Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
“... Kalau nggak ingin merasakan kehilangan, jangan memiliki” Gua menggumam pelan, tanpa menatap ke arah Aldina yang jadi lawan bicara.
Sementara Aldina hanya terdiam, sambil menundukan kepala. Ia mendengus kesal, meletakkan cangkir kopi di lantai, kemudian berdiri, meraih tas yang tergeletak di sofa dan bersiap untuk pergi. Sementara, gua hanya mampu duduk tanpa mencegahnya pergi. Pun, ia sempat menoleh sebentar seakan meminta untuk di cegah.
Setelah ia pergi, gua hanya terdiam seraya menghisap rokok.
Bimbang.
Mencoba mengejarnya yang berarti gua harus siap memaksanya berkomitmen. Atau tetap duduk disini, membiarkan ia hilang.
“Ah!” Gua membanting puntung rokok, berdiri dan dengan cepat keluar dari apartemen untuk menyusulnya.
Gua terus berlari menyusuri lorong apartemen, bahkan tanpa alas kaki. Berkali-kali menekan tombol lift yang nggak kunjung terbuka. Gua berbalik dan menuju ke pintu yang mengarah ke tangga darurat. Masih sambil terus berlari, gua menuruni tangga darurat, mengabaikan rasa lelah dan kebas di kaki, gua mempercepat langkah hingga akhirnya tiba di basement area parkir.
Mobil SUV putih milik Aldina sudah nggak berada di tempat parkir. Gua membungkuk, mencoba mengatur nafas yang tersengal; terlambat.
Gua kembali ke atas, kini dengan menggunakan lift. Sambil mencoba menyusun rencana untuk menemuinya besok. Untuk itu, gua harus menyelesaikan beberapa pekerjaan agar besok bisa meluangkan banyak waktu menemuinya.
Tiba di kamar, gua langsung mandi dan berganti pakaian. Kemudian kembali turun, berjalan kaki menuju ke studio.
Sisa malam itu, gua menghabiskan waktu untuk mengerjakan proyek buat besok. Sementara, Adam dan Andika tengah sibuk bermain games console di lantai atas, suara teriakan mereka menggema, terdengar hingga ke bawah.
“Mas..” Adam membangunkan gua dengan sentuhan pelan di bahu.
Gua terbangun dan menatapnya; “Jam berapa?” Tanya gua.
“Jam 5. Mau nitip sarapan nggak?” Ucapnya sambil bersiap pergi.
Gua menggeleng pelan seraya memijat leher yang pegal akibat tertidur di atas meja.
Selesai membuat kopi, gua menuju ke atas, ke rooftop tempat yang kini biasa kami gunakan untuk olahraga ringan. Gua duduk, meletakkan gelas kopi dan mulai menyulut sebatang rokok. Menghadap ke arah timur tempat sebentar lagi matahari akan terbit. Nggak seberapa lama, langit perlahan-lahan berubah warna, dari gelap yang pekat menjadi gradasi biru, ungu, dan akhirnya oranye keemasan.
Gua mengeluarkan ponsel, dan mulai memotret penampakan langit dengan matahari yang menjadi fokus utamanya, matahari yang baru saja terbit.
Sementara, angin pagi terasa membelai rambut yang membawa aroma embun. Gua membuka aplikasi pemutar musik di ponsel dan memutar lagu Terpurukku disini nya Kla Project, lagu yang kerap disenandungkan oleh Aldina;
Terpuruk ku di sini
Dipeluk bimbang sikapmu
Membeku dan sara
Tak terkira
Terdiam, gua mulai meresapi isi liriknya; ‘Dipeluk bimbang sikapmu’.
Lalu tertegun.
Merasa ada sentuhan yang menohok hati. Merasa selama ini gua selalu plin-plan, dan berada dalam kebimbangan. Gua menyelesaikan lagu, kemudian meraih ponsel yang sejak tadi diletakkan di lantai, kemudian mulai mencari kontak Reni. Ingin bicara dan ngobrol tentangnya, tentang Aldina. Selama ini Reni selalu ingin menceritakan sosok Aldina ke gua, namun gua kerap menolak mendengarkan.
