- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa

Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 21:29
viper990 dan 214 lainnya memberi reputasi
215
398.9K
Kutip
4.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1885
Part 74 - So Sorry
Spoiler for Part 74 - So Sorry:
20 menit berikutnya gua sudah duduk di kursi menghadap ke sebuah jendela raksasa di sebuah salon kecantikan. Salon langganan gua.
“Tumben cuma Creambath aja kak?” Tanya seorang Hair Stylist yang biasa menangani gua.
“Nggak sekalian diwarnai seperti biasa” Tambahnya.
Gua terdiam sesaat, kemudian memberi jawaban; “Boleh deh” Ucap gua sambil mengangguk.
Setelah selesai dengan urusan rambut, gua langsung berangkat ke studio Marshall. Tentu saja sebelumnya gua menyempatkan diri untuk mengambil swafoto kemudian mengirimkannya ke Reni melalui pesan. Yang lalu dibalasnya dengan pujian singkat; ‘Ya ampun cantiknya kakak ku’.
Sepanjang perjalanan, gua terus melatih kalimat, kata demi kata yang bakal gua gunakan untuk meminta maaf ke Marshall. Kurang lebih satu jam berikutnya, gua sudah berada di depan sebuah rumah tanpa petunjuk apapun yang menandakan kalau studio ini adalah studio tempat Marshall bekerja. Gua keluar dari mobil dan memastikan alamat melalui GPS pada ponsel; ‘Benar kok’ batin gua.
Saat tengah berdiri, terlihat sosok pria berjalan dari ujung gang mendekat ke arah gua; Marshall. Dari ekspresi wajahnya, gua yakin kalau ia tengah kesal. Marshall mendekat, berdiri tepat di depan gua, tanpa bicara sepatah katapun, ia mengeluarkan sebatang rokok dan mulai menyulutnya.
“Ngapain?” Tanyanya sambil menghembuskan asap rokok tepat ke arah gua.
Dengan cepat gua menyibak asap rokok dengan tangan. Lalu bergeser sedikit agar nggak terpapar asap rokok miliknya.
“Gua mau ngomong” Ucap gua.
“Ngomong apa?” Tanyanya dengan nada ketus dan ekspresi wajah datar.
Gua menatap sekeliling, merasa kalau tempat ini bukanlah tempat yang nyaman untuk ngobrol.
“Disini?” Tanya gua sambil menunjuk ke bawah.
“Emang mau dimana?” Marshall balik bertanya.
Gua mencoba mengatur nafas, dan bersiap bicara sesuai dengan kalimat yang sudah gua latih selama perjalanan kesini tadi.
“Sorry. Gua kemaren kayaknya agak kelewatan” Gua bicara pelan, tentu saja sambil menundukkan kepala.
“Agak?” Marshall mengajukan protes, mengulang kata ‘Agak’ dari kalimat yang baru saja selesai gua ucapkan.
Gua lantas mengoreksi ucapan dan mengulanginya; “Sorry, Gua kemarin kelewatan”.
Marshall mengangguk pelan, ia membuang puntung rokok, menginjaknya, kemudian bersiap masuk ke dalam rumah yang sepertinya adalah ‘studio’ yang selama ini ia maksud.
Gua yang merasa anggukan kepalanya barusan nggak ada arti apa-apa, lantas kembali bicara menggunakan nada sedikit meninggi, namun dengan volum yang serendah mungkin; “Jawab atau respon kek”.
Tiba-tiba, Marshall menghentikan langkahnya, kemudian menoleh dan bicara; “Gua udah ngangguk tadi”
“Ya gua nggak liat” Respon gua, berbohong. Merasa kalau menjawab sebuah permintaan maaf nggak seharusnya lewat sebuah anggukan kepala.
“Terus gua harus gimana? Ngulang ngangguk?”
“Kenapa nggak ngomong aja? Kenapa harus ngangguk?” Protes gua.
Begitu mendengar protes gua barusan, Marshall langsung mengernyitkan dahi lalu kembali mendekat ke arah gua.
“Lo kayaknya emang nggak niat minta maaf deh. Cuma mau nebelin perkara aja” Tambahnya. Kini posisi berdirinya begitu dekat dengan gua, bahkan aroma rokoknya tercium jelas.
Gua balik menatap ke arahnya, kemudian bicara; Kan lo juga harusnya minta maaf ke gua” Ucap gua, merujuk ke sikapnya barusan yang seakan meremehkan permintaan maaf gua, juga sikapnya selama ini ke gua, apalagi saat ia menolak pemberian gua. Nggak seharusnya ia begitu.
“Minta maaf atas apa?” Tanyanya, seakan nggak tau letak kesalahannya.
“Ya kenapa lo nggak mau…” Belum sempat gua menyelesaikan penjelasan, Marshall sudah keburu pergi, masuk ke dalam bangunan dan meninggalkan gua berdiri sendirian di sini.
