- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa

Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 21:29
viper990 dan 214 lainnya memberi reputasi
215
398.9K
Kutip
4.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1857
Part 72 - Awal Sebuah Obsesi
Spoiler for Part 72 - Awal Sebuah Obsesi:
Gua berjalan menyusuri basement, mencari-cari lokasi mobil sambil menekan tombol pada kunci. Terdengar suara beep dari ujung area dengan kilau lampu yang menyala bergantian. Bukan-bukan, bukan gua lupa dimana posisi parkir, cuma nggak begitu peduli aja.
That’s why gua nggak terlalu suka dengan mobil berwarna hitam; susah dicari disaat seperti ini. Iya, memang sekarang ada teknologi yang memungkinkan kita melacak posisi mobil melalui ponsel. Tapi, saat di area basement seperti ini dan ponsel kehilangan sinyal; tetap nggak berguna.
Gua berdiri menatap sedan hitam yang kini berada tepat di hadapan gua, kemudian menggumam sendiri sambil masuk ke dalam. “Lagian mobil aja kenapa harus sama sih”
Saat sudah keluar dari area basement gedung, dan tengah mengantri keluar dari parkiran, ponsel sudah dapat menerima sinyal, gua langsung mencari nama Jeje dari daftar kontak dan menghubunginya.
“Hmm…” Seperti biasa, ia hanya menggumam pelan saat menjawab panggilan gua.
“Harus banget ya, mobil gua tuh sama dengan punya Lady?” Tanya gua.
“Hah? Gimana?” Tanyanya.
“Kenapa mobil gua harus sama dengan punya Lady?” Tanya gua lagi.
“Apaan sih, Ce. Berbulan-bulan lo udah pake kenapa baru sekarang complain?”
“Nggak tau, lagi kesel aja” Seru gua.
“Terus mau gimana, mau ganti?” Tanyanya.
“Iya” Gua menjawab lirih.
Jeje terdiam sesaat. Kemudian bicara beberapa detik berikutnya; “Pake mobil gua aja, tuker” Ucapnya, santai.
Teringat SUV putih keluaran baru milik Jeje dengan brand yang sama dengan mobil yang saat ini gua kendarai. “Yaudah…”
“Nanti pas anter Anggi ya” Ucapnya.
Sinar matahari yang panas terasa menyilaukan saat gua baru saja keluar dari area parkir gedung. Gua dengan cepat meraih kacamata hitam dan memakainya. Setelah berbelok ke kiri, masuk ke jalan raya yang siang ini cukup padat. Di halte tepat di depan gedung terlihat sosok Marshall yang tadi baru saja meeting dengan gua.
“Ok, udah ya Je…” Gua pamit ke Jeje, mengakhiri panggilan dan mulai melambatkan laju kendaraan, kemudian menepi tepat di depan halte.
Gua menurunkan kaca jendela pada pintu di sisi penumpang sebelah kiri, sambil sedikit mencondongkan tubuh, ke arah kaca yang kini terbuka. “Bareng nggak?” Ucap gua menawarkan tumpangan.
Ia terlihat bingung, menoleh ke kiri dan kanan, seakan tawaran gua barusan nggak dialamatkan kepadanya.
“Woy.. elo! Iya elo. Mau bareng nggak?” Gua mengulang kalimat. Agar lebih jelas, kali ini sambil mengarahkan telunjuk kepadanya.
“Oh… nggak. Nggak usah, gua udah order taksi online. Makasih” Jawabnya seraya sedikit membungkuk ke arah gua.
“Yaudah” ucap gua, kemudian menurunkan kaca jendela mobil dan pergi.
Nggak seberapa lama, gua melirik ke arah spion yang kini memantulkan sosok Marshall. “Cih, cowok plin-plan” gumam gua pelan. Lalu mulai menyambungkan ponsel ke head unit mobil dan memutar lagi.
Terpurukku disini-nya Kla Project mengalun. Gua menambah volume hingga nyaris maksimal dan ikut bernyanyi.
Hari berikutnya, gua sudah mendapat konfirmasi dari pihak Marshall kalau ia setuju untuk mengerjakan proyek yang kami tawarkan. Selanjutnya, kami hanya bertemu saat weekly meeting yang biasanya berlangsung secara online. Sisanya, hampir nggak ada komunikasi diantara kami berdua.
