- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa

Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 21:29
viper990 dan 214 lainnya memberi reputasi
215
399K
Kutip
4.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1697
Part 66 - Sebuah Bantuan
Spoiler for Part 66 - Sebuah Bantuan:
“Hah? Gimana maksudnya?” Tanya gua, merasa bingung dengan statement-nya barusan.
Aldina nggak menggubris pertanyaan gua, hanya terus melangkah mendahului.
Kami lalu tiba di area parkir basement tempat ia memarkir mobilnya. Terlihat, mobil yang dipakainya sekarang berbeda dengan mobil yang ia pakai waktu pertama kali kami berjumpa. Dilihat dari plat nomor yang terpasang pada SUV Eropa berwarna putih, sepertinya mobil ini baru.
“Mobil baru?” Tanya gua seraya berdiri tepat di belakang bagasi.
Dengan sentuhan kecil, ia membuka pintu belakang bagian bagasi, lalu meletakkan plastik berisi barang belanjaannya di sana. Gua menyusul, meletakkan plastik berisi belanjaan miliknya yang sejak tadi gua bawa.
“Iya” Jawabnya singkat.
“…”
“… ayo bareng” ia menambahkan.
“Ngga usah, Makasih”
“Bawa kendaraan?” Tanyanya.
Gua menggeleng pelan.
“Terus naik apa?” Tanyanya lagi, kini sambil menutup bagasi, juga hanya dengan sebuah sentuhan jarinya.
“Kereta”
“Yaudah ayo gua anter sampe stasiun” ajaknya lagi.
“Ngga usah, stasiun nya juga dekat. Naik ojek online aja” Jawab gua, menolak ajakannya.
“Ya kalo gitu cari stasiun yang jauh” Jawabnya santai.
“Nggak usah” Jawab gua lalu berbalik dan pergi.
Saat tengah berjalan di basement untuk kembali ke lobby eskalator, terdengar suara decit ban mobil yang nyaring, disusul klakson dan kedip dim lampu tepat di belakang. Gua yang merasa sudah merasa di sisi jalur mobil lalu sedikit menepi.
SUV putih yang dikendarai Aldina berhenti tepat di sisi sebelah kanan gua. Melalui kaca jendela bagian penumpang sebelah kiri yang terbuka, ia berseru dari balik kemudi.
“Ayo naik” Ajaknya.
“Nggak usah, udah sana” Jawab gua.
“Buruan”
Terdengar suara klakson dari mobil di belakangnya. Gua menoleh ke arah asal suara, terlihat beberapa mobil sudah mengantri tepat dibelakang mobil Aldina. Sementara, ia malah terlihat santai, sambil terus menatap gua.
Agar nggak menyebabkan antrian semakin panjang, akhirnya gua mendekat, membuka pintu dan masuk ke dalam mobil. Begitu gua sudah berada di dalam, ia lantas memacu mobilnya sambil sesekali mengecek ke belakang melalui kaca spion seraya menggumam; “Berisik”.
“Stasiun mana?” Tanya Aldina begitu kami sudah keluar dari area parkir mall.
“Kebayoran lama” Jawab gua sambil menunjuk ke arah stasiun.
“Ok” Jawabnya.
Jarak dari mall ke stasiun kebayoran lama sejatinya nggak begitu jauh, bahkan jika punya banyak waktu dan tenaga yang tersisa, kita bisa berjalan kaki dari mall ke stasiun. Tapi, karena harus putar balik melalui jalan yang padat, sepertinya bakal butuh waktu cukup lama hingga tiba disana.
“Macet banget ya” Gumamnya pelan.
“Padahal covid lagi marak-maraknya, kok orang pada nekad keluar” Gua ikut menggumam pelan.
Seketika Aldina menoleh dan menatap ke arah gua. Tatapannya terlihat seperti orang yang jijik.
“Look at you… Nah, elo keluar, makan di mall. Ucapan sama kelakuan nggak pas” Serunya.
“Elo juga”
“Ya gua kan nggak ngomelin orang yang keluar” Balasnya.
“...”
“... Terus mereka-mereka ini suru diem aja dirumah gitu?”
“Ya kan emang harusnya gitu” Balas gua.
“Alah, lagian paling covid ini juga menurut gua terlalu dibesar-besarkan. Atau mungkin, mungkin aja konspirasi” Ucapnya, santai bahkan sambil tertawa.
Mendengar ucapannya barusan, kini gantian gua yang menoleh ke arahnya, dan memberi tatapan jijik. Bisa-bisanya, orang berpendidikan sepertinya punya pola pikir kayak gitu.
“Lo tau nggak berapa orang yang mati karena virus ini?” Tanya gua, kini dengan nada serius.
Aldina mengangguk. “Gimana nggak tau, setiap hari media ngasih tau yang terpapar berapa, yang mati berapa. Semua berita bau-baunya negatif”
“Banyak orang yang kehilangan teman dan keluarganya gara-gara virus ini” Ucap gua.
“Iya gua tau…” Jawabnya singkat.
Kami lalu terdiam.
Terada udara di dalam mobil terasa berat, seolah dipenuhi oleh sisa-sisa kata-kata tajam yang baru saja terlontar dari kami berdua. Gua menoleh ke arah kiri, menatap keluar ke arah trotoar jalan hitam-putih yang bergerak cepat.
Sementara, dari sudut mata Aldina terlihat memegang kemudi dengan kedua tangannya, tatapannya yang tajam nggak lagi terlihat karena kacamata hitam yang baru saja ia kenakan.
Nggak ada suara musik atau radio, yang membuat kesunyian semakin menonjol.
Setelah sekian lama tenggelam dalam diam, barulah Aldina kembali angkat bicara; “Ada orang terdekat lo yang meninggal gara-gara covid?” Tanyanya, pelan.
Gua nggak menjawab, hanya terus diam.
