- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa

Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 21:29
viper990 dan 214 lainnya memberi reputasi
215
399K
Kutip
4.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1950
Part 76 - Ganti Merindu
Spoiler for Part 76 - Ganti Merindu:
“Nanti lo malah nggak mau ketemu sama gua lagi” Jawabnya.
Mendengar ucapannya barusan gua yakin kalau tujuan dia bicara waktu itu memang hanya ingin membuat sakit hati.
“Oke, berarti emang tujuan lo ngomong gitu cuma buat nyakitin gua” Ucap gua.
“...” Aldina nggak merespon, ia hanya terdiam.
“... Iya kan?” Tanya gua lagi, ingin mencoba mengorek jawaban darinya.
Sungguh, jauh dilubuk hati yang terdalam gua begitu ingin mendengar ia menjawab kalau kata-katanya waktu itu hanyalah candaan semata.
Aldina masih terdiam, nggak memberikan jawaban. Sikapnya semakin meyakinkan gua kalau tujuannya memang benar-benar ingin menyakiti hati.
Merasa sudah mendapat jawaban, merasa nggak ada gunanya lagi gua disini, gua lantas berdiri dan bersiap untuk pergi. Namun, dengan cepat ia menggapai bagian bawah celana jeans yang gua kenakan dan mencengkeramnya; kuat.
“Lepas” Ucap gua pelan.
Aldina menggeleng.
Gua membungkuk, lalu dengan hati-hati mulai melepaskan satu persatu jarinya yang mencengkeram erat. Begitu terbebas, gua langsung berjalan menjauh. Sementara, area tersebut kini mulai dipadati banyak pengunjung yang sudah siap di depan panggung kecil yang berada di sana. Gua menghentikan langkah, lalu berbalik dan menatap ke arah Aldina yang masih duduk di salah satu anak tangga; memandang kosong ke arah danau yang gelap.
Sementara, sosoknya terlihat begitu menonjol dimata gua, diantar ramainya orang yang lalu-lalang. Gua menghela nafas panjang, berbalik dan melanjutkan langkah menuju ke salah satu kedai kecil nggak jauh dari sana, kedai yang menjual aneka minuman kekinian.
“Pesen apa kak?” Tanya si pramusaji sambil tersenyum dari balik konter kecil.
Sementara, gua masih berdiri sambil menatap papan di depan konter yang berisi gambar-gambar menu minuman.
“Ini satu deh” Jawab gua sambil menunjuk ke arah salah satu gambar minuman yang terlihat paling menarik daripada yang lain.
Sambil menunggu pesanan, gua terus berdiri seraya mencoba melihat ke arah lokasi dimana Aldina duduk. Sesekali, gua kehilangan pandangan karena terhalang oleh kerumunan orang sehingga membuat gua harus mundur beberapa langkah.
“Sebentar ya kak…” Ucap si pramusaji.
“...” Gua mengangguk pelan. Sepertinya ada sedikit masalah pada alat pencampur miliknya.
Setelah cukup lama menunggu, minuman pesanan gua akhirnya selesai. Dengan segelas besar minuman ditangan, gua berjalan cepat membelah kerumunan, kembali ke tempat dimana gua meninggalkan Aldina duduk sendirian.
Dari kejauhan terlihat, ia sudah menggeser posisi duduknya karena ‘tergusur’ oleh pengunjung lain yang ingin berfoto atau sekedar duduk bergerombol di sana. Gua mempercepat langkah hingga akhirnya tiba di tempatnya.
Tanpa bicara, gua meraih lengannya. Ia berpaling dan mendongak. Tanpa mengajukan protes, yang mana adalah hal yang baru buat gua, ia ikut berdiri dan mengikuti gua keluar dari kerumunan menuju ke arah pintu masuk, ke area yang lebih sepi.
Gua melepas tangannya saat kami akhirnya tiba di area drop-off. Tanpa instruksi, Aldina duduk di salah satu dari deretan kursi batu yang berada di sana. Gua lantas menyerahkan gelas besar minuman yang tadi sempat gua beli kepadanya. Ia nggak bicara, hanya menatap gua lalu beralih ke gelas minuman yang kini berada di tangannya.
Aldina lalu mulai minum sambil sesekali pandangannya ia arahkan ke gua yang kini bersandar pada salah satu pilar, sambil merokok.
“Manis banget” Aldina protes.
Gua yang nggak terima dengan protesnya, lantas merebut gelas tersebut dari genggamannya, membawanya ke tempat sampah terdekat dan membuangnya. Merasa harusnya ia nggak secara terang-terangan mengeluh tentang minuman yang sudah gua beli dengan menunggu lama.
Sementara, Aldina nggak merespon.