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Nggak ada yang spesial dari hari-hari yang gua jalani. Sejak berpisah dengan Jeje dan sejak ia menikah lagi, hidup gua ya gini-gini aja. Diluar urusan pekerjaan, hampir nggak ada hal ‘seru’ yang bisa dilakukan. Semuanya datar-datar aja.
Gua bahkan sudah sampai di titik dimana nggak ada lagi hasrat untuk melakukan apapun. Nggak ada lagi yang ingin gua gapai. Saat ini, tujuan hidup yang paling utama adalah Anggi. Tapi, itupun gua merasa nggak bisa terlalu banyak ambil bagian dalam proses perkembangannya. Ya mau gimana lagi, Anggi sekarang dikelilingi orang-orang yang peduli banget sama dia; Papah nya, Mamah cantiknya itu, Reni dan bahkan Opungnya yang kini seakan lebih sayang ke cucunya daripada ke gua; anaknya sendiri.
Rasa-rasanya, seperti kehadiran gua di dunia ini hanyalah condiment belaka, hanya sebuah pelengkap, yang seandainya nggak ada pun dunia bakal baik-baik saja.
Hingga suatu waktu, di sebuah momen gua merasakan sesuatu yang lain. Saat pertemuan kembali dengan cowok plin-plan yang menyimpan banyak misteri; Marshall.
Pun gua masih menyisakan sebuah pertanyaan untuknya terkait gambar sketsa yang ia buat. Tapi, rasanya hal itu kini sudah nggak penting lagi saat kami berdua kerap terlibat perdebatan-perdebatan sengit tentang urusan pekerjaan. Perdebatan yang kemudian merembet ke sesuatu yang lebih personal, perdebatan yang bikin kami saling menyerang satu sama lain.
Sebelumnya, nggak pernah gua merasa seperti ini. Didebat, dilawan dan diintimidasi habis-habisan. Biasanya, orang yang baru mengenal gua akan mundur teratur saat tau akan sikap gua yang menjengkelkan. Dan baru kali ini ada sosok manusia yang secara terang-terangan berani menantang gua; bercanda dengan maut.
Sejujurnya sikap menjengkelkan gua bukanlah bawaan lahir. Ini hanya metode gua dalam bertahan hidup. Iya mirip cicak yang memutus ekornya sendiri, bunglon yang berubah warna dan cumi yang menyemprotkan tinta sebagai metode bertahan hidup. Begitu pula dengan gua; sengaja menunjukkan sikap menjengkelkan dan angkuh adalah cara gua menutupi kelemahan.
Menyelubungi kerapuhan di dalam hati.
Siapa yang menyangka kalau hampir setiap malam gua menghabiskan waktu untuk menangis. Meratapi keadaan, menyesali masa lalu. Dan gua nggak mau ada satu orang pun yang tau akan hal itu. Nggak mau ada yang menilai kalau gua perempuan yang lemah.
Gua nggak mau dikasihani.
Saat dikasihani, gua bakal merasa kalau kesalahan-kesalahan gua selama ini seperti mendapat pengampunan. Rasanya seperti anak kecil yang dilindungi padahal jelas-jelas berbuat salah. Dan gua nggak suka.
Sosok Marshall kini berhasil menarik perhatian gua. Tapi, tunggu dulu, perasaan ini bukan artinya gua jatuh hati kepadanya. Gua hanya penasaran, rasa penasaran yang dikemudian hari malah menyerang tuannya sendiri, berubah menjadi obsesi.
Jatuh hati lagi? Mana mungkin?
Siapa sih perempuan yang bisa jatuh hati ke pria lain saat sebelumnya ada orang seperti Jeje yang mati-matian mencintai lo?
Iya, salah satu alasan gua nggak mungkin jatuh cinta lagi adalah Jeje.
Ia berhasil membuat standar yang begitu sulit digapai apalagi dilampaui. Jadi, secara psikologis alam bawah sadar gua bakal otomatis mengeliminasi cowok yang berusaha mendekat saat spesifikasinya nggak sesuai standar. Tentu saja standarnya Jeje.
Masih segar diingatan gua kala itu, momen dimana Reni berani-beraninya pergi kembali ke Jakarta saat gua dan abangnya berada di Kanada; alasannya ingin belajar hidup mandiri dan merasakan bersekolah di Indonesia. Saat itu, hampir setiap malam kami bertukar kabar melalui pesan singkat. Sesekali ia menelpon hanya untuk sekedar curhat.
Malam itu, ia bercerita tentang cowok yang ia sukai.
