- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa

Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 21:29
viper990 dan 214 lainnya memberi reputasi
215
399K
Kutip
4.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1881
Part 73 - Rasa Bersalah
Spoiler for Part 73 - Rasa Bersalah:
Gua berdiri menatap ke arah Marshall yang tengah berbincang seru dengan Anggi sambil sesekali ia membetulkan cara Anggi memegang pensil warna yang selalu keliru.
Lalu terdengar Anggi, dengan gayanya yang polos bercerita tentang kondisi Papah dan Mommy-nya yang berpisah ke Marshall. Sesuatu yang sebenarnya enggan gua ceritakan ke orang lain. Karena nantinya bakal banyak pertanyaan-pertanyaan susulan kayak; ‘Kenapa pisah?’, ‘Ada yang selingkuh?’, ‘Emang nggak bisa berdamai?’, ‘Kasian deh anaknya’, dan banyak lainnya. Yang tentu bikin emosi dan kepikiran.
Gua mendekat ke arah mereka, ingin secepatnya mencegah Anggi bicara terlalu banyak. Sekalian mengajaknya makan.
Saat gua tengah menemani Anggi makan di ruang makan, terlihat Marshall berjalan menuju ke arah pintu keluar. Ia nggak bicara banyak, hanya pamit dengan kalimat singkat; “Gua balik ya”.
Melihat ia pergi, gua berpaling ke Anggi yang tengah makan sambil menonton video di tablet.
“Mommy anter Om Marshall ke bawah dulu ya, sebentar” Ucap gua ke Anggi yang lantas diresponnya dengan anggukan kepala. Nggak bisa menjawab karena mulutnya penuh dengan makanan.
Gua meraih ponsel dan bergegas keluar untuk menyusulnya.
Dari lorong, terdengar samar bunyi denting suara lift. Gua mempercepat langkah, dan terlihat pintu lift hampir saya menutup. Sigap, gua mencegah pintu lift menutup dengan menahannya menggunakan tangan yang lantas membuat pintu kembali terbuka. Di dalam lift Marshall berdiri dan menatap gua tanpa ekspresi.
“Main balik aja!” Gua berseru sambil melangkah pelan masuk ke dalam lift. Sementara Marshall nggak merespon apa-apa. Ia hanya mundur beberapa langkah, memberi jarak agar kami berdua nggak berdiri terlalu dekat.
Gua menekan tombol dan pintu lift-pun menutup.
Tak ada ucapan apa-apa dari kami berdua, hanya berdiri dalam diam sambil sesekali mencuri pandang ke arahnya melalui pantulan pintu lift. Saat kebetulan gua tengah menatap ke arahnya, ia juga kedapatan melakukan hal yang sama. Kami saling menatap melalui pantulan pintu lift.
Canggung.
“Apa?!” Tanya gua.
Marshall hanya menggelengkan kepalanya, lalu berhenti menatap.
‘Ting’ Pintu lift terbuka saat layar digital kecil di bagian atas lift memunculkan angka 10. Disusul sepasang pria dan wanita masuk ke dalam lift. Gua menggeser tubuh ke sisi kiri, sementara Marshall ke arah sebaliknya; ke kanan, menyisakan area kosong di tengah yang lalu diisi oleh pasangan yang baru saja masuk.
Kini kami terpisah oleh pasangan pria dan wanita yang terlihat mesra.
Sementara, Marshall menatap mereka seakan jijik, karena keduanya sama-sama nggak mengenakan masker. Begitu pula dengan gua; lupa, karena terburu-buru.
Beberapa lantai berikutnya, beberapa orang masuk ke dalam lift. Melihat kondisi lift yang penuh sesak dan hanya beberapa yang mengenakan masker, Marshall lalu menyodorkan sebuah masker ke arah gua melalui sela-sela tubuh penumpang lift lain.
Gua terdiam dan menatap ke arah masker pemberiannya kemudian beralih ke arahnya.
‘Se-aware itu dirinya terhadap pandemi ini kah?’ gua membatin dalam hati.
Marshall lalu bicara tanpa suara, tapi dari gerakan bibirnya gua dapat mengerti apa yang diucapkan; “Pake”.
Gua meraih masker pemberiannya, tapi nggak langsung memasangnya. Lalu, dengan sebuah sentuhan kecil, ia kembali memberikan kode agar gua segera memakai masker tersebut; “Pake” kini sambil memperagakan gerakan memakai masker.