Gua berniat untuk menyusulnya masuk ke dalam, namun terlihat sebuah mobil yang berada dari arah dalam gang berjalan menuju ke luar. Mobil tersebut memberikan kode dengan lampu agar gua memindahkan mobil.
Merasa memang mobil gua kelewat besar sehingga bisa mengganggu kendaraan lain yang lalu lalang, gua masuk ke dalam mobil dan memindahkannya ke area kosong nggak jauh dari sana.
Selesai memindahkan mobil, gua turun dan berjalan ke arah bangunan rumah studio tempat tadi Marshall masuk.
Gua membuka pintu dan mendapati area ruang tamu rumah yang disulap menjadi ‘kantor’ dengan meja-meja dan kursi yang berjajar rapi. Beberapa orang terlihat duduk sambil menatap ke arah layar laptop di atas meja, dimana tatapan mereka langsung teralih ke gua. Marshall yang duduk di sisi terluar, sisi paling dekat dengan pintu juga ikut menatap gua.
“Gua belum selesai ngomong!…” Seru gua ke arah Marshall.
Ia lalu berdiri dan mendekat. Tanpa menghentikan langkah, ia terus berlalu, melewati gua dan berbisik; “Yaudah ayo ngobrol…”.
Gua berbalik dan menyusulnya keluar. Tanpa banyak bicara, gua mendahuluinya berjalan ke arah mobil gua terparkir dan masuk. Marshall mengikuti gua, lalu masuk ke dalam mobil melalui pintu sebelah kiri, dan duduk di kursi penumpang di depan. Saat melihatnya sudah duduk,gua langsung menyalakan mesin mobil dan bersiap pergi.
“Mau kemana? Disini aja” Marshall bicara, sambil berusaha mencegah gua untuk melajukan mobil. Namun, gua bergeming dan pergi.
Di dalam mobil, walaupun ia nggak setuju ikut pergi, tapi ia nggak bisa berbuat apa-apa. Sepanjang perjalanan, Marshall hanya terdiam, bersandar pada kursi sambil menatap keluar melalui jendela. Sementara, saat ini gua juga nggak tau akan kemana. Hanya terus memacu mobil, sambil berbelok saat ada kemacetan. Dan entah kenapa, kini kami sudah berada di dalam tol.
Mungkin ia nggak menyadarinya, kalau sejak tadi gua tau kalau ia memandangi dan menatap ke arah gua. Mungkin ‘kaget’ dengan rambut gua yang kini berwarna.
“Lo tau nggak kenapa gua warnain rambut?” Tanya gua, membuka percakapan.
“...”
“Tau nggak?” Gua kembali bertanya, karena ia nggak menjawab.
“Mana gua tau” Ucapnya.
“Agar terlihat angkuh” Jawab gua singkat.
“Kayaknya orang normal nggak bakal punya alasan orang mewarnai rambut karena mau keliatan angkuh” Marshall merespon tanpa menatap gua.
“Emang kalo alasan orang normal warnain rambut apa?” Tanya gua, penasaran dengan jawabannya.
“Nutupin uban” Marshall menjawab singkat.
Mendengar jawabannya barusan yang terkesan melecehkan, tentu saja bikin gua naik pitam. Gua meraih kotak tisu di atas dashboard mobil dan melemparkannya ke arahnya. Namun, Marshall dengan cepat gua mengelak, membuat kotak tisu tersebut menghantam sisi jendela lalu jatuh di pangkuannya. Seperti tak terjadi apa-apa, ia lalu mengembalikan kotak tisu ke tempat semula.
“Gua belum ubanan” Seru gua.
“Yaudah. Lagian, orang waras mana yang mau keliatan angkuh” Balasnya.
Lagi, pernyataannya barusan jelas mendiskreditkan gua. Apalagi di bagian ‘orang waras mana’ yang artinya jelas, gua adalah orang gila. Gua berniat untuk kembali melemparnya dengan kotak tisu, tentu saja kali ini akan benar-benar mengenai kepalanya. Tapi, Marshall dengan cepat menggeser kotak tersebut menjauh dari jangkauan gua.
“Ck!” Gua mendengus pelan.
Kami lalu terdiam.
Nggak lama, Marshall menggeser tubuhnya, tangannya ia arahkan ke layar digital pada dashboard mobil. Rupanya, ia berinisiatif untuk memutar lagu. Biasanya, gua juga selalu memutar musik saat tengah berkendara. Tapi, kali ini, hari ini sebuah pengecualian.
Bayangkan saja, gua sudah bela-belain datang, dan menggadaikan harga diri hanya untuk minta maaf, lalu apa yang gua dapat? Cuma anggukan kepala!
Cuma anggukan kepala!
Belum sempat ujung jarinya menyentuh layar, gua langsung memberi ancaman; “Sentuh aja, gua buntungin tangan lo” Ujar gua, tentu saja dengan nada yang terdengar sekejam mungkin.