“Tapi,nggak ah, Kak. Kayaknya orangnya nggak tough…” Ucap Reni saat gua memberinya saran agar ‘bergerak’ lebih dulu.
“Lah emang lo nyari yang kekmana?” Tanya gua.
“Kayak abang” Jawabnya singkat.
Apapun kriteria yang gua ajukan, selalu dijawabnya dengan kalimat yang sama; “Yang kayak abang”
“Ren, kalo lo nyari yang kayak abang lo, udah abis stok-nya di dunia. Nggak bakal dapet. Coba deh turunin sedikit standar lo” Ucap gua mencoba memberinya saran. Saran yang kemudian betul-betul ia ikuti, hingga akhirnya Reni menikah dengan si cowok menye-menye tersebut. Cowok yang bahkan nggak sanggup membetulkan atap yang bocor.
Bertahun-tahun kemudian, Reni berhasil ‘mengembalikan’ ucapan gua.
—
Gua berdiri di depan minimarket yang terletak di basement apartemen. Menunggu datangnya Anggi yang akan diantar oleh Jeje. Kebetulan hari ini adalah jatah ia menginap disini. Setelah menunggu cukup lama, terlihat SUV putih yang dikendarai Jeje menuruni ramp masuk ke area basement. Dari tempat gua berdiri, terlihat Anggi duduk di kursi depan penumpang. Begitu melihat gua, ia langsung mendongak, mencoba berdiri dan melambaikan tangannya ke arah gua. Gua pun melakukan hal yang sama; melambai ke arahnya.
Jeje membunyikan klakson dan melewati gua, mencari tempat parkir yang kosong. Sementara, gua mulai mengikutinya dengan berjalan kaki, menuju ke arah mobil yang kini tengah parkir. Pintu penumpang bagian depan terbuka, Anggi turun dari mobil dan langsung berlari menghampiri gua. Disusul pintu bagian penumpang belakang terbuka, disusul Reni yang turun dan ikut mendekat ke gua.
Gua langsung memeluk Anggi dan berusaha menggendongnya, namun Anggi kini sudah terlampau berat untuk di gendong, apalagi dengan postur tubuh gua yang kurus. Sepertinya juga memang gadis kecil ini sudah tak lagi nyaman berada di gendongan. Terlihat dari gerakannya yang lantas minta diturunkan.
“Kiss Mommy dong” Pinta gua seraya menyodorkan pipi ke arahnya. Anggi lalu dengan cepat mengecup pipi ini.
“Mmmuuuaah…”
Barulah setelah memberi kecupan di pipi, ia meraih tangan gua dan menciumnya. Sementara, Reni mendekat, menyapa gua dengan sebuah senyuman, dan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan keponakannya; meraih tangan gua kemudian menciumnya. Setelahnya barulah kami cipika-cipiki yang diiringi bisikannya; “How's it hanging?” Tanyanya dengan logat Kanada yang kental.
Gua lantas menjawab dengan akses dan bahasa yang sama; “It's hanging good”. Kemudian mulai melongok ke arah mobil yang terparkir, karena nggak melihat kehadiran Lady bersama mereka, gua lantas bertanya; “Where's Lady?”
“Ask him” Jawabnya seraya menunjuk ke Jeje yang baru saja keluar dari mobil. Ia terlihat membuka pintu bagian penumpang, mengeluarkan tas milik Anggi dan beberapa paper bag kemudian berjalan mendekat ke arah kami.
“Lady kemana?” Tanya gua ke Jeje.
“Lagi kerumah sakit” Jawabnya, santai.
“Hah, siapa yang sakit?” Tanya gua lagi.
“Sere, imunisasi” Jawabnya.
“Terus kenapa lo malah kesini? Bukannya nemenin dia. Ntar gua kena damprat lagi deh” Protes gua ke Jeje.
Berkaca dari kejadian saat awal pernikahan mereka, dimana Jeje datang sendirian mengantarkan Anggi ke tempat gua. Yang dikemudian hari, berdasarkan informasi tipis-tipis dari Anggi dan Reni, gua ketahui kalau Lady sempat marah perkara hal itu. Semenjak kejadian itu, gua selalu berusaha menyempatkan diri menjemput Anggi ketimbang Jeje yang harus mengantar. Seandainya kami berdua nggak sempat, maka Lady sendiri yang akan mengantar Anggi ke tempat gua.
“Nanti gua jemput…” Jeje menjawab.