Hingga akhirnya, mobil yang kami tumpangi tiba di sisi jalan terdekat dengan stasiun Kebayoran Lama. Aldina melambatkan laju dan menepikan mobil. Dan begitu mobil berhenti, gua langsung keluar tanpa bicara apapun kepadanya; bahkan ‘terima kasih’ pun nggak gua ucapkan.
Gua merasa hati tersakiti saat ia bicara tentang covid, saat ia menyepelekan virus yang bahkan merenggut orang yang gua sayangi beserta keluarganya. Virus yang membuat seorang gadis menjadi yatim-piatu dan harus hidup sebatang kara.
Saat gua sudah berada di luar, kaca jendela mobil di sisi penumpang turun, dari arah kursi pengemudi terdengar seruan Aldina; “Terima Kasih!”. Jendela kembali tertutup dan mobil SUV putih yang dinaikinya langsung pergi, hilang ditelan kumpulan mobil-mobil lain yang mulai memadati jalan arteri.
“Cewek gila!” gua menggumam pelan seraya terus melangkah menuju ke arah stasiun.
Di dalam gerbong kereta yang sepi menuju ke stasiun Cisauk, gua duduk sambil memandangi satu persatu foto yang berada di galeri ponsel; foto-foto kebersamaan gua dengan Poppy. Kemudian beralih ke arah gerbong yang sunyi, dengan bunyi rel yang beradu dengan roda besi gerbong kereta, seakan membawa kenangan gua dengannya semakin dalam.
Tiba-tiba ponsel yang berada di genggaman berdering, layar ponsel menampilkan nama Aldina. “Elah, apaan sih” Gua menggumam pelan dan nggak menjawab panggilannya.
Baru saja deringnya mati, nggak lama ponsel kembali bergetar diiringi dengan suara dering yang kembali terdengar. Layarnya masih menunjukkan nama yang sama; Aldina.
Akhirnya gua menyerah. Gua menghela nafas sebentar sebelum akhirnya menjawab panggilan; “Halo…” Sapa gua.
“Sal.. Sal…” Terdengar suara Aldina dari ujung sana. Nada bicaranya seperti khawatir.
“Apa?” Tanya gua.
“Lo udah jauh belum?” Ia balik bertanya.
“Udah, gua udah di kereta” Jawab gua.
“Yaah..”
“Kenapa?”
“Gapapa, yaudah deh” Ucapnya lalu mengakhiri panggilan.
Sementara gua masih tertegun, merasa aneh karena baru mendapati tipe orang sepertinya. Yang tiba-tiba menelpon, terdengar seperti ada sesuatu yang penting, lalu mengakhiri panggilan tanpa memberi tau alasan atau penyebabnya.
Bikin orang yang ditelepon penasaran.
Gua sebagai laki-laki, yang baru saja bertemu dengannya, tentu saja ada sedikit perasaan takut jika sampai terjadi apa-apa dengannya. Bayangan-bayangan liar yang menakutkan mulai berseliweran di kepala. Akhirnya, gua menyerah, meraih ponsel dan mulai menghubungi Aldina.
Nada sambung terdengar beberapa kali, dan hingga suara operator bicara, nggak ada jawaban darinya. Gua mencoba kembali beberapa kali dan masih belum bisa menghubunginya.
Kini, rasa khawatir mulai semakin besar. Bukan, bukan perkara ada sesuatu di dalam hati yang membuat gua semakin khawatir. Hanya saja kalau memang benar ada apa-apa dengan dirinya, gua adalah orang terakhir yang ia temui. ‘Takut jadi saksi atau bahkan tersangka pembunuhan’, apalagi gua yakin kalau cewek kayak dia pasti banyak banget yang sebel, gua terus menerus mencoba menghubunginya.
Nada sambung terdengar beberapa kali, kini suaranya terdengar menyapa gua. Walaupun dengan sebuah teriakan, tapi baru kali ini gua senang mendengarnya; “Apaan sih lo!!”
“Lo yang nelpon gua tadi…”
“Iya, tapi ya nggak usah telpon berkali-kali juga” Serunya, sengit.
“Ya gua pikir lo kenapa-kenapa” Gua menebak.
“Emang kalo gua kenapa-kenapa, lo bisa ngapain?”
“...” Gua terdiam, nggak menjawab. Iya, diposisi gua saat ini, tengah berada di dalam gerbong kereta yang bergerak, hampir mustahil gua bisa langsung memberinya bantuan jika seandainya ada apa-apa dengannya.
“... Stasiun terdekat dari posisi lo dimana?” Tanyanya.
“Hmm… Rawa buntu” Gua menjawab, menebak-nebak.
“Jauh kalo dari Pasar Minggu?” Tanyanya lagi.
“Nggak tau deh, kayaknya jauh” Jawab gua, lagi-lagi menebak. Karena jujur, gua juga nggak begitu paham dengan lokasi dan jarak antar daerah di Jakarta.
“...”
“... Kenapa emangnya?” Tanya gua, penasaran.
“Gua butuh banget bantuan lo” Ucapnya pelan.
“Penting?”.
“Banget… hidup dan mati” Jawabnya.
Gua menghela nafas panjang, kemudian memberi respon; “Yaudah kirim alamatnya”
“Yes!” Serunya.
“...”
“... Gua kirim alamatnya” Tambahnya kemudian mengakhiri panggilan.
Nggak lama berselang, sebuah pesan masuk yang berisi alamat tempat tinggalnya.
Gua lalu bersiap untuk turun di stasiun berikutnya; stasiun Rawa Buntu.
Begitu turun dari stasiun, gua lantas memasukkan alamat dari Aldina ke aplikasi ojek online pada ponsel dan langsung terkejut saat mengetahui kalau jarak dari posisi gua sekarang ke alamatnya adalah 25 km dan harus ditempuh selama kurang lebih satu jam jika menggunakan ojek online.