Seketika itu juga, Marshall menarik kembali tangannya. Dan duduk manis, diam tanpa kata sambil menatap ke arah luar.
Tiba-tiba, Marshall menegakkan tubuhnya saat kami baru saja melintasi papan penunjuk jalan di tengah tol. “Heh, mau kemana?” Tanyanya. Terdengar ada sedikit kepanikan dari nada bicaranya.
Gua yang nggak tau mau kemana hanya bisa terdiam.
Setelah hampir satu jam berikutnya, satu jam kami sama-sama terdiam, setelah gua cukup merasa lelah berkendara, gua mulai mengarahkan mobil ke rest area. Menuju ke halaman parkir sebuah kedai kopi yang posisinya tepat berada di dekat pintu masuk rest area.
Tanpa banyak bicara, gua mematikan mesin lalu turun dari mobil.
Sadar kalau Marshall nggak ikut menyusul turun, gua lantas berpaling ke arahnya dan memberi tatapan tajam. Seakan mengerti dengan maksud tatapan gua, Marshall melepas sabuk pengaman dan ikut turun menyusul gua yang kini sudah melangkah menuju ke arah kedai.
Lagu terpurukku disini-nya Kla Project terdengar begitu gua masuk ke dalam area kedai. Lagu yang kerap gua putar untuk mengingatkan akan ‘dosa-dosa’ gua ke Jeje dan Anggi kala meninggalkan mereka dan akibatnya. Tanpa sadar, gua pun ikut melantun; “Begitupun hatiku, diayun bimbang jawabmu. Terhempas dan hampa ... tak terkira”.
Sementara, Marshall hanya berdiri dalam dia sambil menatap gua. Sadar akan tatapannya, gua lalu bergegas menuju ke konter untuk memesan minuman. Marshall memisahkan diri, duduk di salah satu meja.
Setelah selesai memesan, gua menghampiri Marshall dan duduk berseberangan di meja yang sama. Gua melepas kacamata, kemudian menopang dagu dan menatapnya; tajam. Marshall bergeming. Ia malah melakukan hal yang sama, menopang dagu dengan kedua tangan, dan balas menatap gua.
Kini kami malah tengah seperti melakukan permainan ‘Do Not Blink’.
“Atas nama Kak Dina!” Seru si pramusaji yang memanggil nama gua, tanda pesanan telah selesai.
Namun, karena merasa saling menatap ini adalah sebuah permainan, dimana yang berkedip lebih dulu kalah. Gua diam saja; nggak mau kalah.
“Atas nama Kak Dina!” Si pramusaji kembali berseru, mengulang panggilan.
“Ck…” Marshall menggumam pelan, lalu berdiri dan menuju ke konter untuk mengambil pesanan. Sementara, gua disini tersenyum, merasakan kemenangan atas permainan yang sebenarnya nggak betul-betul ada.
Marshall kembali ke meja dengan membawa pesanan untuk kami berdua. Dua Macchiato; satu di dalam gelas karton berwarna putih, satunya berada dalam sebuah tumbler berlogo kedai. Ia lalu meletakkan tumbler berisi kopi tepat dihadapan gua, sementara kopi dalam wadah gelas di genggamnya.
Gua lalu berdiri, merebut Macchiato dari gelas karton di tangannya dan menukar dengan Macchiato yang berada di dalam tumbler kemudian kembali duduk.
“Ini gua?” Tanyanya sambil mengangkat tumbler ke atas, mencoba memastikan. Gua lalu meresponnya dengan anggukan kepala dan mulai menyeruput kopi dari gelas.
“Gua pindah ke depan ya, mau ngerokok” Ucapnya sambil menunjuk ke arah beranda kedai. Lalu langsung pergi.
Gua menghela nafas, tersenyum sebentar. ‘Akhirnya ia mau menerima pemberian gua, walaupun hanya sebuah tumbler kopi’ Batin gua dalam hati. Kemudian berdiri dan bergegas menyusulnya menuju ke arah beranda kedai.
Marshall nggak memberi respon apapun saat gua duduk tepat di sebelahnya, di beranda kedai. Ia hanya menatap lurus ke depan dengan sebatang rokok ditangan dan sesekali menyeruput kopi. Ekspresinya kali ini terlihat berbeda dari sebelumnya, ia nggak nampak tertekan, dan guratan-guratan kesedihan masa lalunya juga seakan sedikit sirna.
Entah apa yang tengah dipikirkannya sekarang. Tapi, saat ini gua nggak mau mengganggunya dengan mengajak bicara. Sepertinya membiarkan dia tenggelam dalam lamunan adalah salah satu hal yang bikin di damai.
Saat merasa sudah cukup tenggelam dalam diam. Gua angkat bicara, membuyarkan lamunannya
“Gua nyebelin nggak?” Tanya gua tanpa menatap ke arahnya.