Menit berikutnya, ia yang kini terlihat kesal mulai menatap gua dengan matanya yang tajam. Lalu mendekat ke arah tempat sampah dimana gua membuang gelas minuman tadi. Mirip seperti pemulung, ia mengais-ngais isi tempat sampah, kemudian kembali dengan gelas minuman yang sama, dimana kini isinya tersisa setengah. Sementara, beberapa pengunjung lain yang melihat kelakuannya mulai memberi tatapan aneh ke Aldina.
“Kenapa dibuang?” Gumamnya pelan.
Merasa kalau minuman di dalam gelas tersebut sudah terkontaminasi, gua mendekat ke arahnya, duduk di kursi batu tepat di sebelahnya dan berusaha merebut gelas minuman tersebut dari tangannya. Namun, sepertinya ia sudah belajar dari kejadian sebelumnya, dengan cepat ia memindahkan gelas minuman tersebut ke tangan satunya.
“Buang aja, nanti gua beliin yang baru itu udah kotor” Ucap gua, berharap ia nggak meminumnya.
Begitu mendengar penawaran gua. Ia menyerah, membiarkan gua meraih gelas dari tangannya dan membuangnya kembali ke tempat sampah.
“Ayo, ikut. Biar gua nggak salah beli” Ajak gua ke Aldina. Sengaja, biar nggak salah beli.
Seketika gua teringat akan Poppy. Poppy yang begitu menyukai minuman manis. Ia bahkan benci kopi yang pahit, apalagi kopi mahal yang pahit.
Buatnya, kopi sachet seribuan adalah kopi terenak yang pernah ia cicipi.
Lalu, tanpa sadar gua menggumam pelan; “Kirain semua cewek suka manis”
Aldina langsung meninju lengan gua seraya berseru; “Stereotyping”.
Gua terus berjalan, hingga akhirnya kami sampai di area foodcourt. Dimana gua sempat diajak meeting oleh Ketu beberapa kali di sini. Selain tempatnya terbuka, jadi bisa bebas merokok. Disini juga harga makanan dan minumannya relatif lebih murah ketimbang kedai-kedai premium diluaran.
Sementara, Aldina terus mengikuti gua sambil sesekali matanya menatap sekeliling. Mungkin ini baru kali pertamanya ia mengunjungi tempat makan yang ‘biasa’ saja.
Gua berdiri di depan sebuah kedai dimana seorang pria sipit setengah baya menyambut kami. Kedai ini merupakan kedai yang khusus menjual minuman seperti kopi, teh dan air jeruk dan banyak lainnya. Mereka juga menjual aneka gorengan, sebut saja pisang goreng, tahu goreng hingga singkong goreng.
“Kopi item dua koh” ucap ke pria sipit tersebut.
“Panas? Dingin?” Tanyanya lagi.
Gua berpaling ke Aldina, ingin tau maunya. Ia lalu bicara pelan; “Panas”
“Panas dua-duanya” Ucap gua ke si pria sipit setengah baya.
“Manis nggak?” Tanyanya lagi.
Gua tersenyum sebentar. Kali ini gua nggak minta pendapatnya, sengaja ingin memesan kopi tanpa gula dari kedai ini yang memang terkenal super pahit. “Pait dua-duanya, koh”.
Dengan cekatan si kokoh lantas membuat pesanan. Dan dalam waktu singkat, dua kopi hitam dalam kemasan gelas karton sudah siap. Gua menyelesaikan pembayaran, meraih dua gelas kopi dan beranjak menjauh dari kedai untuk mencari kursi dan meja yang kosong.
Gua menyerahkan salah satu gelas kopi ke Aldina, lalu duduk di salah satu kursi besi yang kosong. Ia menyusul duduk dan mulai menyeruput kopi dengan hati-hati.
“Aih… pait banget” Gumam nya, kemudian menyeka bibir dengan punggung tangan. Dengan cepat, gua berusaha meraih gelas kopi miliknya, sejak tadi gua memang berencana untuk membuang kopi miliknya seandainya ia kembali protes. Tapi, Aldina dengan cepat memindahkan gelas miliknya, menjauh dari jangkauan gua.
“Apaan sih lo!” Serunya.
“Lagian, manis salah, pait salah” Gua mengajukan protes.
“Ya kan gua cuma ngedumel doang, bukan artinya nggak mau” Ia menjelaskan.
Kami sama-sama terdiam. Aldina terlihat menikmati kopi pahit sambil sesekali menatap ke arah luar, sementara gua mulai menyulut sebatang rokok dan menatap wajahnya. Entah kenapa, hari ini ia terlihat berbeda. Nggak seperti sebelumnya, dimana ia selalu terlihat angkuh dan superior. Kini ia terlihat rapuh dan seakan tak berdaya.