Bukan, bukan gua nggak mau memakai masker atau setuju dengan ‘gerakan anti masker’, Gua hanya merasa nggak nyaman saat memakainya, bagian belakang daun telinga terasa sakit. Tapi, akhirnya gua tetap memasang masker pemberiannya. Walau tetap sambil mendengus kesal.
Begitu tiba di basement, satu persatu orang keluar dari lift, menyisakan kami berdua yang masih berdiri di sisi yang saling berjauhan. Marshall keluar lebih dulu dari dalam lift, sementara gua mengikutinya dari belakang.
Sebelum keluar dari lobby lift, gua langsung mengeluarkan ponsel, berencana meminta nomor rekening pribadinya untuk mentransfer sejumlah uang sebagai ganti ongkos kesini. Menurut gua secara pribadi, nggak ada yang salah dengan hal itu. Dalam prinsip ekonomi, gua adalah pengguna jasa-nya. Jadi, ini adalah murni sebuah transaksi.
“Nomor rekening lo berapa?” Tanya gua, sambil tangan bersiap pada layar ponsel.
“Buat apa?” Marshall malah balik bertanya.
“Buat ganti ongkos lo” Gua menjawab singkat.
“Nggak usah” Balasnya, sambil terus berjalan keluar dari lobby lift basement.
Mendengar jawaban darinya, seketika gua menghentikan langkah; berhenti dan berdiam di dalam lobby lift. Gua mencari kontak dengan namanya dan mulai menelpon. Dari posisi gua berdiri terlihat, Marshall menghentikan langkah, merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel dan menatap layarnya. Alih-alih langsung menjawab, ia memutar tubuhnya dan menatap gua.
Dengan tangan, gua memberikan kode agar ia menjawab panggilan.
“Gua nggak bisa nganter lo. Jadi, buruan mana nomor rekening lo” Pinta gua melalui sambungan telepon.
“Nggak usah…” Marshall masih teguh dengan jawaban sebelumnya. Ia lalu mengakhiri panggilan dan pergi dari area basement.
Gua benci.
Sangat benci akan sebuah penolakan. Apalagi penolakan model seperti ini; seperti yang Marshall lakukan. Penolakan yang malah bikin gua merasa direndahkan, merasa jadi punya hutang. Entah apapun itu; utang uang ataupun utang rasa.
“Ck!” Gumam gua, seraya menghentakkan kaki di lantai, kemudian berbalik dan kembali ke atas.
Sekembalinya gua ke atas, Anggi masih belum selesai dengan porsi makannya. Gua membuka kulkas, meraih kaleng berisi diet coke dan duduk di kursi di sebelahnya.
Setelah Anggi selesai makan, kami berdua ngobrol sambil bercengkrama di ruang keluarga, menonton serial anak favoritnya.Sementara Anggi sibuk menonton saraya berbaring di pangkuan, gua menatap layar ponsel yang sejak tadi menampilkan riwayat pesan Marshall. Merasa masih ada yang mengganjal, karena penolakan darinya, akhirnya gua memutuskan untuk menghubunginya.
Agar Anggi nggak mendengar percakapan kami, gua meraih bantal, dan meletakkannya di bawah kepala, sebagai pengganti pangkuan gua.
“Mommy mau telpon dulu ya…” Ucap gua seraya berdiri dan menuju ke dalam kamar. Sementara, Anggi yang sudah terlanjur fokus pada layar televisi hanya mengangguk pelan.
Di dalam kamar, gua berdiri di sisi jendela. Sambil menatap, gedung apartemen sebelah, gua mulai menempelkan ponsel di telinga. Nada sambung terdengar beberapa kali, lalu suara Marshall menyapa gua; “Halo…”.
Dengan cepat gua kembali meminta nomor rekeningnya; “Nomor rekening lo” Tanya gua santai.
“Kan gua udah bilang, nggak usah” Jawabnya.
“Apa perlu gua transfer ke rekening studio lo?” Tanya gua. Karena pernah bekerja sama, gua yakin kalau orang finance di kantor tau nomor rekening studio miliknya.
“Ck..”
“Ntar lo nggak mau kalo gua minta tolong lagi?” Gua menambahkan, mengemukakan sebuah alasan. Seandainya kali ini ia nggak gua ‘bayar’, takutnya saat gua butuh bantuan, ia bakal langsung menolak.
“Gua emang nggak ada rencana nolong lo lagi kok” Jawabnya. Sebuah jawaban yang ‘nyelekit’ dan menyakiti hati.
“Oh gitu?”