“Menurut lo?” Marshall balik bertanya.
“Iya” Gua menjawab tanpa ragu sedikitpun.
“Nah itu lo tau, ngapain pake nanya”
“Gua cuma pengen tau aja, dimata orang lain gua kayak apa. Nyebelin apa nggak”
“Nyebelin lah!” Serunya.
Gua lantas bangkit, meraih semua barang bawaan dari atas meja dan pergi menuju ke halaman parkir. Dari kejauhan terdengar suara Marshall; “Tuh, gimana nggak bikin kesel”.
Ditengah perjalanan pulang, di dalam mobil, kami kembali duduk dalam diam. Marshall menghabiskan kopi dan meletakkan tumbler yang kini kosong pada slot di sela-sela kursi. Ingin ia tau kalau sejatinya tumbler tersebut adalah pemberian gua untuknya, gua lantas bicara; “Bawa aja, buat lo”.
“Nggak usah. Gua nggak mau nerima apapun lagi dari lo” Ucapnya, ketus.
Gua tau kalau ia pasti masih marah dan kesal akibat ucapan gua semalam. Dan imbasnya tentu saja penolakan kembali akan pemberian gua ini. Tapi, as you may know; gua nggak menerima penolakan.
“Apapun?” Tanya gua.
“Iya…” Marshall menjawab yakin.
“Termasuk tumpangan?” Tanyanya gua lagi mencoba mengkonfirmasi.
Tapi, karena ia nggak memberi jawaban. Jadi gua anggap diamnya dia adalah; ‘Iya’. Jadi gua memperlambat laju mobil, berpindah ke jalur lambat dan berhenti tepat di bahu jalan tol.
“Turun!” Seru gua seraya membuka central lock pada mobil.
“Lah, kan lo yang ngajak…”.
“Turun!” Seru gua lagi, nggak menunggu sampai ia benar-benar selesai bicara.
Marshall menghela nafas, melepas sabuk pengaman dan membuka pintu bagian penumpang, lalu turun, keluar dari mobil. Saat ia sudah berada di luar, gua dengan cepat menutup pintunya, Sebelum pergi, gua menyempatkan diri untuk membuka jendela pada pintu sisi penumpang dan melemparkan keluar tumbler yang seharusnya menjadi miliknya. Kemudian gua memacu kendaraan dan pergi sambil menahan tawa.
Niat gua hanya bercanda. Sungguh.
Rencananya nanti gua bakal berhenti di depan, nggak jauh dari posisi gua menurunkannya kemudian membiarkannya kembali naik ke mobil. Hanya ingin memberinya pelajaran. Namun, siapa sangka kalau nggak jauh di depan terlihat beberapa mobil patroli yang berjalan pelan di sisi jalan tol, yang mengharuskan gua untuk kembali memacu mobil agar terhindar dari tilang.
Barulah setelah beberapa lama, setelah memastikan mobil patroli tersebut sudah pergi melewati gua, gua menepi di bahu jalan tol, lalu keluar.
Gua duduk di atas besi pembatas jalan di sisi mobil sambil menatap ke belakang. “Ck!” Gua menggumam, menyesal karena sudah meninggalkannya begitu jauh. Saat ini, gua nggak mungkin kembali karena berada di jalan tol. Jadi, gua hanya bisa duduk dan menunggu sambil memandangi mobil-mobil yang berseliweran cepat. Agar nggak terlalu mencuri perhatian, gua sengaja menyalakan lampu hazard. Jadi, terlihat kalau mobil gua menepi karena sedang mengalami masalah.
Setelah cukup lama menunggu dan Marshall nggak kunjung terlihat. Kali ini gua merasa benar-benar khawatir. Bagaimana jika ia terserempet mobil? Bagaimana jika ia nekad menerobos rawa-rawa lalu mati dimakan buaya?
Berkali-kali gua turun dari pagar pembatas untuk mengecek keberadaannya. Kadang gua berdiri di atas pagar pembatas, agar bisa menatap jauh ke belakang.
Terlihat sosok pria tengah berjalan menyusuri tepian bahu tol, jarinya tangan kirinya meniti besi pembatas, sementara tangan kanannya menggenggam tumbler bekas kopi. Saat ia semakin dekat, gua langsung pasang posisi kembali duduk di atas pembatas jalan. Nggak mau terlihat tengah sengaja menunggunya.
Namun, saat ia tiba di tempat gua menunggu, Marshall nggak sama sekali menghentikan langkah. Ia hanya terus berjalan melewati gua layaknya nggak pernah terjadi apa-apa, layaknya gua nggak ada disana.
Masih sambil duduk diatas pagar pembatas, gua memanggil namanya; “Sal!”
Marshall mengacuhkan panggilan gua dan dan terus berjalan. Namun, sesaat berikutnya, ponsel gua berbunyi, sebuah pesan masuk. Layarnya menampilkan pesan dari Marshall yang isinya; ‘Jangan duduk disitu, bahaya’.