Gua menunggu cukup lama, dan nggak kunjung mendapat pengemudi ojek online yang mau mengambil order gua. Kalaupun ada yang mau mengambilnya, sesaat berikutnya order tersebut minta dibatalkan dengan alasan; ‘Kejauhan’
‘Ya kalo nggak mau jauh jangan ngojek’ batin gua dalam hati. Kemudian beralih ke mode taksi online dimana jarak tempuhnya menjadi semakin jauh karena rute otomatis melewati jalan bebas hambatan tapi tentu saja gua harus membayar ongkos yang juga nggak murah. Merasa Aldina dalam situasi yang genting, gua akhirnya memutuskan untuk menggunakan taksi online ketimbang ojek.
Hampir 45 menit berikutnya, gua sudah berada di lobby apartemen super tinggi yang berdiri angkuh di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Gua meraih ponsel dan mengirim pesan ke Aldina; ‘Gua udah di lobby bawah’.
Sambil menunggu, gua kembali menuju keluar gedung, ke beranda yang menjadi akses utama pengunjung dan penghuni keluar dan masuk. Berdiri, bersandar pada dinding raksasa yang berada di sana dan mulai merokok. Terlihat beberapa orang lain juga tengah menghabiskan waktu dengan merokok di tempat yang sama, beberapa diantaranya adalah kurir paket dan pengemudi ojek online yang sepertinya baru saja mengirimkan makanan.
Ponsel gua bergetar, sebuah pesan balasan masuk dari Aldina; ‘Jangan masuk dari Lobby, nanti diperiksa sertifikat vaksin dll. Ke basement aja nanti gua jemput’
Gua lantas membalas pesannya; ‘Gapap adi lobby aja, gua udah vaksin kok’
‘Jangan ngeyel! Basement!’ balasnya lagi.
Gua menghela nafas, membanting puntung rokok pada asbak metal yang berada di sana lalu berjalan memutari gedung, mengikuti arah petunjuk menuju ke basement.
Di area basement, terdapat sebuah mini market dimana terdapat meja dan kursi-kursi metal yang bisa digunakan untuk duduk-duduk setelah berbelanja makanan. Aldina terlihat duduk di salah satu kursi metal tersebut. Ia mengangkat tangan dan melambai begitu melihat kehadiran gua.
Nggak seperti sebelumnya, saat kami bertemu di mall, dimana ia tampil elegan dan cantik bak artis. Kini, ia terlihat lebih santai dan kasual dengan kaos hitam oversize dan celana pendek yang dipadu dengan sandal jepit swallow.
“Kenapa?” Tanya gua begitu posisi kami sudah dekat.
“Ntar gua jelasin di atas” Jawabnya.
Ia lalu berdiri dan berjalan menuju ke lobby lift yang letaknya bersebelahan dengan minimarket tempatnya menunggu. Gua mengikutinya dari belakang. Aldina, menempelkan sebuah kartu pada sisi pintu kaca lobby lift dan menahan pintunya untuk gua.
“Kenapa?” Tanyanya saat menyadari mata gua memandang sekeliling lobby lift yang seluruhnya dikelilingi oleh kaca. Bukan, bukan takjub akan arsitekturnya, melainkan bingung karena nggak ada satupun petugas keamanan yang berjaga disini. Padahal di atas, di lobby utama, terlihat hampir setengah lusin petugas keamanan yang berjaga sambil mengecek suhu dan sertifikat vaksin.
“Disini nggak ada yang jaga?” Gua balik bertanya.
“Nggak ada. Buat apa?”
Enggan berdebat, gua lantas menggelengkan kepala, seakan berkata; ‘Gapapa, gausah dipikirin’.
Ia lalu menekan tombol pada sisi lift dan kami berdiri menunggu.
“Ada apaan sih?” Tanya gua lagi begitu kami berdua sudah masuk ke dalam lift.
Aldina nggak menjawab, ia hanya bersandar pada dinding lift seraya melipat kedua tangannya.
Karena merasa diacuhkan, gua kembali mengajukan pertanyaan yang sama; “Ada apaan?”
“Sabar kek, ntar juga gua jelasin. Emang mau gua jelasin disini?” Ia balik bertanya. Dan kini, gantian gua yang nggak memberi jawaban.
‘Ting’ Suara denting dari bagian atas lift berbunyi, disusul pintu yang langsung terbuka. Aldina keluar dan berbelok ke kiri, gua menyusul mengikutinya. Kami lalu berjalan beriringan di lorong yang seakan tak berujung. Ia yang berada di depan gua terlihat berjalan seraya jemari tangan kanannya meniti dinding lorong, terdengar ia juga melantunkan sebuah nyanyian;
“It's a private emotion that fills you tonight
And a silence falls between us
As the shadows steal the light
And wherever you may find it
Wherever it may lead…”
Nggak lama berselang, langkahnya terhenti di depan sebuah pintu. Melalui tombol-tombol digital pada gagang pintu, ia menekan kombinasi angka yang disusul suara ‘beep’ dan ‘Cklek’, ia meraih gagang dan mendorong pintu.
“Masuk…” Ajaknya.
Gua lantas menyusulnya masuk ke dalam.
Hawa sejuk langsung menyambut gua begitu sudah berada di dalam. Sebuah ruangan yang gua kenali sebagai tempatnya bekerja terlihat. Ruangan yang senantiasa menjadi latar saat ia tengah mengadakan panggilan video dengan kami.
“Duduk…” Ucapnya, ia lantas berbelok ke kiri, ke arah lorong kecil yang sepertinya dapur.
“Jeje kemana?” Tanya gua seraya duduk di sofa, sambil menatap sekeliling.
Terlihat, banyak foto-foto seorang anak perempuan yang gua yakini adalah anaknya. Namun, gua merasakan keanehan yang luar biasa, saat gua menyadari nggak ada satupun foto dirinya dengan Jeje.