“Iya, gitu”
“Kenapa?” Tanya gua.
“Males”
“Kenapa Males?” Tanya gua lagi, terus mencecarnya.
“Gua jauh-jauh dateng kesana, sampe sana cuma disuruh bantuin anak lo gambar” Marshall memberi penjelasan.
Gua yakin kalau itu bukanlah alasan sebenarnya. Gua yakin ada hal lain yang bikin ia nggak mau lagi memberi bantuan. Atau, mungkin saja ini hanya gertakan darinya.
“Ya kalo gua dari awal bilang minta bantuan buat ngajarin gambar. Apa lo mau dateng?” Tanya gua lagi.
“Nggak” Marshall menjawab singkat.
“Yaudah, besok-besok nggak bakal gua minta tolong sama lo lagi” Gua bicara, menerima ancamannya. Lagian, kalau sudah begini gua juga males kalau harus meminta bantuannya lagi.
“Baguslah…”
Spontan gua lalu memberi respon yang entah kenapa langsung terucap begitu saja; “Nggak tau terima kasih lo!”
“Tunggu, tunggu…”
“...”
“... Gua? Gua nggak tau terima kasih?” Tanya Marshall. Terdengar ada perubahan nada suara saat ia bicara.
Mana mungkin gua bilang kalau ucapan sebelumnya keceplosan; malu dong. Jadi, dengan penuh percaya diri, gua menjawab; “Iya…”
Lantas mulai mencari-cari alasan yang tepat kenapa gua mengatakan hal tersebut.
“Kenapa?” Tanyanya.
“Lo pikir, selama ini proyek kantor gua yang masuk ke studio kecil lo itu, karena kualitasnya?”
“Hah!?”
“Gua bisa kali cari orang atau studio lain yang ‘mungkin’ lebih baik dan lebih murah dari elo. Terus sekarang pas udah gua bantu, lo malah kayak gini” Ucap gua. Tentu saja nggak benar-benar serius karena terlanjur bersandiwara, ya gua lanjutkan saja sekalian.
“Terus kalo bukan karena kualitas, kenapa lo pilih gua, kenapa lo pilih studio gua?” Tanyanya lagi.
“Kasian” Gua kembali memberi jawaban, terus bermain-main.
“What!?”
“Kenapa? Kecewa? Emang lo berharap gua jawab apa? Gua mau deketin lo? Sorry yaa. Gua juga punya standar kali” Ucap gua agar semakin meyakinkan.
“Wah, ini udah kelewatan sih” Serunya.
“...” Gua terdiam sebentar, merasa setuju dengannya. ‘Iya, ini kayaknya udah kelewatan deh’ Batin gua dalam hati.
“... Gua tutup ya, kalo dilanjutin nggak tau deh bakal semarah apa gua” Tambahnya, lalu mengakhiri panggilan.
Sementara, setelah menelpon gua malah merasakan sensasi aneh di dalam hati. Dada gua naik turun, berdegup kencang akibat berbohong kepadanya, berbohong kepada diri sendiri. Di sisi lain entah kenapa, terasa seperti adrenalin rush yang memompa darah semakin cepat menuju ke jantung.
Merasa bersalah.
Gua hanya mampu terdiam dan menatap kosong ke depan. Setelah beberapa lama, gua lalu mencoba mengatur nafas, dan kembali ke depan dan bergabung dengan Anggi menonton televisi. Begitu serial favoritnya selesai, seakan tau akan perubahan sikap gua, Anggi menoleh dan bicara; “Mommy tadi abis telepon siapa, sih?” Tanyanya.
Gua nggak langsung menjawab pertanyaannya. Melainkan balik bertanya; “Emang kenapa?”
“Kok abis telepon, Mommy jadi bengong terus?” Tanyanya lagi.
“Emang iya? Nggak ah..” Jawab gua gelagapan. Lalu berdiri dan bergegas menuju ke kamar mandi.
Di dalam kamar mandi, gua hanya berdiri di depan wastafel dan menatap diri sendiri melalui pantulan cermin. Untuk kesekian kalinya dalam hidup ini, gua merasa begitu bersalah. Gua lalu duduk di atas kloset, menunduk dan menutupi wajah dengan kedua tangan; menyesal.
Setelah merasa cukup tenang, gua kembali ke ruang keluarga dimana kini Anggi terlihat berbaring sambil bermain game dengan tablet.
“Anggi, jangan main sambil tiduran nak” Ucap gua pelan, memberi peringatan kepadanya. Ia lalu merubah posisi, dan duduk sambil bersandar di sofa.