Tiba-tiba, ia menggeser gelas kopi miliknya. Lalu melipat tangan di atas meja dan memposisikan dagu di atas tangan yang terlipat, sambil menatap ke arah gua. “Sal…” Ia menyebut nama gua.
“Apa?”
“Udah sebulan ini gua konseling sama psikolog” Tambahnya.
Jujur, gua nggak begitu butuh informasi ini darinya. Tapi, mendengar hal tersebut seakan menasbihkan semua candaan gua selama ini yang mengatakan kalau dia ‘gila’. Gua tertawa sepuasnya.
“Bagus dong. Kenapa nggak dari dulu?” Tanya gua, masih sambil cekikikan.
“...”
“... Dan kayaknya butuh dari sekedar psikolog deh untuk nyembuhin gejala gila lo” Gua menambahkan. Merasa kalau butuh lebih dari sekedar psikolog untuk membuatnya waras, mungkin perlu mengajak pawang ular cobra dan tukang gali sumur.
Mendengar ledekan gua, Aldina langsung pasang tampang cemberut. Tapi, entah kenapa ia hanya terdiam, nggak membalas ledekan gua.
Merasa nggak mendapat respon yang diharapkan, gua berhenti tertawa. Lalu pasang tampang serius dan mulai bertanya tentang penyebab ia harus konseling dengan psikolog. “Kenapa emang?”
Aldina menghela nafas sebentar kemudian menjawab; “Katanya sih gua stress akhirnya jadi cemas berlebihan; panic attack”.
“Oh. Kok bisa gitu? Gara-gara apa?” Tanya gua penasaran.
“Nggak tau. Mungkin gara-gara lo” Ia menjawab santai.
Mendengar jawaban darinya membuat gua kembali merasa kesal. Kok bisa-bisanya ia bawa-bawa gua ke masalah yang ia alami. Gua lantas meletakkan gelas kopi diatas meja, dan menggeser kursi agar lebih dekat kemudian bicara kepadanya sambil menggeram; “Gila. Sampe hal kayak gini aja lo bisa-bisanya nyeret-nyeret gua”.
Namun, respon Aldina berikutnya cukup mengejutkan dia. Dengan ekspresi wajah datar, ia lalu bicara; “Gua nggak bercanda. Tapi, lo jangan terlalu PD dulu…”.
Gua terdiam, sambil terus menatap ke arahnya.
“...Sal” Ia kembali menyebut nama gua.
“Apa?”
“Lo pernah nggak rindu sama seseorang?” Tanyanya.
“Hmm.. Mungkin pernah” Jawab gua santai, merasa percakapan kami sudah terdengar normal. Sudah terdengar seperti percakapan umum orang-orang.
“Siapa?” Tanyanya.
Gua kasih tau juga lo nggak bakal kenal”
“Try me…”
“Nggak. Buat apa?”
Ternyata gua salah saat merasa percakapan ini bakal seterusnya terdengar normal. Masih dengan dagu berada di atas tangan yang terlipat, ia menatap gua. Kini tatapannya nggak setajam sebelumnya, terkesan sayu dan layu. Lalu, tiba-tiba ia mengajukan permintaan. Sebuah pertanyaan yang hampir membuat jantung gua berhenti.
“Mau nggak lo merindukan gua?” Pintanya.
“What?!” Jujur, gua benar-benar terkejut begitu mendengar permintaannya barusan.
Seakan nggak cukup, ia kembali mengulang permintaannya; “Rindukan gua”.
“What?! Apa?” Tanya gua, masih merasa nggak percaya dengan apa yang gua dengar.
“Lo jangan ke-PD-an dulu..” Ucapnya, berusaha mengklarifikasi permintaan sebelumnya.
“...”
“... Menurut si Psikolog, serangan cemas gua mungkin bisa jadi gara-gara rindu”
“Rindu sama siapa?”
“Sama elo! Tadi kan gua udah bilang” Serunya, kini nada bicaranya sedikit meninggi.
“Lah…” Gua menggaruk kepala yang nggak gatal, merasa bingung dengan penjelasannya.
Ia lalu menurunkan pandangannya. Setelah beberapa saat tenggelam dalam diam, ia kembali menatap gua dan melanjutkan bicara; “Gua nggak mau kalau dianggap hanya rindu sendirian”
“What?!
“Gua mau lo juga rindu sama gua!” Pintanya lagi.
“Hah?! Mana bisa begitu?” Gua mengajukan protes.
Rindu itu sendiri muncul karena kenangan indah atau momen ‘penting’ yang pernah dialami bersama seseorang. Atau bisa juga muncul karena kenangan akan tempat tertentu. Kenangan yang memicu rasa nostalgia juga keinginan besar untuk mengulang kembali momen indah itu.
“Mulai hari ini, setelah dari sini. Lo harus belajar merindukan gua” Ucapnya, kini nadanya terdengar mirip seperti sebuah ancaman.