Sesampainya di atas, Anggi langsung berlari menuju ke kamarnya sambil menarik tangan Reni. Sementara Jeje menuju ke ruang tamu, dan meletakkan tas serta perlengkapan Anggi lainnya diatas sofa. Kemudian ia berkeliling ke seluruh penjuru apartemen, ke kamar mandi, toilet, dapur untuk mengecek kompor dan wastafel.
“Airnya kecil banget?” Tanya Jeje sesaat setelah mengecek aliran air pada wastafel. Ia lalu mengeluarkan ponselnya dan menghubungi pihak manajemen gedung untuk bertanya tentang kondisi air.
Setelah memastikan nggak ada lagi yang rusak. Ia lalu duduk di sofa, mengeluarkan kunci mobil beserta surat-suratnya dan meletakkannya di atas meja. “Kunci mobil lo mana?” Pintanya.
Gua lantas masuk ke dalam kamar dan kembali dengan membawa kunci mobil kemudian menyerahkannya ke Jeje beserta dengan surat-suratnya.
“HP lo?” Pintanya, sambil menadahkan tangan.
Walaupun bingung gua tetap menyerahkan ponsel kepadanya. Setelah menerima ponsel gua, ia lalu mulai menyetel ulang aplikasi yang menghubungkan ponsel dengan mobil. Kemudian menjelaskan cara penggunaannya ke gua.
“Ntar, pas pertama masuk. Pencet ini, terus ini dan ini…” Ucapnya sambil menunjukkan layar ponsel ke arah gua.
Sementara, gua hanya mengangguk dan terus memperhatikan petunjuk darinya.
“Dah, paham?” Tanyanya.
Gua menggeleng pelan.
“Ayo ke bawah, gua yang setting deh” Ajaknya, seraya berdiri.
“Oh”
Sebelum pergi, Jeje menyempatkan diri menuju ke kamar Anggi untuk berpamitan kemudian menyusul gua yang sudah menunggu di ambang pintu keluar.
Setelah selesai membantu gua menyetel koneksi antara ponsel dengan mobil, ia pamit dan bersiap pergi. “Udah bisa kan?” Tanyanya.
“Udah, kalo udah di setting sama aja kan pakenya dengan yang lama?” Gua balik bertanya.
“Sama”
“Oh…”
“Yaudah, gua cabut ya” Jeje berpamitan. Ia lalu berbalik dan menuju ke lokasi sedan hitam yang terparkir, sedan hitam yang sebelumnya gua pakai.
Nggak menunggu sampai Jeje pergi, gua lantas kembali ke atas. Nggak sabar ingin menghabiskan waktu bersama Anggi.
—
“Ih bagus, siapa yang buat?” Tanya Reni begitu melihat sketsa keluarga kecil hasil buatan Marshall yang tergantung di dalam kamar.
“Temen abang lo” Ucap gua, seraya merebahkan diri diatas ranjang. Baru saja selesai menemani Anggi hingga ia tertidur.
“Oh… Bagus deh, jadi mau minta bikinin”
“Mending jangan deh” Jawab gua.
“Lho kenapa?” Tanya Reni, kini menyusul gua berbaring di atas ranjang.
“Gapapa”
Reni yang sejak tadi menatap dan memantau ekspresi wajah gua, langsung tersenyum begitu mendengar jawaban barusan. Mungkin terlihat kalau ada perubahan air muka di wajah gua saat bicara.
“Cowok?” Tanyanya lagi.
“Iya, tapi nyebelin” Jawab gua, sambil mengingat perdebatan kami berdua perkara urusan pekerjaan.
“Ganteng, nggak?”
Gua mengernyitkan dahi begitu mendengar pertanyaannya barusan. “Kenapa lo nanya gitu?” Gua balik bertanya kepadanya, yang hanya direspon oleh Reni dengan senyuman.
“Nyebelin kenapa?” Tanyanya lagi.
Entah kenapa, gua langsung terpancing begitu mendengar pertanyaannya barusan. Gua merubah posisi yang sebelumnya berbaring kini duduk di atas ranjang dan mulai menceritakan semua hal-hal menyebalkan tentang dirinya.
Sementara, Reni hanya terdiam, mendengarkan sambil sesekali tersenyum kecil.
Ditengah-tengah bercerita, barulah sadar kalau sejak tadi gua nyerocos nggak jelas, mengeluh tentang sikap seorang pria kepada Reni.
“Siapa tadi namanya?” Tanya Reni, sambil menahan senyum.