Gua duduk disebelahnya, kemudian bicara; “Anggi, besok Mommy mau pergi sebentar. Kamu sama tante Reni gapapa kan?”
Ia berhenti bermain, menoleh ke arah gua dan balik bertanya; “Emang mommy mau kemana? Anggi boleh ikut?”
Gua menggeleng dan memberi jawaban kalau besok akan pergi karena urusan pekerjaan. Anggi lalu mengangguk pelan, kemudian melanjutkan kegiatannya bermain game. Sementara, gua mulai mengirim pesan ke Reni untuk minta tolong menemani Anggi disini.
Kemudian beralih ke riwayat pesan yang lain. Dan mulai menulis permintaan maaf untuk Marshall.
Berkali-kali gua mengetik kalimat-kalimat sebagai permintaan maaf, dan berkali-kali pula gua menghapusnya. Hingga setelah lebih dari dua jam, gua mengirim format tulisan terakhir yang hanya berisi; ‘Sorry’.
Tapi, entah kenapa pesan gua nggak terkirim.
Besoknya, pagi-pagi sekali Reni, anak dan suaminya; Robi, sudah tiba di apartemen gua.
“Pagi banget” ucap gua seraya menyiapkan sarapan untuk mereka sekeluarga. Sementara Anggi malah belum bangun.
“Takut macet, kak” Jawab Robi, seraya duduk di meja makan dan mulai membuka laptopnya. Begitu pula Reni yang menyusul ke ruang makan setelah menyetel video kartun untuk anaknya. Ia mengeluarkan laptop dari tasnya dan mulai bekerja.
Sementara tangan kirinya sibuk dengan laptop, tangannya yang bebas meraih roti panggang dan langsung melahapnya layaknya nggak ada waktu lagi.
Gua tersenyum menatap perilakunya.
Siapa sangka, anak yang dulu kerap menemani ‘kencan’ kami, anak yang dulu seringkali sulit makan, kini tanpa gua sadari sudah berubah menjadi sosok perempuan dewasa yang bahkan sudah menikah dan punya anak.
Reni menoleh ke arah gua dan balik menatap.
“Kenapa?” Tanyanya saat menyadari kalau gua tengah menatapnya sambil tersenyum.
“Gapapa, Kayaknya belum lama lo masih merengek-rengek minta uang jajan, masih lari-lari dan harus dipaksa makan. Look at you now”
“Hahaha, sini-sini peluk” ucapnya, seraya membuka kedua tangan. Gua mendekat dan memberinya pelukan. Di dalam pelukan gua, Reni mendongak dan bicara; “Sekarang masih boleh emang ngerengek minta uang jajan?”
Kini giliran gua yang tertawa, menatapnya sebentar kemudian mengangguk; “Boleh”
“Anyway, tumben deh ke kantor?” Tanya Reni, merasa nggak biasa-biasanya gua datang ke kantor, apalagi saat ada Anggi di sini.
Gua menatap ke arah Robi yang duduk di seberang kami. Merasa nggak bisa bercerita sekarang karena takut cerita gua di dengar oleh Robi. Reni yang merasa kalau kehadiran suaminya bakal mengganggu percakapan kami lalu menepuk lengang Robi dan memberi kode agar ia menjauh; “Ssttt.. Sana..”
“Hah?”
“Sana, kita mau ngobrol”
“Yaudah, sok ngobrol aja” Ucap Robi.
“Obrolan cewek, udah lo sana” Seru Reni.
Robi lantas mendengus, meraih laptop dan cangkir kopi miliknya kemudian pindah ke ruang keluarga.
“Jangan di situ, masih kedengaran” Protes Reni.
Robi kembali mendengus dan kembali bergeser ke ruang tamu di depan.
“Masih kedengaran” Reni kembali protes.
“Ya kalian bisik-bisik aja nggak sih” Kini gantian Robi yang mengajukan protes. Tapi, siapalah Robi dimata Reni, ia hanya bisa protes secara verbal, sementara Reni sudah bersiap meraih sandal, berusaha melemparnya.
Untuk kesekian kalinya, Robi mendengus, masih sambil menenteng laptop dan cangkir kopi miliknya, ia kembali ke ruang keluarga, membuka kaca besar yang merupakan satu-satunya akses ke balkon dan mulai bekerja disana.