Gua jelas nggak terima dengan cara berpikirnya yang aneh dan absurd. Wajar nggak sih kalau gua melabeli dirinya sebagai ‘orang gila’? Bagaimana mungkin orang dipaksa untuk merindu. Rindu itu perasaan alami, Rindu itu respons emosional yang spontan dan munculnya tanpa disadari.
“Gimana caranya Aldina?!” Tanya gua.
“Ya nggak tau, lo pikirin deh” ia menjawab santai.
Gua menggeleng. Tentu saja menolak permintaan anehnya itu.
“… pokoknya gua nggak mau ngerasa rindu ke lo sendirian, titik”. Tambahnya.
Gua terdiam sesaat, baru menyadari satu hal. Hal yang cukup penting tapi serasa terlewatkan karena permintaan anehnya ini.
“Tunggu, tunggu…”
“…”
“… kenapa lo bisa tiba-tiba merindukan gua?” Gua bertanya. Yang lantas dijawabnya dengan cepat; “Ya gua juga nggak tau”
“Aneh” gumam gua pelan.
“Emang lo pikir gua mau? Emang lo pikir gua mau merindukan lo?” Ia balik bertanya.
“Terus kalo ternyata salah, lo bisa tau darimana kalau lo beneran merindukan gua?” Tanya gua lagi.
“Liat aja nanti. Kalo abis ini ternyata gua baik-baik aja berarti emang bener gua merindukan lo” Jawabnya.
“…”
“… Kalo ternyata abis ketemu lo gua masih merasa cemas dan gelisah. Ya berarti bukan lo, bukan rindu penyebabnya” Ia menambahkan.
Gua menghela nafas panjang, mencoba mengatur emosi agar nggak meledak, terus mencoba untuk tetap tenang, seraya mengusap wajah dengan kedua tangan. Gua tau, cukup lama mendekam di penjara bikin gua banyak tertinggal, apalagi dalam hal pergaulan. Tapi, bertemu dengan cewek yang sikapnya aneh seperti dia, seperti Aldina jelas baru kali ini gua rasakan.
“Ok, gini ya Din. Coba kita bicarain pelan-pelan ya” Ucap gua dengan nada serendah mungkin kepadanya.
Aldina Mengangguk, setuju. Gua kembali menghela nafas, lalu mulai bicara pelan.
“Lo konseling sama psikolog, di diagnosa ‘gangguan kecemasan’, menurut si psikolog bisa aja karena rindu…” Gua bicara.
“...” Aldina mengangguk pelan.
“... Then, lo merasa kalau rasa rindu itu buat gua?”
“Iya…”
“Terus lo nggak mau merasa rindu sendirian. That’s why lo maksa gua buat merindukan lo juga?”
“Iya, betul. Itu lo ngerti, ngapain jadi muter-muter dari tadi” Jawabnya.
“Gini ya, Din…”
“...”
“... Normalnya, rasa rindu itu datang secara alami. Nggak bisa diminta atau dipaksa” Gua menambahkan.
“Lah terus, kalau benar gua rindu sama lo, dari mana asalnya?” Tanyanya, bingung.
“Ya nggak tau lah. Kenapa gua yang jadi malah harus ngurusin perasaan lo” Jawab gua.
Aldina lalu berdiri, sambil meremas gelas karton yang sudah kosong dengan genggaman tangannya, ia bersiap pergi. Sementara, gua masih duduk dan menikmati sisa kopi. Setelah menenggak habis kopi di dalam gelas, gua ikut berdiri dan bergegas menyusul Aldina yang sudah lebih dulu pergi.
Ia berada di depan gua, jarak kami berdua kira-kira 2 sampai 3 meter.
Sesekali ia, berbalik badan, berjalan mundur sambil menatap gua dan bicara; “Kalau ternyata gua beneran rindu sama lo gimana?” Tanyanya.
Gua mengangkat kedua bahu.
“Yang ngerasain kan lo. Gua nggak rugi apa-apa” Jawab gua, sambil terus berjalan. Sementara ia kembali berbalik dan melangkah maju.
Ia lalu menghentikan langkah dan terdiam. Kemudian mulai bicara saat gua sudah berada tepat di sebelahnya. “Kalau seandainya lo juga rindu sama gua gimana?” Tanyanya lagi.
“Nggak mungkin” Gua menjawab singkat sambil terus berjalan.
Kini, gua yang berada di depan. Sementara Aldina mengikuti gua dari belakang. Terdengar suara Aldina mempercepat langkah, menyusul gua. “Lo naik apa?” Tanyanya.
“Naik ojek online” Gua menjawab singkat.
“Oh, yaudah. Bye” Ucapnya, kemudian berbalik dan pergi. Tumben. Tumben kali ini ia nggak memaksa untuk mengantar gua.
