuk turun dari ranjang pasien. Bokap langsung mencegahnya. Ia mendekat, kini sambil membawa alat tensi dan stetoskop.
“Sini, tensi dulu” Ucapnya.
Bokap lalu mulai mengukur tekanan darah Aldina.
“Agak tinggi nih..” Ucap bokap, Sementara, gua yang sudah bersiap untuk diukur tensinya dengan menggulung lengan kaos nggak digubris. Ia malah membereskan alat pengukur tekanan darah dan menyimpannya.
“Marshall…” Panggil bokap.
“Ya…”
“Besok ajak Aldina ke rumah sakit. Kalau bisa dari pagi, Nanti ketemu Papah aja…” Ucapnya pelan.
Seakan nggak menunggu jawaban dari gua, bokap lantas mendekat ke arah Aldina. Lalu dengan hati-hati ia mulai menekan-nekan bagian pinggul belakang sebelah kirinya. Kemudian bicara pelan; “Ginjal kamu satu kan?”
“Iya…” Aldina menjawab singkat.
Bokap melanjutkan bicaranya ke Aldina, namun pandangannya saat ini ia arahkan ke gua; “Orang yang hidup dengan satu ginjal. Berarti ginjalnya harus kerja ekstra keras, dalam hal ini, kayaknya ginjal kamu udah terlalu berat bekerja…”
“Hah!?”
“Sering begadang?” Tanyanya lagi.
Kami sama-sama nggak menjawab. Hanya terdiam.
“Yaudah, besok pokoknya datang ke rumah sakit. Kita periksa sama-sama ya..” Tambahnya.
“Iya, Pah” Marshall menjawab cepat, ekspresi wajahnya terlihat serius.
—
Nada sambung terdengar beberapa kali, lantas suara nyokap menyambut gua; “Halo…”
“Halo, udah sampe rumah Mah?” Tanya gua membuka obrolan.
“Udah dari tadi, sal.. ini udah mau tidur” Jawabnya.
“Oh, ganggu nggak?” Tanya gua lagi.
“Nggak, kenapa?” Ia balik bertanya.
“Mau ngobrol aja..”
“Tumben, Ngobrol tentang apa? Perempuan yang tadi? Aldina?”
“Iya…” Gua menjawab pelan.
“Oh, gimana, gimana…”
“Mmm… menurut mamah, Aldina gimana?” Tanya gua dengan suara pelan.
“Minta pendapat nih, ceritanya?” Ia balik bertanya sambil terkekeh.
“Iya…”
“Gimana ya, Baru ketemu sekali sih. Tapi at first glance, baik kok anaknya.
Dan, cantik banget lho, sal… Kamu bisa ketemu dimana sama perempuan secantik dia?” Tanyanya.
“Nggak tau deh, lupa” Gua menjawab asal, malas mengingat.
“...”
“... Terus apa lagi?” Tanya gua.
“Mmm apa lagi ya, kayaknya pemalu ya orangnya” Nyokap memberi tebakan.
Kini giliran gua yang gantian terkekeh, karena tebakannya meleset jauh; sangat jauh.
“Lah, kok malah ketawa? salah ya?” Tanyanya, begitu mendengar gua tertawa.
“Iya, dia aslinya tuh nggak kayak gitu. Aldina aslinya punya sifat yang dominan…” Gua memberi penjelasan.
“Lah, terus tadi kenapa dia?” Tanya nyokap.
“Nggak tau deh, mungkin beneran malu” Gua memberi jawaban.
“Oh, malu kenapa ya kira-kira?” Tanyanya lagi.
“Nggak tau deh..”
“...”
“... Mah?”
“Ya?”
“Kalau seandainya, seandainya nih. Aldina sudah pernah menikah, kira-kira mamah gimana?” Tanya gua dengan perlahan dan hati-hati. Takut salah bicara.
Gua pikir, setelah mendengar pertanyaan barusan nyokap bakal marah dan menolak Aldina mentah-mentah. Atau setidaknya terkejut. Tapi, keduanya sama sekali nggak terjadi. Ia malah terkekeh sebentar sambil menyebut nama gua; “Sal, sal… kamu ini kayak orang dulu aja. Mamah yang orang dulu aja nggak ada concern kayak gitu” Ucapnya.