“Siapa?” Tanyanya. Ia kembali dari dapur dengan membawa sebotol air mineral dan sekaleng cola.
“Jeje” Jawab gua, singkat.
Aldina nggak menjawab, ia hanya tertawa lalu menuju ke salah satu ruangan di sudut, membuka pintunya dan masuk.
Nggak lama berselang ia kembali keluar. Tapi, kali ini ia nggak sendiri. Seorang anak perempuan yang kira-kira berusia 7 atau 8 tahun, berjalan pelan sambil mengikuti Aldina. Dari sosok yang sama dengan yang pernah gua lihat pada background laptop, dan ponsel Aldina, gua jelas tau siapa dia; anak perempuannya.
“Sana, Salam sama Om Marshall” Ucap Aldina seraya tersenyum dan menunjuk ke arah gua.
Anak perempuan itu lantas berjalan mendekat ke arah gua, menjulurkan tangannya. Gua membalas uluran tangannya, lalu dengan cepat anak perempuan itu meraih tangan gua dan menciumnya. Gua tersenyum; kagum. Untuk pertama kalinya, gua melihat seorang anak yang ‘salim’ dengan proper.
Bukan seperti anak lain yang pernah gua lihat ‘salim’ tapi menempelkan tangan lawan di dahi atau bahkan ada yang lebih parah; di pipi.
“Halo, kamu siapa namanya?” Tanya gua.
“Anggi, Om…” Jawabnya sambil tersenyum.
Terlihat di tangannya, ia membawa sebuah buku gambar berukuran A3 dan sebuah kemasan plastik berisi satu set pensil berwarna.
Aldina lantas duduk di lantai, ia menatap gua sambil tersenyum lalu bicara; “Anggi mau minta tolong sama lo”
“Apa?” Tanya gua, lalu beralih ke anaknya.
Anggi lantas, ikut duduk di sofa bersebelahan dengan gua. Ia meletakkan buku gambar dan kotak pensil berwarnanya di atas meja, lalu menoleh ke arah gua dan bicara; “Anggi mau minta tolong di ajarin menggambar”
Gua lantas berpaling ke Aldina yang kini tengah menutup mulutnya sendiri dengan tangan; mencoba menahan tawa.
“Ini yang lo bilang penting, bahkan antara hidup dan mati?” Tanya gua ke Aldina.
Ia lantas menempelkan telunjuk ke ibu jarinya seraya mengerling ke arah anaknya. Seakan memberi kode agar gua nggak bicara yang nggak-nggak di depan Anggi.
“Boleh om pinjam pensilnya?” Pinta gua ke Anggi sambil tersenyum dan mengadahkan tangan.
“Om mau yang warna apa?” Ia balik bertanya.
“Warna apa aja boleh” Jawab gua singkat.
Terlihat ia berpikir keras, lalu meraih pensil berwarna biru dan menyerahkannya ke gua. “Ini aja yang warna biru”
Dengan pensil tersebut, gua lantas mulai mengajarinya cara menggambar. Tentu saja untuk pemula gua nggak bakal memberi tau teknik linear, arsiran ataupun dussel. Gua hanya memberi contoh menggambar bentuk dengan awalan sebuah angka. Misalnya menggambar kelinci dari angka 3, menggambar angsa dari angka 2 dan kelinci dari angka 8.
Anggi terlihat serius mengikuti langkah-langkah yang gua berikan. Sesekali, ia menyibak rambutnya, menyelipkannya di atas telinga, mirip kebiasaan yang sering Aldina lakukan.
Setelah hampir satu jam, Anggi berhasil menggambar beberapa bentuk hewan dan sekaligus mewarnainya.
“Bagus nggak Mom?” Tanya Anggi ke Aldina, yang lantas direspon oleh Aldina dengan senyuman sambil mengangkat kedua ibu jarinya ke atas.
“Yeay!!” Seru Anggi.
Ia lantas membereskan pensil-pensil yang berserakan, seraya bicara; “Terima kasih ya, Om Marshall”
“Iya sama-sama, Anggi” Balas gua.
“Mommy, Anggi laper” Keluhnya seraya tangannya terus membereskan pensil warna.
“Okay, sebentar ya sayang” Jawab Aldina, ia lalu bangkit dan langsung bergegas menuju ke dapur.
Sementara, Anggi kini menatap gua sambil terus tersenyum. Ia lalu menggeser posisi duduknya, menghadap ke arah gua lantas bertanya; “Om Marshall teman Mommy?”
Gua lalu mengangguk pelan.
“...Teman Papah juga?” Tanyanya lagi.
“Iya” Jawab gua sambil mengangguk.
“...”
“... Anggi sekarang kelas berapa?” Tanya gua.
Ia lalu mengangkat tangan dan mengacungkan dua jarinya.
“Sekolahnya dimana?” Tanya gua lagi.
“Disana, di dekat rumah Papah” Jawabnya sambil menunjuk ke arah lain.
“Hah?”
“Papah kan udah pisah sama Mommy. Sekarang aku punya mommy dan mamah” Ucapnya sambil tersenyum. Tanpa sengaja, Aldina terlihat berdiri di ujung ruangan. Tangannya membawa sebuah nampan yang berisi makanan untuk anaknya. Ia menatap gua dengan kedua matanya yang tajam.
—
Aldina nggak menggubris pertanyaan gua, hanya terus melangkah mendahului.
Kami lalu tiba di area parkir basement tempat ia memarkir mobilnya. Terlihat, mobil yang dipakainya sekarang berbeda dengan mobil yang ia pakai waktu pertama kali kami berjumpa. Dilihat dari plat nomor yang terpasang pada SUV Eropa berwarna putih, sepertinya mobil ini baru.
“Mobil baru?” Tanya gua seraya berdiri tepat di belakang bagasi.
