Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Part 82 - Perempuan Yang Menjadi Dirinya Sendiri (Cont)
Spoiler for Part 82 - Perempuan Yang Menjadi Dirinya Sendiri (Cont):
Besoknya, sementara Marshall berangkat ke studio, gua tinggal di apartemennya; sendirian. Kali ini gua nggak merasa kesepian walau sendiri, karena tau kalau nanti Marshall bakal kembali pulang ke dalam pelukan gua.
Gua tengah asyik berbaring di sofa sambil ngemil keripik pisang dingin dan menonton serial drama sisa semalam. Lalu, terdengar suara ketukan pintu. ‘Tok, tok, tok..’. Sontak gua langsung terperanjat, dan langsung bangung, menegakkan tubuh. ‘Siapa ya?’ tanya gua dalam hati.
‘Tok, tok, tok’. Suara ketukan pintu kembali terdengar. Kali ini bahkan diiringi panggilan nama Marshall; “Sal, Sal…” Suara perempuan terdengar memanggil.
Gua semakin panik. Sementara di kepala gua mulai berputar banyak skenario-skenario yang bakal terjadi dan siapa yang berada di balik pintu. ‘Apa gua harus diam saja, atau membuka pintu?’ gua kembali bertanya-tanya dalam hati.
Sebelumnya, gua belum pernah merasa sepanik ini. Dulu, bahkan gua sering ditinggal sendiri oleh Jeje di kota antah berantah di luar negeri dan gua merasa fine-fine aja, merasa nggak mungkin ada orang yang bisa membuat gua merasa panik. Tetapi, kali ini ‘berbeda’. Rasanya, seperti anak kecil yang ketahuan berbuat salah dan bersiap menerima hukuman.
Gua menghela nafas panjang, kemudian menghembuskannya ke udara. Mencoba menenangkan diri dengan teknik yang pernah gua pelajari saat ikut kelas yoga beberapa waktu yang lalu. Setelah, sedikit tenang barulah gua mendekat ke arah pintu, memutar kunci dan membukanya.
Di hadapan gua berdiri seorang perempuan setengah baya. Perempuan itu menurunkan maskernya dan menatap gua. Ia terlihat cantik walaupun sudah cukup berumur. Rambutnya yang panjang dan hitam dibiarkan tergerai, sementara pakaiannya yang meskipun terlihat sederhana namun gua yakin itu bukan pakaian murahan. Satu tangannya memegang tas bermerek warna coklat, sementara satu tangannya lagi menggenggam plastik yang sepertinya berisi makanan.
Hanya dari melihat wajahnya saja, siapapun yang mengenal Marshall pasti langsung sadar kalau perempuan ini adalah nyokapnya. Terlihat banyak kemiripan di antara mereka berdua; Mata, hidung dan dagunya. Kini, gua akhirnya tahu dari mana ketampanannya berasal; dari dirinya.
Ia menyipitkan matanya, menatap gua.
Sambil menunjuk dengan ujung jarinya, ia bertanya; “Siapa? Marshallnya ada?” Nada bicaranya terlihat penuh keraguan. Ia lalu mundur selangkah, mengecek nomor apartemen yang tertempel pada sisi pintu.
“Mmm… Marshall lagi ke studio” Jawab gua gelagapan, lalu mundur, sengaja memberikan ruang agar ia bisa masuk ke dalam. Sementara, gua mulai memutar otak untuk memberi penjelasan dan alasan yang tepat jika ditanya kenapa gua bisa berada disini, padahal Marshall-nya pergi bekerja.
Ia lalu melangkah, melepas sepatunya di ambang pintu, masuk ke dalam apartemen sambil sesekali menatap sekeliling. Kemudian langsung menuju ke arah sofa. Sementara, gua masih berdiri, mematung dan terus mencoba mencari alasan yang tepat.
Sadar, kalau kondisi sofa masih berantakan, gua langsung bergerak cepat mendahuluinya menuju ke sofa. Lalu dengan cepat menyeka remahan sisa-sisa keripik pisang dari permukaan sofa, kemudian tersenyum dan mempersilahkannya untuk duduk. Ia nggak membalas senyuman gua, hanya pasang ekspresi datar lalu duduk dengan penuh keraguan. Sementara, matanya terus berkeliling ke seluruh ruangan.
Setelah puas ‘mengecek’ kondisi ruangan yang terlihat berantakan gara-gara gua. Ia lalu berpaling, menoleh ke arah gua. “Kamu siapa?” Tanyanya dengan nada suara yang rendah. Mendapat pertanyaan seperti itu, gua langsung gelagapan dan bingung.
Mungkin, buat orang yang sangat mengenal gua, pasti langsung bingung melihat sikap dan tingkah gua sekarang. Sikap dan tingkah yang linglung, panik dan ketakutan. Gua pun merasa begitu; merasa inferior. Perasaan yang nggak pernah hinggap sejak dulu.