“Bener?” Gua bertanya mencoba meyakinkan.
“Ini serius kan? bukan hanya ‘seandainya’?” Ia balik bertanya.
“Iya” Gua menjawab pelan.
“Kalau Mamah sih nggak ada masalah sama sekali, Sal. Sama hal-hal kayak gitu” Ia bicara.
“...”
“... Tapi, nggak tau deh kalau papah” Tambahnya.
“...”
“... Kamu berencana serius sama dia?” Tanyanya lagi.
“Iya” Jawab gua singkat.
“Masih perlu restu dari kami?”
Gua nggak langsung menjawab, hanya terdiam sebentar. Merasa menjadi orang tua hanyalah status yang diberikan Tuhan. Bagaimana mereka diperlakukan ya seharusnya didapat dari apa yang mereka perbuat; bukan hanya status pemberian Tuhan. Tapi, gua buru-buru membuang jauh-jauh pikiran itu.
Lalu memberi jawaban; “Masih..”
“...”
“... Tapi, seandainya kalian berdua nggak memberi restu, aku juga nggak bakal peduli sih” Gua menambahkan.
“I See…”
“Tapi, aku tetap consider pendapat kalian kok” Ucap gua pelan.
“Ok, sekarang Mamah yang tanya dulu. Kamu beneran udah serius sama dia?” Tanyanya lagi, seakan nggak yakin dengan jawaban gua sebelumnya.
“Bener, Mah” Jawab gua.
“Ok, kalau begitu, Mamah kasih restu. Asalkan kamu bahagia” Jawabnya.
“Terus ada satu lagi, Mah”
“Apa?”
“Mmm… Aldina hanya punya satu ginjal. Dan itupun donor dari mantan suaminya dulu” Gua bicara.
“Oh ya? sampe sekarang nggak ada masalah?” Tanyanya.
“Nggak tau deh, kayaknya dia juga nggak pernah check-up”
“Wah harus sering-sering periksa tuh, Sal”
“Iya nanti aku bilangin.. Tapi, gimana menurut Mamah?”
“Apanya? ya biasa aja. Banyak kok orang yang hidup normal setelah transplantasi ginjal. Dunia medis kan udah semakin maju, Sal” Nyokap memberikan penjelasan.
Gua meminta pendapatnya tentang kondisi Aldina ke nyokap bukan tanpa alasan. Gua hanya ingin nyokap dan bokap tahu lebih dulu tentang kondisi Aldina dari gua ketimbang dari orang lain. Ya syukur-syukur, mereka bisa memberikan saran untuk menjaga kondisinya agar selalu sehat.
“Tapi, Sal…”
“Ya..”
“Kenapa dia bisa ada di tempat kamu, padahal kamu nya kerja? Nginep dia?” Tanya Nyokap.
“Iya…”
“Nggak tidur bareng kan?” Tanyanya lagi.
“Nggak, Mah”
“Oh, yaudah, jangan ya” Ucapnya.
“Iya…”
Setelahnya, nyokap hanya membahas perihal makanan-makanan yang sempat ia bawakan tadi. Kemudian kami mengakhiri panggilan. Dan gua kembali masuk ke dalam, menutup jendela dan bersiap untuk tidur di atas sofa.
Sebelum tidur, gua menyempatkan diri melihat Aldina. Dengan hati-hati, gua membuka pintu kamar, mengintip melalui celah pintu yang sedikit terbuka. Terlihat kamar yang gelap, dengan Aldina tengah berbaring di atas ranjang; terlelap.
Gua masuk sambil berjingkat, mendekat ke ranjang dan membetulkan posisi selimutnya yang tersibak. Lalu kembali keluar dan menuju ke sofa.
Besoknya, pagi-pagi sekali gua terbangun oleh suara alarm dari ponsel. Sengaja, pasang alarm jam segini untuk menyiapkan palu dan paku untuk dibawa ke apartemen Aldina. Iya, gua sudah berencana untuk memasang set sketsa bangunan di tempatnya. Karena merasa, ia nggak punya alat pertukangan, jadi gua sengaja membawanya dari sini.
Untuk menghindari kecurigaannya, gua sengaja menyiapkan palu dan paku, menyimpannya di dalam mobil sebelum kami berangkat. Namun, saat kembali dari parkiran, Aldina sudah bangun. Ia berdiri di dekat sofa saat gua masuk dan langsung bertanya; “Darimana?”.
