Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
‘Lo pikir gua bisa cari tau cuma dari sign kayak gitu, Din?’ Isi balasan pesan dari Koko.
‘Klo ga bisa, Yaudah’ Gua kembali membalas pesan dari Koko, meletakkan ponsel di atas meja dan melanjutkan beres-beres.
Setelah selesai beres-beres, gua kembali ke ruang nonton, menjatuhkan diri di atas sofa dan mulai menyalakan televisi. Nggak ada yang benar-benar menarik dari acara di televisi yang kebanyakan hanya menampilkan reality show dan acara olahraga. Bosan, dengan tontonan, gua meraih ponsel, niatnya sih mau membuka sosial media, mengecek apakah ada sesuatu yang bisa gua tertawakan.
Terlihat sebuah notifikasi pesan yang nampaknya merupakan pesan balasan dari Koko; ‘Coba fotoin, seluruh gambarnya’
‘Kalo gua bisa nemu yang bikin. Lo mau kasih gua apa?’ tanyanya, masih dari balasan pesan.
Gua termenung, menyadari kalau gua bisa saja dengan mudah bertanya ke Jeje tentang sosok yang membuat sketsa tersebut. Lalu, buat apa gua harus memberi rewards untuk Koko.
‘Nggak jadi, Ko!’ balas gua singkat.
Gua lalu beralih ke kontak Jeje dan mulai mengetik pesan untuknya; ‘Je, yang bikin sketsa-nya siapa?’ dan mengirimnya.
Bukan sebuah balasan yang gua dapat, melainkan sebuah panggilan darinya. Ponsel berdering, layarnya menampilkan nama Jeje.
“Halo…” Sapa gua.
“Jam berapa ini? Kok belum tidur?” Tanyanya.
“Belum ngantuk” Jawab gua singkat.
“Anggi udah tidur?” Tanyanya lagi.
“Udah, dari tadi”
“Oh, kenapa lo nanyain siapa yang gambar?” Jeje, kembali bertanya tentang maksud dan tujuan gua.
“Gapapa, pengen tau aja…”
“Lo mau buat juga?”
“Iya… Abisnya, gua juga kan pengen punya sketsa kayak gitu. Ada bapak, mamak dan gua” Jawab gua.
“Yaudah itu aja lo ambil”
“Lah, tadi katanya buat Bapak?”
“Ya kalo lo mau ambil aja, ntar buat bapak gua bikinin lagi” Jawab Jeje, memberikan solusi.
“Beneran?” Tanya gua mencoba memastikan.
“Iya…”
“Yeay…”
“Yaudah”
“Eh, Je… Lo belum tidur abis meeting sama Claire ya?” Tanya gua.
“Iya…”
“Bahas apa?” Tanya gua lagi.
“Budget produksi”
“Oh… Yaudah”
“Tidur, Ce. Jangan begadang melulu” Ucapnya.
“Iya…” Balas gua, lantas mengakhiri panggilan.
Setelah mendapat konfirmasi dari Jeje, gua lantas mengambil frame sketsa darinya dan membawa frame tersebut ke dalam kamar, menggantungnya di dinding diatas tempat tidur, menggantikan frame foto gua sendiri yang sejak lama tergantung disana.
Gua mundur beberapa langkah untuk mengecek apakah frame yang gua pasang sudah dalam posisi tepat, nggak miring ke kiri atau ke kanan. ‘Ah, seandainya saja sketsa-nya punya ukuran sedikit lebih besar lagi’ Batin gua dalam hati. Tapi, begini pun gua sudah cukup puas.
Malam semakin larut saat gua memutuskan untuk ke kamar Anggi, berjingkat pelan, naik ke atas ranjang, kemudian tidur sambil memeluknya. Seakan tau kalau gua berada disisinya, masih dengan mata terpejam, ia berbalik, memutar tubuhnya dan membalas pelukan gua.