“Kenapa, kenapa?” Tanya Reni ke gua saat merasa semua ‘aman’. Kini, ekspresi wajahnya terlihat excited, layaknya anak kecil yang baru saja dibelikan mainan.
Lalu terdengar Anggi, dengan gayanya yang polos bercerita tentang kondisi Papah dan Mommy-nya yang berpisah ke Marshall. Sesuatu yang sebenarnya enggan gua ceritakan ke orang lain. Karena nantinya bakal banyak pertanyaan-pertanyaan susulan kayak; ‘Kenapa pisah?’, ‘Ada yang selingkuh?’, ‘Emang nggak bisa berdamai?’, ‘Kasian deh anaknya’, dan banyak lainnya. Yang tentu bikin emosi dan kepikiran.
Gua mendekat ke arah mereka, ingin secepatnya mencegah Anggi bicara terlalu banyak. Sekalian mengajaknya makan.
Saat gua tengah menemani Anggi makan di ruang makan, terlihat Marshall berjalan menuju ke arah pintu keluar. Ia nggak bicara banyak, hanya pamit dengan kalimat singkat; “Gua balik ya”.
Melihat ia pergi, gua berpaling ke Anggi yang tengah makan sambil menonton video di tablet.
“Mommy anter Om Marshall ke bawah dulu ya, sebentar” Ucap gua ke Anggi yang lantas diresponnya dengan anggukan kepala. Nggak bisa menjawab karena mulutnya penuh dengan makanan.
Gua meraih ponsel dan bergegas keluar untuk menyusulnya.
Dari lorong, terdengar samar bunyi denting suara lift. Gua mempercepat langkah, dan terlihat pintu lift hampir saya menutup. Sigap, gua mencegah pintu lift menutup dengan menahannya menggunakan tangan yang lantas membuat pintu kembali terbuka. Di dalam lift Marshall berdiri dan menatap gua tanpa ekspresi.
“Main balik aja!” Gua berseru sambil melangkah pelan masuk ke dalam lift. Sementara Marshall nggak merespon apa-apa. Ia hanya mundur beberapa langkah, memberi jarak agar kami berdua nggak berdiri terlalu dekat.
Gua menekan tombol dan pintu lift-pun menutup.
Tak ada ucapan apa-apa dari kami berdua, hanya berdiri dalam diam sambil sesekali mencuri pandang ke arahnya melalui pantulan pintu lift. Saat kebetulan gua tengah menatap ke arahnya, ia juga kedapatan melakukan hal yang sama. Kami saling menatap melalui pantulan pintu lift.
Canggung.
“Apa?!” Tanya gua.
Marshall hanya menggelengkan kepalanya, lalu berhenti menatap.
‘Ting’ Pintu lift terbuka saat layar digital kecil di bagian atas lift memunculkan angka 10. Disusul sepasang pria dan wanita masuk ke dalam lift. Gua menggeser tubuh ke sisi kiri, sementara Marshall ke arah sebaliknya; ke kanan, menyisakan area kosong di tengah yang lalu diisi oleh pasangan yang baru saja masuk.
Kini kami terpisah oleh pasangan pria dan wanita yang terlihat mesra.
Sementara, Marshall menatap mereka seakan jijik, karena keduanya sama-sama nggak mengenakan masker. Begitu pula dengan gua; lupa, karena terburu-buru.
Beberapa lantai berikutnya, beberapa orang masuk ke dalam lift. Melihat kondisi lift yang penuh sesak dan hanya beberapa yang mengenakan masker, Marshall lalu menyodorkan sebuah masker ke arah gua melalui sela-sela tubuh penumpang lift lain.
Gua terdiam dan menatap ke arah masker pemberiannya kemudian beralih ke arahnya.
‘Se-aware itu dirinya terhadap pandemi ini kah?’ gua membatin dalam hati.
Marshall lalu bicara tanpa suara, tapi dari gerakan bibirnya gua dapat mengerti apa yang diucapkan; “Pake”.
Gua meraih masker pemberiannya, tapi nggak langsung memasangnya. Lalu, dengan sebuah sentuhan kecil, ia kembali memberikan kode agar gua segera memakai masker tersebut; “Pake” kini sambil memperagakan gerakan memakai masker.
Bukan, bukan gua nggak mau memakai masker atau setuju dengan ‘gerakan anti masker’, Gua hanya merasa nggak nyaman saat memakainya, bagian belakang daun telinga terasa sakit. Tapi, akhirnya gua tetap memasang masker pemberiannya. Walau tetap sambil mendengus kesal.