Kini, gua ingin meneguhkan hati, ingin tahu sebanyak mungkin tentang dirinya sebelum memutuskan untuk bertemu. Membatalkan rencana untuk menemuinya hari ini.
Alih-alih nada sambung, yang terdengar malah bunyi tanda sambungan sibuk. Mungkin ia tengah menelpon seseorang.
Setelah beberapa saat, gua kembali mencoba menghubunginya. Kali ini nada sambung terdengar yang lalu disusul oleh sapaannya di ujung sana.
“Halo.. Reni?” Sapa gua.
“Iya. Kenapa kak Marshall?” Ia balik bertanya.
“Ada waktu buat ngobrol?” Tanya gua lagi.
“Hmmm… Boleh kapan?”
“Lo bisanya kapan?”
“Kalo hari ini nggak bisa deh kayaknya, mungkin besok kali ya” Jawabnya.
“Yaudah besok deh”
“Tentang apa nih?” Tanyanya, berlagak nggak tau. Padahal gua yakin kalau ia sudah pasti mengerti dengan maksud dan tujuan gua ingin bicara; apalagi kalau bukan tentang Aldina.
“Aldina” Jawab gua singkat.
“Oh, pas banget. Gua juga ada info penting tentang dia” Ucapnya.
“Info apa?” Tanya gua lagi.
“Ya nanti aja gua ceritain pas ketemu” Balasnya.
“Oh yaudah” Gua lantas mengakhiri panggilan.
Gua kembali memutar lagu Terpurukku disini nya Kla Project, meletakkan ponsel di lantai sambil menatap ke arah langit, dimana matahari mulai naik, menyebarkan cahaya emasnya ke seluruh penjuru, mengusir sisa-sisa kegelapan malam.
Besoknya, dengan berbekal alamat yang ia kirimkan sebelumnya, gua sudah berada di komplek perumahan dimana Reni tinggal. Reni terlihat sudah berdiri di dekat pos satpam di depan komplek rumahnya. Ia terlihat tengah mendorong sepeda roda tiga dimana anaknya duduk manis. Sementara, nggak jauh dari tempatnya berdiri terlihat seorang pria duduk sambil menatap layar ponsel; Robi; suaminya, yang gua kenali dari foto-foto dari status pesan miliknya.
“Hai..” Sapa gua seraya melambai saat sudat dekat dengan posisinya.
“Hai, naik apa?” Tanya Reni.
“Ojek” Jawab gua singkat.
Ia lalu memperkenalkan gua dengan suaminya; Robi. Lalu kami berjalan bersama menuju ke arah tempat tinggal mereka.
Sementara, Robi sibuk bermain dengan anaknya, Reni terlihat keluar dari dapur sambil membawa nampan dengan beberapa gelas kopi di atasnya.
“Ngopi kan, kak?” Tanyanya seraya meletakkan gelas berisi kopi di atas meja di depan gua.
“Iya. Thank you”
Reni lalu duduk di sofa di seberang gua sambil memeluk nampan. Lalu mulai membuka percakapan yang dimulai dengan sebuah pertanyaan singkat; “Sekarang udah sayang?”
Gua bisa saja langsung menjawab, hanya saja cukup terkejut begitu mendengar pertanyaannya barusan. Ini baru awal obrolan dan tiba-tiba ia mengajukan pertanyaan yang krusial. Gua memberi jawaban dengan sebuah senyuman.
“Jawab dong?” Ucapnya.
“...”
“Karena jawaban lo nanti menentukan apa yang bakal gua ceritakan tentang dia” Reni menambahkan.
Sementara, Robi yang berdiri di dekat kami sambil mondar-mandir menggendong anaknya lalu bertanya ke Reni; “Dia itu siapa sih?”