“Mmm… aku.. Aldina” Jawab gua pelan dan tergagap, sambil menundukkan kepala. Rasanya nggak punya keberanian menatap ke arahnya.
‘Padahal, kalau dipikir-pikir buat apa juga gua harus merasa takut, panik dan inferior. Gua kan nggak melakukan ‘kesalahan’ apa-apa?’ Batin gua dalam hati.
Ia mengernyitkan dahinya begitu mendengar jawaban gua.
“Aldina?” tanyanya.
“Iya…”
“Kamu tau aku siapa?” Tanyanya lagi.
Gua terdiam sejenak, kemudian mendongak, menatap balik ke arahnya dan mengangguk pelan. “Mamahnya Marshall, kan?” Tanya gua penuh keraguan.
Ia mengangguk. Lalu, berdiri menuju ke meja makan. Dengan perlahan dan hati-hati, ia mengeluarkan satu persatu kotak dari plastik yang dibawanya di atas meja. Masih sambil mengeluarkan kotak dari plastik, tanpa menoleh ia kembali bicara; “Aldina…”
Gua langsung berdiri dan menjawab cepat; “Iya, tan..”
“Bisa bantu?” Pintanya, masih tanpa menoleh ke arah gua.
“Oh, iya. Bisa..” Gua menjawab, lalu bergegas untuk membantunya. Namun, karena terburu-buru, tanpa sengaja ujung kelingking kaki kanan gua menghantam sudut meja. ‘Duk!’ Rasa nyeri langsung terasa. Gua mengabaikan rasa sakit dan terus berjalan mendekat ke arahnya.
“Piring” Ucapnya pelan, masih tanpa menoleh bahkan nggak menatap gua.
Gua merespon dengan anggukan kepala, lalu berjalan sambil terpincang menuju ke deretan laci dan drawer pada kitchen set, membukanya satu persatu untuk mencari piring. Setelah berhasil menemukan tempat Marshall menyimpan piring, gua meraih beberapa dan membawanya kembali ke nyokapnya.
“Mmm, harusnya sih bersih” Jawab gua. Merasa piring baru sudah pasti bersih, karena dicuci sebelum disimpan.
Ia lalu membuka salah satu kotak yang berisi kue-kue basah dan bersiap memindahkannya ke atas piring. Saat gua bersiap untuk membantunya memindahkan kue tersebut, ia dengan cepat mencegah dengan menjauhkan kotak berisi kue. Tanpa bicara, ia lalu merogoh saku celananya, mengeluarkan botol spray kecil dan menyerahkannya ke gua; “Pake ini dulu” Ucapnya pelan.
Gua meraih botol spray kecil berlabel ‘hand sanitizer’ pemberiannya dan mulai menyemprotkan di kedua telapak tangan, menyekanya hingga rata lalu mengembalikannya. Ia nggak menanggapi pemberian gua, hanya memberikan kode dengan ujung dagunya; kode agar gua meletakkan botol spray tersebut diatas meja.
Setelah selesai ‘mencuci tangan’, gua lantas meraih kotak lain yang berisi kue basah jenis lain dan mulai memindahkannya ke atas piring.
Ia lalu menatap gua dan bicara; “Bisa minta tolong disimpan di kulkas” Ucapnya seraya mengeluarkan kotak jus buah berukuran besar dan satu kotak susu yang memiliki ukuran yang sama. Gua mengangguk pelan, lalu meraih dua kotak tersebut kemudian berjalan sambil terpincang menuju ke arah kulkas.
Saat kembali, ia menunjuk ke arah sofa dan bicara; “Udah kamu duduk aja sana”.
Gua mengangguk, menuju ke arah sofa lalu duduk, terdiam seraya menggosok telapak tangan; gugup. ‘Bikin salah apa gua, sampe harus disuruh duduk. Sementara, ia masih sibuk memindahkan makanan’ Batin gua dalam hati.
Setelah selesai dengan aneka makanan dan cemilan yang dibawanya ia menoleh sebentar ke arah gua, mengambil sebuah pouch plastik kecil dari dalam tasnya dan mendekat ke arah gua. Alih-alih duduk di sofa, ia malah langsung duduk di lantai, tepat di hadapan gua. Hal yang tentu mengejutkan dan bikin gua nggak tau harus berbuat apa; jadi tambah gugup.
Sementara gua masih gelagapan, Ia dengan tenang membuka pouch lalu mengeluarkan perban, gunting kecil dan sebuah botol berwarna putih. Lalu dengan hati-hati dan perlahan, ia meraih kaki kanan gua, mulai membersihkan luka di ujung jari kelingking dengan kapas yang sudah terlebih dahulu ia berikan antiseptic.