Begitu tiba di basement, satu persatu orang keluar dari lift, menyisakan kami berdua yang masih berdiri di sisi yang saling berjauhan. Marshall keluar lebih dulu dari dalam lift, sementara gua mengikutinya dari belakang.
Sebelum keluar dari lobby lift, gua langsung mengeluarkan ponsel, berencana meminta nomor rekening pribadinya untuk mentransfer sejumlah uang sebagai ganti ongkos kesini. Menurut gua secara pribadi, nggak ada yang salah dengan hal itu. Dalam prinsip ekonomi, gua adalah pengguna jasa-nya. Jadi, ini adalah murni sebuah transaksi.
“Nomor rekening lo berapa?” Tanya gua, sambil tangan bersiap pada layar ponsel.
“Buat apa?” Marshall malah balik bertanya.
“Buat ganti ongkos lo” Gua menjawab singkat.
“Nggak usah” Balasnya, sambil terus berjalan keluar dari lobby lift basement.
Mendengar jawaban darinya, seketika gua menghentikan langkah; berhenti dan berdiam di dalam lobby lift. Gua mencari kontak dengan namanya dan mulai menelpon. Dari posisi gua berdiri terlihat, Marshall menghentikan langkah, merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel dan menatap layarnya. Alih-alih langsung menjawab, ia memutar tubuhnya dan menatap gua.
Dengan tangan, gua memberikan kode agar ia menjawab panggilan.
“Gua nggak bisa nganter lo. Jadi, buruan mana nomor rekening lo” Pinta gua melalui sambungan telepon.
“Nggak usah…” Marshall masih teguh dengan jawaban sebelumnya. Ia lalu mengakhiri panggilan dan pergi dari area basement.
Gua benci.
Sangat benci akan sebuah penolakan. Apalagi penolakan model seperti ini; seperti yang Marshall lakukan. Penolakan yang malah bikin gua merasa direndahkan, merasa jadi punya hutang. Entah apapun itu; utang uang ataupun utang rasa.
“Ck!” Gumam gua, seraya menghentakkan kaki di lantai, kemudian berbalik dan kembali ke atas.
Sekembalinya gua ke atas, Anggi masih belum selesai dengan porsi makannya. Gua membuka kulkas, meraih kaleng berisi diet coke dan duduk di kursi di sebelahnya.
Setelah Anggi selesai makan, kami berdua ngobrol sambil bercengkrama di ruang keluarga, menonton serial anak favoritnya.Sementara Anggi sibuk menonton saraya berbaring di pangkuan, gua menatap layar ponsel yang sejak tadi menampilkan riwayat pesan Marshall. Merasa masih ada yang mengganjal, karena penolakan darinya, akhirnya gua memutuskan untuk menghubunginya.
Agar Anggi nggak mendengar percakapan kami, gua meraih bantal, dan meletakkannya di bawah kepala, sebagai pengganti pangkuan gua.
“Mommy mau telpon dulu ya…” Ucap gua seraya berdiri dan menuju ke dalam kamar. Sementara, Anggi yang sudah terlanjur fokus pada layar televisi hanya mengangguk pelan.
Di dalam kamar, gua berdiri di sisi jendela. Sambil menatap, gedung apartemen sebelah, gua mulai menempelkan ponsel di telinga. Nada sambung terdengar beberapa kali, lalu suara Marshall menyapa gua; “Halo…”.
Dengan cepat gua kembali meminta nomor rekeningnya; “Nomor rekening lo” Tanya gua santai.
“Kan gua udah bilang, nggak usah” Jawabnya.
“Apa perlu gua transfer ke rekening studio lo?” Tanya gua. Karena pernah bekerja sama, gua yakin kalau orang finance di kantor tau nomor rekening studio miliknya.
“Ck..”
“Ntar lo nggak mau kalo gua minta tolong lagi?” Gua menambahkan, mengemukakan sebuah alasan. Seandainya kali ini ia nggak gua ‘bayar’, takutnya saat gua butuh bantuan, ia bakal langsung menolak.
“Gua emang nggak ada rencana nolong lo lagi kok” Jawabnya. Sebuah jawaban yang ‘nyelekit’ dan menyakiti hati.
“Oh gitu?”
“Iya, gitu”
“Kenapa?” Tanya gua.
“Males”
“Kenapa Males?” Tanya gua lagi, terus mencecarnya.
“Gua jauh-jauh dateng kesana, sampe sana cuma disuruh bantuin anak lo gambar” Marshall memberi penjelasan.