Dengan sentuhan kecil, ia membuka pintu belakang bagian bagasi, lalu meletakkan plastik berisi barang belanjaannya di sana. Gua menyusul, meletakkan plastik berisi belanjaan miliknya yang sejak tadi gua bawa.
“Iya” Jawabnya singkat.
“…”
“… ayo bareng” ia menambahkan.
“Ngga usah, Makasih”
“Bawa kendaraan?” Tanyanya.
Gua menggeleng pelan.
“Terus naik apa?” Tanyanya lagi, kini sambil menutup bagasi, juga hanya dengan sebuah sentuhan jarinya.
“Kereta”
“Yaudah ayo gua anter sampe stasiun” ajaknya lagi.
“Ngga usah, stasiun nya juga dekat. Naik ojek online aja” Jawab gua, menolak ajakannya.
“Ya kalo gitu cari stasiun yang jauh” Jawabnya santai.
“Nggak usah” Jawab gua lalu berbalik dan pergi.
Saat tengah berjalan di basement untuk kembali ke lobby eskalator, terdengar suara decit ban mobil yang nyaring, disusul klakson dan kedip dim lampu tepat di belakang. Gua yang merasa sudah merasa di sisi jalur mobil lalu sedikit menepi.
SUV putih yang dikendarai Aldina berhenti tepat di sisi sebelah kanan gua. Melalui kaca jendela bagian penumpang sebelah kiri yang terbuka, ia berseru dari balik kemudi.
“Ayo naik” Ajaknya.
“Nggak usah, udah sana” Jawab gua.
“Buruan”
Terdengar suara klakson dari mobil di belakangnya. Gua menoleh ke arah asal suara, terlihat beberapa mobil sudah mengantri tepat dibelakang mobil Aldina. Sementara, ia malah terlihat santai, sambil terus menatap gua.
Agar nggak menyebabkan antrian semakin panjang, akhirnya gua mendekat, membuka pintu dan masuk ke dalam mobil. Begitu gua sudah berada di dalam, ia lantas memacu mobilnya sambil sesekali mengecek ke belakang melalui kaca spion seraya menggumam; “Berisik”.
“Stasiun mana?” Tanya Aldina begitu kami sudah keluar dari area parkir mall.
“Kebayoran lama” Jawab gua sambil menunjuk ke arah stasiun.
“Ok” Jawabnya.
Jarak dari mall ke stasiun kebayoran lama sejatinya nggak begitu jauh, bahkan jika punya banyak waktu dan tenaga yang tersisa, kita bisa berjalan kaki dari mall ke stasiun. Tapi, karena harus putar balik melalui jalan yang padat, sepertinya bakal butuh waktu cukup lama hingga tiba disana.
“Macet banget ya” Gumamnya pelan.
“Padahal covid lagi marak-maraknya, kok orang pada nekad keluar” Gua ikut menggumam pelan.
Seketika Aldina menoleh dan menatap ke arah gua. Tatapannya terlihat seperti orang yang jijik.
“Look at you… Nah, elo keluar, makan di mall. Ucapan sama kelakuan nggak pas” Serunya.
“Elo juga”
“Ya gua kan nggak ngomelin orang yang keluar” Balasnya.
“...”
“... Terus mereka-mereka ini suru diem aja dirumah gitu?”
“Ya kan emang harusnya gitu” Balas gua.
“Alah, lagian paling covid ini juga menurut gua terlalu dibesar-besarkan. Atau mungkin, mungkin aja konspirasi” Ucapnya, santai bahkan sambil tertawa.
Mendengar ucapannya barusan, kini gantian gua yang menoleh ke arahnya, dan memberi tatapan jijik. Bisa-bisanya, orang berpendidikan sepertinya punya pola pikir kayak gitu.
“Lo tau nggak berapa orang yang mati karena virus ini?” Tanya gua, kini dengan nada serius.
Aldina mengangguk. “Gimana nggak tau, setiap hari media ngasih tau yang terpapar berapa, yang mati berapa. Semua berita bau-baunya negatif”
“Banyak orang yang kehilangan teman dan keluarganya gara-gara virus ini” Ucap gua.
“Iya gua tau…” Jawabnya singkat.
Kami lalu terdiam.
Terada udara di dalam mobil terasa berat, seolah dipenuhi oleh sisa-sisa kata-kata tajam yang baru saja terlontar dari kami berdua. Gua menoleh ke arah kiri, menatap keluar ke arah trotoar jalan hitam-putih yang bergerak cepat.
Sementara, dari sudut mata Aldina terlihat memegang kemudi dengan kedua tangannya, tatapannya yang tajam nggak lagi terlihat karena kacamata hitam yang baru saja ia kenakan.
Nggak ada suara musik atau radio, yang membuat kesunyian semakin menonjol.
Setelah sekian lama tenggelam dalam diam, barulah Aldina kembali angkat bicara; “Ada orang terdekat lo yang meninggal gara-gara covid?” Tanyanya, pelan.
Gua nggak menjawab, hanya terus diam.
Hingga akhirnya, mobil yang kami tumpangi tiba di sisi jalan terdekat dengan stasiun Kebayoran Lama. Aldina melambatkan laju dan menepikan mobil. Dan begitu mobil berhenti, gua langsung keluar tanpa bicara apapun kepadanya; bahkan ‘terima kasih’ pun nggak gua ucapkan.
Gua merasa hati tersakiti saat ia bicara tentang covid, saat ia menyepelekan virus yang bahkan merenggut orang yang gua sayangi beserta keluarganya. Virus yang membuat seorang gadis menjadi yatim-piatu dan harus hidup sebatang kara.
Saat gua sudah berada di luar, kaca jendela mobil di sisi penumpang turun, dari arah kursi pengemudi terdengar seruan Aldina; “Terima Kasih!”. Jendela kembali tertutup dan mobil SUV putih yang dinaikinya langsung pergi, hilang ditelan kumpulan mobil-mobil lain yang mulai memadati jalan arteri.