Gua nggak langsung menjawab, hanya menundukkan kepala.
“Siapa kak, namanya?” Tanyanya lagi.
“Marshall” Jawab gua lirih.
—
That’s why gua nggak terlalu suka dengan mobil berwarna hitam; susah dicari disaat seperti ini. Iya, memang sekarang ada teknologi yang memungkinkan kita melacak posisi mobil melalui ponsel. Tapi, saat di area basement seperti ini dan ponsel kehilangan sinyal; tetap nggak berguna.
Gua berdiri menatap sedan hitam yang kini berada tepat di hadapan gua, kemudian menggumam sendiri sambil masuk ke dalam. “Lagian mobil aja kenapa harus sama sih”
Saat sudah keluar dari area basement gedung, dan tengah mengantri keluar dari parkiran, ponsel sudah dapat menerima sinyal, gua langsung mencari nama Jeje dari daftar kontak dan menghubunginya.
“Hmm…” Seperti biasa, ia hanya menggumam pelan saat menjawab panggilan gua.
“Harus banget ya, mobil gua tuh sama dengan punya Lady?” Tanya gua.
“Hah? Gimana?” Tanyanya.
“Kenapa mobil gua harus sama dengan punya Lady?” Tanya gua lagi.
“Apaan sih, Ce. Berbulan-bulan lo udah pake kenapa baru sekarang complain?”
“Nggak tau, lagi kesel aja” Seru gua.
“Terus mau gimana, mau ganti?” Tanyanya.
“Iya” Gua menjawab lirih.
Jeje terdiam sesaat. Kemudian bicara beberapa detik berikutnya; “Pake mobil gua aja, tuker” Ucapnya, santai.
Teringat SUV putih keluaran baru milik Jeje dengan brand yang sama dengan mobil yang saat ini gua kendarai. “Yaudah…”
“Nanti pas anter Anggi ya” Ucapnya.
Sinar matahari yang panas terasa menyilaukan saat gua baru saja keluar dari area parkir gedung. Gua dengan cepat meraih kacamata hitam dan memakainya. Setelah berbelok ke kiri, masuk ke jalan raya yang siang ini cukup padat. Di halte tepat di depan gedung terlihat sosok Marshall yang tadi baru saja meeting dengan gua.
“Ok, udah ya Je…” Gua pamit ke Jeje, mengakhiri panggilan dan mulai melambatkan laju kendaraan, kemudian menepi tepat di depan halte.
Gua menurunkan kaca jendela pada pintu di sisi penumpang sebelah kiri, sambil sedikit mencondongkan tubuh, ke arah kaca yang kini terbuka. “Bareng nggak?” Ucap gua menawarkan tumpangan.
Ia terlihat bingung, menoleh ke kiri dan kanan, seakan tawaran gua barusan nggak dialamatkan kepadanya.
“Woy.. elo! Iya elo. Mau bareng nggak?” Gua mengulang kalimat. Agar lebih jelas, kali ini sambil mengarahkan telunjuk kepadanya.
“Oh… nggak. Nggak usah, gua udah order taksi online. Makasih” Jawabnya seraya sedikit membungkuk ke arah gua.
“Yaudah” ucap gua, kemudian menurunkan kaca jendela mobil dan pergi.
Nggak seberapa lama, gua melirik ke arah spion yang kini memantulkan sosok Marshall. “Cih, cowok plin-plan” gumam gua pelan. Lalu mulai menyambungkan ponsel ke head unit mobil dan memutar lagi.
Terpurukku disini-nya Kla Project mengalun. Gua menambah volume hingga nyaris maksimal dan ikut bernyanyi.
Hari berikutnya, gua sudah mendapat konfirmasi dari pihak Marshall kalau ia setuju untuk mengerjakan proyek yang kami tawarkan. Selanjutnya, kami hanya bertemu saat weekly meeting yang biasanya berlangsung secara online. Sisanya, hampir nggak ada komunikasi diantara kami berdua.
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Nggak ada yang spesial dari hari-hari yang gua jalani. Sejak berpisah dengan Jeje dan sejak ia menikah lagi, hidup gua ya gini-gini aja. Diluar urusan pekerjaan, hampir nggak ada hal ‘seru’ yang bisa dilakukan. Semuanya datar-datar aja.