Gua yakin kalau itu bukanlah alasan sebenarnya. Gua yakin ada hal lain yang bikin ia nggak mau lagi memberi bantuan. Atau, mungkin saja ini hanya gertakan darinya.
“Ya kalo gua dari awal bilang minta bantuan buat ngajarin gambar. Apa lo mau dateng?” Tanya gua lagi.
“Nggak” Marshall menjawab singkat.
“Yaudah, besok-besok nggak bakal gua minta tolong sama lo lagi” Gua bicara, menerima ancamannya. Lagian, kalau sudah begini gua juga males kalau harus meminta bantuannya lagi.
“Baguslah…”
Spontan gua lalu memberi respon yang entah kenapa langsung terucap begitu saja; “Nggak tau terima kasih lo!”
“Tunggu, tunggu…”
“...”
“... Gua? Gua nggak tau terima kasih?” Tanya Marshall. Terdengar ada perubahan nada suara saat ia bicara.
Mana mungkin gua bilang kalau ucapan sebelumnya keceplosan; malu dong. Jadi, dengan penuh percaya diri, gua menjawab; “Iya…”
Lantas mulai mencari-cari alasan yang tepat kenapa gua mengatakan hal tersebut.
“Kenapa?” Tanyanya.
“Lo pikir, selama ini proyek kantor gua yang masuk ke studio kecil lo itu, karena kualitasnya?”
“Hah!?”
“Gua bisa kali cari orang atau studio lain yang ‘mungkin’ lebih baik dan lebih murah dari elo. Terus sekarang pas udah gua bantu, lo malah kayak gini” Ucap gua. Tentu saja nggak benar-benar serius karena terlanjur bersandiwara, ya gua lanjutkan saja sekalian.
“Terus kalo bukan karena kualitas, kenapa lo pilih gua, kenapa lo pilih studio gua?” Tanyanya lagi.
“Kasian” Gua kembali memberi jawaban, terus bermain-main.
“What!?”
“Kenapa? Kecewa? Emang lo berharap gua jawab apa? Gua mau deketin lo? Sorry yaa. Gua juga punya standar kali” Ucap gua agar semakin meyakinkan.
“Wah, ini udah kelewatan sih” Serunya.
“...” Gua terdiam sebentar, merasa setuju dengannya. ‘Iya, ini kayaknya udah kelewatan deh’ Batin gua dalam hati.
“... Gua tutup ya, kalo dilanjutin nggak tau deh bakal semarah apa gua” Tambahnya, lalu mengakhiri panggilan.
Sementara, setelah menelpon gua malah merasakan sensasi aneh di dalam hati. Dada gua naik turun, berdegup kencang akibat berbohong kepadanya, berbohong kepada diri sendiri. Di sisi lain entah kenapa, terasa seperti adrenalin rush yang memompa darah semakin cepat menuju ke jantung.
Merasa bersalah.
Gua hanya mampu terdiam dan menatap kosong ke depan. Setelah beberapa lama, gua lalu mencoba mengatur nafas, dan kembali ke depan dan bergabung dengan Anggi menonton televisi. Begitu serial favoritnya selesai, seakan tau akan perubahan sikap gua, Anggi menoleh dan bicara; “Mommy tadi abis telepon siapa, sih?” Tanyanya.
Gua nggak langsung menjawab pertanyaannya. Melainkan balik bertanya; “Emang kenapa?”
“Kok abis telepon, Mommy jadi bengong terus?” Tanyanya lagi.
“Emang iya? Nggak ah..” Jawab gua gelagapan. Lalu berdiri dan bergegas menuju ke kamar mandi.
Di dalam kamar mandi, gua hanya berdiri di depan wastafel dan menatap diri sendiri melalui pantulan cermin. Untuk kesekian kalinya dalam hidup ini, gua merasa begitu bersalah. Gua lalu duduk di atas kloset, menunduk dan menutupi wajah dengan kedua tangan; menyesal.
Setelah merasa cukup tenang, gua kembali ke ruang keluarga dimana kini Anggi terlihat berbaring sambil bermain game dengan tablet.
“Anggi, jangan main sambil tiduran nak” Ucap gua pelan, memberi peringatan kepadanya. Ia lalu merubah posisi, dan duduk sambil bersandar di sofa.
Gua duduk disebelahnya, kemudian bicara; “Anggi, besok Mommy mau pergi sebentar. Kamu sama tante Reni gapapa kan?”