“Ssstt.. Diem” Seru Reni ke suaminya. Ia lalu berpaling ke gua dan kembali bertanya; “Gimana? Udah sayang belum?”
Gua mengangguk seraya menjawab pelan; “Udah”
“Nah, gitu dong” Ucapnya. Ia lalu berdiri dan masuk ke dalam kamar. Menit berikutnya Reni kembali, kini dengan membawa sebuah album foto berukuran kecil. Ia duduk di lantai di seberang gua, sementara gua duduk di sofa, meja ruang tamu menjadi perantara kami. Reni mengeluarkan lembaran foto dan meletakkannya di atas meja. Di foto terlihat Aldina yang tengah berdiri, berpose dengan seorang bocah perempuan di sebelahnya.
“Ini gua…” Ucap Reni sambil menunjuk ke arah bocah di sebelah Aldina.
Gua sedikit membungkuk agar dapat melihat dengan lebih jelas.
Reni meletakkan lembaran foto lainnya. Kini terlihat dua orang sosok yang sama berpose di depan sebuah rumah bercat putih. Disusul lembaran berikutnya, dan seterusnya. Semua foto yang ia tunjukkan menampilkan sosok Aldina bersama dengan dirinya yang saat itu masih sangat kecil.
“Gua nggak punya orang tua kak..” Ucapnya. Nggak seperti orang pada umumnya, yang langsung bersedih saat membicarakan status yatim-piatunya, Reni malah terlihat ceria.
“...”
“... Yang gua punya cuma Abang..”
“...”
“... dan dia..” Tambahnya seraya menunjuk sosok Aldina yang berada dalam lembaran foto.
“... Kak Dina bukan cuma Kakak buat gua, dia juga ibu dan sahabat. Nggak gampang jadi anak perempuan yang cuma punya sosok abang untuk tumbuh menjadi gadis remaja. Abang emang selalu perhatian dan penuh kasih sayang. Tapi, abang yang cowok, mana ngerti urusan-urusan anak gadis. Abang mana ngerti perihal menstruasi dan pubertas anak gadis. Di saat Abang sibuk dengan pekerjaan, sibuk nyari uang buat hidup kami, Kak Dina lah yang selalu ada buat gua” Ucapnya.
“...”
“... Lalu, munculah masalah diantara mereka berdua. Masalah yang waktu itu terlalu sulit buat gua yang masih remaja untuk memahaminya. Gua yang kala itu terjebak di pilihan yang sulit. Gua yang akhirnya nggak bisa menemani dia disaat tersulit dalam hidupnya.”
“...”
“... Terlepas dari yang udah dia lakukan dan akibatnya. Kak Dina justru yang paling menderita. Ia kehilangan semuanya. Kehilangan abang, kehilangan Anggi dan kehilangan rasa percaya dari orang-orang. Yang paling parah, saat ia sedang di fase terburuk dalam hidupnya, nyokapnya meninggal tanpa ia tahu”
“...”
“... Kak Dina yang sekarang Kak Marshall kenal. Kak Dina yang terlihat angkuh, sejatinya rapuh. Ia butuh seseorang untuk menjadi pegangan hidupnya. Dan saat ini Gua nggak bisa jadi orang itu.”
“...”
“... Waktu pertama kali Kak Dina cerita tentang Kak Marshall ke gua. Gua langsung ‘Wow’, kaget. Ini untuk pertama kalinya ia bercerita tentang seorang pria ke gua. Dimana selama ini, nggak pernah sekalipun ia membahasnya, sedikittttt pun..” Ucapnya seraya mengangkat ujung jarinya ke atas.
“...”
“... Then, sekarang. Lo nya malah maju mundur nggak jelas” Ucapnya.
“Hah!?”
“Lo sering berdebat kan sama dia?” Tanyanya, seakan tahu akan yang terjadi diantara kami berdua. Awalnya gua pikir, Aldina bercerita semuanya.
“Kok Tau?” Gua balik bertanya.
“Ya karena dia begitu cuma ke lo doang” Jawabnya.