—
Mendengar ucapannya barusan gua yakin kalau tujuan dia bicara waktu itu memang hanya ingin membuat sakit hati.
“Oke, berarti emang tujuan lo ngomong gitu cuma buat nyakitin gua” Ucap gua.
“...” Aldina nggak merespon, ia hanya terdiam.
“... Iya kan?” Tanya gua lagi, ingin mencoba mengorek jawaban darinya.
Sungguh, jauh dilubuk hati yang terdalam gua begitu ingin mendengar ia menjawab kalau kata-katanya waktu itu hanyalah candaan semata.
Aldina masih terdiam, nggak memberikan jawaban. Sikapnya semakin meyakinkan gua kalau tujuannya memang benar-benar ingin menyakiti hati.
Merasa sudah mendapat jawaban, merasa nggak ada gunanya lagi gua disini, gua lantas berdiri dan bersiap untuk pergi. Namun, dengan cepat ia menggapai bagian bawah celana jeans yang gua kenakan dan mencengkeramnya; kuat.
“Lepas” Ucap gua pelan.
Aldina menggeleng.
Gua membungkuk, lalu dengan hati-hati mulai melepaskan satu persatu jarinya yang mencengkeram erat. Begitu terbebas, gua langsung berjalan menjauh. Sementara, area tersebut kini mulai dipadati banyak pengunjung yang sudah siap di depan panggung kecil yang berada di sana. Gua menghentikan langkah, lalu berbalik dan menatap ke arah Aldina yang masih duduk di salah satu anak tangga; memandang kosong ke arah danau yang gelap.
Sementara, sosoknya terlihat begitu menonjol dimata gua, diantar ramainya orang yang lalu-lalang. Gua menghela nafas panjang, berbalik dan melanjutkan langkah menuju ke salah satu kedai kecil nggak jauh dari sana, kedai yang menjual aneka minuman kekinian.
“Pesen apa kak?” Tanya si pramusaji sambil tersenyum dari balik konter kecil.
Sementara, gua masih berdiri sambil menatap papan di depan konter yang berisi gambar-gambar menu minuman.
“Ini satu deh” Jawab gua sambil menunjuk ke arah salah satu gambar minuman yang terlihat paling menarik daripada yang lain.
Sambil menunggu pesanan, gua terus berdiri seraya mencoba melihat ke arah lokasi dimana Aldina duduk. Sesekali, gua kehilangan pandangan karena terhalang oleh kerumunan orang sehingga membuat gua harus mundur beberapa langkah.
“Sebentar ya kak…” Ucap si pramusaji.
“...” Gua mengangguk pelan. Sepertinya ada sedikit masalah pada alat pencampur miliknya.
Setelah cukup lama menunggu, minuman pesanan gua akhirnya selesai. Dengan segelas besar minuman ditangan, gua berjalan cepat membelah kerumunan, kembali ke tempat dimana gua meninggalkan Aldina duduk sendirian.
Dari kejauhan terlihat, ia sudah menggeser posisi duduknya karena ‘tergusur’ oleh pengunjung lain yang ingin berfoto atau sekedar duduk bergerombol di sana. Gua mempercepat langkah hingga akhirnya tiba di tempatnya.
Tanpa bicara, gua meraih lengannya. Ia berpaling dan mendongak. Tanpa mengajukan protes, yang mana adalah hal yang baru buat gua, ia ikut berdiri dan mengikuti gua keluar dari kerumunan menuju ke arah pintu masuk, ke area yang lebih sepi.
Gua melepas tangannya saat kami akhirnya tiba di area drop-off. Tanpa instruksi, Aldina duduk di salah satu dari deretan kursi batu yang berada di sana. Gua lantas menyerahkan gelas besar minuman yang tadi sempat gua beli kepadanya. Ia nggak bicara, hanya menatap gua lalu beralih ke gelas minuman yang kini berada di tangannya.
Aldina lalu mulai minum sambil sesekali pandangannya ia arahkan ke gua yang kini bersandar pada salah satu pilar, sambil merokok.
“Manis banget” Aldina protes.
Gua yang nggak terima dengan protesnya, lantas merebut gelas tersebut dari genggamannya, membawanya ke tempat sampah terdekat dan membuangnya. Merasa harusnya ia nggak secara terang-terangan mengeluh tentang minuman yang sudah gua beli dengan menunggu lama.
Sementara, Aldina nggak merespon.
Menit berikutnya, ia yang kini terlihat kesal mulai menatap gua dengan matanya yang tajam. Lalu mendekat ke arah tempat sampah dimana gua membuang gelas minuman tadi. Mirip seperti pemulung, ia mengais-ngais isi tempat sampah, kemudian kembali dengan gelas minuman yang sama, dimana kini isinya tersisa setengah. Sementara, beberapa pengunjung lain yang melihat kelakuannya mulai memberi tatapan aneh ke Aldina.