“Maafin Mommy ya, Nggi…” Bisik gua di telinganya. Sesuatu hal yang selalu gua ucapkan kepadanya setiap kali kami tidur bersama.
Besoknya, setelah mengantar Anggi ke sekolah gua langsung menuju kedai kopi dekat sekolah. Enggan ke kantor karena nanti masih harus menjemputnya. Jadi, setiap Anggi menginap di rumah, gua jarang datang ke kantor, karena ingin menghabiskan waktu sebanyak mungkin dengannya.
Sambil menatap deck report dari team marketing tentang budget yang overspent kemarin. Gua menyeruput kopi sambil sesekali mengecek ponsel. Takut ada pesan atau panggilan dari pihak sekolah yang mungkin saja luput dari pandangan gua. Belajar dari pengalaman beberapa bulan yang lalu, saat Jeje tengah pergi ke Kanada dan Anggi tinggal bersama gua. Saat itu, gua berada di kedai yang sama dengan yang gua kunjungi sekarang. Namun, karena terlalu fokus bekerja, menatap layar laptop, gua bahkan nggak sadar kalau ponsel gua berdering; sebuah panggilan dari pihak sekolah.
Setelah lebih dari 15 menit berikutnya, barulah gua menyadari kalau ada panggilan tak terjawab dari pihak sekolah. Yang ternyata ingin memberitahu kalau Anggi demam tinggi.
Nggak mau kejadian tersebut terulang, gua senantiasa meletakkan ponsel di tempat yang gampang dijangkau dan secara berkala mengeceknya. Tapi, biar seru sambil mengecek ponsel gua juga secara berkala membuka media sosial, ingin menertawakan status teman-teman yang selama ini jadi hiburan gua.
Menertawakan disini tentu saja bukan berarti mengejek atau merendahkan mereka, melainkan menertawakan video dan meme lucu yang kerap dibagikan oleh teman-teman melalui media sosial miliknya.
Gua sendiri awalnya nggak terlalu ‘into’ terhadap media sosial. Hanya saja, sejak terjun bekerja sebagai ‘marketing’, mau nggak mau gua harus ‘menenggelamkan’ diri di dalamnya. Nowadays, media sosial menjadi salah satu channel penting dalam dunia marketing digital. Analoginya sederhana; Bagaimana mungkin, seorang montir nggak bisa mengendarai sepeda motor.
Hanya saja gua nggak pernah memposting apapun di media sosial. Alasannya sepele; nggak mau terekspos.
Bosan karena nggak menemukan hal lucu nan kocak dari beranda berisi postingan dari teman-teman, gua beralih ke section ‘explore’ yang menampilkan postingan dari orang lain diluar dari koneksi yang gua miliki.
Hal-hal yang menarik perhatian gua dan kerap muncul adalah video-video tentang tips dan trik crafting seperti meletakkan spatula kayu diatas panci untuk mencegah air meluap dan hal lainnya yang serupa. Saat tengah melihat dan terus scroll kebawah, tanpa sengaja gua mendapati sebuah postingan berisi gambar sketsa. Gua kembali ke atas, dan mengernyitkan dahi, dengan dua ujung jari gua memperbesar gambar, mendapati signature yang sama dengan sketsa pemberian Jeje.
Penasaran, gua mengklik nama pengguna, Nama yang aneh; M2150_bisa.
Dari beranda miliknya, gua melihat satu persatu postingan yang semuanya berisi hasil karyanya. Anehnya, nggak ada satupun gambar sketsa yang menampilkan sosok manusia, semuanya hanya berisi gambar dan sketsa bangunan. Tanpa pikir panjang, gua menekan tombol ‘follow’.
Melalui informasi dari halaman profil-nya, gua dapat mengetahui kalau akun ini memang open submission. Menerima pesanan gambar atau sketsa dari pihak luar, tentu saja ada harga yang harus dibayar. Dan melalui sebuah tautan dari halaman yang sama, gua dibawa ke sebuah form digital yang berisi informasi submission dan detail-detail lainnya.