“Oh…”
“Then, sekarang Anggi mau dibawa abang ke Kanada” Ucapnya.
“Hah? Kapan?” Tanya gua.
“Besok…” Reni menjawab singkat.
“Kenapa?” Tanya gua lagi, penasaran.
Reni lantas menjelaskan tentang kondisi Sere, anak bungsu Jeje yang sudah lama dalam kondisi sakit. Dan sudah lama berencana untuk pindah ke Kanada untuk melakukan perawatan. Namun, rencana tersebut sempat tertunda karena Covid-19. Kini, mereka melanjutkan rencana, pindah ke Kanada dengan membawa Anggi turut serta.
“Terus Aldina gimana? Udah tau dia?” Tanya gua. Reni lantas menjawab dengan anggukan kepala.
“Nanti kalau ada waktu, tengokin dia ya” Reni memberi saran.
Gua nggak langsung menjawab. Hanya mencoba mengalihkan pertanian dengan melihat deretan lembaran foto yang berada di atas meja. “Boleh gua foto?” Pinta gua ke Reni seraya mengeluarkan ponsel, berencana untuk memotret lembaran foto di atas meja.
“Hmmm… Boleh” Jawabnya.
Setelahnya, Reni kembali melanjutkan cerita, hingga kurang lebih satu jam. Kemudian, gua pamit dan bergegas pulang.
Di studio, gua memindahkan foto-foto hasil jepretan gua tadi ke dalam laptop. Lalu, mulai tenggelam menggambar bangunan-bangunan yang berada di foto.
—
Setelah beberapa hari, setelah menyelesaikan semua ilustrasi bangunan dalam foto dan tentu saja pekerjaan-pekerjaan yang sempat tertunda, gua berdiri dan menggeliat, meluruskan otot-otot yang kaku. Sementara, Dinar yang duduk tepat di sebelah gua langsung menutup hidung dan melempar bantal kecil ke gua.
“Mandi sana…” Serunya.
Gua tersenyum sebentar kemudian bersiap untuk pulang. Gua meraih beberapa gulungan kertas yang berisi sketsa yang sudah selesai dan menyerahkannya ke Adam.
“Di frame apa di blok mas?” Tanya Adam.
“Blok aja” Jawab gua singkat, kemudian bersiap untuk pulang.
Setibanya di apartemen, gua langsung mandi dan bersiap untuk pergi. Tentu saja pergi ke tempat Aldina.
Satu jam berikutnya, gua sudah berada di beranda minimarket di basement apartemen tempat Aldina tinggal. Seperti sebelumnya, gua hanya duduk di kursi besi di depan minimarket sambil merokok. Berharap, kejadian seperti waktu itu terulang, Aldina turun ke bawah saat gua tengah menunggu disini. Tapi, setelah cukup lama menunggu yang gua temui bukanlah Aldina, melainkan Reni.
Ia menepuk bahu gua, lalu bertanya; “Ngapain?”
Gua yang terkejut nggak langsung menjawab, hanya menatapnya.
“Ngapain?” Tanyanya lagi.
“Nunggu” Jawab gua.
“Nunggu Kak Dina?” Tanyanya.
Gua lalu mengangguk pelan.
“Ck, Bukannya telepon atau chat” Gumamnya, lantas mengajak gua masuk ke lobby lift.
Reni menemani dan mengantar gua hingga ke depan pintu apartemen Aldina. Ia menekan tombol akses pada gagang pintu dan membukanya. Setelah pintu terbuka, ia menahan daun pintu dengan kaki agar nggak kembali menutup, seakan memberi kesempatan gua untuk masuk.
“Lo?” Tanya gua.
“Gua mau pulang” Jawabnya singkat.
“Oh…”
“Gua tinggal ya” Ucapnya, kemudian pergi.
Gua buru-buru menahan pintu agar nggak menutup, sementara Reni mulai pergi menjauh. Terdengar samar ia berseru dari kejauhan; “Good luck!”
