- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa

Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 21:29
viper990 dan 214 lainnya memberi reputasi
215
398.9K
Kutip
4.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#2141
Part 82 - Perempuan Yang Menjadi Dirinya Sendiri
Spoiler for Part 82 - Perempuan Yang Menjadi Dirinya Sendiri:
Sudah hampir lebih dari seminggu, gua sama sekali nggak keluar dari apartemen. Hanya berdiam diri dalam kegelapan, duduk menatap kosong ke arah layar televisi yang mati. Sementara, beberapa porsi makanan tersedia diatas meja di depan gua. Baru tadi Reni datang untuk mengecek kondisi gua. Ia membersihkan apartemen, mengganti pakaian gua yang kotor dan menyiapkan makanan. Iya, gua persis seperti orang gila yang kehilangan segalanya.
Nggak begitu lama sejak Reni pergi, terdengar suara pintu terbuka dan langkah kaki berjalan pelan ke arah gua. Langkahnya terhenti tepat di sisi terjauh ruangan.
“Uhuk” Terdengar suara batuk yang seperti dibuat-buat. Dari suaranya, gua tau ia adalah Marshall. Namun, gua yang masih dilanda kepedihan yang dalam nggak menggubrisnya, tetap bertahan dalam diam.
Marshall lalu mendekat dan duduk berlutut di lantai, tepat di hadapan gua. Lalu terdengar suaranya memanggil nama gua. Panggilan yang membuat gua merasa lega. “Din…”
“...”
“... Lo gapapa?” Tanyanya.
Gua bergeming, nggak menjawab. Hanya terus bertahan dalam diam.
Ia lalu berdiri, berpindah posisi, duduk di sofa tepat di sebelah gua. Melakukan hal yang sama, menatap kosong ke arah layar televisi yang nggak menyala.
Waktu terus berlalu dan kami berdua hanya saling diam.
Gua lantas menoleh ke arahnya, menatap wajahnya yang seperti memberi angin segar ditengah dahaganya hati ini. Perlahan, dan tanpa kata, gua mulai menyandarkan kepala di bahunya.
Nyaman.
Lalu kami kembali sama-sama terdiam.
Tiba-tiba, terdengar suara aneh dari arah perutnya, suara perut yang keroncongan akibat kelaparan. ‘Apa jangan-jangan perut gua?’ batin gua dalam hati, karena memang belum makan apa-apa sejak kemarin. Karena berada dalam ketenangan, tentu saja suara samar bisa dengan jelas terdengar. Saat kembali berbunyi, barulah gua menyadari kalau suara tersebut berasal dari perutnya.
Gua merasa kelaparan; gapapa. Gua bakal bertahan. Tapi, gua jelas nggak mau, kalau Marshall sampai merasa kelaparan gara-gara harus menemani gua. Gua mengangkat kepala dari bahunya lantas melayangkan pukulan.
“Makan tuh…” Ucap gua, pelan dan lirih, seraya menunjuk ke arah porsi makanan yang tadi sempat disediakan Reni di atas meja.
Nggak menunggu lama, Marshall lantas mengambil seporsi nasi goreng dari atas meja dan mulai memakannya. Ia lalu mencoba memberi suapan ke gua, yang tentu dengan cepat gua tolak. Tapi, seakan nggak menerima penolakan, Marshall malah berhenti makan dan meletakkan kembali piring nasi goreng ke atas meja.
Gua menoleh ke arahnya dan memberi tatapan penuh ancaman. Merasa tertekan akibat tatapan gua, Marshall kembali mengambil piring berisi nasi goreng, menyendoknya dan mulai makan. Ia lalu mencoba peruntungan dengan kembali menyuapi gua. Kini tentu saja gua nggak menolak, takut ia protes lagi dengan berhenti makan. Gua membuka mulut dan menerima suapan darinya.
Setelah beberapa suapan, gua yang sudah merasa cukup kenyang lantas menggeleng saat ia bersiap memberi suapan. “Udah..” Ucap gua pelan.
Tapi, Marshall malah berseru; “Belum!”.
Gua jelas kaget dengan seruannya tersebut. Takut, gua dengan cepat kembali buka mulut dan menerima suapan darinya.
Kami kembali larut dan melanjutkan makan dalam diam.