“Kenapa dibuang?” Gumamnya pelan.
Merasa kalau minuman di dalam gelas tersebut sudah terkontaminasi, gua mendekat ke arahnya, duduk di kursi batu tepat di sebelahnya dan berusaha merebut gelas minuman tersebut dari tangannya. Namun, sepertinya ia sudah belajar dari kejadian sebelumnya, dengan cepat ia memindahkan gelas minuman tersebut ke tangan satunya.
“Buang aja, nanti gua beliin yang baru itu udah kotor” Ucap gua, berharap ia nggak meminumnya.
Begitu mendengar penawaran gua. Ia menyerah, membiarkan gua meraih gelas dari tangannya dan membuangnya kembali ke tempat sampah.
“Ayo, ikut. Biar gua nggak salah beli” Ajak gua ke Aldina. Sengaja, biar nggak salah beli.
Seketika gua teringat akan Poppy. Poppy yang begitu menyukai minuman manis. Ia bahkan benci kopi yang pahit, apalagi kopi mahal yang pahit.
Buatnya, kopi sachet seribuan adalah kopi terenak yang pernah ia cicipi.
Lalu, tanpa sadar gua menggumam pelan; “Kirain semua cewek suka manis”
Aldina langsung meninju lengan gua seraya berseru; “Stereotyping”.
Gua terus berjalan, hingga akhirnya kami sampai di area foodcourt. Dimana gua sempat diajak meeting oleh Ketu beberapa kali di sini. Selain tempatnya terbuka, jadi bisa bebas merokok. Disini juga harga makanan dan minumannya relatif lebih murah ketimbang kedai-kedai premium diluaran.
Sementara, Aldina terus mengikuti gua sambil sesekali matanya menatap sekeliling. Mungkin ini baru kali pertamanya ia mengunjungi tempat makan yang ‘biasa’ saja.
Gua berdiri di depan sebuah kedai dimana seorang pria sipit setengah baya menyambut kami. Kedai ini merupakan kedai yang khusus menjual minuman seperti kopi, teh dan air jeruk dan banyak lainnya. Mereka juga menjual aneka gorengan, sebut saja pisang goreng, tahu goreng hingga singkong goreng.
“Kopi item dua koh” ucap ke pria sipit tersebut.
“Panas? Dingin?” Tanyanya lagi.
Gua berpaling ke Aldina, ingin tau maunya. Ia lalu bicara pelan; “Panas”
“Panas dua-duanya” Ucap gua ke si pria sipit setengah baya.
“Manis nggak?” Tanyanya lagi.
Gua tersenyum sebentar. Kali ini gua nggak minta pendapatnya, sengaja ingin memesan kopi tanpa gula dari kedai ini yang memang terkenal super pahit. “Pait dua-duanya, koh”.
Dengan cekatan si kokoh lantas membuat pesanan. Dan dalam waktu singkat, dua kopi hitam dalam kemasan gelas karton sudah siap. Gua menyelesaikan pembayaran, meraih dua gelas kopi dan beranjak menjauh dari kedai untuk mencari kursi dan meja yang kosong.
Gua menyerahkan salah satu gelas kopi ke Aldina, lalu duduk di salah satu kursi besi yang kosong. Ia menyusul duduk dan mulai menyeruput kopi dengan hati-hati.
“Aih… pait banget” Gumam nya, kemudian menyeka bibir dengan punggung tangan. Dengan cepat, gua berusaha meraih gelas kopi miliknya, sejak tadi gua memang berencana untuk membuang kopi miliknya seandainya ia kembali protes. Tapi, Aldina dengan cepat memindahkan gelas miliknya, menjauh dari jangkauan gua.
“Apaan sih lo!” Serunya.
“Lagian, manis salah, pait salah” Gua mengajukan protes.
“Ya kan gua cuma ngedumel doang, bukan artinya nggak mau” Ia menjelaskan.
Kami sama-sama terdiam. Aldina terlihat menikmati kopi pahit sambil sesekali menatap ke arah luar, sementara gua mulai menyulut sebatang rokok dan menatap wajahnya. Entah kenapa, hari ini ia terlihat berbeda. Nggak seperti sebelumnya, dimana ia selalu terlihat angkuh dan superior. Kini ia terlihat rapuh dan seakan tak berdaya.
Tiba-tiba, ia menggeser gelas kopi miliknya. Lalu melipat tangan di atas meja dan memposisikan dagu di atas tangan yang terlipat, sambil menatap ke arah gua. “Sal…” Ia menyebut nama gua.
“Apa?”
“Udah sebulan ini gua konseling sama psikolog” Tambahnya.