Begitu masuk ke dalam, gua langsung disambut kegelapan. Sedikit cahaya terang berasal dari ruang keluarga, cahaya yang sepertinya berasal dari sinar matahari yang menembus masuk melalui celah-celah tirai jendela balkon. Di atas sofa, terlihat Aldina duduk seraya memeluk lututnya, menatap kosong ke arah layar televisi yang nggak menyala. Sementara di depannya, di atas meja terdapat beberapa porsi makanan yang sepertinya baru disiapkan oleh Reni.
Gua nggak langsung mendekat, hanya berdiri sambil terus menatapnya.
Entah, ia menyadari kehadiran gua atau nggak, Aldina hanya bergeming, tenggelam dalam diam, seperti nggak peduli dengan keadaan sekitar.
“Uhuk” Gua sengaja membuat suara. Agar ia menyadari kehadiran gua. Aldina hanya menoleh ke arah gua, lalu kembali ke arah layar televisi. Seakan kehadiran gua nggak ada artinya.
Gua melangkah pelan lalu duduk berlutut di lantai, tepat di hadapannya. Kemudian menyebut namanya pelan; “Din…”
“...”
“... Lo gapapa?” Tanya gua. Sebuah pertanyaan retoris yang sejatinya nggak perlu diajukan. Dengan hanya melihatnya saja, gua sudah tau kalau ia tengah nggak baik-baik saja. Tapi, gua tetap butuh untuk tau langsung darinya, kalau ia memang nggak baik-baik saja.
Nggak mendapat respon darinya, gua lalu berdiri dan berpindah posisi, duduk di atas sofa tepat di sebelahnya. Mengikuti perilakunya, menatap kosong ke arah layar televisi yang nggak menyala, ingin merasakan apa yang ia rasakan.
10 menit,
30 menit,
Satu jam, kami hanya terdiam.
Aldina menoleh ke arah gua dan menatap gua dengan matanya yang sembab. Tanpa kata, dan dengan perlahan, ia menyandarkan kepalanya di bahu gua.
Lalu kami kembali sama-sama terdiam.
10 menit,
30 menit,
Satu jam, kami hanya terdiam.
Lalu seperti tanpa perintah, terdengar suara dari arah perut gua, suara perut yang keroncongan akibat belum makan sejak kemarin siang, karena sibuk membuat ilustrasi. Karena berada dalam ketenangan, tentu saja suara samar dari perut gua yang ‘berteriak’ didengar olehnya. Ia mengangkat kepalanya dari bahu gua lantas menoleh ke arah gua dan melayangkan pukulan.
“Makan tuh…” Ucapnya pelan dan lirih, seraya menunjuk ke arah porsi makanan yang tersedia di atas meja.
Gua lantas mengambil seporsi nasi goreng dari atas meja dan mulai memakannya. Sesekali, gua mengarahkan sendok berisi nasi goreng ke arah bibirnya, namun ia menolak dengan menggeleng. Gua lantas meletakkan kembali piring nasi goreng ke atas meja; berhenti makan.
Ia menoleh ke arah gua dan menatap gua tajam. Tatapannya seakan memberikan ancaman.
Gua kembali mengambil piring berisi nasi goreng, menyendoknya dan mulai kembali makan. Lalu, mencoba kembali menyuapinya. Kini, ia nggak menolak. Aldina membuka mulutnya dan mulai makan.
Setelah beberapa suapan, ia kembali menoleh dan bicara; “Minum!”
Gua berdiri, mengambil botol berisi air mineral dari dalam kulkas dan memberikannya ke Aldina.
“Buka!”
Gua membuka tutup botol dan menyodorkannya ke Aldina. Ia lalu menenggaknya sampai habis, seperti orang yang sudah berhari-hari nggak minum. Saat gua kembali menyodorkan sendokan berisi nasi goreng, ia menggeleng; “Udah..”
“Belum!” Seru gua, setengah berteriak.
Mendengar seruan gua, Aldina lalu pasang tampang kaget. Kemudian dengan cepat membuka mulutnya.