Begitu kami selesai, Marshall lantas mencuci piring. Lama ia berada di dapur, lalu kembali dengan gelas. Ia menyodorkan gelas tersebut ke arah gua. Dari aromanya, gua tau kalau isi gelas tersebut adalah kopi. Gua meraih gelas tersebut, mengendurnya sebentar kemudian dengan hati-hati mulai menyeruputnya. “Uek, pait” Gua menggumam pelan, lalu mengembalikan gelas tersebut kepadanya.
“Boleh merokok?” Tanyanya. Yang lantas gua respon dengan anggukan kepala.
Marshall berdiri, membuka jendela yang mengarah ke balkon lalu duduk diantaranya. Sementara, gua ikut berdiri, menuju ke dapur, mengambil asbak dan kembali, lalu meletakkan asbak tersebut di lantai.
“Lo kok bisa masuk?” Tanya gua.
“Reni” Ia menjawab singkat.
“Janjian sama Reni?” Tanya gua lagi.
Marshall menggeleng, lalu menjawab; “Tadi ketemu di bawah, di minimarket”
“Ngapain?” Tanya gua, mulai curiga. Merasa jangan-jangan ia duduk disana dan menunggu gua. ‘Gimana seandainya gua nggak turun ke bawah?’ Batin gua dalam hati.
Dan ternyata tebakan gua benar. Ia lalu menjawab; “Nunggu elo”.
“Untung ketemu Reni. Kalo nggak gimana. Gua nggak ada rencana keluar dari sini nggak tau sampe kapan” Respon gua, marah.
“Ya gua pulang” Jawabnya santai.
“Bodat!”.
Nggak mau dan nggak tega kalau ia terus begitu, gua lantas masuk ke dalam kamar, mengambil salah satu kartu akses cadangan dari laci meja rias dan berencana menyerahkannya ke Marshall.
Langkah gua lalu terhenti. ‘Alasan apa yang harus gua pakai, karena tiba-tiba menyerahkan kartu akses kepadanya?’ Gua kembali membatin.
Lalu sebuah ide brilian dan cemerlang terbesit di kepala. Gua mengambil lembaran uang pecahan 50 ribuan dari dalam dompet dan keluar.
Di luar, di ruang keluarga, gua lantas melempar kartu akses ke arahnya. Marshall meraih kartu tersebut dan menatapnya sekilas, lalu bertanya; “Kartu apa?”.
“Akses lobby” Jawab gua, sok nggak peduli.
“Oh…”
Gua lalu menyebut deretan angka, kombinasi kode akses pintu depan kepadanya. Marshall yang bingung dengan deretan angka tersebut langsung mengernyitkan dahi.
“... Kode akses pintu depan” Gua menambahkan.
“Buat apa lo kasih tau gua?” Tanyanya
Gua tentu sudah menyiapkan jawabannya. Dengan cepat, gua mengeluarkan lembaran uang lima puluh ribuan kepadanya dan bicara; “Beliin, mie instan rasa soto”
“What!?” Serunya.
“Sama, beng-beng” Gua menambahkan.
“Nggak ah, ogah. Enak aja…” Marshall menolak, lalu berpaling, kembali menatap ke luar dan lanjut merokok.
Gua yang merasa gagal, lalu kembali merebahkan diri di atas sofa, menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh. Dari balik selimut, samar terlihat Marshall berdiri, meraih lembaran uang pecahan lima puluh ribuan di atas meja dan bergegas pergi.
Terdengar ia menggumam pelan; “Bilang tolong kek”.
Gua tersenyum dan membalasnya dengan berteriak; “Tolong”. Kemudian terkekeh.
Barulah gua menyadari kalau saat ini, baru saja gua terbebas dari kesedihan. Bagaimana mungkin hal seperti ini bisa terjadi. Bagaimana mungkin, seseorang bisa terlepas dari kesedihan yang membahana begitu cepat?
Gua menyibak selimut lalu duduk dan mencoba merenungi hal ini. Namun, yang gua dapati hanya sosoknya yang terlihat kesal namun lucu juga menghibur. Sosoknya yang seakan ‘mengobati’ luka.
Nggak seberapa lama, terdengar suara pintu terbuka. Gua lantas dengan cepat kembali berbaring dan menutup tubuh dengan selimut. Dari balik selimut gua melihat samar Marshall datang, meletakkan plastik berisi beberapa mie instan dan beng-beng di atas meja, lengkap dengan uang kembaliannya.