Jujur, gua nggak begitu butuh informasi ini darinya. Tapi, mendengar hal tersebut seakan menasbihkan semua candaan gua selama ini yang mengatakan kalau dia ‘gila’. Gua tertawa sepuasnya.
“Bagus dong. Kenapa nggak dari dulu?” Tanya gua, masih sambil cekikikan.
“...”
“... Dan kayaknya butuh dari sekedar psikolog deh untuk nyembuhin gejala gila lo” Gua menambahkan. Merasa kalau butuh lebih dari sekedar psikolog untuk membuatnya waras, mungkin perlu mengajak pawang ular cobra dan tukang gali sumur.
Mendengar ledekan gua, Aldina langsung pasang tampang cemberut. Tapi, entah kenapa ia hanya terdiam, nggak membalas ledekan gua.
Merasa nggak mendapat respon yang diharapkan, gua berhenti tertawa. Lalu pasang tampang serius dan mulai bertanya tentang penyebab ia harus konseling dengan psikolog. “Kenapa emang?”
Aldina menghela nafas sebentar kemudian menjawab; “Katanya sih gua stress akhirnya jadi cemas berlebihan; panic attack”.
“Oh. Kok bisa gitu? Gara-gara apa?” Tanya gua penasaran.
“Nggak tau. Mungkin gara-gara lo” Ia menjawab santai.
Mendengar jawaban darinya membuat gua kembali merasa kesal. Kok bisa-bisanya ia bawa-bawa gua ke masalah yang ia alami. Gua lantas meletakkan gelas kopi diatas meja, dan menggeser kursi agar lebih dekat kemudian bicara kepadanya sambil menggeram; “Gila. Sampe hal kayak gini aja lo bisa-bisanya nyeret-nyeret gua”.
Namun, respon Aldina berikutnya cukup mengejutkan dia. Dengan ekspresi wajah datar, ia lalu bicara; “Gua nggak bercanda. Tapi, lo jangan terlalu PD dulu…”.
Gua terdiam, sambil terus menatap ke arahnya.
“...Sal” Ia kembali menyebut nama gua.
“Apa?”
“Lo pernah nggak rindu sama seseorang?” Tanyanya.
“Hmm.. Mungkin pernah” Jawab gua santai, merasa percakapan kami sudah terdengar normal. Sudah terdengar seperti percakapan umum orang-orang.
“Siapa?” Tanyanya.
Gua kasih tau juga lo nggak bakal kenal”
“Try me…”
“Nggak. Buat apa?”
Ternyata gua salah saat merasa percakapan ini bakal seterusnya terdengar normal. Masih dengan dagu berada di atas tangan yang terlipat, ia menatap gua. Kini tatapannya nggak setajam sebelumnya, terkesan sayu dan layu. Lalu, tiba-tiba ia mengajukan permintaan. Sebuah pertanyaan yang hampir membuat jantung gua berhenti.
“Mau nggak lo merindukan gua?” Pintanya.
“What?!” Jujur, gua benar-benar terkejut begitu mendengar permintaannya barusan.
Seakan nggak cukup, ia kembali mengulang permintaannya; “Rindukan gua”.
“What?! Apa?” Tanya gua, masih merasa nggak percaya dengan apa yang gua dengar.
“Lo jangan ke-PD-an dulu..” Ucapnya, berusaha mengklarifikasi permintaan sebelumnya.
“...”
“... Menurut si Psikolog, serangan cemas gua mungkin bisa jadi gara-gara rindu”
“Rindu sama siapa?”
“Sama elo! Tadi kan gua udah bilang” Serunya, kini nada bicaranya sedikit meninggi.
“Lah…” Gua menggaruk kepala yang nggak gatal, merasa bingung dengan penjelasannya.
Ia lalu menurunkan pandangannya. Setelah beberapa saat tenggelam dalam diam, ia kembali menatap gua dan melanjutkan bicara; “Gua nggak mau kalau dianggap hanya rindu sendirian”
“What?!
“Gua mau lo juga rindu sama gua!” Pintanya lagi.
“Hah?! Mana bisa begitu?” Gua mengajukan protes.
Rindu itu sendiri muncul karena kenangan indah atau momen ‘penting’ yang pernah dialami bersama seseorang. Atau bisa juga muncul karena kenangan akan tempat tertentu. Kenangan yang memicu rasa nostalgia juga keinginan besar untuk mengulang kembali momen indah itu.
“Mulai hari ini, setelah dari sini. Lo harus belajar merindukan gua” Ucapnya, kini nadanya terdengar mirip seperti sebuah ancaman.
Gua jelas nggak terima dengan cara berpikirnya yang aneh dan absurd. Wajar nggak sih kalau gua melabeli dirinya sebagai ‘orang gila’? Bagaimana mungkin orang dipaksa untuk merindu. Rindu itu perasaan alami, Rindu itu respons emosional yang spontan dan munculnya tanpa disadari.