Bingung harus menjawab apa, gua lantas bicara asal; “Manasin mobil”.
“Buat apa?” Aldina kembali bertanya, ekspresinya terlihat penuh kecurigaan.
“Ya nggak tau. Orang-orang kan pada manasin mobil” Gua kembali menjawab; asal. Kemudian duduk di atas sofa dan menyalakan sebatang rokok. Ia lalu berbalik, masuk ke dalam kamar untuk bersiap-siap.
Setengah jam berikutnya, kami sudah berada di jalan bebas hambatan menuju ke apartemen-nya. Aldina sengaja memaksa untuk pulang dengan alasan ingin berganti pakaian yang cocok untuk digunakan berkunjung ke rumah nyokap. Padahal, baru kemarin ia pergi berbelanja pakaian di Mall, dan nggak ada satupun yang menurutnya cocok.
“Lah, kemarin kan abis beli baju?” Tanya gua semalam sebelum ia tidur.
“Bajunya kasual semua” Jawabnya.
“Emang kenapa?” Tanya gua lagi.
“Nggak enak lah, nggak sopan”
Begitu tiba di area parkir, Aldina langsung turun dari kursi depan sisi penumpang. Sementara, gua berbalik, meraih palu dan paku yang tadi gua sembunyikan di bawah kursi belakang bagian penumpang. Menyadari kalau gua nggak langsung turun dari mobil, Aldina menghentikan langkahnya dan berpaling menatap ke arah gua.
“Buruan…” Ucapnya, yang gua ‘tangkap’ dari gerakan bibirnya.
Gua turun dari mobil, mengambil bungkusan plastik berisi set sketsa dan menyusulnya.
“Ngapain di bawa?” Tanyanya begitu melihat gua membopong plastik hitam besar.
“Nitip sebentar” Gua menjawab, asal.
Aldina langsung mengernyitkan dahi begitu mendengar jawaban gua barusan. Gua merasakan ada kecurigaan dalam tatapannya. Walaupun ini bukan sebuah kejutan yang penting, tapi gua nggak mau ketahuan memberinya set sketsa di tengah-tengah rencana. Buat gua lebih baik ketahuan di awal sekalian.
Nggak hanya itu, ia juga terlihat semakin curiga saat melihat tonjolan di bagian belakang saku celana gua. Tempat dimana gua menyimpan palu dan beberapa butir paku.
“Ini apa?” Aldina bertanya seraya menunjuk ke bagian belakang saku celana gua, saat kami berada di dalam lift.
Gua nggak menjawab, hanya terdiam. Lalu dengan cepat, ia menyibak menyibak ujung kaos gua. Karena sibuk membawa plastik besar, gua jadi nggak punya kesempatan untuk mencegahnya, jadi terlihatlah palu yang menyembul di saku belakang celana gua.
“Buat apaan, bawa-bawa palu?” Tanyanya lagi, sementara wajahnya terlihat semakin curiga.
Karena nggak punya jawaban lagi, gua hanya terkekeh; “Hehehe…”.
Beruntung, pikiran Aldina sepertinya tengah fokus pada pertemuan dengan bokap dan nyokap nanti. Jadi, ia seakan nggak begitu peduli dengan plastik hitam serta palu yang gua bawa.
Tebakan gua sepertinya benar, begitu masuk ke dalam apartemen ia langsung menuju ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian. Momen ini gua manfaatkan untuk memasang set sketsa di dinding. Tempatnya tentu sudah gua pikirkan sebelumnya, pada dinding di belakang televisi, dimana belum ada ornamen atau perabot lain yang menempel di sana.
Dengan cepat, tanpa mengukur, gua mulai memasang palu dan menempelkan satu persatu sketsa buatan gua.
Dan tepat saat ia keluar dari kamar, gua pun selesai memasang set sketsa di dinding. Aldina mendekat perlahan, sementara matanya nggak ia palingkan dari sketsa-sketsa buatan gua.
Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ia hanya terdiam, seperti tertegun sambil terus menatap sketsa-sketsa bangunan di dinding.
Sementara, ekspresi wajahnya terlihat penasaran, mungkin penasaran akan darimana gua bisa tau akan semua bangunan-bangunan yang ‘dekat’ dengan dirinya.