Gua menyibak selimut lalu duduk.
“Nggak dimasakin sekalian?” Tanya gua, sengaja ingin menggodanya. Ya, saat ini gua memang nggak ingin makan mie instan. Ini kan hanya akal-akalan gua saja agar ia menerima kartu akses dan kode pintu apartemen.
“Nggak ah, males” Jawabnya.
Gua lantas meraih kemasan mie instan dari dalam plastik. Membuka bungkusnya dan mulai memakannya; mentah. ‘Kraus.. Kraus..’.
Setelah berapa gigitan, dan menyadari kalau ternyata mie instan mentah nggak enak, gua berhenti dan meletakan kemasan mie instan di atas meja, kemudian kembali berbaring.
Melihat sikap gua yang seperti itu, Marshall, bukannya memasak mie instan buat gua, ia malah berdiri dan sepertinya hendak pergi. Menyadari hal tersebut, masih dengan selimut menutupi tubuh, gua bertanya; “Mau kemana?”
“Pulang” Ia menjawab singkat.
Begitu mendengar jawabanya, gua langsung menyibak selimut, meloncat turun dari sofa dan mendekat; “Gua Ikut”.
“Mau ngapain?” Tanyanya.
“Gua nggak mau sendirian disini”. Jawab gua. Beralasan. Bukan, gua bukan nggak mau sendiri disini, gua hanya ingin bersama dengannya. Agar terlepas dari duka.
“Dari kemaren bukannya lo juga sendirian?” Tanyanya lagi.
“Ya itu kan kemarin” Jawab gua singkat.
Ia lantas menatap gua dari atas ke bawah, melihat pakaian yang gua kenakan.
“Ya tapi, masak pake baju kayak gitu…” Ucapnya seraya menunjuk ke arah pakaian yang gua kenakan.
“Emang kenapa? bersih kok” Respon gua, merasa nggak ada yang salah dengan pakaian yang saat ini gua kenakan.
“Ganti dulu sana” Titahnya seraya menunjuk ke arah kamarnya.
“Ogah! ntar lo kabur” Jawab gua. Takut. Takut, ia pergi saat gua tengah berdandan atau berganti pakaian
“Terus mau kayak gitu aja?”
Gua lantas mengangguk.
Marshall nggak lagi memberi respon, hanya berbalik dan bersiap pergi. Sementara, gua dengan cepat berlari ke arah kamarnya, meraih dompet, kunci mobil dan ponsel dari atas meja rias kemudian segera menyusulnya; benar-benar takut ditinggalkan.
—
Nggak lama setelahnya, kami sudah berada di jalan tol menuju ke tempat Marshall. Sepanjang perjalanan, kami hanya terdiam. Ia fokus menyetir sementara gua hanya bersandar pada kursi dengan kedua kaki sengaja gua posisikan di dashboard hingga menyentuh kaca depan.
“Gua mau mampir ke studio dulu” Ucapnya pelan.
“Hah?! dengan pakaian gua yang kayak gini?” Tanya gua.
“Ya kan tadi gua suruh ganti kalo mau ikut. Ngeyel sih lo” Balasnya.
“Heh, lo tadi bilang ‘Pulang’ ya! bukan ke studio” Gua menyanggah, merasa telah dijebak.
“Heh! gua barusan bilang ‘Mampir’ ya. Lo tau definisi mampir nggak?” Tanyanya.
Gua yang nggak mau ‘ditinggalkan’ lantas terdiam; mengalah.
“Berarti gua nanti nunggu di mobil. Kalo mampir berarti cuma sebentar kan?” Tanya gua lagi, mencoba memastikan.
“Ya nggak tau, liat ntar aja” Marshall menjawab santai, seakan memang ingin menggoda gua.
“Ck!”
Gua langsung menaruh curiga saat ia memarkir mobil di lahan kosong di seberang studio, yang artinya mungkin saja ia bakal berada lama di sana. Dan membiarkan gua sendirian menunggu disini.
“Kenapa parkir disini?” Tanya gua.
“Biar nggak ganggu” Jawabnya singkat. Kemudian bersiap turun.
“Ah, pasti lama lo” Seru gua.
“Bawel” Balasnya lalu membuka pintu mobil dan turun.