“Tumben cuma Creambath aja kak?” Tanya seorang Hair Stylist yang biasa menangani gua.
“Nggak sekalian diwarnai seperti biasa” Tambahnya.
Gua terdiam sesaat, kemudian memberi jawaban; “Boleh deh” Ucap gua sambil mengangguk.
Setelah selesai dengan urusan rambut, gua langsung berangkat ke studio Marshall. Tentu saja sebelumnya gua menyempatkan diri untuk mengambil swafoto kemudian mengirimkannya ke Reni melalui pesan. Yang lalu dibalasnya dengan pujian singkat; ‘Ya ampun cantiknya kakak ku’.
Sepanjang perjalanan, gua terus melatih kalimat, kata demi kata yang bakal gua gunakan untuk meminta maaf ke Marshall. Kurang lebih satu jam berikutnya, gua sudah berada di depan sebuah rumah tanpa petunjuk apapun yang menandakan kalau studio ini adalah studio tempat Marshall bekerja. Gua keluar dari mobil dan memastikan alamat melalui GPS pada ponsel; ‘Benar kok’ batin gua.
Saat tengah berdiri, terlihat sosok pria berjalan dari ujung gang mendekat ke arah gua; Marshall. Dari ekspresi wajahnya, gua yakin kalau ia tengah kesal. Marshall mendekat, berdiri tepat di depan gua, tanpa bicara sepatah katapun, ia mengeluarkan sebatang rokok dan mulai menyulutnya.
“Ngapain?” Tanyanya sambil menghembuskan asap rokok tepat ke arah gua.
Dengan cepat gua menyibak asap rokok dengan tangan. Lalu bergeser sedikit agar nggak terpapar asap rokok miliknya.
“Gua mau ngomong” Ucap gua.
“Ngomong apa?” Tanyanya dengan nada ketus dan ekspresi wajah datar.
Gua menatap sekeliling, merasa kalau tempat ini bukanlah tempat yang nyaman untuk ngobrol.
“Disini?” Tanya gua sambil menunjuk ke bawah.
“Emang mau dimana?” Marshall balik bertanya.
Gua mencoba mengatur nafas, dan bersiap bicara sesuai dengan kalimat yang sudah gua latih selama perjalanan kesini tadi.
“Sorry. Gua kemaren kayaknya agak kelewatan” Gua bicara pelan, tentu saja sambil menundukkan kepala.
“Agak?” Marshall mengajukan protes, mengulang kata ‘Agak’ dari kalimat yang baru saja selesai gua ucapkan.
Gua lantas mengoreksi ucapan dan mengulanginya; “Sorry, Gua kemarin kelewatan”.
Marshall mengangguk pelan, ia membuang puntung rokok, menginjaknya, kemudian bersiap masuk ke dalam rumah yang sepertinya adalah ‘studio’ yang selama ini ia maksud.
Gua yang merasa anggukan kepalanya barusan nggak ada arti apa-apa, lantas kembali bicara menggunakan nada sedikit meninggi, namun dengan volum yang serendah mungkin; “Jawab atau respon kek”.
Tiba-tiba, Marshall menghentikan langkahnya, kemudian menoleh dan bicara; “Gua udah ngangguk tadi”
“Ya gua nggak liat” Respon gua, berbohong. Merasa kalau menjawab sebuah permintaan maaf nggak seharusnya lewat sebuah anggukan kepala.
“Terus gua harus gimana? Ngulang ngangguk?”
“Kenapa nggak ngomong aja? Kenapa harus ngangguk?” Protes gua.
Begitu mendengar protes gua barusan, Marshall langsung mengernyitkan dahi lalu kembali mendekat ke arah gua.
“Lo kayaknya emang nggak niat minta maaf deh. Cuma mau nebelin perkara aja” Tambahnya. Kini posisi berdirinya begitu dekat dengan gua, bahkan aroma rokoknya tercium jelas.
Gua balik menatap ke arahnya, kemudian bicara; Kan lo juga harusnya minta maaf ke gua” Ucap gua, merujuk ke sikapnya barusan yang seakan meremehkan permintaan maaf gua, juga sikapnya selama ini ke gua, apalagi saat ia menolak pemberian gua. Nggak seharusnya ia begitu.
“Minta maaf atas apa?” Tanyanya, seakan nggak tau letak kesalahannya.
“Ya kenapa lo nggak mau…” Belum sempat gua menyelesaikan penjelasan, Marshall sudah keburu pergi, masuk ke dalam bangunan dan meninggalkan gua berdiri sendirian di sini.
Gua berniat untuk menyusulnya masuk ke dalam, namun terlihat sebuah mobil yang berada dari arah dalam gang berjalan menuju ke luar. Mobil tersebut memberikan kode dengan lampu agar gua memindahkan mobil.