“Cewek gila!” gua menggumam pelan seraya terus melangkah menuju ke arah stasiun.
Di dalam gerbong kereta yang sepi menuju ke stasiun Cisauk, gua duduk sambil memandangi satu persatu foto yang berada di galeri ponsel; foto-foto kebersamaan gua dengan Poppy. Kemudian beralih ke arah gerbong yang sunyi, dengan bunyi rel yang beradu dengan roda besi gerbong kereta, seakan membawa kenangan gua dengannya semakin dalam.
Tiba-tiba ponsel yang berada di genggaman berdering, layar ponsel menampilkan nama Aldina. “Elah, apaan sih” Gua menggumam pelan dan nggak menjawab panggilannya.
Baru saja deringnya mati, nggak lama ponsel kembali bergetar diiringi dengan suara dering yang kembali terdengar. Layarnya masih menunjukkan nama yang sama; Aldina.
Akhirnya gua menyerah. Gua menghela nafas sebentar sebelum akhirnya menjawab panggilan; “Halo…” Sapa gua.
“Sal.. Sal…” Terdengar suara Aldina dari ujung sana. Nada bicaranya seperti khawatir.
“Apa?” Tanya gua.
“Lo udah jauh belum?” Ia balik bertanya.
“Udah, gua udah di kereta” Jawab gua.
“Yaah..”
“Kenapa?”
“Gapapa, yaudah deh” Ucapnya lalu mengakhiri panggilan.
Sementara gua masih tertegun, merasa aneh karena baru mendapati tipe orang sepertinya. Yang tiba-tiba menelpon, terdengar seperti ada sesuatu yang penting, lalu mengakhiri panggilan tanpa memberi tau alasan atau penyebabnya.
Bikin orang yang ditelepon penasaran.
Gua sebagai laki-laki, yang baru saja bertemu dengannya, tentu saja ada sedikit perasaan takut jika sampai terjadi apa-apa dengannya. Bayangan-bayangan liar yang menakutkan mulai berseliweran di kepala. Akhirnya, gua menyerah, meraih ponsel dan mulai menghubungi Aldina.
Nada sambung terdengar beberapa kali, dan hingga suara operator bicara, nggak ada jawaban darinya. Gua mencoba kembali beberapa kali dan masih belum bisa menghubunginya.
Kini, rasa khawatir mulai semakin besar. Bukan, bukan perkara ada sesuatu di dalam hati yang membuat gua semakin khawatir. Hanya saja kalau memang benar ada apa-apa dengan dirinya, gua adalah orang terakhir yang ia temui. ‘Takut jadi saksi atau bahkan tersangka pembunuhan’, apalagi gua yakin kalau cewek kayak dia pasti banyak banget yang sebel, gua terus menerus mencoba menghubunginya.
Nada sambung terdengar beberapa kali, kini suaranya terdengar menyapa gua. Walaupun dengan sebuah teriakan, tapi baru kali ini gua senang mendengarnya; “Apaan sih lo!!”
“Lo yang nelpon gua tadi…”
“Iya, tapi ya nggak usah telpon berkali-kali juga” Serunya, sengit.
“Ya gua pikir lo kenapa-kenapa” Gua menebak.
“Emang kalo gua kenapa-kenapa, lo bisa ngapain?”
“...” Gua terdiam, nggak menjawab. Iya, diposisi gua saat ini, tengah berada di dalam gerbong kereta yang bergerak, hampir mustahil gua bisa langsung memberinya bantuan jika seandainya ada apa-apa dengannya.
“... Stasiun terdekat dari posisi lo dimana?” Tanyanya.
“Hmm… Rawa buntu” Gua menjawab, menebak-nebak.
“Jauh kalo dari Pasar Minggu?” Tanyanya lagi.
“Nggak tau deh, kayaknya jauh” Jawab gua, lagi-lagi menebak. Karena jujur, gua juga nggak begitu paham dengan lokasi dan jarak antar daerah di Jakarta.
“...”
“... Kenapa emangnya?” Tanya gua, penasaran.
“Gua butuh banget bantuan lo” Ucapnya pelan.
“Penting?”.
“Banget… hidup dan mati” Jawabnya.
Gua menghela nafas panjang, kemudian memberi respon; “Yaudah kirim alamatnya”
“Yes!” Serunya.
“...”
“... Gua kirim alamatnya” Tambahnya kemudian mengakhiri panggilan.
Nggak lama berselang, sebuah pesan masuk yang berisi alamat tempat tinggalnya.
Gua lalu bersiap untuk turun di stasiun berikutnya; stasiun Rawa Buntu.
Begitu turun dari stasiun, gua lantas memasukkan alamat dari Aldina ke aplikasi ojek online pada ponsel dan langsung terkejut saat mengetahui kalau jarak dari posisi gua sekarang ke alamatnya adalah 25 km dan harus ditempuh selama kurang lebih satu jam jika menggunakan ojek online.
Gua menunggu cukup lama, dan nggak kunjung mendapat pengemudi ojek online yang mau mengambil order gua. Kalaupun ada yang mau mengambilnya, sesaat berikutnya order tersebut minta dibatalkan dengan alasan; ‘Kejauhan’
‘Ya kalo nggak mau jauh jangan ngojek’ batin gua dalam hati. Kemudian beralih ke mode taksi online dimana jarak tempuhnya menjadi semakin jauh karena rute otomatis melewati jalan bebas hambatan tapi tentu saja gua harus membayar ongkos yang juga nggak murah. Merasa Aldina dalam situasi yang genting, gua akhirnya memutuskan untuk menggunakan taksi online ketimbang ojek.
Hampir 45 menit berikutnya, gua sudah berada di lobby apartemen super tinggi yang berdiri angkuh di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Gua meraih ponsel dan mengirim pesan ke Aldina; ‘Gua udah di lobby bawah’.