Sebelum turun, Gua menarik ujung kaos yang ia kenakan; “Jangan lama-lama”.
Marshall mengangguk pelan, lalu mempercepat langkah, masuk ke studio.
Sesuai janjinya, ia hanya sebentar berada di dalam studio, lalu kembali. Kini sambil membopong plastik hitam berukuran besar, plastik yang biasanya digunakan sebagai wadah sampah yang entah apa isinya.
Ia membuka pintu sisi penumpang bagian belakang dan meletakkan bungkusan yang dibawanya diatas kursi. Lalu, keluar dan kembali masuk lewat pintu sisi pengemudi.
“Apaan?” Tanya gua seraya menunjuk ke arah bungkusan plastik di belakang begitu ia masuk.
“Gambar” Marshall menjawab singkat, lalu mulai menyalakan mesin dan bersiap pergi.
Nggak butuh waktu lama buat kami hingga akhirnya tiba di apartemen tempat Marshall tinggal.
“Lho, itu gambarnya nggak dikeluarin?” Tanya gua begitu kami turun dari mobil setibanya di area parkir basement apartemen.
“Gapapa, biarin aja” Marshall menjawab singkat.
Jujur, gua sama sekali nggak menaruh curiga tentang bungkusan plastik hitam yang berada di mobil. Ya seperti yang ia bilang sebelumnya; itu hanya sebuah gambar.
Setibanya di apartemennya, gua langsung menyeruak masuk ke dalam. Menuju ke sofa lalu duduk disana. Gua menepuk permukaan sofa dengan tangan, memberinya kode agar ia duduk di sana.
Marshall nggak langsung menuruti permintaan gua. Ia malah menuju ke kulkas mengambil sebotol air mineral dan meminumnya. Barulah kemudian ia mendekat dan duduk di sofa.
“Kenapa?” Tanyanya.
Gua langsung berbaring tepat di pangkuannya.
“Ngapain?” Tanyanya lagi.
“Gua ngantuk, Sal…” Gumam gua pelan. Kemudian perlahan, mulai mencoba memejamkan kedua mata.
Bukan, gua bukannya mengantuk. Gua hanya ingin berada di dekatnya, agar merasa nyaman. Agar merasa nggak sedih, agar merasa tenang.
Tiba-tiba terasa sebuah sentuhan di kepala, terasa ia membelai rambut gua dengan lembut. Gua lantas membuka mata dan menatapnya; “Boleh gua menjadi diri sendiri kali ini?” Tanya gua karena lelah terus berpura-pura nggak peduli padanya.
Marshall lantas mengangguk pelan. “Jadilah seperti yang seharusnya…”
Gua yang ingin jujur dan nggak mau lagi menyembunyikan perasaan, lantas bicara; “Then, gua nggak mau hubungan seperti ini”.
“Emang hubungan kayak apa yang lo mau?” Tanyanya.
“Yang berkompromi…” Jawab gua pelan.
Marshall tersenyum, meringis. Lalu kembali bertanya; “Emangnya lo mau berkompromi dengan kondisi gua?”
“Mau…”
“Lo bahkan nggak tau tentang gua”
“Gua nggak peduli…” Jawab gua singkat.
Kami lalu terdiam.
“Kalo lo? mau nggak berkompromi dengan kondisi gua, dengan keadaan gua?” Kini gantian gua yang bertanya.
Marshall mengangguk.
Gua merasa harus menceritakan semuanya ke Marshall. Tentang masa lalu gua, tentang Jeje, tentang kondisi gua dan hal lainnya. Gua lantas menunjukkan bekas luka jahitan dimana gua pernah mendapat donor ginjal dari Jeje. Dan mulai bercerita panjang lebar kepadanya.
“... Gua lahir dengan kondisi ginjal cuma satu. Lalu, ginjal itu rusak. Jeje yang ngasih salah satu ginjalnya ke gua. Jadi saat ini, gua hidup dengan ginjal orang lain. Dengan ginjal pria lain yang bukan elo. Masih mau lo berkompromi?” Gua menjelaskan di akhir cerita.
Marshall kembali mengangguk cepat. Lalu bicara sambil terkekeh; “Bisa diganti dengan ginjal gua?”.
Nggak mendapat jawaban yang proper dan malah mendapat candaan, gua lantas memukulnya sekuat tenaga.
“Ngomong yang bener” Seru gua.