Merasa memang mobil gua kelewat besar sehingga bisa mengganggu kendaraan lain yang lalu lalang, gua masuk ke dalam mobil dan memindahkannya ke area kosong nggak jauh dari sana.
Selesai memindahkan mobil, gua turun dan berjalan ke arah bangunan rumah studio tempat tadi Marshall masuk.
Gua membuka pintu dan mendapati area ruang tamu rumah yang disulap menjadi ‘kantor’ dengan meja-meja dan kursi yang berjajar rapi. Beberapa orang terlihat duduk sambil menatap ke arah layar laptop di atas meja, dimana tatapan mereka langsung teralih ke gua. Marshall yang duduk di sisi terluar, sisi paling dekat dengan pintu juga ikut menatap gua.
“Gua belum selesai ngomong!…” Seru gua ke arah Marshall.
Ia lalu berdiri dan mendekat. Tanpa menghentikan langkah, ia terus berlalu, melewati gua dan berbisik; “Yaudah ayo ngobrol…”.
Gua berbalik dan menyusulnya keluar. Tanpa banyak bicara, gua mendahuluinya berjalan ke arah mobil gua terparkir dan masuk. Marshall mengikuti gua, lalu masuk ke dalam mobil melalui pintu sebelah kiri, dan duduk di kursi penumpang di depan. Saat melihatnya sudah duduk,gua langsung menyalakan mesin mobil dan bersiap pergi.
“Mau kemana? Disini aja” Marshall bicara, sambil berusaha mencegah gua untuk melajukan mobil. Namun, gua bergeming dan pergi.
Di dalam mobil, walaupun ia nggak setuju ikut pergi, tapi ia nggak bisa berbuat apa-apa. Sepanjang perjalanan, Marshall hanya terdiam, bersandar pada kursi sambil menatap keluar melalui jendela. Sementara, saat ini gua juga nggak tau akan kemana. Hanya terus memacu mobil, sambil berbelok saat ada kemacetan. Dan entah kenapa, kini kami sudah berada di dalam tol.
Mungkin ia nggak menyadarinya, kalau sejak tadi gua tau kalau ia memandangi dan menatap ke arah gua. Mungkin ‘kaget’ dengan rambut gua yang kini berwarna.
“Lo tau nggak kenapa gua warnain rambut?” Tanya gua, membuka percakapan.
“...”
“Tau nggak?” Gua kembali bertanya, karena ia nggak menjawab.
“Mana gua tau” Ucapnya.
“Agar terlihat angkuh” Jawab gua singkat.
“Kayaknya orang normal nggak bakal punya alasan orang mewarnai rambut karena mau keliatan angkuh” Marshall merespon tanpa menatap gua.
“Emang kalo alasan orang normal warnain rambut apa?” Tanya gua, penasaran dengan jawabannya.
“Nutupin uban” Marshall menjawab singkat.
Mendengar jawabannya barusan yang terkesan melecehkan, tentu saja bikin gua naik pitam. Gua meraih kotak tisu di atas dashboard mobil dan melemparkannya ke arahnya. Namun, Marshall dengan cepat gua mengelak, membuat kotak tisu tersebut menghantam sisi jendela lalu jatuh di pangkuannya. Seperti tak terjadi apa-apa, ia lalu mengembalikan kotak tisu ke tempat semula.
“Gua belum ubanan” Seru gua.
“Yaudah. Lagian, orang waras mana yang mau keliatan angkuh” Balasnya.
Lagi, pernyataannya barusan jelas mendiskreditkan gua. Apalagi di bagian ‘orang waras mana’ yang artinya jelas, gua adalah orang gila. Gua berniat untuk kembali melemparnya dengan kotak tisu, tentu saja kali ini akan benar-benar mengenai kepalanya. Tapi, Marshall dengan cepat menggeser kotak tersebut menjauh dari jangkauan gua.
“Ck!” Gua mendengus pelan.
Kami lalu terdiam.
Nggak lama, Marshall menggeser tubuhnya, tangannya ia arahkan ke layar digital pada dashboard mobil. Rupanya, ia berinisiatif untuk memutar lagu. Biasanya, gua juga selalu memutar musik saat tengah berkendara. Tapi, kali ini, hari ini sebuah pengecualian.
Bayangkan saja, gua sudah bela-belain datang, dan menggadaikan harga diri hanya untuk minta maaf, lalu apa yang gua dapat? Cuma anggukan kepala!
Cuma anggukan kepala!
Belum sempat ujung jarinya menyentuh layar, gua langsung memberi ancaman; “Sentuh aja, gua buntungin tangan lo” Ujar gua, tentu saja dengan nada yang terdengar sekejam mungkin.
Seketika itu juga, Marshall menarik kembali tangannya. Dan duduk manis, diam tanpa kata sambil menatap ke arah luar.