Gua bahkan sudah sampai di titik dimana nggak ada lagi hasrat untuk melakukan apapun. Nggak ada lagi yang ingin gua gapai. Saat ini, tujuan hidup yang paling utama adalah Anggi. Tapi, itupun gua merasa nggak bisa terlalu banyak ambil bagian dalam proses perkembangannya. Ya mau gimana lagi, Anggi sekarang dikelilingi orang-orang yang peduli banget sama dia; Papah nya, Mamah cantiknya itu, Reni dan bahkan Opungnya yang kini seakan lebih sayang ke cucunya daripada ke gua; anaknya sendiri.
Rasa-rasanya, seperti kehadiran gua di dunia ini hanyalah condiment belaka, hanya sebuah pelengkap, yang seandainya nggak ada pun dunia bakal baik-baik saja.
Hingga suatu waktu, di sebuah momen gua merasakan sesuatu yang lain. Saat pertemuan kembali dengan cowok plin-plan yang menyimpan banyak misteri; Marshall.
Pun gua masih menyisakan sebuah pertanyaan untuknya terkait gambar sketsa yang ia buat. Tapi, rasanya hal itu kini sudah nggak penting lagi saat kami berdua kerap terlibat perdebatan-perdebatan sengit tentang urusan pekerjaan. Perdebatan yang kemudian merembet ke sesuatu yang lebih personal, perdebatan yang bikin kami saling menyerang satu sama lain.
Sebelumnya, nggak pernah gua merasa seperti ini. Didebat, dilawan dan diintimidasi habis-habisan. Biasanya, orang yang baru mengenal gua akan mundur teratur saat tau akan sikap gua yang menjengkelkan. Dan baru kali ini ada sosok manusia yang secara terang-terangan berani menantang gua; bercanda dengan maut.
Sejujurnya sikap menjengkelkan gua bukanlah bawaan lahir. Ini hanya metode gua dalam bertahan hidup. Iya mirip cicak yang memutus ekornya sendiri, bunglon yang berubah warna dan cumi yang menyemprotkan tinta sebagai metode bertahan hidup. Begitu pula dengan gua; sengaja menunjukkan sikap menjengkelkan dan angkuh adalah cara gua menutupi kelemahan.
Menyelubungi kerapuhan di dalam hati.
Siapa yang menyangka kalau hampir setiap malam gua menghabiskan waktu untuk menangis. Meratapi keadaan, menyesali masa lalu. Dan gua nggak mau ada satu orang pun yang tau akan hal itu. Nggak mau ada yang menilai kalau gua perempuan yang lemah.
Gua nggak mau dikasihani.
Saat dikasihani, gua bakal merasa kalau kesalahan-kesalahan gua selama ini seperti mendapat pengampunan. Rasanya seperti anak kecil yang dilindungi padahal jelas-jelas berbuat salah. Dan gua nggak suka.
Sosok Marshall kini berhasil menarik perhatian gua. Tapi, tunggu dulu, perasaan ini bukan artinya gua jatuh hati kepadanya. Gua hanya penasaran, rasa penasaran yang dikemudian hari malah menyerang tuannya sendiri, berubah menjadi obsesi.
Jatuh hati lagi? Mana mungkin?
Siapa sih perempuan yang bisa jatuh hati ke pria lain saat sebelumnya ada orang seperti Jeje yang mati-matian mencintai lo?
Iya, salah satu alasan gua nggak mungkin jatuh cinta lagi adalah Jeje.
Ia berhasil membuat standar yang begitu sulit digapai apalagi dilampaui. Jadi, secara psikologis alam bawah sadar gua bakal otomatis mengeliminasi cowok yang berusaha mendekat saat spesifikasinya nggak sesuai standar. Tentu saja standarnya Jeje.
Masih segar diingatan gua kala itu, momen dimana Reni berani-beraninya pergi kembali ke Jakarta saat gua dan abangnya berada di Kanada; alasannya ingin belajar hidup mandiri dan merasakan bersekolah di Indonesia. Saat itu, hampir setiap malam kami bertukar kabar melalui pesan singkat. Sesekali ia menelpon hanya untuk sekedar curhat.
Malam itu, ia bercerita tentang cowok yang ia sukai.
“Tapi,nggak ah, Kak. Kayaknya orangnya nggak tough…” Ucap Reni saat gua memberinya saran agar ‘bergerak’ lebih dulu.
“Lah emang lo nyari yang kekmana?” Tanya gua.
“Kayak abang” Jawabnya singkat.