“...”
“... Mau nggak berkompromi dengan kondisi gua?” Gua menambahkan.
Marshall lalu menjawab lantang; “Mau…”
“Nah, gitu dong.. Jangan manggut-manggut doang” Gua merespon lalu kembali berbaring di pangkuan nya.
—
Nggak begitu lama sejak Reni pergi, terdengar suara pintu terbuka dan langkah kaki berjalan pelan ke arah gua. Langkahnya terhenti tepat di sisi terjauh ruangan.
“Uhuk” Terdengar suara batuk yang seperti dibuat-buat. Dari suaranya, gua tau ia adalah Marshall. Namun, gua yang masih dilanda kepedihan yang dalam nggak menggubrisnya, tetap bertahan dalam diam.
Marshall lalu mendekat dan duduk berlutut di lantai, tepat di hadapan gua. Lalu terdengar suaranya memanggil nama gua. Panggilan yang membuat gua merasa lega. “Din…”
“...”
“... Lo gapapa?” Tanyanya.
Gua bergeming, nggak menjawab. Hanya terus bertahan dalam diam.
Ia lalu berdiri, berpindah posisi, duduk di sofa tepat di sebelah gua. Melakukan hal yang sama, menatap kosong ke arah layar televisi yang nggak menyala.
Waktu terus berlalu dan kami berdua hanya saling diam.
Gua lantas menoleh ke arahnya, menatap wajahnya yang seperti memberi angin segar ditengah dahaganya hati ini. Perlahan, dan tanpa kata, gua mulai menyandarkan kepala di bahunya.
Nyaman.
Lalu kami kembali sama-sama terdiam.
Tiba-tiba, terdengar suara aneh dari arah perutnya, suara perut yang keroncongan akibat kelaparan. ‘Apa jangan-jangan perut gua?’ batin gua dalam hati, karena memang belum makan apa-apa sejak kemarin. Karena berada dalam ketenangan, tentu saja suara samar bisa dengan jelas terdengar. Saat kembali berbunyi, barulah gua menyadari kalau suara tersebut berasal dari perutnya.
Gua merasa kelaparan; gapapa. Gua bakal bertahan. Tapi, gua jelas nggak mau, kalau Marshall sampai merasa kelaparan gara-gara harus menemani gua. Gua mengangkat kepala dari bahunya lantas melayangkan pukulan.
“Makan tuh…” Ucap gua, pelan dan lirih, seraya menunjuk ke arah porsi makanan yang tadi sempat disediakan Reni di atas meja.
Nggak menunggu lama, Marshall lantas mengambil seporsi nasi goreng dari atas meja dan mulai memakannya. Ia lalu mencoba memberi suapan ke gua, yang tentu dengan cepat gua tolak. Tapi, seakan nggak menerima penolakan, Marshall malah berhenti makan dan meletakkan kembali piring nasi goreng ke atas meja.
Gua menoleh ke arahnya dan memberi tatapan penuh ancaman. Merasa tertekan akibat tatapan gua, Marshall kembali mengambil piring berisi nasi goreng, menyendoknya dan mulai makan. Ia lalu mencoba peruntungan dengan kembali menyuapi gua. Kini tentu saja gua nggak menolak, takut ia protes lagi dengan berhenti makan. Gua membuka mulut dan menerima suapan darinya.
Setelah beberapa suapan, gua yang sudah merasa cukup kenyang lantas menggeleng saat ia bersiap memberi suapan. “Udah..” Ucap gua pelan.
Tapi, Marshall malah berseru; “Belum!”.
Gua jelas kaget dengan seruannya tersebut. Takut, gua dengan cepat kembali buka mulut dan menerima suapan darinya.
Kami kembali larut dan melanjutkan makan dalam diam.
Begitu kami selesai, Marshall lantas mencuci piring. Lama ia berada di dapur, lalu kembali dengan gelas. Ia menyodorkan gelas tersebut ke arah gua. Dari aromanya, gua tau kalau isi gelas tersebut adalah kopi. Gua meraih gelas tersebut, mengendurnya sebentar kemudian dengan hati-hati mulai menyeruputnya. “Uek, pait” Gua menggumam pelan, lalu mengembalikan gelas tersebut kepadanya.
“Boleh merokok?” Tanyanya. Yang lantas gua respon dengan anggukan kepala.