“Gimana caranya Aldina?!” Tanya gua.
“Ya nggak tau, lo pikirin deh” ia menjawab santai.
Gua menggeleng. Tentu saja menolak permintaan anehnya itu.
“… pokoknya gua nggak mau ngerasa rindu ke lo sendirian, titik”. Tambahnya.
Gua terdiam sesaat, baru menyadari satu hal. Hal yang cukup penting tapi serasa terlewatkan karena permintaan anehnya ini.
“Tunggu, tunggu…”
“…”
“… kenapa lo bisa tiba-tiba merindukan gua?” Gua bertanya. Yang lantas dijawabnya dengan cepat; “Ya gua juga nggak tau”
“Aneh” gumam gua pelan.
“Emang lo pikir gua mau? Emang lo pikir gua mau merindukan lo?” Ia balik bertanya.
“Terus kalo ternyata salah, lo bisa tau darimana kalau lo beneran merindukan gua?” Tanya gua lagi.
“Liat aja nanti. Kalo abis ini ternyata gua baik-baik aja berarti emang bener gua merindukan lo” Jawabnya.
“…”
“… Kalo ternyata abis ketemu lo gua masih merasa cemas dan gelisah. Ya berarti bukan lo, bukan rindu penyebabnya” Ia menambahkan.
Gua menghela nafas panjang, mencoba mengatur emosi agar nggak meledak, terus mencoba untuk tetap tenang, seraya mengusap wajah dengan kedua tangan. Gua tau, cukup lama mendekam di penjara bikin gua banyak tertinggal, apalagi dalam hal pergaulan. Tapi, bertemu dengan cewek yang sikapnya aneh seperti dia, seperti Aldina jelas baru kali ini gua rasakan.
“Ok, gini ya Din. Coba kita bicarain pelan-pelan ya” Ucap gua dengan nada serendah mungkin kepadanya.
Aldina Mengangguk, setuju. Gua kembali menghela nafas, lalu mulai bicara pelan.
“Lo konseling sama psikolog, di diagnosa ‘gangguan kecemasan’, menurut si psikolog bisa aja karena rindu…” Gua bicara.
“...” Aldina mengangguk pelan.
“... Then, lo merasa kalau rasa rindu itu buat gua?”
“Iya…”
“Terus lo nggak mau merasa rindu sendirian. That’s why lo maksa gua buat merindukan lo juga?”
“Iya, betul. Itu lo ngerti, ngapain jadi muter-muter dari tadi” Jawabnya.
“Gini ya, Din…”
“...”
“... Normalnya, rasa rindu itu datang secara alami. Nggak bisa diminta atau dipaksa” Gua menambahkan.
“Lah terus, kalau benar gua rindu sama lo, dari mana asalnya?” Tanyanya, bingung.
“Ya nggak tau lah. Kenapa gua yang jadi malah harus ngurusin perasaan lo” Jawab gua.
Aldina lalu berdiri, sambil meremas gelas karton yang sudah kosong dengan genggaman tangannya, ia bersiap pergi. Sementara, gua masih duduk dan menikmati sisa kopi. Setelah menenggak habis kopi di dalam gelas, gua ikut berdiri dan bergegas menyusul Aldina yang sudah lebih dulu pergi.
Ia berada di depan gua, jarak kami berdua kira-kira 2 sampai 3 meter.
Sesekali ia, berbalik badan, berjalan mundur sambil menatap gua dan bicara; “Kalau ternyata gua beneran rindu sama lo gimana?” Tanyanya.
Gua mengangkat kedua bahu.
“Yang ngerasain kan lo. Gua nggak rugi apa-apa” Jawab gua, sambil terus berjalan. Sementara ia kembali berbalik dan melangkah maju.
Ia lalu menghentikan langkah dan terdiam. Kemudian mulai bicara saat gua sudah berada tepat di sebelahnya. “Kalau seandainya lo juga rindu sama gua gimana?” Tanyanya lagi.
“Nggak mungkin” Gua menjawab singkat sambil terus berjalan.
Kini, gua yang berada di depan. Sementara Aldina mengikuti gua dari belakang. Terdengar suara Aldina mempercepat langkah, menyusul gua. “Lo naik apa?” Tanyanya.
“Naik ojek online” Gua menjawab singkat.
“Oh, yaudah. Bye” Ucapnya, kemudian berbalik dan pergi. Tumben. Tumben kali ini ia nggak memaksa untuk mengantar gua.
—
Lanjut Ke Bawah
Diubah oleh robotpintar 05-06-2024 19:57
vizardan dan 38 lainnya memberi reputasi
39
Kutip
Balas
Tutup