“Perjalanan hidup lo. Ya kira-kira, begini yang gua tau…” Bisik gua tepat di telinganya.
Ia lantas semakin mendekat dan kemudian bertanya; “Tapi, kenapa nggak ada gambar rumah gua?” Tanyanya.
Gua tersenyum sebentar kemudian menjawab; “Gambarnya kan udah sama lo” Merujuk ke sketsa rumah dengan ayunan yang dulu pernah gua buat untuknya.
Aldina lantas berbalik, kembali masuk ke kamar, kemudian keluar, mungkin nggak menemukan sesuatu yang ia cari, lalu beralih ke dapur. Nggak seberapa lama, ia kembali ke ruang keluarga dengan lembaran kertas yang berisi sketsa rumahnya buatan gua.
Dengan lembaran di tangannya, ia kembali menatap sketsa-sketsa tersebut, kini secara berurutan; dari lembaran di tangannya, lalu beralih ke gambar selanjutnya dan seterusnya. Gua lantas meraih lembaran kertas di tangannya dan bicara; “Sini nanti gua benerin, abis itu baru dipasang” Ucap gua.
Aldina mengangguk pelan. Ia lalu menerjang gua, memberikan pelukan. “Terima kasih ya, Sal” Bisiknya, tepat di telinga gua.
“Terima kasih untuk apa?” Tanya gua.
“Karena telah mengingatkan gua akan perjalanan hidup yang sudah gua jalani hingga sekarang” Jawabnya.
“Iya..”
“Pas bikin ini, apa lo nggak merasa cemburu?” Aldina bertanya seraya menunjuk ke arah sketsa di dinding.
“Cemburu? nggak lah…” Gua menjawab santai.
Ia lalu tersenyum dan mulai menenggelamkan diri dalam pelukan.
“Jadi ini alasan lo bawa-bawa palu?” Tanyanya seraya mendongak, menatap gua.
“Iya…”
“Seandainya lo bilang dari tadi. Gua juga punya palu kok” Ucapnya.
“Yaudah, udah terlanjur juga…”.
Kami lalu menunda pergi ke rumah nyokap sebentar. Duduk berdua di sofa seraya memandangi set gambar sketsa buatannya. Hanya duduk, diam dan menatap.
—
Sepanjang perjalanan menuju ke rumah nyokap, Aldina hanya berdiam diri, duduk sambil menatap keluar melalui kaca jendela mobil. Gua menoleh sekilas ke arahnya dan bertanya; “Kenapa?”.
“Gapapa” Ia menjawab singkat, berbohong. Gua yakin, saat ini ia pasti gugup luar biasa.
Sebenarnya gua merasa lucu melihat tingkahnya saat ini, karena sikapnya yang berubah 180 derajat. Dari yang sebelumnya selalu mendominasi, kini terlihat kayak ayam sayur.
Lalu, tiba-tiba ia bertanya; “Bokap lo galak nggak?”
“Mmm… Dulu sih lumayan galak” Gua menjawab, sedikit menebak. Karena sejujurnya, gua nggak terlalu mengenal bokap, nggak terlalu dalam mengenal pribadinya.
“Dulu? kalo sekarang?” Tanyanya lagi, seakan nggak puas dengan jawaban gua sebelumnya.
“Mmm.. Kayaknya udah nggak sih” Gua kembali menjawab.
“Lah, gimana sih? kok kayak nggak yakin gitu?” Tanyanya lagi.
Gua terdiam sebentar, kemudian setelah beberapa saat barulah memberi pengakuan; “Gua nggak terlalu dekat juga sih sama mereka”
“Kok bisa?”
“Nanti juga lo tau” Jawab gua.
Tingkahnya semakin aneh saat kami sudah dekat dengan lokasi. Ia melirik ke arah layar dashboard yang menampilkan GPS. Dimana, ia sendiri yang memasukkan koordinat berdasarkan alamat yang gua sebutkan, sepertinya ingin tahu jika sudah dekat dengan tujuan.
Aldina terlihat menggosok-gosok telapak tangannya, sementara pandangannya nggak menentu. Menatap gua, lalu ia palingkan ke belakang, ke samping, kemudian menunduk.
“Sal…”
“Hmm…”
“Udah deket?” Tanyanya.