Karena terlanjur berada di form tersebut, gua mulai mengisinya; tentu saja asal-asalan. Melalui form itu juga gua mengetahui kalau artis ini punya spesialisasi menggambar bangunan dan sama sekali nggak menerima submission menggambar sosok apapun. Setelah beberapa menit, gua berakhir dengan memesan sebuah sketsa. Sketsa sebuah bangunan yang kebetulan berada di galeri ponsel gua; Rumah Bapak.
Beberapa hari berselang, sebuah notifikasi email muncul di layar ponsel. Gua yang merasa nggak memesan barang apapun cukup terkejut begitu mendapati notifikasi tersebut.
“Bentar, Dim” Ucap gua ke salah satu staff yang tengah mempresentasikan deck tentang plan CRM miliknya. Ia lalu berhenti bicara, sementara gua bergegas keluar dari ruang meeting untuk membaca email yang baru saja masuk.
Gua menepuk dahi saat menyadari rupanya email tersebut merupakan email berisi tagihan dari submission gambar sketsa yang beberapa hari lalu gua pesan. Bersama dengan email tersebut, terdapat juga lampiran hasil sketsa pesanan gua dalam format JPG yang dikirim dengan resolusi super rendah. ‘Mungkin, hanya untuk keperluan review’ batin gua dalam hati. Kemudian beralih ke menu bank online pada ponsel dan menyelesaikan pembayaran.
Masih penasaran, gua mengecek alamat pengirim email dan mengirim sebuah email balasan yang isinya kurang lebih bertanya tentang kemungkinan untuk membuat gambar sketsa sosok manusia. Yang beberapa menit kemudian langsung dibalas dengan jawaban singkat dan menohok; ‘Maaf, tidak bisa!’
‘Lah, kok si Jeje bisa ya?’ gua membatin dalam hati.
Dua hari setelahnya, saat baru saja tiba di kantor, seorang perempuan resepsionis yang gua lupa namanya, menyapa gua, kemudian mendekat seraya membawa sebuah amplop besar berwarna coklat.
“Pagi bu Dina, ini tadi ada kiriman dokumen” Ucapnya sambil tersenyum dan menyerahkan amplop coklat tersebut.
“Oh, Oke thank you ya” Jawab gua seraya membalas senyumnya.
“Sama-sama, Bu Dina”
“Cuma ini aja?” Tanya gua.
“Ada bu, yang lain sudah di taro di meja ibu. Yang itu baru aja dateng” Jawabnya.
“Ok, thanks again” Gua lantas naik menuju ke atas. Sengaja menggunakan tangga, agar sekalian membakar kalori.
Sambil terus melangkah naik, gua membuka amplop coklat tersebut dan mengeluarkan isinya. Seketika, jantung tiba-tiba berdetak dengan cepat. Gua menghentikan langkah dan menatap ke arah lembaran kertas tebal yang berada di genggaman gua. ‘Bagaimana mungkin, dia bisa tau?’ batin gua dalam hati, lalu kembali memasukkan gambar tersebut ke dalam amplop dan bergegas meraih ponsel; menghubungi Jeje.
“Nggak kok, kenapa sih emangnya?” Jeje balik bertanya.
“Mmm, gapapa. Yaudah deh” Balas gua. Kemudian mengakhiri panggilan.
Gua duduk di kursi, menatap kosong ke arah jendela gedung, kemudian beralih ke amplop coklat berisi sketsa yang tergeletak diatas meja. “Siapa sih lo?” Gua menggumam pelan sambil meraih amplop tersebut dan kembali mengeluarkan isinya.
Nggak mau tenggelam dalam rasa penasaran yang luar biasa. Gua melipat kertas tersebut dan memasukkannya ke dalam tas. Kemudian membuka laptop dan mulai bekerja.
