Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Hampir satu bulan setelahnya, saat gua tengah berbelanja di salah satu mall di bilangan Jakarta Selatan. Tanpa sengaja, gua bertemu dengannya; dengan Marshall. Entah kenapa, di luasnya Jakarta, di antara banyaknya Mall dan di antara ratusan atau mungkin ribuan orang yang berada di sana, diantara jutaan kemungkinan yang hampir mustahil, gua kembali bertemu dengannya. Kali ini secara langsung setelah sekian lama.
“Ngapain Lo?” Tanya gua ke Marshall yang tengah berjalan.
“Lo ngapain?” Ia balik bertanya.
“Gua nanya duluan” Ucap gua.
Seperti ingin menghindari perdebatan, Marshall nggak menggubris ucapan gua. Ia hanya berlalu, melewati gua dan terus berjalan seakan nggak terjadi apa-apa. Namun, baru beberapa langkah, ia berbalik dan mendekat ke arah gua.
Tanpa banyak bicara, ia meraih plastik belanjaan dari tangan gua dan mulai membawanya.
“Emang Jeje kemana sih? Sampe lo belanja sendirian?” Tanya Marshall, membuka obrolan.
Gua yang masih terkejut karena sikapnya hanya mampu terdiam.
“Emang suami lo kemana, sampe bawa belanjaan sendiri?” Ia mengulang pertanyaan karena nggak mendapat jawaban dari gua.
“Nggak ada” Gua menjawab singkat.
Iya, sampai saat ini Marshall belumlah tau kalau gua dan Jeje sudah berpisah. Sudah menjalani hidup masing-masing. Dan sampai saat ini masih belum ada rencana gua untuk memberitahunya; ‘Buat apa?’ batin gua dalam hati.
“Parkir dimana?” Tanya Marshall, sambil terus menenteng plastik berisi belanjaan gua.
Iya, rencananya memang gua mau langsung pulang. Tapi karena ia tiba-tiba ‘membantu’ gua mengangkat belanjaan. Muncul ide untuk ngerjain dia. Sambil membayangkan ekspresinya nanti, gua terkekeh dan menutup mulut dengan tangan.
“Di bawah, Basement” Jawab gua dan terus mengikuti langkahnya menuju ke arah eskalator, menuju ke lantai bawah ke basement.
Saat kami sudah berada di lobby eskalator, Marshall menghentikan langkahnya, ia lalu berpaling ke arah gua dan kembali bertanya; “Dimana?”
“Apanya?” Gua balik bertanya. Sambil terus berusaha menahan tawa. Gua tau kalau yang ia tanyakan adalah lokasi mobil. Tapi sengaja berpura-pura bego, untuk membuatnya kesal.
“Mobil lo?”
“Di sana” Gua menjawab sambil menunjuk ke arah mobil yang terparkir. Padahal nggak tau lokasi yang gua tunjuk benar atau nggak; Asal.
Marshall lantas melanjutkan langkah sesuai dengan arah yang gua tunjukkan. Tapi, gua juga nggak tega membuatnya terus membawa belanjaan. Gua akhirnya memutuskan untuk berhenti mengerjainya. Gua mendekat, dan menepuk bahunya; “Yang bilang gua mau pulang siapa?”
“Hah!?” Marshall tertegun. Dan menghentikan langkah.
“...”
“... Tadi bukannya lo..” Marshall nggak melanjutkan kalimatnya. Ia lantas meletakkan plastik belanjaan milik gua di lantai, lalu pergi.
“Marshall” Gua berteriak, memanggil namanya.
Ia berhenti.
“... Bawain belanjaan gua balik ke atas” Gua menambahkan.
Awalnya gua pikir, ia nggak bakal kembali. Dan gua bakal lanjut membawa plastik belanjaan ke mobil lalu pulang. Tapi secara tak terduga, Marshall berbalik dan mendekat. Ia meraih plastik belanjaan gua yang tergeletak di lantai basement dan menggumam pelan; “Kenapa nggak pake troli aja sih”
“Bawel” Gua seru.
“Lagian, ini kan bisa di simpen di mobil lo dulu. Kalo lo masih mau belanja lagi” Marshall bicara, memberi saran.
“Nggak mau!, Bawa lagi ke atas” Seru gua, kemudian pergi lebih dulu ke lantai atas, meninggalkan dirinya karena nggak tahan ingin tertawa.