“Aw..” Gua meringis, menahan rasa perih yang luar biasa. Kemudian menunduk dan melihat ia tengah membersihkan kuku jari kelingking gua yang menganga. Sementara, darah terlihat mengalir membasahi ujung kaki, hingga bekasnya tersisa di lantai, dan sepanjang gua melangkah tadi. Rupanya, gua nggak menyadari kalau luka ini sudah mengeluarkan darah sejak tadi.
Dengan cepat dan cekatan, ia membersihkan luka, lalu mulai membalut jari kelingking kaki gua dengan perban. Setelah selesai dengan luka di kaki gua, ia berdiri, mencuci tangannya di wastafel, menyimpan pouch ke dalam tasnya lalu kembali dan duduk di atas sofa tepat di sebelah gua.
Ia berdehem sebentar kemudian bicara; “Aldina sudah makan?” Tanyanya.
Secara spontan gua menggeleng. Padahal tadi gua baru saja menghabiskan seporsi ayam goreng yang dibeli di mall, bersamaan saat membeli pakaian ganti. Lalu, gua meralat respon sebelumnya; “Sudah tan..” Jawab gua dan mulai menundukkan kepala.
“Pake apa?” Tanyanya lagi.
“Pake ayam goreng” Jawab gua, masih sambil menundukkan kepala.
Ia terdiam. Sementara, gua merasa kalau ia tengah memperhatikan gua dari ujung kaki ke ujung kepala.
“Kamu siapanya Marshall?” Tanyanya.
Mendengar pertanyaannya barusan, tentu membuat gua dilema. Bingung harus menjawab apa. Saat ini, diusia kami sekarang ini, ungkapan ‘pacar’ rasa-rasanya nggak terlalu tepat. Tetapi, jika menjawab kalau kami hanya ‘berteman’, tentu gua merasa nggak rela. Padahal, baru semalam kami berdua sudah saling ‘mengakui’ perasaan masing-masing, walaupun nggak secara eksplisit.
Merasa nggak mendapat jawaban dari gua, ia lantas menebak “Teman?”
Gua masih terdiam sambil menundukkan kepala.
Ia lalu memberi tebakan lainnya; “Pacar?”
Gua mengangguk, pelan.
Ia lalu menambahkan; “Mari kita berkenalan dengan proper” Ucapnya seraya menyodorkan tangan kanannya ke gua.
Gua mendongak dan dengan penuh keraguan meraih tangan dan menjabatnya sambil menyebutkan nama. Ia lalu melakukan hal yang sama; menyebut namanya. Kini, ia terlihat tersenyum.
Kami sama-sama terdiam.
Setelah cukup lama terdiam, ia lalu mengarahkan tangannya mendekat ke wajah; menyibak helaian rambut dan menyelipkannya di belakang telinga gua. “Kamu cantik…”
“Makasih, tan” Gua menjawab pujiannya dengan suara lirih.
“Kenapa mau sama Marshall?” Tambahnya.
Gua menoleh dan mengernyitkan dahi. Merasa pertanyaannya barusan nggak pantas keluar dari seorang ibu tentang anaknya sendiri. Seandainya, gua nanti bertemu dengan pria pacar Anggi, gua nggak mungkin bilang; ‘Kamu ganteng, kenapa kok mau sama Anggi?’.
“Gimana maksudnya, tan?” Tanya gua pelan.
Ia nggak langsung menjawab, hanya pasang senyum. Lalu menjawab; “Berarti Marshall belum cerita”
Gua langsung tanggap dengan ucapannya. Yang ia maksud tentu saja perihal masa lalu Marshall yang belum sempat ia ceritakan. Bukan, bukan Marshall yang nggak mau, tapi gua yang memang menolak mendengar ceritanya; merasa gua nggak mau tau tentang masa lalu Marshall. Karena gua hanya ingin bersama dengan Marshall yang sekarang.
“Belum tan…” Jawab gua singkat.
“Tante mau cerita tapi, tante juga nggak tau banyak. Jadi, biar nanti Marshall aja yang cerita..”
“...”
“... Memang sudah berapa lama kenal sama Marshall?” Tambahnya.
Gua mendongak, mencoba menghitung dan mengingat kapan kali pertama kami saling bertemu. Lalu, memberikan jawaban kepadanya. Sementara, ia lalu mengangguk pelan, menepuk lengan gua kemudian berdiri menuju ke meja makan.
Ia kembali ke sofa, kali ini dengan membawa dua piring dengan aneka kue basah diatasnya.
“Aldina, mau coba?” Tanyanya.
Gua mengangguk, lalu meraih salah satu kue dengan bungkusan daun pisang; “Aku makan ya, tan..” Ucap gua dan memakannya. Ia melakukan hal yang sama, meraih salah satu kue dan mulai memakannya.
“Enak nggak?” Tanyanya.
“Enak tan..” Jawab gua singkat. Nggak berbohong, karena memang kue yang barusan gua makan rasanya enak.