Marshall berdiri, membuka jendela yang mengarah ke balkon lalu duduk diantaranya. Sementara, gua ikut berdiri, menuju ke dapur, mengambil asbak dan kembali, lalu meletakkan asbak tersebut di lantai.
“Lo kok bisa masuk?” Tanya gua.
“Reni” Ia menjawab singkat.
“Janjian sama Reni?” Tanya gua lagi.
Marshall menggeleng, lalu menjawab; “Tadi ketemu di bawah, di minimarket”
“Ngapain?” Tanya gua, mulai curiga. Merasa jangan-jangan ia duduk disana dan menunggu gua. ‘Gimana seandainya gua nggak turun ke bawah?’ Batin gua dalam hati.
Dan ternyata tebakan gua benar. Ia lalu menjawab; “Nunggu elo”.
“Untung ketemu Reni. Kalo nggak gimana. Gua nggak ada rencana keluar dari sini nggak tau sampe kapan” Respon gua, marah.
“Ya gua pulang” Jawabnya santai.
“Bodat!”.
Nggak mau dan nggak tega kalau ia terus begitu, gua lantas masuk ke dalam kamar, mengambil salah satu kartu akses cadangan dari laci meja rias dan berencana menyerahkannya ke Marshall.
Langkah gua lalu terhenti. ‘Alasan apa yang harus gua pakai, karena tiba-tiba menyerahkan kartu akses kepadanya?’ Gua kembali membatin.
Lalu sebuah ide brilian dan cemerlang terbesit di kepala. Gua mengambil lembaran uang pecahan 50 ribuan dari dalam dompet dan keluar.
Di luar, di ruang keluarga, gua lantas melempar kartu akses ke arahnya. Marshall meraih kartu tersebut dan menatapnya sekilas, lalu bertanya; “Kartu apa?”.
“Akses lobby” Jawab gua, sok nggak peduli.
“Oh…”
Gua lalu menyebut deretan angka, kombinasi kode akses pintu depan kepadanya. Marshall yang bingung dengan deretan angka tersebut langsung mengernyitkan dahi.
“... Kode akses pintu depan” Gua menambahkan.
“Buat apa lo kasih tau gua?” Tanyanya
Gua tentu sudah menyiapkan jawabannya. Dengan cepat, gua mengeluarkan lembaran uang lima puluh ribuan kepadanya dan bicara; “Beliin, mie instan rasa soto”
“What!?” Serunya.
“Sama, beng-beng” Gua menambahkan.
“Nggak ah, ogah. Enak aja…” Marshall menolak, lalu berpaling, kembali menatap ke luar dan lanjut merokok.
Gua yang merasa gagal, lalu kembali merebahkan diri di atas sofa, menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh. Dari balik selimut, samar terlihat Marshall berdiri, meraih lembaran uang pecahan lima puluh ribuan di atas meja dan bergegas pergi.
Terdengar ia menggumam pelan; “Bilang tolong kek”.
Gua tersenyum dan membalasnya dengan berteriak; “Tolong”. Kemudian terkekeh.
Barulah gua menyadari kalau saat ini, baru saja gua terbebas dari kesedihan. Bagaimana mungkin hal seperti ini bisa terjadi. Bagaimana mungkin, seseorang bisa terlepas dari kesedihan yang membahana begitu cepat?
Gua menyibak selimut lalu duduk dan mencoba merenungi hal ini. Namun, yang gua dapati hanya sosoknya yang terlihat kesal namun lucu juga menghibur. Sosoknya yang seakan ‘mengobati’ luka.
Nggak seberapa lama, terdengar suara pintu terbuka. Gua lantas dengan cepat kembali berbaring dan menutup tubuh dengan selimut. Dari balik selimut gua melihat samar Marshall datang, meletakkan plastik berisi beberapa mie instan dan beng-beng di atas meja, lengkap dengan uang kembaliannya.
Gua menyibak selimut lalu duduk.
“Nggak dimasakin sekalian?” Tanya gua, sengaja ingin menggodanya. Ya, saat ini gua memang nggak ingin makan mie instan. Ini kan hanya akal-akalan gua saja agar ia menerima kartu akses dan kode pintu apartemen.
“Nggak ah, males” Jawabnya.