Sekembalinya ke tempat awal pertemuan kami tadi, Marshall langsung meletakkan plastik belanjaan di lantai dan pergi. Gua meraih plastik tersebut dan mulai mengikuti kemana ia pergi. Rencana gua masih sama; sengaja ingin membuatnya kesal.
“Sal, Marshall!” Gua memanggil namanya.
Begitu mendengar panggilan gua, Marshall dengan cepat berbalik ke arah gua.
“Jangan teriak-teriak sih” Bisiknya.
“Gua nggak teriak-teriak, emang suara gua kenceng” Gua menjawab santai.
“...”
“... Gua traktir kopi yuk” Gua memberinya penawaran. Ingin membayar kesalahan. Namun, Marshall dengan cepat menolaknya; “Nggak ah”
Nggak menerima penolakan, gua terus mengikuti kemana pun ia pergi. Langkahnya terhenti tepat di depan sebuah resto ‘All you can eat’ yang berada di lantai dua mall. Ia terlihat celingak-celinguk seperti tengah mencari seseorang. Kemudian mengeluarkan ponsel seakan ingin menelpon, namun tak kunjung dilakukannya.
“Nyari siapa sih?” Tanya gua.
“Temen-temen. Tadi, kita makan disini. Cuma gara-gara kelamaan mondar-mandir ke basement untuk hal yang nggak berguna, mereka udah pulang sekarang” Marshall memberi jawaban. Jawaban yang sekaligus ia gunakan untuk menyindir gua.
“Ye, kan bukan salah gua…” Gua menggumam pelan.
“Iya, salah gua!” Jawabnya ketus.
“Yaudah ayo makannya gua traktir kopi” Gua kembali mengajukan penawaran yang sebelumnya ditolak.
“Nggak mau!!” Jawabnya keukeuh.
“Sal, gua juga males ngobrol sama lo. Ayo gua beliin kopi, take away. Abis itu lo cabut, gua cabut…” Gua menjelaskan, hanya ingin membayar kesalahan. Nggak mau juga kalau terlalu lama ngobrol dengannya; males.
Ia terlihat berpikir sejenak, kemudian mengangguk; setuju.
Menit berikutnya, kami sudah berada di sebuah kedai kopi. Sementara gua memesan di konter, Marshall duduk di salah satu sudut kedai. Beberapa saat kemudian, setelah pesanan selesai, gua menghampirinya sambil membawa dua gelas besar americano dingin lalu meletakkannya di atas meja, kemudian duduk di sebelahnya.
Gua pikir setelah menerima kopi, Marshall akan langsung pergi. Tapi, nyatanya ia nggak serendah itu.
“Umur berapa?” Tanya Marshall saat kebetulan tanpa sengaja ia melihat foto gua dan Anggi yang menjadi latar pada layar ponsel gua.
Gua tau kalau yang ia maksudkan adalah usia Anggi. Tapi, rasanya kurang puas kalau belum melihatnya tersulut emosi. Gua lantas mendekat dan membisikkan usia gua tepat di telinganya.
Sesuai prediksi, ekspresinya mulai berubah kesal.
“Bukan. Bukan elo. Tapi anak lo?” Tanyanya lagi.
“Oh… Rahasia” Gua menjawab santai.
Setelahnya, kami mulai ngobrol. Walau sepertinya nggak tepat kalau disebut obrolan karena kami hanya saling beradu pendapat yang nggak pernah sama dan bertentangan.
Seperti, pendapat gua tentang pandemi, tentang kegiatan dikala pandemi.
“Ya, wajar kali mall, resto, tempat makan udah pada buka. Mereka kan juga butuh makan, butuh gaji” Ucap gua saat obrolan kami masuk ke tema pandemi.
“...”
“... Lagian, kalo kelamaan tutup, ekonomi bisa lumpuh. Perputaran uang nggak berjalan, lama-lama inflasi” Gua menambahkan.
“Ya daripada kita pada mati, terpapar covid” Marshall membantah.
“Buat mereka, buat orang-orang ‘dibawah’, miskin dan kelaparan lebih menakutkan, Sal. Daripada virus dan pandemi ini” Sanggah gua.
“Iya, gua ngerti. Tapi kan harus tetap taat protokol juga. Coba tuh lu liat, banyak yang udah pada lepas masker, duduk dempet-dempetan” Marshall kembali mengajukan bantahan, nggak puas dengan jawaban gua.