Tiba-tiba, Marshall menegakkan tubuhnya saat kami baru saja melintasi papan penunjuk jalan di tengah tol. “Heh, mau kemana?” Tanyanya. Terdengar ada sedikit kepanikan dari nada bicaranya.
Gua yang nggak tau mau kemana hanya bisa terdiam.
Setelah hampir satu jam berikutnya, satu jam kami sama-sama terdiam, setelah gua cukup merasa lelah berkendara, gua mulai mengarahkan mobil ke rest area. Menuju ke halaman parkir sebuah kedai kopi yang posisinya tepat berada di dekat pintu masuk rest area.
Tanpa banyak bicara, gua mematikan mesin lalu turun dari mobil.
Sadar kalau Marshall nggak ikut menyusul turun, gua lantas berpaling ke arahnya dan memberi tatapan tajam. Seakan mengerti dengan maksud tatapan gua, Marshall melepas sabuk pengaman dan ikut turun menyusul gua yang kini sudah melangkah menuju ke arah kedai.
Lagu terpurukku disini-nya Kla Project terdengar begitu gua masuk ke dalam area kedai. Lagu yang kerap gua putar untuk mengingatkan akan ‘dosa-dosa’ gua ke Jeje dan Anggi kala meninggalkan mereka dan akibatnya. Tanpa sadar, gua pun ikut melantun; “Begitupun hatiku, diayun bimbang jawabmu. Terhempas dan hampa ... tak terkira”.
Sementara, Marshall hanya berdiri dalam dia sambil menatap gua. Sadar akan tatapannya, gua lalu bergegas menuju ke konter untuk memesan minuman. Marshall memisahkan diri, duduk di salah satu meja.
Setelah selesai memesan, gua menghampiri Marshall dan duduk berseberangan di meja yang sama. Gua melepas kacamata, kemudian menopang dagu dan menatapnya; tajam. Marshall bergeming. Ia malah melakukan hal yang sama, menopang dagu dengan kedua tangan, dan balas menatap gua.
Kini kami malah tengah seperti melakukan permainan ‘Do Not Blink’.
“Atas nama Kak Dina!” Seru si pramusaji yang memanggil nama gua, tanda pesanan telah selesai.
Namun, karena merasa saling menatap ini adalah sebuah permainan, dimana yang berkedip lebih dulu kalah. Gua diam saja; nggak mau kalah.
“Atas nama Kak Dina!” Si pramusaji kembali berseru, mengulang panggilan.
“Ck…” Marshall menggumam pelan, lalu berdiri dan menuju ke konter untuk mengambil pesanan. Sementara, gua disini tersenyum, merasakan kemenangan atas permainan yang sebenarnya nggak betul-betul ada.
Marshall kembali ke meja dengan membawa pesanan untuk kami berdua. Dua Macchiato; satu di dalam gelas karton berwarna putih, satunya berada dalam sebuah tumbler berlogo kedai. Ia lalu meletakkan tumbler berisi kopi tepat dihadapan gua, sementara kopi dalam wadah gelas di genggamnya.
Gua lalu berdiri, merebut Macchiato dari gelas karton di tangannya dan menukar dengan Macchiato yang berada di dalam tumbler kemudian kembali duduk.
“Ini gua?” Tanyanya sambil mengangkat tumbler ke atas, mencoba memastikan. Gua lalu meresponnya dengan anggukan kepala dan mulai menyeruput kopi dari gelas.
“Gua pindah ke depan ya, mau ngerokok” Ucapnya sambil menunjuk ke arah beranda kedai. Lalu langsung pergi.
Gua menghela nafas, tersenyum sebentar. ‘Akhirnya ia mau menerima pemberian gua, walaupun hanya sebuah tumbler kopi’ Batin gua dalam hati. Kemudian berdiri dan bergegas menyusulnya menuju ke arah beranda kedai.
Marshall nggak memberi respon apapun saat gua duduk tepat di sebelahnya, di beranda kedai. Ia hanya menatap lurus ke depan dengan sebatang rokok ditangan dan sesekali menyeruput kopi. Ekspresinya kali ini terlihat berbeda dari sebelumnya, ia nggak nampak tertekan, dan guratan-guratan kesedihan masa lalunya juga seakan sedikit sirna.
Entah apa yang tengah dipikirkannya sekarang. Tapi, saat ini gua nggak mau mengganggunya dengan mengajak bicara. Sepertinya membiarkan dia tenggelam dalam lamunan adalah salah satu hal yang bikin di damai.
Saat merasa sudah cukup tenggelam dalam diam. Gua angkat bicara, membuyarkan lamunannya
“Gua nyebelin nggak?” Tanya gua tanpa menatap ke arahnya.
“Menurut lo?” Marshall balik bertanya.
“Iya” Gua menjawab tanpa ragu sedikitpun.
“Nah itu lo tau, ngapain pake nanya”
“Gua cuma pengen tau aja, dimata orang lain gua kayak apa. Nyebelin apa nggak”
“Nyebelin lah!” Serunya.