Gua lantas meraih kemasan mie instan dari dalam plastik. Membuka bungkusnya dan mulai memakannya; mentah. ‘Kraus.. Kraus..’.
Setelah berapa gigitan, dan menyadari kalau ternyata mie instan mentah nggak enak, gua berhenti dan meletakan kemasan mie instan di atas meja, kemudian kembali berbaring.
Melihat sikap gua yang seperti itu, Marshall, bukannya memasak mie instan buat gua, ia malah berdiri dan sepertinya hendak pergi. Menyadari hal tersebut, masih dengan selimut menutupi tubuh, gua bertanya; “Mau kemana?”
“Pulang” Ia menjawab singkat.
Begitu mendengar jawabanya, gua langsung menyibak selimut, meloncat turun dari sofa dan mendekat; “Gua Ikut”.
“Mau ngapain?” Tanyanya.
“Gua nggak mau sendirian disini”. Jawab gua. Beralasan. Bukan, gua bukan nggak mau sendiri disini, gua hanya ingin bersama dengannya. Agar terlepas dari duka.
“Dari kemaren bukannya lo juga sendirian?” Tanyanya lagi.
“Ya itu kan kemarin” Jawab gua singkat.
Ia lantas menatap gua dari atas ke bawah, melihat pakaian yang gua kenakan.
“Ya tapi, masak pake baju kayak gitu…” Ucapnya seraya menunjuk ke arah pakaian yang gua kenakan.
“Emang kenapa? bersih kok” Respon gua, merasa nggak ada yang salah dengan pakaian yang saat ini gua kenakan.
“Ganti dulu sana” Titahnya seraya menunjuk ke arah kamarnya.
“Ogah! ntar lo kabur” Jawab gua. Takut. Takut, ia pergi saat gua tengah berdandan atau berganti pakaian
“Terus mau kayak gitu aja?”
Gua lantas mengangguk.
Marshall nggak lagi memberi respon, hanya berbalik dan bersiap pergi. Sementara, gua dengan cepat berlari ke arah kamarnya, meraih dompet, kunci mobil dan ponsel dari atas meja rias kemudian segera menyusulnya; benar-benar takut ditinggalkan.
—
Nggak lama setelahnya, kami sudah berada di jalan tol menuju ke tempat Marshall. Sepanjang perjalanan, kami hanya terdiam. Ia fokus menyetir sementara gua hanya bersandar pada kursi dengan kedua kaki sengaja gua posisikan di dashboard hingga menyentuh kaca depan.
“Gua mau mampir ke studio dulu” Ucapnya pelan.
“Hah?! dengan pakaian gua yang kayak gini?” Tanya gua.
“Ya kan tadi gua suruh ganti kalo mau ikut. Ngeyel sih lo” Balasnya.
“Heh, lo tadi bilang ‘Pulang’ ya! bukan ke studio” Gua menyanggah, merasa telah dijebak.
“Heh! gua barusan bilang ‘Mampir’ ya. Lo tau definisi mampir nggak?” Tanyanya.
Gua yang nggak mau ‘ditinggalkan’ lantas terdiam; mengalah.
“Berarti gua nanti nunggu di mobil. Kalo mampir berarti cuma sebentar kan?” Tanya gua lagi, mencoba memastikan.
“Ya nggak tau, liat ntar aja” Marshall menjawab santai, seakan memang ingin menggoda gua.
“Ck!”
Gua langsung menaruh curiga saat ia memarkir mobil di lahan kosong di seberang studio, yang artinya mungkin saja ia bakal berada lama di sana. Dan membiarkan gua sendirian menunggu disini.
“Kenapa parkir disini?” Tanya gua.
“Biar nggak ganggu” Jawabnya singkat. Kemudian bersiap turun.
“Ah, pasti lama lo” Seru gua.
“Bawel” Balasnya lalu membuka pintu mobil dan turun.
Sebelum turun, Gua menarik ujung kaos yang ia kenakan; “Jangan lama-lama”.
Marshall mengangguk pelan, lalu mempercepat langkah, masuk ke studio.
Sesuai janjinya, ia hanya sebentar berada di dalam studio, lalu kembali. Kini sambil membopong plastik hitam berukuran besar, plastik yang biasanya digunakan sebagai wadah sampah yang entah apa isinya.
Ia membuka pintu sisi penumpang bagian belakang dan meletakkan bungkusan yang dibawanya diatas kursi. Lalu, keluar dan kembali masuk lewat pintu sisi pengemudi.