“Nah, elo gimana? Studio lo gimana? Mereka masih pada kerja remote atau udah mulai datang ke kantor?” Tanya gua, merujuk ke studio tempatnya bekerja.
“Udah pada mulai datang ke studio” Jawabnya.
“Tuh kan… Tebang pilih lo. Giliran usaha yang model kayak kalian boleh datang ke kantor, Kalau usaha kayak gini nggak boleh, gitu?”
“Ya bukan gitu… Tapi” Belum selesai ia bicara, gua langsung memotong kalimatnya. Kali ini gua bukan hanya meledeknya, kali ini gua benar-benar nggak setuju dengannya.
“Alaah, banyak alasan lo!” Seru gua.
Marshall lalu terdiam dan termenung. Sementara, gua tersenyum, merasakan kemenangan yang adil. Lalu, tiba-tiba ponsel gua berdering, layarnya menampilkan nama ‘iPad’, gawai yang kerap digunakan oleh Anggi.
Gua lantas menjawab panggilan.
“Halo cantik” Sapa gua.
“Halo Mommy. Mommy jadi mau jemput Anggi nggak?” Tanyanya.
“Iya, Mommy lagi belanja. Mau dijemput sekarang?” Gua balik bertanya.
“Mau…” Jawabnya manja.
“Yaudah Mommy, berangkat sekarang ya” Ucap gua lalu mengakhiri panggilan.
Gua lantas berdiri, bersiap untuk pergi dan menjemput Anggi. Sebelum pergi, gua berpaling ke Marshall; “Sekarang mau nggak bawain lagi ke basement?”
Terlihat ia menghela nafas, sepertinya ingin menolak. Tapi, nggak ia lakukan. Tanpa banyak bicara Marshall berdiri, meraih plastik belanjaan gua dan pergi menuju ke basement.
Ditengah perjalan menuju ke basement untuk yang kedua kalinya, Marshall kembali membuka obrolan; “Emang anak lo udah mulai sekolah? Kan masih Pandemi?”
“Nggak” Gua menjawab singkat. Iya, semenjak pandemi, Anggi sudah tak lagi datang ke sekolah. Kini, ia ‘bersekolah’ dari rumah.
“Lah terus, lo jemput dia dari mana?” Tanyanya lagi, mungkin ia mendengar percakapan gua dengan Anggi tadi melalui sambungan telepon dan salah mengira kalau gua akan menjemputnya dari sekolah.
“Dari rumah Papahnya” Gua menjawab, keceplosan.
Begitu mendengar jawaban gua, Marshall menghentikan langkahnya dan kembali mengajukan pertanyaan; “Hah? Gimana maksudnya?”
Gua nggak menggubris pertanyaannya. Mengeluarkan ponsel dan mulai membuka aplikasi untuk melacak posisi mobil. Beruntung di basement gedung ini, sinyal ponsel gua masih bisa terkoneksi dengan baik.
Kami lalu tiba di area parkir basement tempat gua memarkir mobil
“Mobil baru?” Tanyanya.
“Iya” Jawab gua singkat sambil membuka pintu bagasi bagian belakang. Begitu pintu terbuka, Marshall dengan hati-hati memasukan belanjaan dan mengaturnya agar isinya nggak berantakan.
“…”
“… ayo bareng” Ucap gua.
“Ngga usah, Makasih”
“Bawa kendaraan?” Tanya gua, menebak kalau ia menolak ajakan gua karena bawa kendaraan sendiri. Marshall lalu merespon dengan gelengan kepala.
“... Terus naik apa?” Tanya gua lagi.
“Kereta” Ia menjawab singkat.
“Yaudah ayo gua anter sampe stasiun”
“Ngga usah, stasiun nya juga dekat. Naik ojek online aja” Jawabnya, menolak tawaran gua.
“Ya kalo gitu cari stasiun yang jauh”
“Nggak usah” Ia kembali menolak, kali ini langsung berbalik dan pergi.
Gua yang nggak bisa menerima penolakan tentu saja kesal dengan sikapnya. Lalu buru-buru masuk ke dalam mobil dan bergegas menyusulnya.
“Ayo naik” Ucap gua kepadanya yang tengah berjalan di area basement, sementara gua berada di dalam mobil, mengendarainya dengan perlahan, mengikuti langkah kakinya.