Sambil menunggu, gua kembali menuju keluar gedung, ke beranda yang menjadi akses utama pengunjung dan penghuni keluar dan masuk. Berdiri, bersandar pada dinding raksasa yang berada di sana dan mulai merokok. Terlihat beberapa orang lain juga tengah menghabiskan waktu dengan merokok di tempat yang sama, beberapa diantaranya adalah kurir paket dan pengemudi ojek online yang sepertinya baru saja mengirimkan makanan.
Ponsel gua bergetar, sebuah pesan balasan masuk dari Aldina; ‘Jangan masuk dari Lobby, nanti diperiksa sertifikat vaksin dll. Ke basement aja nanti gua jemput’
Gua lantas membalas pesannya; ‘Gapap adi lobby aja, gua udah vaksin kok’
‘Jangan ngeyel! Basement!’ balasnya lagi.
Gua menghela nafas, membanting puntung rokok pada asbak metal yang berada di sana lalu berjalan memutari gedung, mengikuti arah petunjuk menuju ke basement.
Di area basement, terdapat sebuah mini market dimana terdapat meja dan kursi-kursi metal yang bisa digunakan untuk duduk-duduk setelah berbelanja makanan. Aldina terlihat duduk di salah satu kursi metal tersebut. Ia mengangkat tangan dan melambai begitu melihat kehadiran gua.
Nggak seperti sebelumnya, saat kami bertemu di mall, dimana ia tampil elegan dan cantik bak artis. Kini, ia terlihat lebih santai dan kasual dengan kaos hitam oversize dan celana pendek yang dipadu dengan sandal jepit swallow.
“Kenapa?” Tanya gua begitu posisi kami sudah dekat.
“Ntar gua jelasin di atas” Jawabnya.
Ia lalu berdiri dan berjalan menuju ke lobby lift yang letaknya bersebelahan dengan minimarket tempatnya menunggu. Gua mengikutinya dari belakang. Aldina, menempelkan sebuah kartu pada sisi pintu kaca lobby lift dan menahan pintunya untuk gua.
“Kenapa?” Tanyanya saat menyadari mata gua memandang sekeliling lobby lift yang seluruhnya dikelilingi oleh kaca. Bukan, bukan takjub akan arsitekturnya, melainkan bingung karena nggak ada satupun petugas keamanan yang berjaga disini. Padahal di atas, di lobby utama, terlihat hampir setengah lusin petugas keamanan yang berjaga sambil mengecek suhu dan sertifikat vaksin.
“Disini nggak ada yang jaga?” Gua balik bertanya.
“Nggak ada. Buat apa?”
Enggan berdebat, gua lantas menggelengkan kepala, seakan berkata; ‘Gapapa, gausah dipikirin’.
Ia lalu menekan tombol pada sisi lift dan kami berdiri menunggu.
“Ada apaan sih?” Tanya gua lagi begitu kami berdua sudah masuk ke dalam lift.
Aldina nggak menjawab, ia hanya bersandar pada dinding lift seraya melipat kedua tangannya.
Karena merasa diacuhkan, gua kembali mengajukan pertanyaan yang sama; “Ada apaan?”
“Sabar kek, ntar juga gua jelasin. Emang mau gua jelasin disini?” Ia balik bertanya. Dan kini, gantian gua yang nggak memberi jawaban.
‘Ting’ Suara denting dari bagian atas lift berbunyi, disusul pintu yang langsung terbuka. Aldina keluar dan berbelok ke kiri, gua menyusul mengikutinya. Kami lalu berjalan beriringan di lorong yang seakan tak berujung. Ia yang berada di depan gua terlihat berjalan seraya jemari tangan kanannya meniti dinding lorong, terdengar ia juga melantunkan sebuah nyanyian;
“It's a private emotion that fills you tonight
And a silence falls between us
As the shadows steal the light
And wherever you may find it
Wherever it may lead…”
Nggak lama berselang, langkahnya terhenti di depan sebuah pintu. Melalui tombol-tombol digital pada gagang pintu, ia menekan kombinasi angka yang disusul suara ‘beep’ dan ‘Cklek’, ia meraih gagang dan mendorong pintu.
“Masuk…” Ajaknya.
Gua lantas menyusulnya masuk ke dalam.
Hawa sejuk langsung menyambut gua begitu sudah berada di dalam. Sebuah ruangan yang gua kenali sebagai tempatnya bekerja terlihat. Ruangan yang senantiasa menjadi latar saat ia tengah mengadakan panggilan video dengan kami.
“Duduk…” Ucapnya, ia lantas berbelok ke kiri, ke arah lorong kecil yang sepertinya dapur.
“Jeje kemana?” Tanya gua seraya duduk di sofa, sambil menatap sekeliling.
Terlihat, banyak foto-foto seorang anak perempuan yang gua yakini adalah anaknya. Namun, gua merasakan keanehan yang luar biasa, saat gua menyadari nggak ada satupun foto dirinya dengan Jeje.
“Siapa?” Tanyanya. Ia kembali dari dapur dengan membawa sebotol air mineral dan sekaleng cola.
“Jeje” Jawab gua, singkat.
Aldina nggak menjawab, ia hanya tertawa lalu menuju ke salah satu ruangan di sudut, membuka pintunya dan masuk.
Nggak lama berselang ia kembali keluar. Tapi, kali ini ia nggak sendiri. Seorang anak perempuan yang kira-kira berusia 7 atau 8 tahun, berjalan pelan sambil mengikuti Aldina. Dari sosok yang sama dengan yang pernah gua lihat pada background laptop, dan ponsel Aldina, gua jelas tau siapa dia; anak perempuannya.
“Sana, Salam sama Om Marshall” Ucap Aldina seraya tersenyum dan menunjuk ke arah gua.