Apapun kriteria yang gua ajukan, selalu dijawabnya dengan kalimat yang sama; “Yang kayak abang”
“Ren, kalo lo nyari yang kayak abang lo, udah abis stok-nya di dunia. Nggak bakal dapet. Coba deh turunin sedikit standar lo” Ucap gua mencoba memberinya saran. Saran yang kemudian betul-betul ia ikuti, hingga akhirnya Reni menikah dengan si cowok menye-menye tersebut. Cowok yang bahkan nggak sanggup membetulkan atap yang bocor.
Bertahun-tahun kemudian, Reni berhasil ‘mengembalikan’ ucapan gua.
—
Gua berdiri di depan minimarket yang terletak di basement apartemen. Menunggu datangnya Anggi yang akan diantar oleh Jeje. Kebetulan hari ini adalah jatah ia menginap disini. Setelah menunggu cukup lama, terlihat SUV putih yang dikendarai Jeje menuruni ramp masuk ke area basement. Dari tempat gua berdiri, terlihat Anggi duduk di kursi depan penumpang. Begitu melihat gua, ia langsung mendongak, mencoba berdiri dan melambaikan tangannya ke arah gua. Gua pun melakukan hal yang sama; melambai ke arahnya.
Jeje membunyikan klakson dan melewati gua, mencari tempat parkir yang kosong. Sementara, gua mulai mengikutinya dengan berjalan kaki, menuju ke arah mobil yang kini tengah parkir. Pintu penumpang bagian depan terbuka, Anggi turun dari mobil dan langsung berlari menghampiri gua. Disusul pintu bagian penumpang belakang terbuka, disusul Reni yang turun dan ikut mendekat ke gua.
Gua langsung memeluk Anggi dan berusaha menggendongnya, namun Anggi kini sudah terlampau berat untuk di gendong, apalagi dengan postur tubuh gua yang kurus. Sepertinya juga memang gadis kecil ini sudah tak lagi nyaman berada di gendongan. Terlihat dari gerakannya yang lantas minta diturunkan.
“Kiss Mommy dong” Pinta gua seraya menyodorkan pipi ke arahnya. Anggi lalu dengan cepat mengecup pipi ini.
“Mmmuuuaah…”
Barulah setelah memberi kecupan di pipi, ia meraih tangan gua dan menciumnya. Sementara, Reni mendekat, menyapa gua dengan sebuah senyuman, dan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan keponakannya; meraih tangan gua kemudian menciumnya. Setelahnya barulah kami cipika-cipiki yang diiringi bisikannya; “How's it hanging?” Tanyanya dengan logat Kanada yang kental.
Gua lantas menjawab dengan akses dan bahasa yang sama; “It's hanging good”. Kemudian mulai melongok ke arah mobil yang terparkir, karena nggak melihat kehadiran Lady bersama mereka, gua lantas bertanya; “Where's Lady?”
“Ask him” Jawabnya seraya menunjuk ke Jeje yang baru saja keluar dari mobil. Ia terlihat membuka pintu bagian penumpang, mengeluarkan tas milik Anggi dan beberapa paper bag kemudian berjalan mendekat ke arah kami.
“Lady kemana?” Tanya gua ke Jeje.
“Lagi kerumah sakit” Jawabnya, santai.
“Hah, siapa yang sakit?” Tanya gua lagi.
“Sere, imunisasi” Jawabnya.
“Terus kenapa lo malah kesini? Bukannya nemenin dia. Ntar gua kena damprat lagi deh” Protes gua ke Jeje.
Berkaca dari kejadian saat awal pernikahan mereka, dimana Jeje datang sendirian mengantarkan Anggi ke tempat gua. Yang dikemudian hari, berdasarkan informasi tipis-tipis dari Anggi dan Reni, gua ketahui kalau Lady sempat marah perkara hal itu. Semenjak kejadian itu, gua selalu berusaha menyempatkan diri menjemput Anggi ketimbang Jeje yang harus mengantar. Seandainya kami berdua nggak sempat, maka Lady sendiri yang akan mengantar Anggi ke tempat gua.
“Nanti gua jemput…” Jeje menjawab.
Sesampainya di atas, Anggi langsung berlari menuju ke kamarnya sambil menarik tangan Reni. Sementara Jeje menuju ke ruang tamu, dan meletakkan tas serta perlengkapan Anggi lainnya diatas sofa. Kemudian ia berkeliling ke seluruh penjuru apartemen, ke kamar mandi, toilet, dapur untuk mengecek kompor dan wastafel.