Ia berhenti bermain, menoleh ke arah gua dan balik bertanya; “Emang mommy mau kemana? Anggi boleh ikut?”
Gua menggeleng dan memberi jawaban kalau besok akan pergi karena urusan pekerjaan. Anggi lalu mengangguk pelan, kemudian melanjutkan kegiatannya bermain game. Sementara, gua mulai mengirim pesan ke Reni untuk minta tolong menemani Anggi disini.
Kemudian beralih ke riwayat pesan yang lain. Dan mulai menulis permintaan maaf untuk Marshall.
Berkali-kali gua mengetik kalimat-kalimat sebagai permintaan maaf, dan berkali-kali pula gua menghapusnya. Hingga setelah lebih dari dua jam, gua mengirim format tulisan terakhir yang hanya berisi; ‘Sorry’.
Tapi, entah kenapa pesan gua nggak terkirim.
Besoknya, pagi-pagi sekali Reni, anak dan suaminya; Robi, sudah tiba di apartemen gua.
“Pagi banget” ucap gua seraya menyiapkan sarapan untuk mereka sekeluarga. Sementara Anggi malah belum bangun.
“Takut macet, kak” Jawab Robi, seraya duduk di meja makan dan mulai membuka laptopnya. Begitu pula Reni yang menyusul ke ruang makan setelah menyetel video kartun untuk anaknya. Ia mengeluarkan laptop dari tasnya dan mulai bekerja.
Sementara tangan kirinya sibuk dengan laptop, tangannya yang bebas meraih roti panggang dan langsung melahapnya layaknya nggak ada waktu lagi.
Gua tersenyum menatap perilakunya.
Siapa sangka, anak yang dulu kerap menemani ‘kencan’ kami, anak yang dulu seringkali sulit makan, kini tanpa gua sadari sudah berubah menjadi sosok perempuan dewasa yang bahkan sudah menikah dan punya anak.
Reni menoleh ke arah gua dan balik menatap.
“Kenapa?” Tanyanya saat menyadari kalau gua tengah menatapnya sambil tersenyum.
“Gapapa, Kayaknya belum lama lo masih merengek-rengek minta uang jajan, masih lari-lari dan harus dipaksa makan. Look at you now”
“Hahaha, sini-sini peluk” ucapnya, seraya membuka kedua tangan. Gua mendekat dan memberinya pelukan. Di dalam pelukan gua, Reni mendongak dan bicara; “Sekarang masih boleh emang ngerengek minta uang jajan?”
Kini giliran gua yang tertawa, menatapnya sebentar kemudian mengangguk; “Boleh”
“Anyway, tumben deh ke kantor?” Tanya Reni, merasa nggak biasa-biasanya gua datang ke kantor, apalagi saat ada Anggi di sini.
Gua menatap ke arah Robi yang duduk di seberang kami. Merasa nggak bisa bercerita sekarang karena takut cerita gua di dengar oleh Robi. Reni yang merasa kalau kehadiran suaminya bakal mengganggu percakapan kami lalu menepuk lengang Robi dan memberi kode agar ia menjauh; “Ssttt.. Sana..”
“Hah?”
“Sana, kita mau ngobrol”
“Yaudah, sok ngobrol aja” Ucap Robi.
“Obrolan cewek, udah lo sana” Seru Reni.
Robi lantas mendengus, meraih laptop dan cangkir kopi miliknya kemudian pindah ke ruang keluarga.
“Jangan di situ, masih kedengaran” Protes Reni.
Robi kembali mendengus dan kembali bergeser ke ruang tamu di depan.
“Masih kedengaran” Reni kembali protes.
“Ya kalian bisik-bisik aja nggak sih” Kini gantian Robi yang mengajukan protes. Tapi, siapalah Robi dimata Reni, ia hanya bisa protes secara verbal, sementara Reni sudah bersiap meraih sandal, berusaha melemparnya.
Untuk kesekian kalinya, Robi mendengus, masih sambil menenteng laptop dan cangkir kopi miliknya, ia kembali ke ruang keluarga, membuka kaca besar yang merupakan satu-satunya akses ke balkon dan mulai bekerja disana.
“Kenapa, kenapa?” Tanya Reni ke gua saat merasa semua ‘aman’. Kini, ekspresi wajahnya terlihat excited, layaknya anak kecil yang baru saja dibelikan mainan.
Lanjut Ke Bawah
Diubah oleh robotpintar 03-06-2024 20:03
itkgid dan 33 lainnya memberi reputasi
34
Kutip
Balas
Tutup