Kesibukan membuat gua mampu melupakan rasa penasaran akan gambar sketsa tersebut. Apalagi jatah Anggi menginap akan datang sebentar lagi, membuat gua semakin lupa akan hal tersebut. Sampai suatu ketika, ada klien baru yang berasal dari luar negeri, yang ingin membuat sebuah aplikasi medis. Sebuah aplikasi yang memungkinkan para penggunanya berinteraksi dengan para dokter dan tenaga medis lain untuk berkonsultasi.
Saat tengah meeting dengan stakeholder terkait, kami sampai pada pembahasan tentang desain UI/UX aplikasi tersebut. Gua langsung teringat kembali dengan artis pembuat sketsa yang sebelumnya pernah bikin gua penasaran setengah mati. Tentu saja tujuan utama gua bukan sekedar mengetahui siapa sosok dibalik gambar itu. Dengan kemampuannya gua yakin kalau ilustrasi dan gambar buatannya bisa membuat aplikasi kami tampil semakin baik.
“Wah, jadi tambah cost itu mah, Din. Kalau sampai harus hiring illustrator” Ucap Dendy, Head of Product saat gua memberikan usulan.
“Nggak perlu. Nggak perlu hiring, freelance aja” Jawab gua.
Dendy terlihat berpikir sejenak. Ia lalu menatap Vanessa, lead UI/UX seakan meminta pendapatnya. Vanessa yang merasa dengan adanya ilustrasi bakal membuat desain darinya lebih powerfull lantas mengangguk; setuju.
“... Kalo budgetnya masuk ya, Din” Tambahnya, seakan ingin memastikan.
“Iya” Balas gua, sambil mengangguk.
“Lo ada kenalan illustrator, Van?” Tanya Dendy ke Vanessa.
“Hmmm, ada sih. Coba nanti gua reach deh” Jawab Vanessa, kemudian meraih ponselnya dan seperti tengah mencari-cari kontak.
Gua mencolek Vanessa yang kebetulan duduk tepat di sebelah gua, kemudian memberi kode kepadanya dengan gelengan kepala. Seakan mengerti, Vanessa lalu berhenti mencari kontak di ponselnya dan mengangguk. Sementara, gua langsung mencari kontak Jeje di ponsel dan menghubunginya lewat pesan singkat; meminta kontak si pembuat ilustrasi.
‘Je, minta nomor orang yang bikin gambar sketsa?’
Alih-alih mengirimkan balasan, Jeje malah menghubungi gua. Nada dering ponsel menggema, mengisi ruang meeting yang tenang. Nggak mau deringnya terus mengganggu, gua menjawab panggilan, berdiri dan keluar dari ruang meeting.
“Halo…” Sapa gua.
“Ada apaan sih sebenernya, Ce?” Tanyanya, bingung dan penasaran dengan pertanyaan dan permintaan gua seputar si ilustrator pembuat sketsa.
“Nggak. Ini gua lagi mau nyari orang buat bikin ilustrasi buat UI/UX Apps” Jawab gua, ingin segera menutup rasa penasarannya.
“Yang bener?” Tanyanya, nggak yakin.
“Bener”
Yaudah nanti gua kirim nomor-nya.
Nggak lama berselang, masuk sebuah pesan yang berisi dua kontak; Satu kontak bernama Yono dan satu lagi bernama Marshall. Nama terakhir yang jelas menarik perhatian gua, karena inisial namanya sesuai dengan yang ada pada sign tiap karyanya.
‘Kok ada dua?’ Tanya gua ke Jeje melalui pesan singkat.
‘Iya, si Yono itu asistennya. Biasanya kalo meeting ketemuannya sama Yono’ Jawab Jeje.
‘Oh’
‘Si Marshall mah susah diajak ketemu’ Tambahnya.
Setelah meeting selesai, gua menunjukkan akun media sosial tempat gua memesan gambar sketsa beserta dua kontak yang baru saja gua dapat dari Jeje ke Vanessa. “Nih, Van.. Reach dia aja”
“Oh, Oke kak..” Jawabnya, seraya mengetik nama pengguna di media sosial miliknya.