“Airnya kecil banget?” Tanya Jeje sesaat setelah mengecek aliran air pada wastafel. Ia lalu mengeluarkan ponselnya dan menghubungi pihak manajemen gedung untuk bertanya tentang kondisi air.
Setelah memastikan nggak ada lagi yang rusak. Ia lalu duduk di sofa, mengeluarkan kunci mobil beserta surat-suratnya dan meletakkannya di atas meja. “Kunci mobil lo mana?” Pintanya.
Gua lantas masuk ke dalam kamar dan kembali dengan membawa kunci mobil kemudian menyerahkannya ke Jeje beserta dengan surat-suratnya.
“HP lo?” Pintanya, sambil menadahkan tangan.
Walaupun bingung gua tetap menyerahkan ponsel kepadanya. Setelah menerima ponsel gua, ia lalu mulai menyetel ulang aplikasi yang menghubungkan ponsel dengan mobil. Kemudian menjelaskan cara penggunaannya ke gua.
“Ntar, pas pertama masuk. Pencet ini, terus ini dan ini…” Ucapnya sambil menunjukkan layar ponsel ke arah gua.
Sementara, gua hanya mengangguk dan terus memperhatikan petunjuk darinya.
“Dah, paham?” Tanyanya.
Gua menggeleng pelan.
“Ayo ke bawah, gua yang setting deh” Ajaknya, seraya berdiri.
“Oh”
Sebelum pergi, Jeje menyempatkan diri menuju ke kamar Anggi untuk berpamitan kemudian menyusul gua yang sudah menunggu di ambang pintu keluar.
Setelah selesai membantu gua menyetel koneksi antara ponsel dengan mobil, ia pamit dan bersiap pergi. “Udah bisa kan?” Tanyanya.
“Udah, kalo udah di setting sama aja kan pakenya dengan yang lama?” Gua balik bertanya.
“Sama”
“Oh…”
“Yaudah, gua cabut ya” Jeje berpamitan. Ia lalu berbalik dan menuju ke lokasi sedan hitam yang terparkir, sedan hitam yang sebelumnya gua pakai.
Nggak menunggu sampai Jeje pergi, gua lantas kembali ke atas. Nggak sabar ingin menghabiskan waktu bersama Anggi.
—
“Ih bagus, siapa yang buat?” Tanya Reni begitu melihat sketsa keluarga kecil hasil buatan Marshall yang tergantung di dalam kamar.
“Temen abang lo” Ucap gua, seraya merebahkan diri diatas ranjang. Baru saja selesai menemani Anggi hingga ia tertidur.
“Oh… Bagus deh, jadi mau minta bikinin”
“Mending jangan deh” Jawab gua.
“Lho kenapa?” Tanya Reni, kini menyusul gua berbaring di atas ranjang.
“Gapapa”
Reni yang sejak tadi menatap dan memantau ekspresi wajah gua, langsung tersenyum begitu mendengar jawaban barusan. Mungkin terlihat kalau ada perubahan air muka di wajah gua saat bicara.
“Cowok?” Tanyanya lagi.
“Iya, tapi nyebelin” Jawab gua, sambil mengingat perdebatan kami berdua perkara urusan pekerjaan.
“Ganteng, nggak?”
Gua mengernyitkan dahi begitu mendengar pertanyaannya barusan. “Kenapa lo nanya gitu?” Gua balik bertanya kepadanya, yang hanya direspon oleh Reni dengan senyuman.
“Nyebelin kenapa?” Tanyanya lagi.
Entah kenapa, gua langsung terpancing begitu mendengar pertanyaannya barusan. Gua merubah posisi yang sebelumnya berbaring kini duduk di atas ranjang dan mulai menceritakan semua hal-hal menyebalkan tentang dirinya.
Sementara, Reni hanya terdiam, mendengarkan sambil sesekali tersenyum kecil.
Ditengah-tengah bercerita, barulah sadar kalau sejak tadi gua nyerocos nggak jelas, mengeluh tentang sikap seorang pria kepada Reni.
“Siapa tadi namanya?” Tanya Reni, sambil menahan senyum.
Gua nggak langsung menjawab, hanya menundukkan kepala.
“Siapa kak, namanya?” Tanyanya lagi.
“Marshall” Jawab gua lirih.
—
Lanjut Ke Bawah
Diubah oleh robotpintar 31-05-2024 21:53
vizardan dan 35 lainnya memberi reputasi
36
Kutip
Balas
Tutup