“Nggak usah, udah sana” Jawabnya.
“Buruan!!” Seru gua.
Beruntung, ada antrian mobil lain yang berada di belakang gua. Marshall yang memang sepertinya cenderung mencoba menghindari konflik lantas berubah pikiran dan mulai membuka pintu bagian penumpang, lalu masuk.
“Stasiun mana?” Tanya Gua begitu ia sudah berada di dalam mobil.
“Kebayoran lama” Jawabnya.
“Ok”.
Siapa yang sangka, saat berada di dalam mobil pun kami masih melanjutkan perdebatan. Kali ini dengan topik yang sama dengan yang sebelumnya; pandemi.
“Padahal covid lagi marak-maraknya, kok orang pada nekad keluar” Marshall menggumam pelan, saat mendengar keluhan gua tentang macetnya Jakarta
.
Mendengar ucapannya barusan, gua lantas mengernyitkan dahi dan mulai menatapnya. Bisa-bisanya, kalimat tersebut keluar dari orang yang baru saja makan siang ramai-ramai bersama temannya.
“Look at you… Nah, elo keluar, makan di mall. Ucapan sama kelakuan nggak pas”.
“Elo juga”
“Ya gua kan nggak ngomelin orang yang keluar”.
“...”
“... Terus mereka-mereka ini suru diem aja dirumah gitu?” Tanya gua sambil menunjuk asal.
“Ya kan emang harusnya gitu” Balasnya.
“Alah, lagian paling covid ini juga menurut gua terlalu dibesar-besarkan. Atau mungkin, mungkin aja konspirasi” Gua bicara santai, berusaha mendinginkan situasi.
Namun sepertinya Marshall malah menganggap serius hal tersebut. Terlihat dari ekspresi wajahnya yang langsung berubah 180 derajat. Kini, nada bicaranya bahkan terdengar serius; “Lo tau nggak berapa orang yang mati karena virus ini?” Tanya gua, kini dengan nada serius.
Gua mengangguk.
“Gimana nggak tau, setiap hari media ngasih tau yang terpapar berapa, yang mati berapa. Semua berita bau-baunya negatif”
“Banyak orang yang kehilangan teman dan keluarganya gara-gara virus ini” Ucapnya.
“Iya gua tau…”
Kami lalu terdiam.
Sementara gua mulai menyesali ucapan gua sebelumnya. Bisa saja ada kerabat, keluarga atau temannya yang meninggal karena pandemi, dan tadi gua nggak berpikir sampai sejauh itu. “Ada orang terdekat lo yang meninggal gara-gara covid?” Tanya gua pelan.
Marshall nggak menjawab, hanya terus diam.
Hingga akhirnya, mobil yang kami tumpangi tiba di sisi jalan terdekat dengan stasiun Kebayoran Lama. Gua melambatkan laju dan menepikan mobil. Dan begitu mobil berhenti, tanpa banyak bicara, ia langsung keluar.
—
Sesuatu Yang Indah - Padi
Kekasihku aku telah mengenalmu sekian lama
Sepatutnya aku bisa mencintaimu sepenuh hati
Kuharapkan engkau dan aku saling mengerti bukan menyakiti
Tak perlu lagi ada pertengkaran
Kini aku temukan
Telah aku dapatkan
Jauh sudah tersimpan
Sesuatu yang indah dari dirimu
Semoga aku bisa
Mungkin pun aku mampu
Untuk dapat memberikan tulus hatiku
Kekasihku betapa aku tak pernah dapat membuaimu
Dengan kata kata cinta yang mungkin bisa menyejukkanmu
Sungguh aku masih ingin terus mencari dalam jiwamu
Rasa ini ingin kuakui
Kini aku temukan
Telah aku dapatkan
Jauh sudah tersimpan
Sesuatu yang indah dari dirimu
Semoga aku bisa
Mungkin pun aku mampu
Untuk dapat memberikan tulus hatiku
Kekasihku maafkan aku
Jika tak mampu bahagiakanmu
Memelukmu dengan rasa cinta
Kini aku temukan
Telah aku dapatkan (aku dapatkan)
Jauh sudah tersimpan
Sesuatu yang indah dari dirimu
Semoga aku bisa (semoga aku bisa)
Mungkin pun aku mampu
Untuk dapat membahagiakan hatimu