“Nah.. Pintar” Gumam gua pelan seraya memasukkan porsi kecil nasi goreng ke dalam mulutnya. Sementara, Aldina hanya pasa ekspresi kesal dan mulai mengunyah.
Kami kembali terdiam, gua hanya makan tanpa suara sambil bergantian menyuapinya. Begitu pula dengan Aldina yang juga hanya terdiam.
Begitu kami selesai, gua lantas mencuci piring. Saat tengah mencuci piring, terlihat V60 dripper set di sudut kitchen set, lengkap dengan toples berisi biji kopi yang masih penuh. Gua mulai memasak air dan membuat kopi dengan alat tersebut. Tentu saja tanpa seijin si empunya rumah.
Beberapa saat berikutnya, gua kembali ke ruang keluarga, dimana Aldina masih duduk menatap kosong ke depan. Tapi kali ini, ia merespon semua gerak-gerik gua dengan tatapannya. Gua duduk di sebelahnya, lalu menyodorkan gelas berisi kopi tanpa gula yang baru saja gua buat.
Sebelum meraih gelas, ia menatap gua, tatapan bingung dan curiga. Namun, ia tetap meraih gelas tersebut. Mengendusnya sebentar kemudian dengan hati-hati mulai menyeruputnya. Ekspresinya berubah, lidahnya ia julurkan sementara kedua matanya terpejam; “Uek, pait” Gumamnya, lalu mengembalikan gelas kopi tersebut ke gua.
Gua melakukan hal yang sama, mengendusnya sebentar, menghirup aroma dari biji kopi mahal miliknya, kemudian menyeruputnya perlahan.
“Ah…” Seru gua.
“Boleh merokok?” Tanya gua kepadanya. Aldina hanya merespon dengan anggukan kepala.
Gua berdiri, membuka jendela yang mengarah ke balkon lalu duduk diantaranya. Sementara, Ia ikut berdiri, menuju ke arah dapur lalu kembali dengan asbak di tangannya. Aldina meletakkan asbak di lantai, di sebelah gua, lalu kembali duduk di atas sofa.
“Lo kok bisa masuk?” Tiba-tiba ia mengajukan pertanyaan setelah sebelumnya hanya bicara seperlunya.
“Reni” Gua menjawab.
“Janjian sama Reni?” Tanyanya lagi.
Gua menggeleng. “Tadi ketemu di bawah, di minimarket”
“Ngapain?” Tanyanya. Kini nada bicaranya sedikit meninggi.
“Nunggu elo” Gua memberi jawaban.
“Untuk ketemu Reni. Kalo nggak gimana. Gua nggak ada rencana keluar dari sini nggak tau sampe kapan” Jawabnya, sewot.
“Ya gua pulang” Jawab gua santai.
“Bodat!” Serunya. —
LeAnn Rimes - How Do I Live
How do I get through one night without you?
If I had to live without you
What kind of life would that be?
Oh, I, I need you in my arms, need you to hold
You're my world, my heart, my soul and if you ever leave
Baby, you would take away everything good in my life
And tell me now
How do I live without you? I want to know
How do I breathe without you if you ever go?
How do I ever, ever survive?
How do I, how do I, oh, how do I live?
Without you, there'd be no sun in my sky
There would be no love in my life
There'd be no world left for me
And I, baby, I don't know what I would do
I'd be lost if I lost you, if you ever leave
Baby, you would take away everything real in my life
And tell me now
How do I live without you? I want to know
How do I breathe without you if you ever go?
How do I ever, ever survive?
How do I, how do I, oh, how do I live?
Please, tell me, baby
How do I go on if you ever leave?
Baby, you would take away everything, I need you with me
Baby, don't you know that you're everything good in my life?
And tell me now
How do I live without you? I want to know
How do I breathe without you if you ever go
How do I ever, ever survive?
How do I, how do I, oh, how do I live?
How do I live without you?
How do I live without you, baby?
How do I live?