Gua lantas bangkit, meraih semua barang bawaan dari atas meja dan pergi menuju ke halaman parkir. Dari kejauhan terdengar suara Marshall; “Tuh, gimana nggak bikin kesel”.
Ditengah perjalanan pulang, di dalam mobil, kami kembali duduk dalam diam. Marshall menghabiskan kopi dan meletakkan tumbler yang kini kosong pada slot di sela-sela kursi. Ingin ia tau kalau sejatinya tumbler tersebut adalah pemberian gua untuknya, gua lantas bicara; “Bawa aja, buat lo”.
“Nggak usah. Gua nggak mau nerima apapun lagi dari lo” Ucapnya, ketus.
Gua tau kalau ia pasti masih marah dan kesal akibat ucapan gua semalam. Dan imbasnya tentu saja penolakan kembali akan pemberian gua ini. Tapi, as you may know; gua nggak menerima penolakan.
“Apapun?” Tanya gua.
“Iya…” Marshall menjawab yakin.
“Termasuk tumpangan?” Tanyanya gua lagi mencoba mengkonfirmasi.
Tapi, karena ia nggak memberi jawaban. Jadi gua anggap diamnya dia adalah; ‘Iya’. Jadi gua memperlambat laju mobil, berpindah ke jalur lambat dan berhenti tepat di bahu jalan tol.
“Turun!” Seru gua seraya membuka central lock pada mobil.
“Lah, kan lo yang ngajak…”.
“Turun!” Seru gua lagi, nggak menunggu sampai ia benar-benar selesai bicara.
Marshall menghela nafas, melepas sabuk pengaman dan membuka pintu bagian penumpang, lalu turun, keluar dari mobil. Saat ia sudah berada di luar, gua dengan cepat menutup pintunya, Sebelum pergi, gua menyempatkan diri untuk membuka jendela pada pintu sisi penumpang dan melemparkan keluar tumbler yang seharusnya menjadi miliknya. Kemudian gua memacu kendaraan dan pergi sambil menahan tawa.
Niat gua hanya bercanda. Sungguh.
Rencananya nanti gua bakal berhenti di depan, nggak jauh dari posisi gua menurunkannya kemudian membiarkannya kembali naik ke mobil. Hanya ingin memberinya pelajaran. Namun, siapa sangka kalau nggak jauh di depan terlihat beberapa mobil patroli yang berjalan pelan di sisi jalan tol, yang mengharuskan gua untuk kembali memacu mobil agar terhindar dari tilang.
Barulah setelah beberapa lama, setelah memastikan mobil patroli tersebut sudah pergi melewati gua, gua menepi di bahu jalan tol, lalu keluar.
Gua duduk di atas besi pembatas jalan di sisi mobil sambil menatap ke belakang. “Ck!” Gua menggumam, menyesal karena sudah meninggalkannya begitu jauh. Saat ini, gua nggak mungkin kembali karena berada di jalan tol. Jadi, gua hanya bisa duduk dan menunggu sambil memandangi mobil-mobil yang berseliweran cepat. Agar nggak terlalu mencuri perhatian, gua sengaja menyalakan lampu hazard. Jadi, terlihat kalau mobil gua menepi karena sedang mengalami masalah.
Setelah cukup lama menunggu dan Marshall nggak kunjung terlihat. Kali ini gua merasa benar-benar khawatir. Bagaimana jika ia terserempet mobil? Bagaimana jika ia nekad menerobos rawa-rawa lalu mati dimakan buaya?
Berkali-kali gua turun dari pagar pembatas untuk mengecek keberadaannya. Kadang gua berdiri di atas pagar pembatas, agar bisa menatap jauh ke belakang.
Terlihat sosok pria tengah berjalan menyusuri tepian bahu tol, jarinya tangan kirinya meniti besi pembatas, sementara tangan kanannya menggenggam tumbler bekas kopi. Saat ia semakin dekat, gua langsung pasang posisi kembali duduk di atas pembatas jalan. Nggak mau terlihat tengah sengaja menunggunya.
Namun, saat ia tiba di tempat gua menunggu, Marshall nggak sama sekali menghentikan langkah. Ia hanya terus berjalan melewati gua layaknya nggak pernah terjadi apa-apa, layaknya gua nggak ada disana.
Masih sambil duduk diatas pagar pembatas, gua memanggil namanya; “Sal!”
Marshall mengacuhkan panggilan gua dan dan terus berjalan. Namun, sesaat berikutnya, ponsel gua berbunyi, sebuah pesan masuk. Layarnya menampilkan pesan dari Marshall yang isinya; ‘Jangan duduk disitu, bahaya’.
Lanjut ke Bawah
Diubah oleh robotpintar 03-06-2024 20:14
vizardan dan 37 lainnya memberi reputasi
38
Kutip
Balas
Tutup