“Nanti, kalo dia udah agree. Arrange meeting aja sama gua” Ucap gua.
“Hah, meeting langsung sama kak Dina?” Tanyanya, ekspresi wajahnya terlihat terkejut. Mungkin merasa aneh, karena seharusnya dia atau Dendy sudah cukup untuk meeting dengan si calon illustrator.
“Iya, Biar gua yang jelasin tentang proyek ini. Nanti kalo udah OK, baru tektok-nya sama lo dan Dendy” Jawab gua, seakan mengerti dengan kekhawatirannya.
—
“Kak Din…” Vanessa memanggil saat gua baru saja bersiap untuk pulang.
“Kenapa, Van?” Tanya gua, seraya menghentikan langkah dan menunggunya.
Vanessa berlari kecil mendekat ke gua. Ia lalu menunjukkan layar ponselnya yang berisi beberapa balasan email.
“Ini, yang ilustrator waktu itu, dia udah setuju meeting. Tinggal nanya waktunya aja” Ucapnya.
“Oh, yaudah kalo gitu, besok atau lusa gua bisa kok, pagi tapi ya” Jawab gua.
“Ok, kak. Kak Din, dari tadi aku udah email nggak bales-bales” Keluhnya.
“Duh, sorry Van. Hari ini lagi nggak sempet ngecek-ngecek email”
“Yaudah, yang penting udah confirm ya. Nanti aku set di kalender kak Din ya” Ucapnya.
“Ok” Jawab gua singkat.
Singkatnya, Vanessa mengatur pertemuan gua dengan si illustrator. Gua sengaja datang lebih cepat untuk mengantisipasi macetnya Jakarta yang nggak ketulungan. Nyatanya, hari ini Jakarta cukup bersahabat, walaupun masih terkena macet, tapi nggak separah yang gua bayangkan sebelumnya.
Gua duduk di salah satu kursi di sudut kedai kopi, menatap layar laptop, melanjutkan bekerja sambil menunggu si ilustrator datang. Sesekali, gua menyeruput americano dingin yang kini tinggal tersisa sedikit. Sesekali juga, gua melirik ke arah ponsel, menunggu kabar dari si ilustrator seandainya ia sudah tiba.
Sebelumnya, Vanessa sudah memberi gua catatan nama dan nomor ponselnya. Ada dua nama yang ia berikan; satu bernama Suyono dan satu lagi bernama Marshall.
Merasa sudah cukup lama menunggu, gua meraih ponsel dan bersiap mengirim pesan ke keduanya. Ingin memberi informasi kalau gua sudah menunggu di tempat janjian. Namun, sesaat sebelum gua mulai mengetik, ponsel gua bergetar. Sebuah notifikasi pesan muncul di layarnya, dari nomor tanpa nama.
‘Selamat pagi kak, Saya Marshall. Saya sudah di kedai kopi ya’
Begitu membaca pesan darinya, gua lantas menatap sekeliling. Saking banyaknya orang yang berada di antrian kedai, gua jadi nggak bisa menebak yang mana orang yang baru saja tiba dan mengirim pesan.
Gua lantas membalas pesan darinya; ‘Aku juga udah ada di kedai kopi’
Kemudian kembali menatap sekeliling. Dari kejauhan, terlihat seorang pria berperawakan tinggi dengan rambut panjang yang sedikit berantakan juga seperti tengah memindai sekeliling. Gua berdiri, tatapan kami lalu bertemu; gua mengangkat tangan mencoba memberi kode, sambil bicara tanpa suara; “Marshall?” yang lalu direspon olehnya dengan anggukan kepala.
Gua memasukan laptop kedalam tas, meraih gelas kopi yang tersisa sedikit dan pergi mendekat ke arahnya.
“Marshall?” Tanya gua sambil berdiri di hadapannya.