“Lah itu kan keliatan di Maps” Jawab gua seraya menunjuk ke arah layar dashboard.
“Bener ini GPS nya?”
“Bener, tuh, klinik nyokap” Ucap gua sambil menunjuk ke arah sebuah klinik kecil yang berada tepat di sisi terluar komplek perumahan. Klinik yang dikelola nyokap disela-sela kesibukannya bekerja di rumah sakit.
“Duh…” Gumamnya pelan.
“...”
“Apa balik aja ya?” Aldina bicara.
“Hah.. gimana, gimana?”
“Gua takut deh…”
“Takut kenapa sih?” Tanya gua.
“Seandainya bokap lo nggak nerima gua gimana?” Ia balik bertanya.
Gua nggak menjawab, hanya tersenyum, meraih dan mulai membelai kepalanya.
Nggak seberapa lama, kami akhirnya tiba di rumah nyokap.
“Sal..”
“Apa?” Jawab gua seraya mematikan mesin mobil, melepas sabuk pengaman dan bersiap untuk turun. Lalu memutar, membuka pintu sisi penumpang dan membantunya turun. Gua tahu saat ini kecemasan pasti bergelayut di dirinya.
Dan, hanya ini yang gua bisa untuk membantu meringankan kecemasannya.
Gua menyodorkan tangan, dan mulai menggenggamnya. Kemudian mengajaknya masuk ke dalam rumah.
Saat tiba di dalam, nyokap langsung menyambut kami berdua; “Ya ampun, akhirnya datang juga… Kirain bakal dari pagi” Ucapnya.
“Iya ada urusan sebentar” Gua menjawab. Sementara, Aldina terlihat hanya tersenyum sambil ‘bersembunyi’ di belakang gua.
Nyokap lantas menanyakan kabar gua, lantas berpaling ke Aldina dan lantas menunduk menatap ke arah ujung jari kelingkingnya yang masih terbalut perban. “Masih sakit?” Tanya nyokap ke Aldina.
Aldina lantas memberi respon dengan gelengan kepala.
“Tante lagi masak nih, biar Papahnya Marshall aja ya…” Nyokap menambahkan, merujuk lke treatment yang akan ia berikan ke luka di kaki Aldina, sesuatu yang sempat ia janjikan kemarin. Nyokap lalu berbalik dan berteriak memanggil bokap.
Nggak seberapa lama, terdengar langkah kaki menuruni anak tangga; Bokap. Dengan gayanya yang kebapakan, ia melangkah pelan menuruni satu persatu anak tangga menuju ke bawah.
“Pah, ini lho yang Mamah ceritain semalam; Aldina…” Nyokap mencoba memperkenalkan Aldina, yang ia lakukan sambil berteriak dari arah dapur. Sementara, bokap hanya merespon dengan ‘Oh’ singkat.
Bokap lalu menyodorkan tangan ke arah Aldina. Yang lalu dengan cepat direspon oleh Aldina dengan menjabat tangannya sembari menyebutkan nama. Bokap lantas berpaling ke gua, memberikan tepukan di bahu dan bertanya kabar; “Sehat?”
Gua mengangguk pelan.
Ditengah kesibukannya memasak, nyokap menghampiri bokap dan mulai memintanya untuk mengecek kondisi luka Aldina yang ia lakukan sambil berbisik.
Sementara, Aldina menarik ujung kaos yang gua kenakan. Membuat gua sedikit menunduk, kemudian berbisik; “Sal…”
“Ya…”
“Apapun yang terjadi, pokoknya temenin ya” Ucapnya, masih sambil berbisik.
Selesai nyokap memberi penjelasan singkat tentang luka Aldina. Bokap lalu menjauh menuju ke arah ruang kerjanya. Sebuah bangunan yang berdiri sendiri, yang terpisah dari bangunan utama.
Untuk menenangkan dirinya, gua lalu mengajak Aldina ke teras halaman belakang. Kami duduk di kursi santai yang menghadap ke kolam ikan.
“Sal, perasaan luka gua cuma kuku mau lepas. Tapi, kok jadi kayak ngerepotin deh..” Bisiknya ke gua.
“Ya nggak tau, dokternya kan mereka bukan gua…” Gua menjawab santai.
Bermaksud agar ia juga bisa ikut santai dan nggak merasa terlalu tertekan.