Ia menunduk, menatap ke arah ujung kaki gua yang diperban lalu bicara; “Besok minta anter Marshall ke rumah ya, biar nanti tante bantu copot kukunya. Takut kalau didiamkan terlalu lama bisa infeksi”
Gua ikut menunduk, menatap ke arah yang sama dan menjawab; “Oh, iya tan. By the way, makasih ya tan…”
“Iya sama-sama…” Jawab gua.
Saat kami tengah berbincang seputar kue dan jajanan pasar yang tengah kami nikmati. Terdengar pintu apartemen terbuka, disusul suara langkah kaki mendekat. Sontak, kami berdua berpaling dan menatap ke arah suara, ke arah Marshall yang kini berdiri menatap ke arah kami berdua secara bergantian.
“Mah…” Ucapnya pelan, ke arah nyokapnya. Ia lalu berpaling ke gua dan menaikkan kedua alisnya, memberi pertanyaan dengan kode. Gua lantas meresponnya dengan senyuman dan anggukan kepala.
Begitu melihat respon gua, ekspresi wajah yang sebelumnya terlihat panik, kini berubah santai.
“Kamu katanya sakit?” Tanya nyokapnya.
“Nggak. Kata siapa?” Ia balik bertanya.
“Dinar” Jawab nyokapnya.
Marshall nggak merespon, Ia justru mendekat, meraih tangan nyokapnya dan menciumnya, kemudian beralih ke gua dan menyerahkan plastik transparan yang berisi bungkusan nasi padang. Tiba-tiba, nyokapnya memukul Marshall sambil berseru; “Kok nggak cerita-cerita sih?”
“Cerita apa?” Marshall balik bertanya.
Nyokapnya lalu mengerling ke arah gua.
“Oh…”
Marshall duduk di lantai, lalu menyadari perban di ujung kaki kanan gua. Ia menatap gua dan bertanya; “Kenapa?”
“Tadi kesandung meja” Gua menjawab santai.
“Berdarah?” Tanyanya lagi.
“Iya, tuh…” Jawab gua sambil menunjuk ke arah noda darah di lantai yang kini mulai mengering.
“Ck…” Marshall berdecak seraya mengangkat kaki kanan gua, melihat dengan lebih seksama.
Nggak lama, nyokapnya berdiri dan meraih tasnya. Ia lalu bicara ke Marshall tentang aneka makanan yang sudah ia bawakan, yang sebagian sudah dimasukkan ke dalam kulkas. Lalu pembicaraan beralih ke keluhan nyokapnya perihal Marshall yang jarang pulang ke rumah, dan rasa rindunya terhadap anak laki-lakinya itu. Sementara, Marshall hanya tersenyum seraya memijat pelan bahu nyokapnya.
Setelah berpamitan, Nyokap Marshall bersiap pulang. Gua sengaja mendekat ke arah pintu, inginn menunjukkan rasa sopan dengan mengantarnya. Ia lalu menepuk pelan bahu Marshall dan menunjuk ke arah ujung kaki gua, lalu memberi titah; “Besok ajak Aldina ke klinik…”
“Iya…” Marshall menjawab pelan.
Begitu pintu menutup dan nyokapnya pergi, gua langsung menyandarkan tubuh pada dinding, lalu dengan perlahan merosot hingga ke terduduk di lantai. Sambil memegang dada yang kini terasa lega, gua menatap ke arah Marshall dan tersenyum.
Ia lalu mendekat, membungkuk tepat di hadapan gua dan berbisik pelan; “Gua udah pernah bilang belum sih…”
“Bilang apa?” Tanya gua.
“Kalau senyum lo itu cantik…” Tambahnya.
Gua lantas mulai tersipu, menutup wajah dengan kedua tangan, nggak mau Marshall menyadari kalau saat ini kedua pipi gua pasti mulai merona.
—
Mötley Crüe - Home Sweet Home
You know I'm a dreamer
But my heart's of gold
I had to run away high
So I wouldn't come home low
Just when things went right
It doesn't mean they were always wrong
Just take this song and you'll never feel
Left all alone
Take me to your heart
Feel me in your bones
Just one more night
And I'm coming off this
Long and winding road
I'm on my way
I'm on my way
Home sweet home
Tonight, tonight
I'm on my way
I'm on my way
Home sweet home
You know that I've seen
Too many romantic dreams
Up in lights
Falling off the silver screen
My heart's like an open book
For the whole world to read
Sometimes nothing
Keeps me together
At the seams
I'm on my way
I'm on my way
Home sweet home
Tonight, tonight
I'm on my way
Just set me free
Home sweet home
Home sweet home
Home sweet home
Home sweet home
I'm on my way
I'm on my way
Home sweet home, yeah
I'm on my way
Just set me free
Home sweet home