“...”
“... Dina, Aldina” Gua memperkenalkan diri dan menjulurkan tangan.
Ia terlihat kikuk dan gugup. Lalu berdiri, menyempatkan diri menyeka tangannya lalu menyambut jabat tangan gua.
“Marshall” Ucapnya pelan, sementara kepalanya ia tundukkan.
Gua lalu duduk di seberangnya. Marshall ikut duduk, lalu masih sambil menundukkan kepalanya, ia menggeser gelas berisi americano dingin ke arah gua.
“Thank you” Ucap gua pelan.
Kemudian, tanpa berbasa-basi, gua mulai menjelaskan tentang proyek yang akan ia kerjakan nantinya. Sambil sesekali mencoba mengingat, apa gua pernah bertemu dengannya. Tapi, sekeras apapun gua mengingat, nggak menghasilkan apa-apa.
“Jadi gimana? Mau kan?” Tanya gua setelah selesai memberi penjelasan panjang lebar.
“Mmm, gimana ya?”
“Kenapa emangnya?” Tanya gua lagi, saat melihat keraguan di wajahnya.
“Gapapa. Nanti gua kabarin lagi deh…”
Gua menggaruk kepala yang nggak gatal. Gemas. ‘Tinggal jawab, iya atau nggak aja susah banget’ batin gua dalam hati.
Impresi pertama gua untuknya adalah; Plin-plan, penuh keraguan, seakan nggak punya pendirian. Selain itu terlihat juga dari raut wajah dan ekspresinya kalau ia menyimpan rasa sakit yang luar biasa.
—
Charlie Puth - Attention
You've been runnin' 'round, runnin' 'round, runnin' 'round throwin' that dirt all on my name
'Cause you knew that I, knew that I, knew that I'd call you up
You've been going 'round, going 'round, going 'round every party in LA
'Cause you knew that I, knew that I, knew that I'd be at one, oh
I know that dress is karma, perfume regret
You got me thinking 'bout when you were mine, oh
And now I'm all up on ya, what you expect?
But you're not coming home with me tonight
You just want attention
You don't want my heart
Maybe you just hate the thought of me with someone new
Yeah, you just want attention
I knew from the start
You're just making sure I'm never gettin' over you, oh
You've been runnin' round, runnin' round, runnin' round throwing that dirt all on my name
'Cause you knew that I, knew that I, knew that I'd call you up
Baby, now that we're, now that we're, now that we're right here standing face to face
You already know, 'ready know, 'ready know that you won, oh
I know that dress is karma (dress is karma), perfume regret, yeah
You got me thinking 'bout when you were mine, oh
(You got me thinking 'bout when you were mine)
And now I'm all up on ya (all up on ya), what you expect?
(Oh, baby)
But you're not coming home with me tonight, oh no
You just want attention
You don't want my heart
Maybe you just hate the thought of me with someone new, someone new
Yeah, you just want attention, oh
I knew from the start, the start
You're just making sure I'm never gettin' over you, over you, oh
What are you doin' to me?
What are you doin', huh? (What are you doin'?)
What are you doin' to me?
What are you doin', huh? (What are you doin'?)
What are you doin' to me?
What are you doin', huh? (What are you doin'?)
What are you doin' to me?
What are you doin', huh?
I know that dress is karma, perfume regret
You got me thinking 'bout when you were mine
And now I'm all up on ya, what you expect?
But you're not coming home with me tonight
You just want attention
You don't want my heart
Maybe you just hate the thought of me with someone new
Yeah, you just want attention
I knew from the start
You're just making sure I'm never gettin' over you, over you
What are you doin' to me? (hey)
What are you doin', huh? (what are you doin', what?)
What are you doin' to me?
What are you doin', huh? (yeah, you just want attention)
What are you doin' to me? (I knew from the start)
What are you doin', huh?
(You're just making sure I'm never gettin' over you)
What are you doin' to me?
What are you doin', huh?