Setelah beberapa lama, terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah kami berdua. Bokap muncul dari dalam dan bicara pelan; “Yuk…”
Aldina menatap gua, seakan enggan berpisah. Tetapi, ia tetap beranjak dan mengikuti bokap menuju ke ruang kerjanya. Sesekali, ia menoleh ke arah gua, seakan meminta bantuan, seakan meminta gua menemaninya.
Sementara gua hanya tersenyum lalu menuju ke dapur, ke tempat nyokap yang sejak tadi memberi kode agar gua menghampirinya.
“Kenapa?” Tanya gua ke nyokap.
“Mamah udah cerita semua ke Papah…”
“Tentang apa? tentang kondisi Aldina atau tentang statusnya?” Tanya gua lagi.
“Keduanya” Nyokap menjawab.
“Terus..”
“Ya, dia sih nggak komen apa-apa” Jawab Nyokap.
“...”
‘... Tapi, menurut Mamah. Menurut Mamah lho ya, kayaknya Papah juga nggak masalah deh..” Tambahnya.
“Bagus deh” Gua merespon sambil tersenyum. Kemudian mengambil sepotong tempe goreng yang baru saja matang dan memakannya.
Nyokap lantas memukul bahu gua pelan; “Udah sana temenin Aldina-nya”.
“Iya..” Jawab gua, lalu meraih satu lagi potongan tempe goreng dan segera menyusul Aldina ke ruang kerja bokap.
Gua berdiri tepat di depan ruang kerja bokap. Nggak langsung masuk, hanya berdiri di depan jendela sambil menyaksikan Bokap tengah melakukan operasi kecil pada ujung jari kaki Aldina. Sementara, Aldina terlihat menutupi matanya dengan telapak tangan, mungkin takut melihat jarum.
Saat perawatan sudah selesai, barulah gua masuk ke dalam. Terlihat, bokap tengah menyelesaikan ‘operasinya’ dengan mengoles salep antiseptic dan memasang perban.
Begitu melihat gua, Aldina langsung pasang wajah cemberut. Dan langsung melayangkan pukulan di dada begitu posisi gua sudah di dekatnya.
“Lo mah, nggak nemenin” Gerutunya.
“Lah ini nemenin” Jawab gua.
“Udah selesai”
“Sakit?” Tanya gua.
“Nggak kok”
Saat ia bersiap untuk turun dari ranjang pasien. Bokap langsung mencegahnya. Ia mendekat, kini sambil membawa alat tensi dan stetoskop.
“Sini, tensi dulu” Ucapnya.
Bokap lalu mulai mengukur tekanan darah Aldina.
“Agak tinggi nih..” Ucap bokap, Sementara, gua yang sudah bersiap untuk diukur tensinya dengan menggulung lengan kaos nggak digubris. Ia malah membereskan alat pengukur tekanan darah dan menyimpannya.
“Marshall…” Panggil bokap.
“Ya…”
“Besok ajak Aldina ke rumah sakit. Kalau bisa dari pagi, Nanti ketemu Papah aja…” Ucapnya pelan.
Seakan nggak menunggu jawaban dari gua, bokap lantas mendekat ke arah Aldina. Lalu dengan hati-hati ia mulai menekan-nekan bagian pinggul belakang sebelah kirinya. Kemudian bicara pelan; “Ginjal kamu satu kan?”
“Iya…” Aldina menjawab singkat.
Bokap melanjutkan bicaranya ke Aldina, namun pandangannya saat ini ia arahkan ke gua; “Orang yang hidup dengan satu ginjal. Berarti ginjalnya harus kerja ekstra keras, dalam hal ini, kayaknya ginjal kamu udah terlalu berat bekerja…”
“Hah!?”
“Sering begadang?” Tanyanya lagi.
Kami sama-sama nggak menjawab. Hanya terdiam.
“Yaudah, besok pokoknya datang ke rumah sakit. Kita periksa sama-sama ya..” Tambahnya.
“Iya, Pah” Marshall menjawab cepat, ekspresi wajahnya terlihat serius.
—
Lanjut Ke Bawah
Diubah oleh robotpintar 14-06-2024 22:34
vizardan dan 36 lainnya memberi reputasi
35
Kutip
Balas
Tutup