“Apaan?” Tanya gua seraya menunjuk ke arah bungkusan plastik di belakang begitu ia masuk.
“Gambar” Marshall menjawab singkat, lalu mulai menyalakan mesin dan bersiap pergi.
Nggak butuh waktu lama buat kami hingga akhirnya tiba di apartemen tempat Marshall tinggal.
“Lho, itu gambarnya nggak dikeluarin?” Tanya gua begitu kami turun dari mobil setibanya di area parkir basement apartemen.
“Gapapa, biarin aja” Marshall menjawab singkat.
Jujur, gua sama sekali nggak menaruh curiga tentang bungkusan plastik hitam yang berada di mobil. Ya seperti yang ia bilang sebelumnya; itu hanya sebuah gambar.
Setibanya di apartemennya, gua langsung menyeruak masuk ke dalam. Menuju ke sofa lalu duduk disana. Gua menepuk permukaan sofa dengan tangan, memberinya kode agar ia duduk di sana.
Marshall nggak langsung menuruti permintaan gua. Ia malah menuju ke kulkas mengambil sebotol air mineral dan meminumnya. Barulah kemudian ia mendekat dan duduk di sofa.
“Kenapa?” Tanyanya.
Gua langsung berbaring tepat di pangkuannya.
“Ngapain?” Tanyanya lagi.
“Gua ngantuk, Sal…” Gumam gua pelan. Kemudian perlahan, mulai mencoba memejamkan kedua mata.
Bukan, gua bukannya mengantuk. Gua hanya ingin berada di dekatnya, agar merasa nyaman. Agar merasa nggak sedih, agar merasa tenang.
Tiba-tiba terasa sebuah sentuhan di kepala, terasa ia membelai rambut gua dengan lembut. Gua lantas membuka mata dan menatapnya; “Boleh gua menjadi diri sendiri kali ini?” Tanya gua karena lelah terus berpura-pura nggak peduli padanya.
Marshall lantas mengangguk pelan. “Jadilah seperti yang seharusnya…”
Gua yang ingin jujur dan nggak mau lagi menyembunyikan perasaan, lantas bicara; “Then, gua nggak mau hubungan seperti ini”.
“Emang hubungan kayak apa yang lo mau?” Tanyanya.
“Yang berkompromi…” Jawab gua pelan.
Marshall tersenyum, meringis. Lalu kembali bertanya; “Emangnya lo mau berkompromi dengan kondisi gua?”
“Mau…”
“Lo bahkan nggak tau tentang gua”
“Gua nggak peduli…” Jawab gua singkat.
Kami lalu terdiam.
“Kalo lo? mau nggak berkompromi dengan kondisi gua, dengan keadaan gua?” Kini gantian gua yang bertanya.
Marshall mengangguk.
Gua merasa harus menceritakan semuanya ke Marshall. Tentang masa lalu gua, tentang Jeje, tentang kondisi gua dan hal lainnya. Gua lantas menunjukkan bekas luka jahitan dimana gua pernah mendapat donor ginjal dari Jeje. Dan mulai bercerita panjang lebar kepadanya.
“... Gua lahir dengan kondisi ginjal cuma satu. Lalu, ginjal itu rusak. Jeje yang ngasih salah satu ginjalnya ke gua. Jadi saat ini, gua hidup dengan ginjal orang lain. Dengan ginjal pria lain yang bukan elo. Masih mau lo berkompromi?” Gua menjelaskan di akhir cerita.
Marshall kembali mengangguk cepat. Lalu bicara sambil terkekeh; “Bisa diganti dengan ginjal gua?”.
Nggak mendapat jawaban yang proper dan malah mendapat candaan, gua lantas memukulnya sekuat tenaga.
“Ngomong yang bener” Seru gua.
“...”
“... Mau nggak berkompromi dengan kondisi gua?” Gua menambahkan.
Marshall lalu menjawab lantang; “Mau…”
“Nah, gitu dong.. Jangan manggut-manggut doang” Gua merespon lalu kembali berbaring di pangkuan nya.
—
Lanjut Ke Bawah
Diubah oleh robotpintar 12-06-2024 23:29
Herisyahrian dan 41 lainnya memberi reputasi
38
Kutip
Balas
Tutup