Anak perempuan itu lantas berjalan mendekat ke arah gua, menjulurkan tangannya. Gua membalas uluran tangannya, lalu dengan cepat anak perempuan itu meraih tangan gua dan menciumnya. Gua tersenyum; kagum. Untuk pertama kalinya, gua melihat seorang anak yang ‘salim’ dengan proper.
Bukan seperti anak lain yang pernah gua lihat ‘salim’ tapi menempelkan tangan lawan di dahi atau bahkan ada yang lebih parah; di pipi.
“Halo, kamu siapa namanya?” Tanya gua.
“Anggi, Om…” Jawabnya sambil tersenyum.
Terlihat di tangannya, ia membawa sebuah buku gambar berukuran A3 dan sebuah kemasan plastik berisi satu set pensil berwarna.
Aldina lantas duduk di lantai, ia menatap gua sambil tersenyum lalu bicara; “Anggi mau minta tolong sama lo”
“Apa?” Tanya gua, lalu beralih ke anaknya.
Anggi lantas, ikut duduk di sofa bersebelahan dengan gua. Ia meletakkan buku gambar dan kotak pensil berwarnanya di atas meja, lalu menoleh ke arah gua dan bicara; “Anggi mau minta tolong di ajarin menggambar”
Gua lantas berpaling ke Aldina yang kini tengah menutup mulutnya sendiri dengan tangan; mencoba menahan tawa.
“Ini yang lo bilang penting, bahkan antara hidup dan mati?” Tanya gua ke Aldina.
Ia lantas menempelkan telunjuk ke ibu jarinya seraya mengerling ke arah anaknya. Seakan memberi kode agar gua nggak bicara yang nggak-nggak di depan Anggi.
“Boleh om pinjam pensilnya?” Pinta gua ke Anggi sambil tersenyum dan mengadahkan tangan.
“Om mau yang warna apa?” Ia balik bertanya.
“Warna apa aja boleh” Jawab gua singkat.
Terlihat ia berpikir keras, lalu meraih pensil berwarna biru dan menyerahkannya ke gua. “Ini aja yang warna biru”
Dengan pensil tersebut, gua lantas mulai mengajarinya cara menggambar. Tentu saja untuk pemula gua nggak bakal memberi tau teknik linear, arsiran ataupun dussel. Gua hanya memberi contoh menggambar bentuk dengan awalan sebuah angka. Misalnya menggambar kelinci dari angka 3, menggambar angsa dari angka 2 dan kelinci dari angka 8.
Anggi terlihat serius mengikuti langkah-langkah yang gua berikan. Sesekali, ia menyibak rambutnya, menyelipkannya di atas telinga, mirip kebiasaan yang sering Aldina lakukan.
Setelah hampir satu jam, Anggi berhasil menggambar beberapa bentuk hewan dan sekaligus mewarnainya.
“Bagus nggak Mom?” Tanya Anggi ke Aldina, yang lantas direspon oleh Aldina dengan senyuman sambil mengangkat kedua ibu jarinya ke atas.
“Yeay!!” Seru Anggi.
Ia lantas membereskan pensil-pensil yang berserakan, seraya bicara; “Terima kasih ya, Om Marshall”
“Iya sama-sama, Anggi” Balas gua.
“Mommy, Anggi laper” Keluhnya seraya tangannya terus membereskan pensil warna.
“Okay, sebentar ya sayang” Jawab Aldina, ia lalu bangkit dan langsung bergegas menuju ke dapur.
Sementara, Anggi kini menatap gua sambil terus tersenyum. Ia lalu menggeser posisi duduknya, menghadap ke arah gua lantas bertanya; “Om Marshall teman Mommy?”
Gua lalu mengangguk pelan.
“...Teman Papah juga?” Tanyanya lagi.
“Iya” Jawab gua sambil mengangguk.
“...”
“... Anggi sekarang kelas berapa?” Tanya gua.
Ia lalu mengangkat tangan dan mengacungkan dua jarinya.
“Sekolahnya dimana?” Tanya gua lagi.
“Disana, di dekat rumah Papah” Jawabnya sambil menunjuk ke arah lain.
“Hah?”
“Papah kan udah pisah sama Mommy. Sekarang aku punya mommy dan mamah” Ucapnya sambil tersenyum. Tanpa sengaja, Aldina terlihat berdiri di ujung ruangan. Tangannya membawa sebuah nampan yang berisi makanan untuk anaknya. Ia menatap gua dengan kedua matanya yang tajam.
—
Peterpan - Menghapus Jejakmu
Terus melangkah melupakanmu
Lelah hati perhatikan sikapmu
Jalan pikiranmu buatku ragu
Tak mungkin ini tetap bertahan
Perlahan mimpi terasa mengganggu
Kucoba untuk terus menjauh
Perlahan hatiku terbelenggu
Kucoba untuk lanjutkan hidup
Engkau bukanlah segalaku
Bukan tempat tuk hentikan langkahku
Usai sudah semua berlalu
Biar hujan menghapus jejakmu
Terus melangkah melupakanmu
Lelah hati perhatikan sikapmu
Jalan pikiranmu buatku ragu
Tak mungkin ini tetap bertahan
Perlahan mimpi terasa mengganggu
Kucoba untuk terus menjauh
Perlahan hatiku terbelenggu
Kucoba untuk lanjutkan hidup
Engkau bukanlah segalaku
Bukan tempat tuk hentikan langkahku
Usai sudah semua berlalu
Biar hujan menghapus jejakmu
Lepaskan segalanya
Lepaskan segalanya
Engkau bukanlah segalaku
Bukan tempat tuk hentikan langkahku
Usai sudah semua berlalu
Biar hujan menghapus jejakmu
Engkau bukanlah segalaku
Bukan tempat tuk hentikan langkahku
Usai sudah semua berlalu
Biar hujan menghapus jejakmu
yanagi92055 dan 48 lainnya memberi reputasi
49
Kutip
Balas
Tutup